25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Sebatas Sayap Kembar

Cerpen : Zukhrini Khalis

Maukah engkau menemaniku menangkap kupu–kupu? Kita berlari bersama. Berkejar–kejaran. Kau mengejarku dan aku akan mencoba berlari. Pegang erat jaringmu, sebelum dia terlepas dan jatuh di rerumputan basah. Kupu–kupu tak akan menyukainya, sehingga kau harus mengejarnya lebih lincah.

Saat berusaha mengejar kau akan bersenandung manja mendendangkan nyanyian kesukaanmu khas bocah kecil yang mengiris angin. Kau pasti kini sudah lelah, terlihat dari tatapan kedua bola mata cokelat  yang menatapku penuh binar, setitik bening mengumpul di tepian kelopakmu.

Mungkin kau terlalu bahagia ketika itu, hingga menitikkan air mata. Begitu juga aku. Aku yang terlalu senang seakan tak merasakan bumi. Kau selalu mengingatkanku akan kesukaan–kesukaan dalam kehidupan. Menari. Riang.
Menyenandung berbagi senyum. Tertawa. Kau begitu mengerti bagaimana membagi kebahagiaan. Tak hanya aku yang akan melayang terbang mengepakkan sayap abstrak-ku di sekeliling radiasimu. Namun begitu juga insekta – insekta bersayap tipis, indah, warna – warni yang ikut berbagi senyuman bersama kita. Aku dan kau. Kau bukan hanya sumber senyuman, namun isi kehidupan.

Kau kini masih sering berdendang riang, walau keadaan tak sama. Walau kita tak di taman kupu – kupu, namun kau masih berangan sedang mengibaskan jaring kainmu untuk menangkap seekor Lepidoptera bersayap renda biru bercorak bintik hitam teratur. Terlihat dari gerakan tanganmu yang kian hari kian melambat.

Seperti tak berayun, namun gerakan halus itu begitu indah bagiku. Seperti tak bergeser bibirmu, namun aku bisa melihat senyuman indah menghiasi bibirmu saat ini. Seperti saat kita ditaman kupu–kupu.

Kudatangi kau yang menatapku penuh rona kebahagiaan. Menurutku, kau masih seperti dulu, seperti saat kita menatap langit biru berawan teduh yang menaungi taman kupu–kupu. Berbagi cerita, mendengarkan celotehan riangmu, menyimak rentetan kalimat ambigu-ku, membicarakan kisah–kisah orang luar biasa yang selalu menjadi topik hangat kita dan membicarakan masalah kita yang itu–itu saja.

Senja itu kita telah kelelahan mengejar kupu–kupu. Wajahmu penuh peluh. Aku juga. Kita juga menemukan kepompong dibawah daun tambis. Saat itu kau memaksaku untuk menyetujui asumsimu bahwa itu adalah kepompong Libythea.

Tapi aku berkeras mengatakan bahwa itu adalah calon Delias karena kesukaanku pada warna terang sedangkan kau terlalu suka pada warna mati. Kita saling penasaran dan memaksa untuk membawanya pulang. Iya membawanya pulang. Kita tempatkan ulat yang sedang berusaha untuk menjadi indah itu di dalam stoples kaca. Dan berharap ada salah satu diantara kita menebak dengan benar. Entah mungkin perbuatan kita yang tidak benar. Tapi kita tak peduli. Kita adalah penikmat keindahan. Keindahan di sini. Dunia.

Di ruangan kubus berukuran dua kali dua meter berbahan kayu jati, kita letakkan objek observasi kita. Bahkan kau mencatat perubahan yang terjadi setiap harinya. Kau mendeskripsikan bentuk dan warnanya, serta ukuran dan lekukannya. Kau mencatat semuanya.

Setiap saat. Setiap waktu kau akan mendesakku. Mendesak untuk memastikan kalau–kalau tidak akan ada makhluk asing yang keluar dari buntalan benang kepompong itu. Selain tebakan mu. Iya, tebakanmu. Kau tak henti–henti mengatakan padaku bahwa itu adalah Libythea dengan warna cokelatnya yang sangat kau suka. Aku tak tahu mengapa kau begitu menyukai ekstrak tanah. Padahal kau begitu ceria.

