29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pulang

Sunlie Thomas Alexander

Setelah tujuh tahun.

Senja Pertama

INI senja yang pertama baginya setelah bertahun-tahun pergi. Hidup di berbagai tempat: kota-kota serba gemerlap maupun kelabu, yang terus-menerus menawarkan ketegangan dengan kampung halaman; atau desa-dusun hiruk-pikuk maupun sunyi yang dulu bahkan tak terbayangkan olehnya. Begitu banyak lagi tempat dan nama yang tak tercatat di peta…

Menyusuri jalan tanah kuning becek yang di sana-sini tergenang air hujan, ia menjalankan sepeda motor yang direntalnya setengah jam setelah meninggalkan bandara dengan lamban. Ia memang harus berhati-hati agar tak melindas genangan air kotor atau tempat-tempat yang lebih becek, karena bisa jadi roda sepeda motornya bakal terbenam. Kedua roda sepeda motor bebek itu sudah berlumuran lumpur tanah kuning yang memerciki kaki celananya hingga sebatas betis.
Ah sekian tahun, ternyata jalan kecil yang menghubungkan kampungnya dengan jalan raya menuju kota kecamatan itu tak juga berubah. Tak pernah tersentuh aspal semenjak ia masih kanak-kanak. Ia mengeluh kecil ketika akhirnya sebuah lubang menganga tak mampu dielakkannya. Air kuning kotor langsung bercipratan membasahi celananya sampai bagian lutut.

Suasana

Warna jingga—seperti sirup rasa jeruk—yang sedikit temaram dan seakan menyimpan kesedihan yang ganjil, menyapu langit di depan matanya.Deretan pepohonan dan semak belukar liar di kanan-kiri jalan bergerak-gerak oleh hembusan angin, mengeluarkan suara seolah mengisak. Jalan yang dilaluinya kini sedikit lebih bagus, tapi ia tak juga mempercepat laju sepeda motor. Seolah-olah memang memilih melarutkan dirinya dalam senja yang murung ini.
Ada suara cucak rowo yang ia kenali baik di antara pepohonan. Ia menoleh sekilas sekadar ingin memastikan. Tapi burung mungil itu tak tampak karena rimbunnya dedaunan pohon-pohon: duku, rambutan, manggis, durian, cempedak, dan sebagian yang tak lagi bernama di dalam kepalanya—walaupun ia masih mengenali aroma dan bentuk batang yang pernah akrab dengannya selama bertahun-tahun itu. Tercium pula bau getah karet basah.

Cahaya matahari penghabisan berkilauan di dedaunan. Seperti butir-butir kristal, sisa air hujan bertetesan setiapkali angin berhembus lebih kencang. Rasa gelisah tiba-tiba saja membuncah di hatinya, membuatnya merasa seolah sedang menghadiri sebuah konser yang memilukan. Langit kian temaram, semakin muram.

Seorang Lelaki Setengah Baya Bersepeda

Mereka berpapasan. Ia mengendurkan gas sepeda motornya, membiarkan lelaki bersepeda itu lewat terlebih dulu karena sempitnya sisa jalan yang akan dilalui. Lelaki setengah baya itu tampak agak terburu-buru, tapi mereka sempat bertatapan sesaat. Ia hanya mengangguk kecil, namun kedua mata lelaki itu sekilas seperti bercuriga. Tidak ada tegur sapa sama sekali.

Sejenak kemudian ia merasa mengenali lelaki itu. Namun otaknya yang seolah membatu, tak bisa digunakan untuk mengingat. Toh, ia merasa begitu yakin lelaki setengah baya bersepeda itu memang salah seorang dari masa lalunya yang luput. Ah, memang begitu banyak nama-nama dan peristiwa yang raib tak berbekas ditelan waktu.

Yang Tersisa dari Kenangan.

