31 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Istriku Pergi

Jefri al Malay

Entahlah! Belakangan aku kembali bertanya, akankah cinta juga bisa membunuh tuan pemiliknya?
Lama sudah ia tak menari. Sekitar enam  tahun begitulah. Mungkin ia rindu meliuk-lentukkan tubuhnya, melentikkan  jemari dan melangkah sesuai dengan rentak irama. Tarian demi tarian itu dulu pernah memanjakannya. Memberikan ruang untuk mengekspresikan hidup. Menari baginya adalah gerak kehidupan.

“Kenapa harus menari?’ tanyaku padanya ketika awal pertemuan dulu.
“Ada sisi dalam  kekehidupan yang harus diekspresikan dengan gerak tarian dan sisi itu adalah bagian yang sangat jauh di lubuk hatiku, sukar untuk diutarakan,” katanya sambil menyeka peluh yang masih tersisa di wajahnya.
“Sesukar apakah itu?” tanyaku ingin tahu.

“Tidak seperti yang kau bayangkan dan tak perlu diketahui. Mudahnya, hanya ingin menari dan menari selagi ada kesempatan,” jawabnya ketus dan kemudian meninggalkanku sendiri dengan segudang penasaran yang harus aku perjuangkan untuk mendapatkannya kelak.

Itu kisah yang lampau. Kisah di mana ia menguasai semua jenis tarian, langgam, joget, mak inang, zapin. Semua tarian Melayu ia kuasai bahkan beberapa tarian dari luar juga ia lahap sebisanya. Sedang aku dulu adalah penikmat setianya. Betapa aku terhipnotis bila melihat ia mulai menari di atas panggung. Persis sebuah ritual, ia melakukan gerakan demi gerakan secara total.

Dalam setiap gemulainya seolah mengandung pesona yang memabukkan. Di setiap langkah yang teratur rapi bagai menyulap kehidupan seharinya menjadi kehidupan yang penuh imaji di atas panggung. Kisah-kisah dalam tariannya itu menjelma hidup, seolah-olah berbicara dengan penonton yang hadir. Ah… sungguh aku terpesona.

Lalu, jadilah ia penari yang seharusnya patut diperhitungkan di negeri ini. Seorang penari yang benar-benar menari bila ia menari. Seorang penari yang tidak hanya mengandalkan kecantikan wajah, tidak hanya semata-mata memamerkan bentuk tubuh. Ia menari karena memang terpanggil untuk menari. Bagiku Ia adalah penari sejati.

Tapi perlukah aku jelaskan bagaimana kehidupan seorang penari setelah berada di luar panggung? Tentu saja tidak perlu karena semua pasti tahu, pekerja-pekerja seni di negeri ini semuanya hampir sama. Hanya dihargai bila ia diperlukan selebihnya tentu saja harus pandai-pandai untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Sebuah gambaran yang miris bila dikaitkan dengan visi dan misi di negeri bertuah ini.

Sekali lagi, semua itu hanyalah kenangan yang terbingkai indah baginya. Saat ini, perempuan itu telah terkurung tanpa ampun. Rumah… ya, rumah telah mengurungnya dan ia pun harus jatuh dalam pelukan seorang suami dan dua orang anaknya. Apakah ia tidak menari lagi? Tentu saja tetap menari karena baginya tarian adalah setiap gerakan dalam kehidupannya tetapi ia hanya menari untukku dan untuk segala tetek-bengek anak-anak kami saja.

Sosok istriku dulu memang seorang perempuan dengan seribu imaji dan impian tetapi aku sungguh tidak mengetahui di mana ia menyimpan semuanya itu setelah ia sah menjadi istriku. Aku hanya berpikir, barangkali hal itu tak perlulah dipertanyakan sebab memang sudah lumrah istriku seseorang yang selalu menyimpan apa saja yang menurutnya sulit untuk diutarakan.

Maka bermulalah kehidupan yang baru baginya. Dari kemegahan panggung, silau cahaya lampu, tepuk gemuruh tangan penonton ke sebuah alamat yang dinamakan rumah tangga.

Apakah ia menyesal? Kukira tidak! segala keputusan dan tindak tanduk yang kami lakukan adalah atas nama cinta. Cinta yang dulu kupahami sebagai perisai kekuatan untuk memulai segala sesuatu tetapi akankah demikian halnya? Entahlah! Belakangan aku kembali bertanya, akankah cinta juga bisa membunuh tuan pemiliknya?

Kecintaan istriku terhadap keluarga tak bisa diragukan lagi. Hal itu terlihat dari kesungguhannya mengurus anak-anak dan setia mendampingiku dalam keadaan apapun. Tetapi kecintaan kepada kehidupannya yang dulu juga tak dapat dihapus begitu saja. Seringkali aku melihat ia menari di sela-sela menyelesaikan pekerjaan rumah. Tetapi tentu saja aku anggap itu adalah hal yang wajar.
Pernah suatu kali ketika aku baru saja pulang dari kantor, terdengar olehku senandung yang begitu lirih keluar dari mulutnya. Senandung yang sayup-mayup, seolah-olah ada getaran kerinduan di dalamnya.