Seminggu setelah senja itu. Aku melihat pemandangan yang indah dan menyerukan namamu sebagai respon refleks dari stimulus yang kudapat melalui visualku. Kau pasti akan kaget. Kaget bahwa yang kini ada di dalam stoples bukanlah yang kita pikirkan. Itu lebih indah. Lebih indah dari Libythea atau Delias.
Itu adalah Lepidoptera yang aku tak tahu jenisnya, berwarna, tidak berwarna, dia bening, coraknya bagai gemericik air dengan sedikit corak bagai darah, begitu beraturan, begitu cemerlang seperti permata.  Kita tak peduli, walaupun kita salah kira. Kita saling tatap dengan mata kagum. Begitu indah yang tercipta di hadapan kita. Begitu tak terdefenisi. Begitu misterius.

Senja–senja kita selalu berwarna. Hijau. Jingga. Merah. Biru. Bening. Sejuk. Melegakan. Terkadang aku selalu melihat hidup penuh arti, harapan, tatapan luas kita. Seluas angkasa yang terhampar di atas kepala kita. Tetapi tak sebegitu indah bila aku memikirkan-Nya. Seketika hatiku hampa, walau kau menatapku sepenuh arti hingga tumpah.
Di senja berikutnya, aku menyatakan sesuatu yang mungkin menyambar telingamu. Menggelegarkan hati dan perasaaan mu, atau mungkin memporak porandakan pemikiranmu. Kau memandangku lekat – lekat setelah penyampaianku sore itu. Aku tahu, kau ingin meledak saat itu. Wajah lembutmu yang bersemu merah, kini terlihat begitu menegangkan.

Bahkan aku ragu untuk tegak, walau hanya sekedar menatap matamu yang tajam menatapku. Aku tahu kau ingin mengutarakan semuanya. Ingin memprotesku atas keinginanku. Dari bisu yang menyarang sekian lama, kau mulai bertanya, apakah kau penting. Kau menanyakan apakah kau berarti bagiku.

Aku menjawab yang tak perlu kau lontarkan. Pertanyaan yang kau sendiri dapat menjawabnya. Namun kita tak terlalu genius untuk memainkan peran seperti orang lain memainkan perannya sendiri.

Aku ingin kita tetap seperti senja–senja sebelumnya di taman kupu–kupu. Namun kau memilih untuk diam dan membiarkanku bermain dengan imajinasiku, seakan kita sedang berlari, berkejaran, sekedar berharap dapat menggenggam seekor Parantica yang cemerlang dan besar. Bahkan aku masih ingin mewujudkan mimpi kita untuk membuat pameran kupu–kupu di kota ini, mengembangkan sayap mereka kesana-kemari. Namun kau berhenti menatapku sekarang.

Saat aku menutup seluruh fisikku kecuali wajah dan telapak tanganku kau hanya bisa diam. Kau mulai pergi dari taman kupu–kupu saat aku memutuskan untuk lebih mencintai-Nya  ketimbang kebiasaan kita. Ketimbang jalinan ini. Kau berhenti memikirkanku mungkin saat aku memutuskan untuk selalu berfikir tentang-Nya yang menciptakanku sedemikian rupa. Hingga aku dapat bersamamu sekian lama. Kau tak bisa menerima saat aku berkata bahwa kita tidak saling halal. Walau kau begitu dekat, namun kita tetap berbeda.

Dalam kitab-ku yang kini berbeda dengan milikmu. Menegaskan bahwa aku hanya memiliki dua belas jenis orang yang halal untuk dekat denganku. Dan kau tidak ada didalamnya. Saat aku memutuskan menjadi akhwat. Kau menutup buku kita.

Namun aku tahu hatimu tetap mengikat rasa ini. Kau tetap memilih untuk diam dan bersenandung nyanyianmu saat ini. Ku sadari betapa lembut suaramu mengalun di auditoriku. Menyelesak masuk ke otakku untuk membangkitkan kembali memori–memori yang tersimpan dalam file kehidupan kita. Kau begitu berarti. Walau hanya sebatas arti kedipan. (*)

Zukhrini Khalis adalahMahasiswa Psikologi USU.