Gedung Sekolah Dasar

Dulu, bersama anak-anak lainnya setiap hari ia berjalan kaki belasan kilo pulang-pergi ke sekolah yang terletak di ujung kampung itu. Kini ia melihatnya lagi. Bangunan itu tak banyak perubahan, selain ada beberapa ruang kelas tambahan yang entah dibangun kapan. Gedung sekolah tersebut kayaknya belum lama dicat ulang. Ia merasa sedikit terharu juga melihat bekas sekolahnya. Dari adiknya ia tahu, sampai sekarang belum juga ada SLTP di kampungnya…

Rumah Mantan Kepala Kampung

Rumah itu juga lebih bagus sekarang. Lantai terasnya dipasangi keramik putih. Ada sebuah taman kecil di depan rumah. Dinding-dindingnya dicat kuning telur. Seingatnya, dulu rumah itu bercat hijau muda. Ia menduga lelaki gemuk pemiliknya sekarang sudah bukan lagi kepala kampung.
Pos Kamling
Aneh, pikirnya, pos kamling itu ternyata masih ada. Berbentuk kotak bujur sangkar yang terbuka di bagian muka dan berdiri di atas empat tiang kayu. Dinding-dinding papannya tampak penuh dengan graffiti dari semprotan pilox. Rapuh, seperti mengerang. Atap sengnya sudah penuh karatan. Ada sehelai tikar pandan butut tergelar di dalam pos. Sebuah sendok kotor—mungkin bekas mengaduk kopi semalam—tergeletak di atas tikar itu.
Ah, sesekali ia pernah nongkrong di sana…

Rumah Orangtua Hasan

Ia sebenarnya ingin sekali singgah ke rumah itu. Tapi merasa sungkan. Lagipula siapa yang bakal ditemuinya di sana? Hasan seperti dirinya, telah lama merantau. Bahkan lebih dulu. Tentunya setelah sekian lama, orang di rumah itu telah menjadi serba asing buatnya. Ia menjalankan sepeda motornya lebih lambat untuk mengamati rumah bercat putih itu. Agaknya juga tak ada perubahan yang berarti, kecuali ada sebuah retakan cukup panjang di tembok sisi kiri, entah karena apa. Yang jelas mengingatkannya pada tembok rumah-rumah di kota rantaunya sehabis gempa tiga tahun silam.

Sebatang Pohon Durian

Pohon besar yang menjulang tinggi itu berdiri tak jauh dari rumah orangtua Hasan. Konon diwariskan turun-temurun oleh buyut Hasan. Semasa kanak-kanak, ia dan Hasan sering menunggui buah-buah pohon itu jatuh bila musim buah tiba. Kakek Hasan yang waktu itu masih hidup, akan memberi mereka upah berupa setengah dari jumlah durian jatuh yang mereka dapatkan. Dan itu sudah lebih dari cukup. Perut kenyang, dan mereka akan bersendawa keras-keras. Kalau ada sisa durian yang tak sanggup mereka habiskan, mereka pun menjualnya kepada orang-orang kampung. Uangnya mereka belikan bola, gambar umbul, kelereng, baju, sepatu, atau sekadar buat jajan di sekolah. Daging durian pohon itu berwarna kuning mengkilap dan cukup tebal. Teringat itu, ia jadi menelan ludah. Terbayang harum dan lezatnya buah kenangan…

Mang Sidiq

Lelaki tua itu tampak sedang sibuk dengan burung-burungnya di halaman rumah ketika ia lewat. Cuma berkaos singlet dekil dan celana pendek yang tak lagi kentara warnanya. Persis sebagaimana sosok dalam redup kenangannya. Mang Sidiq tidak melihatnya karena terlalu serius dengan burung-burung. Ada lima buah sangkar di dekat lelaki tua itu. Wajah tukang urut kampung itu tampak ceria, dari bibirnya yang monyong terdengar siulan sumbang. Ia dulu pernah keseleo parah karena tergelincir dari sepeda dan dibawa kepada lelaki itu.

Bibi Jum

Ia menghentikan sepeda motor di tepi jalan, di depan rumah perempuan kurus yang sedang menyapu teras itu tanpa mematikan mesin. Perempuan itu mengangkat wajah dan tertawa lebar ketika melihatnya. Tergopoh-gopoh, Bibi Jum—demikian ia memanggil perempuan seumur emaknya itu—berlari kecil menghampirinya. Ia membungkuk meraih dan mencium tangan perempuan itu.

“Aduh, kapan kau balik? Sudah lama Bibi tak melihatmu, sekarang kau agak gemukan dan lebih putih. Kok jarang sekali pulang? Sudah punya pacar belum? Masa’ kalah sama adik-adikmu. Tinggal kamu yang belum nikah lho? Sudah kerja atau masih kuliah?” begitulah, perempuan itu segera memberondongnya dengan sederet pertanyaan. Ia cuma tertawa kecil.
“Ayo, singgah ke rumah Bibi dulu.”