Sementara itu istriku terlihat menggerakkan tubuhnya perlahan-lahan seiring dengan senandung yang menjadi musik pengiringnya itu. Aku menyaksikan sambil bersembunyi di celah pintu dapur. Pakaian yang sedang dicuci ditinggalkan untuk beberapa saat. Ia begitu larut dalam tarian tersebut. Entah kenapa kemudian dalam sekali sentakan ia seperti baru tersadar dan menghentikan keterpesonaanku beserta tariannya.
Malam ketika baru saja kami selesai berbagi kehangatan, aku pun bertanya pada istriku “Kamu rindu menari?”

Ia hanya tersenyum. Senyum yang menyimpan segudang makna. Lalu ia segera berdiri, meninggalkan aku sendiri di tempat tidur. Tak berapa lama aku mendengar suara televisi di ruang tamu. Aku pun bangkit berdiri, menyusul istriku. Ternyata ia sedang menonton CD koleksi tariannya. Tersandar ia di kursi, matanya sedikitpun tak bergerak seolah menelan bulat-bulat pertunjukan tari yang sedang ditonton. Aku pun maklum akan hal itu dan berniat untuk tidak menganggunya.

Kulangkahkan kaki kembali menuju kamar tidur tetapi kemudian aku mendengar suaranya.
“Apa salahnya kalau aku rindu?”
Aku mengurungkan niatku dan kembali duduk di sebelahnya. “Tentu saja tidak salah,” jawabku sambil memeluknya.

“Bagaimana kalau kerinduanku ini tak terbendung lagi dan aku sejujurnya ingin menari kembali?”
Aku tersentak. Terdiam untuk beberapa saat. Bingung harus mengatakan apa. “Maksudmu?”
“Aku… aku terpanggil untuk menari dan aku harus menari seperti dulu,” jawabnya.

Untuk sesaat aku memandangnya. Mencoba mencari kebenaran dan kesungguhan atas ucapannya. Dari matanya yang tak lepas memandang pertunjukan tari yang sedang berlangsung, aku berkesimpulan bahwa Ia sedang tidak bercanda.
“Tapi apa sudah dipikirkan masak-masak? Maksudku, bagaimana dengan anak-anak dan pekerjaan di rumah ini?”

Ia hanya diam. Dan sejurus kemudian ada yang tumpah dari kedua belah matanya. Ia menangis. Sungguh aku berusaha untuk menyelami kesedihannya, dengan raut wajah tanpa ekspresi, air mata itu keluar menetes begitu saja. Mungkin inilah air mata kerinduan sekaligus mengandung kepedihan yang menyayat hati.

“Aku tidak bermaksud melarangmu. Tapi, marilah kita sama-sama berpikir dengan jernih. Tentu saja kita tidak bisa mencari pembantu untuk menggantikan tugasmu mengurusi anak-anak dengan gajiku yang tak seberapa ini. Maksudku, ya…lagipula bukankah kita sudah punya komitmen…”
Ucapanku terputus karena tiba-tiba jemarinya memencet remote dan layar televisi pun padam.

Sejenak hanya diam. Air mata itu tak terbendung lagi, mencurah serupa air bah di pipinya. Ia segera bangkit berdiri menuju ke kamar. Aku tinggal sendiri menatap layar televisi kosong, sekosong pikiranku saat itu.

Meskipun sudah berusaha, ternyata aku gagal untuk memahami kerinduannya untuk menari. Tentu saja, karena aku bukanlah seorang seniman. Aku hanya seorang pegawai yang bekerja di sebuah instansi pemerintah. Mana mungkin aku tahu dan memahami lebih dalam hakikat kerinduan dari sudut pandang kesenian. Tapi aku selalu berusaha menjadi suami yang baik. Seingatku, malam itulah merupakan awal dari petaka dalam keluargaku. Istriku tak bisa lagi diajak bicara. Padahal selama ini, komunikasi adalah hal yang selalu kuutamakan dalam keluarga meski pada kondisi apapun.

Tak ada lagi tarian disela pekerjaannya. Ia menjelma menjadi robot yang hanya bekerja mengurus anak-anak dan pekerjaan rutinnya sebagai ibu rumah tangga. Tak ada suara dan canda tawa. Tak ada lagi kemesraan yang seharusnya menjadi pondasi di rumah tanggaku ini.

Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Di samping membuat tidak nyaman, jangan-jangan nanti bisa mengganggu perkembangan dan pertumbuhan ke dua buah hatiku. Sebagai suami yang bijak, aku harus mencari jalan keluarnya. Maka pada suatu kesempatan kuajaklah istriku bicara.