Cerpen : Zukhrini Khalis

Maukah engkau menemaniku menangkap kupu–kupu? Kita berlari bersama. Berkejar–kejaran. Kau mengejarku dan aku akan mencoba berlari. Pegang erat jaringmu, sebelum dia terlepas dan jatuh di rerumputan basah. Kupu–kupu tak akan menyukainya, sehingga kau harus mengejarnya lebih lincah.

Saat berusaha mengejar kau akan bersenandung manja mendendangkan nyanyian kesukaanmu khas bocah kecil yang mengiris angin. Kau pasti kini sudah lelah, terlihat dari tatapan kedua bola mata cokelat  yang menatapku penuh binar, setitik bening mengumpul di tepian kelopakmu.

Mungkin kau terlalu bahagia ketika itu, hingga menitikkan air mata. Begitu juga aku. Aku yang terlalu senang seakan tak merasakan bumi. Kau selalu mengingatkanku akan kesukaan–kesukaan dalam kehidupan. Menari. Riang.
Menyenandung berbagi senyum. Tertawa. Kau begitu mengerti bagaimana membagi kebahagiaan. Tak hanya aku yang akan melayang terbang mengepakkan sayap abstrak-ku di sekeliling radiasimu. Namun begitu juga insekta – insekta bersayap tipis, indah, warna – warni yang ikut berbagi senyuman bersama kita. Aku dan kau. Kau bukan hanya sumber senyuman, namun isi kehidupan.

Kau kini masih sering berdendang riang, walau keadaan tak sama. Walau kita tak di taman kupu – kupu, namun kau masih berangan sedang mengibaskan jaring kainmu untuk menangkap seekor Lepidoptera bersayap renda biru bercorak bintik hitam teratur. Terlihat dari gerakan tanganmu yang kian hari kian melambat.

Seperti tak berayun, namun gerakan halus itu begitu indah bagiku. Seperti tak bergeser bibirmu, namun aku bisa melihat senyuman indah menghiasi bibirmu saat ini. Seperti saat kita ditaman kupu–kupu.

Kudatangi kau yang menatapku penuh rona kebahagiaan. Menurutku, kau masih seperti dulu, seperti saat kita menatap langit biru berawan teduh yang menaungi taman kupu–kupu. Berbagi cerita, mendengarkan celotehan riangmu, menyimak rentetan kalimat ambigu-ku, membicarakan kisah–kisah orang luar biasa yang selalu menjadi topik hangat kita dan membicarakan masalah kita yang itu–itu saja.

Senja itu kita telah kelelahan mengejar kupu–kupu. Wajahmu penuh peluh. Aku juga. Kita juga menemukan kepompong dibawah daun tambis. Saat itu kau memaksaku untuk menyetujui asumsimu bahwa itu adalah kepompong Libythea.

Tapi aku berkeras mengatakan bahwa itu adalah calon Delias karena kesukaanku pada warna terang sedangkan kau terlalu suka pada warna mati. Kita saling penasaran dan memaksa untuk membawanya pulang. Iya membawanya pulang. Kita tempatkan ulat yang sedang berusaha untuk menjadi indah itu di dalam stoples kaca. Dan berharap ada salah satu diantara kita menebak dengan benar. Entah mungkin perbuatan kita yang tidak benar. Tapi kita tak peduli. Kita adalah penikmat keindahan. Keindahan di sini. Dunia.

Di ruangan kubus berukuran dua kali dua meter berbahan kayu jati, kita letakkan objek observasi kita. Bahkan kau mencatat perubahan yang terjadi setiap harinya. Kau mendeskripsikan bentuk dan warnanya, serta ukuran dan lekukannya. Kau mencatat semuanya.

Setiap saat. Setiap waktu kau akan mendesakku. Mendesak untuk memastikan kalau–kalau tidak akan ada makhluk asing yang keluar dari buntalan benang kepompong itu. Selain tebakan mu. Iya, tebakanmu. Kau tak henti–henti mengatakan padaku bahwa itu adalah Libythea dengan warna cokelatnya yang sangat kau suka. Aku tak tahu mengapa kau begitu menyukai ekstrak tanah. Padahal kau begitu ceria.