“Nanti saja Bi, aku belum sampai ke rumah…”

“Oh! Jadi kau baru tiba? Aduuh, sudah cepat sana pulang!” Bibi Jum tampak sedikit kaget dan memperhatikan ransel di punggungnya dengan mata terbelalak. Dulunya, perempuan itu pernah membantu emaknya berjualan kain.

Annisa

Perempuan muda itu sibuk menyuapi anaknya makan di bangku beranda. Mungkin anak kedua, tebaknya dengan dada berdebar. Ia mempercepat laju sepeda motornya dan tak berani menoleh sedikit pun. Jantungnya seperti bergemuruh. Ia meringis!

Lapangan Bola

Sebelah gawang di lapangan kecil itu terlihat miring… Rumput sekarang tampak lebih gundul, apalagi di sekitar kotak pinalti. Bagian depan kedua gawang tergenang air, demikian pula di sejumlah tempat lain. Waktu kecil—sebagaimana anak-anak di hampir seluruh muka bumi ini—mereka sering bermain sepakbola di sana, tapi kadangkala main layangan atau kasti. Pada bulan Agustus, lapangan itu biasanya digunakan untuk penyelenggaraan turnamen sepakbola antardesa atau sekadar turnamen antarkampung. Terkadang diadakan juga di sana pelbagai ajang perlombaan, seperti panjat pinang, lompat karung, makan kerupuk, dan lain-lain.

Yang Raib ditelan waktu Warung Kopi Mang Ucup

CUKUP lekat dalam ingatannya, sebuah warung kopi lumayan ramai yang buka sampai larut malam. Pemuda-pemuda kampung suka berkumpul di sana main gaple atau remi, juga para orang tua termasuk bapaknya. Kadangkala ia minta diajak karena bosan di rumah. Ada sebuah televisi hitam-putih berukuran 18 inci di sana, di pojok warung. Sementara bapaknya sibuk bermain kartu domino, ia akan duduk di dekat televisi ditemani segelas teh hangat. Kadang-kadang acara televisi cukup menarik, tetapi lebih sering membosankan. Sehingga membuatnya mengantuk dan kerap kali jatuh tertidur.

Ketika bapak membangunkannya dan mengajak pulang, ia sudah kepayahan untuk membuka mata. Kalau sudah begitu, bapak akan mengomel panjang-pendek dan menyuruhnya mencuci muka di sumur belakang warung. Berdua, mereka bapak-anak kemudian pulang menyusuri jalan becek (tentu berdebu jika kemarau) dengan bantuan penerangan lampu senter. Suara kodok dan jangkrik begitu riuh di tengah kelengangan sepanjang jalan.
Warung itu tak ada lagi. Tapi bekas fondasi bangunannya masih tampak di antara ilalang lebat.

Lapangan Bulu Tangkis

Lapangan kecil itu juga sudah lenyap. Kedua tiangnya sudah hilang tak berbekas. Sebuah papan pengumuman kusam kini tampak tegak di sana. Bertuliskan: Di sini Akan Dibangun Posyandu.

Yang Baru dI Kampung Masjid

MASJID itu lumayan besar dan indah dengan kubah putih dan menara menjulang tinggi, tapi tampak sunyi. Hanya sejumlah lansia yang terlihat duduk-duduk di serambi masjid menunggu adzan maghrib. Ia merasa ada yang aneh, mungkin sesuatu yang salah. Padahal dulu, seingatnya tatkala di tempat yang sama masih berdiri masjid tua yang dibangun oleh mendiang kakeknya, jemaah selalu saja berlimpah. Tak peduli tua-muda, lelaki-perempuan, termasuk anak-anak.
Tapi apa yang salah?

Sejumlah Rumah Baru di Samping Masjid

Tentu saja ia tidak tahu rumah-rumah itu milik siapa saja. Milik warga kampungnya atau para pendatang baru. Rata-rata rumah beton yang cukup bagus. Bahkan ada satu rumah yang lumayan besar, bertingkat dua dengan gaya arsitektur mediterania. Kepunyaan seorang kaya baru di kampung?

Seorang Remaja Bergiwang

Remaja tanggung itu sedang bermain gitar di depan salah satu rumah baru. Dia duduk di pagar beton teras. Kulitnya kuning langsat, tentu tidak seperti kebanyakan anak-anak kampung. Ada sepasang giwang besar di telinganya kiri-kanan, berbentuk cincin mencolok berwarna emas. Anak laki-laki tersebut tampak demikian khusyuk dengan permainan gitarnya. Samar-samar, ia mengenali sebuah lagu lama Iwan Fals yang dibawakan ABG itu.

Gadis Berkaos Tank Top

Satu kelokan lagi akan sampai ke rumah orangtuanya, ia berpapasan dengan gadis berkaos tank top merah menyala dan bercelana putih pendek ketat itu. Cantik, dengan rambut hitam yang terurai sebahu. Berkulit putih bersih. Ia terpukau juga melihat keelokan tubuh dan mulusnya kulit gadis itu terutama di sekitar wilayah dada yang montok dan perutnya yang rata. Gadis yang berjalan kaki entah hendak ke mana itu mengerling kepadanya dengan genit, dengan sedikit senyum tersungging di sudut bibir yang ranum. Ia menyeringai lebar dan bersiul kecil.

Ia sama sekali tidak mengenal gadis itu, tetapi ia terkenang pada seorang gadis lain yang beberapa kali dicumbuinya di kota rantau. Adik tingkat di kampus yang kemudian menjadi teman dekatnya. Hubungan mereka memang cuma sebatas sahabat karib. Tak lebih dari itu, tak ada letup asmara. Tapi di saat-saat sedang berdua, entahlah, mereka terkadang begitu sulitnya menahan hasrat untuk bercumbu…
***

AH, akhirnya ia melihat rumah orangtuanya! Rumah yang selama bertahun-tahun membesarkannya. Rumah tua itu seperti berdiri dalam kabut. Tampak ngungun, sarat aroma kerinduan sekaligus asing… Ia mempercepat laju sepeda motornya, seakan hendak memburu rasa kangen di dadanya sendiri. Sekarang ia ingin secepatnya bertemu dengan abah dan emaknya, dengan adik perempuannya. Ah, sudah tujuh tahun!
Namun, ketika memasuki halaman rumahnya, ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dimensi lain. Bulu kuduknya terasa berdiri. Entahlah, ia merinding… Rasanya badannya  menggigil.***

Gaten, Yogyakarta,  2007-2010

Sunlie Thomas Alexander

Setelah tujuh tahun.

Senja Pertama

INI senja yang pertama baginya setelah bertahun-tahun pergi. Hidup di berbagai tempat: kota-kota serba gemerlap maupun kelabu, yang terus-menerus menawarkan ketegangan dengan kampung halaman; atau desa-dusun hiruk-pikuk maupun sunyi yang dulu bahkan tak terbayangkan olehnya. Begitu banyak lagi tempat dan nama yang tak tercatat di peta…

Menyusuri jalan tanah kuning becek yang di sana-sini tergenang air hujan, ia menjalankan sepeda motor yang direntalnya setengah jam setelah meninggalkan bandara dengan lamban. Ia memang harus berhati-hati agar tak melindas genangan air kotor atau tempat-tempat yang lebih becek, karena bisa jadi roda sepeda motornya bakal terbenam. Kedua roda sepeda motor bebek itu sudah berlumuran lumpur tanah kuning yang memerciki kaki celananya hingga sebatas betis.
Ah sekian tahun, ternyata jalan kecil yang menghubungkan kampungnya dengan jalan raya menuju kota kecamatan itu tak juga berubah. Tak pernah tersentuh aspal semenjak ia masih kanak-kanak. Ia mengeluh kecil ketika akhirnya sebuah lubang menganga tak mampu dielakkannya. Air kuning kotor langsung bercipratan membasahi celananya sampai bagian lutut.

Suasana

Warna jingga—seperti sirup rasa jeruk—yang sedikit temaram dan seakan menyimpan kesedihan yang ganjil, menyapu langit di depan matanya.Deretan pepohonan dan semak belukar liar di kanan-kiri jalan bergerak-gerak oleh hembusan angin, mengeluarkan suara seolah mengisak. Jalan yang dilaluinya kini sedikit lebih bagus, tapi ia tak juga mempercepat laju sepeda motor. Seolah-olah memang memilih melarutkan dirinya dalam senja yang murung ini.
Ada suara cucak rowo yang ia kenali baik di antara pepohonan. Ia menoleh sekilas sekadar ingin memastikan. Tapi burung mungil itu tak tampak karena rimbunnya dedaunan pohon-pohon: duku, rambutan, manggis, durian, cempedak, dan sebagian yang tak lagi bernama di dalam kepalanya—walaupun ia masih mengenali aroma dan bentuk batang yang pernah akrab dengannya selama bertahun-tahun itu. Tercium pula bau getah karet basah.