Seminggu setelah senja itu. Aku melihat pemandangan yang indah dan menyerukan namamu sebagai respon refleks dari stimulus yang kudapat melalui visualku. Kau pasti akan kaget. Kaget bahwa yang kini ada di dalam stoples bukanlah yang kita pikirkan. Itu lebih indah. Lebih indah dari Libythea atau Delias.
Itu adalah Lepidoptera yang aku tak tahu jenisnya, berwarna, tidak berwarna, dia bening, coraknya bagai gemericik air dengan sedikit corak bagai darah, begitu beraturan, begitu cemerlang seperti permata.  Kita tak peduli, walaupun kita salah kira. Kita saling tatap dengan mata kagum. Begitu indah yang tercipta di hadapan kita. Begitu tak terdefenisi. Begitu misterius.

Senja–senja kita selalu berwarna. Hijau. Jingga. Merah. Biru. Bening. Sejuk. Melegakan. Terkadang aku selalu melihat hidup penuh arti, harapan, tatapan luas kita. Seluas angkasa yang terhampar di atas kepala kita. Tetapi tak sebegitu indah bila aku memikirkan-Nya. Seketika hatiku hampa, walau kau menatapku sepenuh arti hingga tumpah.
Di senja berikutnya, aku menyatakan sesuatu yang mungkin menyambar telingamu. Menggelegarkan hati dan perasaaan mu, atau mungkin memporak porandakan pemikiranmu. Kau memandangku lekat – lekat setelah penyampaianku sore itu. Aku tahu, kau ingin meledak saat itu. Wajah lembutmu yang bersemu merah, kini terlihat begitu menegangkan.

Bahkan aku ragu untuk tegak, walau hanya sekedar menatap matamu yang tajam menatapku. Aku tahu kau ingin mengutarakan semuanya. Ingin memprotesku atas keinginanku. Dari bisu yang menyarang sekian lama, kau mulai bertanya, apakah kau penting. Kau menanyakan apakah kau berarti bagiku.

Aku menjawab yang tak perlu kau lontarkan. Pertanyaan yang kau sendiri dapat menjawabnya. Namun kita tak terlalu genius untuk memainkan peran seperti orang lain memainkan perannya sendiri.

Aku ingin kita tetap seperti senja–senja sebelumnya di taman kupu–kupu. Namun kau memilih untuk diam dan membiarkanku bermain dengan imajinasiku, seakan kita sedang berlari, berkejaran, sekedar berharap dapat menggenggam seekor Parantica yang cemerlang dan besar. Bahkan aku masih ingin mewujudkan mimpi kita untuk membuat pameran kupu–kupu di kota ini, mengembangkan sayap mereka kesana-kemari. Namun kau berhenti menatapku sekarang.

Saat aku menutup seluruh fisikku kecuali wajah dan telapak tanganku kau hanya bisa diam. Kau mulai pergi dari taman kupu–kupu saat aku memutuskan untuk lebih mencintai-Nya  ketimbang kebiasaan kita. Ketimbang jalinan ini. Kau berhenti memikirkanku mungkin saat aku memutuskan untuk selalu berfikir tentang-Nya yang menciptakanku sedemikian rupa. Hingga aku dapat bersamamu sekian lama. Kau tak bisa menerima saat aku berkata bahwa kita tidak saling halal. Walau kau begitu dekat, namun kita tetap berbeda.

Dalam kitab-ku yang kini berbeda dengan milikmu. Menegaskan bahwa aku hanya memiliki dua belas jenis orang yang halal untuk dekat denganku. Dan kau tidak ada didalamnya. Saat aku memutuskan menjadi akhwat. Kau menutup buku kita.

Namun aku tahu hatimu tetap mengikat rasa ini. Kau tetap memilih untuk diam dan bersenandung nyanyianmu saat ini. Ku sadari betapa lembut suaramu mengalun di auditoriku. Menyelesak masuk ke otakku untuk membangkitkan kembali memori–memori yang tersimpan dalam file kehidupan kita. Kau begitu berarti. Walau hanya sebatas arti kedipan. (*)

Zukhrini Khalis adalahMahasiswa Psikologi USU.

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/