Cahaya matahari penghabisan berkilauan di dedaunan. Seperti butir-butir kristal, sisa air hujan bertetesan setiapkali angin berhembus lebih kencang. Rasa gelisah tiba-tiba saja membuncah di hatinya, membuatnya merasa seolah sedang menghadiri sebuah konser yang memilukan. Langit kian temaram, semakin muram.

Seorang Lelaki Setengah Baya Bersepeda

Mereka berpapasan. Ia mengendurkan gas sepeda motornya, membiarkan lelaki bersepeda itu lewat terlebih dulu karena sempitnya sisa jalan yang akan dilalui. Lelaki setengah baya itu tampak agak terburu-buru, tapi mereka sempat bertatapan sesaat. Ia hanya mengangguk kecil, namun kedua mata lelaki itu sekilas seperti bercuriga. Tidak ada tegur sapa sama sekali.

Sejenak kemudian ia merasa mengenali lelaki itu. Namun otaknya yang seolah membatu, tak bisa digunakan untuk mengingat. Toh, ia merasa begitu yakin lelaki setengah baya bersepeda itu memang salah seorang dari masa lalunya yang luput. Ah, memang begitu banyak nama-nama dan peristiwa yang raib tak berbekas ditelan waktu.

Yang Tersisa dari Kenangan.

Gedung Sekolah Dasar

Dulu, bersama anak-anak lainnya setiap hari ia berjalan kaki belasan kilo pulang-pergi ke sekolah yang terletak di ujung kampung itu. Kini ia melihatnya lagi. Bangunan itu tak banyak perubahan, selain ada beberapa ruang kelas tambahan yang entah dibangun kapan. Gedung sekolah tersebut kayaknya belum lama dicat ulang. Ia merasa sedikit terharu juga melihat bekas sekolahnya. Dari adiknya ia tahu, sampai sekarang belum juga ada SLTP di kampungnya…

Rumah Mantan Kepala Kampung

Rumah itu juga lebih bagus sekarang. Lantai terasnya dipasangi keramik putih. Ada sebuah taman kecil di depan rumah. Dinding-dindingnya dicat kuning telur. Seingatnya, dulu rumah itu bercat hijau muda. Ia menduga lelaki gemuk pemiliknya sekarang sudah bukan lagi kepala kampung.
Pos Kamling
Aneh, pikirnya, pos kamling itu ternyata masih ada. Berbentuk kotak bujur sangkar yang terbuka di bagian muka dan berdiri di atas empat tiang kayu. Dinding-dinding papannya tampak penuh dengan graffiti dari semprotan pilox. Rapuh, seperti mengerang. Atap sengnya sudah penuh karatan. Ada sehelai tikar pandan butut tergelar di dalam pos. Sebuah sendok kotor—mungkin bekas mengaduk kopi semalam—tergeletak di atas tikar itu.
Ah, sesekali ia pernah nongkrong di sana…

Rumah Orangtua Hasan

Ia sebenarnya ingin sekali singgah ke rumah itu. Tapi merasa sungkan. Lagipula siapa yang bakal ditemuinya di sana? Hasan seperti dirinya, telah lama merantau. Bahkan lebih dulu. Tentunya setelah sekian lama, orang di rumah itu telah menjadi serba asing buatnya. Ia menjalankan sepeda motornya lebih lambat untuk mengamati rumah bercat putih itu. Agaknya juga tak ada perubahan yang berarti, kecuali ada sebuah retakan cukup panjang di tembok sisi kiri, entah karena apa. Yang jelas mengingatkannya pada tembok rumah-rumah di kota rantaunya sehabis gempa tiga tahun silam.

Sebatang Pohon Durian

Pohon besar yang menjulang tinggi itu berdiri tak jauh dari rumah orangtua Hasan. Konon diwariskan turun-temurun oleh buyut Hasan. Semasa kanak-kanak, ia dan Hasan sering menunggui buah-buah pohon itu jatuh bila musim buah tiba. Kakek Hasan yang waktu itu masih hidup, akan memberi mereka upah berupa setengah dari jumlah durian jatuh yang mereka dapatkan. Dan itu sudah lebih dari cukup. Perut kenyang, dan mereka akan bersendawa keras-keras. Kalau ada sisa durian yang tak sanggup mereka habiskan, mereka pun menjualnya kepada orang-orang kampung. Uangnya mereka belikan bola, gambar umbul, kelereng, baju, sepatu, atau sekadar buat jajan di sekolah. Daging durian pohon itu berwarna kuning mengkilap dan cukup tebal. Teringat itu, ia jadi menelan ludah. Terbayang harum dan lezatnya buah kenangan…

Mang Sidiq

Lelaki tua itu tampak sedang sibuk dengan burung-burungnya di halaman rumah ketika ia lewat. Cuma berkaos singlet dekil dan celana pendek yang tak lagi kentara warnanya. Persis sebagaimana sosok dalam redup kenangannya. Mang Sidiq tidak melihatnya karena terlalu serius dengan burung-burung. Ada lima buah sangkar di dekat lelaki tua itu. Wajah tukang urut kampung itu tampak ceria, dari bibirnya yang monyong terdengar siulan sumbang. Ia dulu pernah keseleo parah karena tergelincir dari sepeda dan dibawa kepada lelaki itu.

Bibi Jum

Ia menghentikan sepeda motor di tepi jalan, di depan rumah perempuan kurus yang sedang menyapu teras itu tanpa mematikan mesin. Perempuan itu mengangkat wajah dan tertawa lebar ketika melihatnya. Tergopoh-gopoh, Bibi Jum—demikian ia memanggil perempuan seumur emaknya itu—berlari kecil menghampirinya. Ia membungkuk meraih dan mencium tangan perempuan itu.

“Aduh, kapan kau balik? Sudah lama Bibi tak melihatmu, sekarang kau agak gemukan dan lebih putih. Kok jarang sekali pulang? Sudah punya pacar belum? Masa’ kalah sama adik-adikmu. Tinggal kamu yang belum nikah lho? Sudah kerja atau masih kuliah?” begitulah, perempuan itu segera memberondongnya dengan sederet pertanyaan. Ia cuma tertawa kecil.
“Ayo, singgah ke rumah Bibi dulu.”

“Nanti saja Bi, aku belum sampai ke rumah…”

“Oh! Jadi kau baru tiba? Aduuh, sudah cepat sana pulang!” Bibi Jum tampak sedikit kaget dan memperhatikan ransel di punggungnya dengan mata terbelalak. Dulunya, perempuan itu pernah membantu emaknya berjualan kain.

Annisa

Perempuan muda itu sibuk menyuapi anaknya makan di bangku beranda. Mungkin anak kedua, tebaknya dengan dada berdebar. Ia mempercepat laju sepeda motornya dan tak berani menoleh sedikit pun. Jantungnya seperti bergemuruh. Ia meringis!

Lapangan Bola

Sebelah gawang di lapangan kecil itu terlihat miring… Rumput sekarang tampak lebih gundul, apalagi di sekitar kotak pinalti. Bagian depan kedua gawang tergenang air, demikian pula di sejumlah tempat lain. Waktu kecil—sebagaimana anak-anak di hampir seluruh muka bumi ini—mereka sering bermain sepakbola di sana, tapi kadangkala main layangan atau kasti. Pada bulan Agustus, lapangan itu biasanya digunakan untuk penyelenggaraan turnamen sepakbola antardesa atau sekadar turnamen antarkampung. Terkadang diadakan juga di sana pelbagai ajang perlombaan, seperti panjat pinang, lompat karung, makan kerupuk, dan lain-lain.

Yang Raib ditelan waktu Warung Kopi Mang Ucup

CUKUP lekat dalam ingatannya, sebuah warung kopi lumayan ramai yang buka sampai larut malam. Pemuda-pemuda kampung suka berkumpul di sana main gaple atau remi, juga para orang tua termasuk bapaknya. Kadangkala ia minta diajak karena bosan di rumah. Ada sebuah televisi hitam-putih berukuran 18 inci di sana, di pojok warung. Sementara bapaknya sibuk bermain kartu domino, ia akan duduk di dekat televisi ditemani segelas teh hangat. Kadang-kadang acara televisi cukup menarik, tetapi lebih sering membosankan. Sehingga membuatnya mengantuk dan kerap kali jatuh tertidur.

Ketika bapak membangunkannya dan mengajak pulang, ia sudah kepayahan untuk membuka mata. Kalau sudah begitu, bapak akan mengomel panjang-pendek dan menyuruhnya mencuci muka di sumur belakang warung. Berdua, mereka bapak-anak kemudian pulang menyusuri jalan becek (tentu berdebu jika kemarau) dengan bantuan penerangan lampu senter. Suara kodok dan jangkrik begitu riuh di tengah kelengangan sepanjang jalan.
Warung itu tak ada lagi. Tapi bekas fondasi bangunannya masih tampak di antara ilalang lebat.

Lapangan Bulu Tangkis

Lapangan kecil itu juga sudah lenyap. Kedua tiangnya sudah hilang tak berbekas. Sebuah papan pengumuman kusam kini tampak tegak di sana. Bertuliskan: Di sini Akan Dibangun Posyandu.

Yang Baru dI Kampung Masjid

MASJID itu lumayan besar dan indah dengan kubah putih dan menara menjulang tinggi, tapi tampak sunyi. Hanya sejumlah lansia yang terlihat duduk-duduk di serambi masjid menunggu adzan maghrib. Ia merasa ada yang aneh, mungkin sesuatu yang salah. Padahal dulu, seingatnya tatkala di tempat yang sama masih berdiri masjid tua yang dibangun oleh mendiang kakeknya, jemaah selalu saja berlimpah. Tak peduli tua-muda, lelaki-perempuan, termasuk anak-anak.
Tapi apa yang salah?

Sejumlah Rumah Baru di Samping Masjid

Tentu saja ia tidak tahu rumah-rumah itu milik siapa saja. Milik warga kampungnya atau para pendatang baru. Rata-rata rumah beton yang cukup bagus. Bahkan ada satu rumah yang lumayan besar, bertingkat dua dengan gaya arsitektur mediterania. Kepunyaan seorang kaya baru di kampung?

Seorang Remaja Bergiwang

Remaja tanggung itu sedang bermain gitar di depan salah satu rumah baru. Dia duduk di pagar beton teras. Kulitnya kuning langsat, tentu tidak seperti kebanyakan anak-anak kampung. Ada sepasang giwang besar di telinganya kiri-kanan, berbentuk cincin mencolok berwarna emas. Anak laki-laki tersebut tampak demikian khusyuk dengan permainan gitarnya. Samar-samar, ia mengenali sebuah lagu lama Iwan Fals yang dibawakan ABG itu.

Gadis Berkaos Tank Top

Satu kelokan lagi akan sampai ke rumah orangtuanya, ia berpapasan dengan gadis berkaos tank top merah menyala dan bercelana putih pendek ketat itu. Cantik, dengan rambut hitam yang terurai sebahu. Berkulit putih bersih. Ia terpukau juga melihat keelokan tubuh dan mulusnya kulit gadis itu terutama di sekitar wilayah dada yang montok dan perutnya yang rata. Gadis yang berjalan kaki entah hendak ke mana itu mengerling kepadanya dengan genit, dengan sedikit senyum tersungging di sudut bibir yang ranum. Ia menyeringai lebar dan bersiul kecil.

Ia sama sekali tidak mengenal gadis itu, tetapi ia terkenang pada seorang gadis lain yang beberapa kali dicumbuinya di kota rantau. Adik tingkat di kampus yang kemudian menjadi teman dekatnya. Hubungan mereka memang cuma sebatas sahabat karib. Tak lebih dari itu, tak ada letup asmara. Tapi di saat-saat sedang berdua, entahlah, mereka terkadang begitu sulitnya menahan hasrat untuk bercumbu…
***

AH, akhirnya ia melihat rumah orangtuanya! Rumah yang selama bertahun-tahun membesarkannya. Rumah tua itu seperti berdiri dalam kabut. Tampak ngungun, sarat aroma kerinduan sekaligus asing… Ia mempercepat laju sepeda motornya, seakan hendak memburu rasa kangen di dadanya sendiri. Sekarang ia ingin secepatnya bertemu dengan abah dan emaknya, dengan adik perempuannya. Ah, sudah tujuh tahun!
Namun, ketika memasuki halaman rumahnya, ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dimensi lain. Bulu kuduknya terasa berdiri. Entahlah, ia merinding… Rasanya badannya  menggigil.***

Gaten, Yogyakarta,  2007-2010

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/