Aku mengusulkan padanya untuk membuat sebuah sanggar kecil-kecilan. Kusuruh ia melatih anak-anak tetangga sekitarnya untuk menari. Setidaknya dalam pikiranku, kerinduannya itu sedikit banyaknya akan dapat terobati. Tetapi nampaknya usulanku itu tidak direspon dengan baik.
“Aku bukan pelatih, aku hanya penari,” katanya dengan tanpa ekspresi.

Aku tidak kehabisan akal. Selagi ada kesempatan kuulangi terus menerus usulanku itu dengan memeberkan berbagai alasan yang positif. Tetapi memang dasar istriku kepala batu. Ia hanya diam membisu, tidak menggubris sedikitpun saran yang kuberikan.

Hingga akhirnya aku betul-betul kewalahan, sesak dengan kondisi yang menimpa keluargaku ini. Tidak hanya pekerjaan yang terbengkalai akibat memikirkan semuanya malahan perhatian terhadap ke dua anakku pun menjadi berkurang. Padahal si Tasya yang baru berumur empat tahun dan adiknya si Maya berumur dua tahun seharusnyalah mendapat kasih sayang dan perhatian yang cukup.

Aku tiba-tiba menjadi sensitif, aku benar-benar sedih dibuatnya. Terkadang timbul juga keegoanku sebagai lelaki, sebagai suami yang sah. Bisa saja aku memerintah dengan paksaan kepada istriku untuk menjaga anak-anakku dengan baik. Lantas kalau ia tidak mau, berikan ia gertakan untuk mencerainya. Tetapi kemudian keegoaan itu padam seketika setiap kali Tasya dan Maya berhambur dalam pelukanku.

Saat kalut yang terus bergelayut inilah tiba-tiba aku teringat masa di mana aku dan istriku membuat komitmen untuk menikah. Ia yang mulai pesimis dengan dunia kesenian di negeri ini memutuskan untuk berhenti menari. Katanya butuh pengorbanan dan perjuangan yang besar untuk menjadi seniman. Sementara ia hanya seorang wanita yang tidak memiliki kedua hal tersebut.

“Ya… mungkin memang tidak mudah mendapat pengakuan untuk jadi seniman dan mempertanggungjawabkannya,” tuturku ketika itu sekedar berusaha mengikuti alur pembicaraannya meskipun tak sepenuhnya kupahami apa yang telah kukatakan. Tapi setidaknya setelah itu ia menguraikan satu persatu pesoalan kesenian yang timpang menurut versinya sendiri.

Ia menyebutkan kesenian di negeri ini bagi sebagian kalangan hanya dijadikan ladang untuk mengeruk keuntungan dalam hal memperkaya diri pribadi. Belum ada kesadaran yang hakiki dan matlamat yang jelas bagi kesenian itu sendiri, lebih banyaknya kesenian di negeri ini hanya berupa seremonial belaka, tak ada yang menyentuh sampai ke hakikat dan proses inti dari berkesenian itu.
“Proses berkesenian itu seharusnya mampu memanusiawikan manusia,” ujarnya mantap sementara aku hanya mengangguk dan melongo.

Sungguh, saat itu dengan berapi-api ia juga menyebutkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pelaku seni dan seniman belum dilakukan dengan sepenuh hati. Terlalu besar ketelantaran ketimbang pengabdian yang diberikan. Sehingga seniman diibaratkan ada tetapi seperti tak ada. Kalaupun ada itu hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan. Maka banyaklah lahir seniman yang sedikit berkarya tetapi pandai mencari muka.

“Ini krisis,” katanya. Ia terdiam sejenak kemudian dengan nada yang sedikit lunak ia melanjutkan. “Mungkin benar kata kawanku, tak usah terlalu banyak berharap kepada orang lain, kalau ingin berkesenian yang berkaryalah dan berkesenian dengan caramu sendiri,” lalu ia menggenggam tanganku erat seraya mengajak pulang. Genggamannya itu aku simpulkan bahwa ia akhirnya setuju dengan tawaranku yang tertunda selama ini. Bahwa sudah sekian lama aku menuggu persetujuannya untuk menikah. Ternyata benar, tak berapa bulan kemudian kami pun menikah.

Malam kian larut dalam gelapnya. Sementara mataku yang tak bisa terpejam sepicingpun masih terus bergenang dalam lintas kenang tentang pembicaraan antara aku dan istriku dulu. Berusaha mencari titik terang dari sekian ratus ucapan yang telah dimuntahkannya. Tetapi tetap kebuntuan semu yang kutemukan.

Apakah ini akibat dari istriku yang telah sekian lama memendam kecintaan dan kerinduannya untuk menari sehingga diibaratkan letusan gunung api yang tiba pada saatnya harus memuntahkan semua, membinasakan apa saja tanpa kenal ampun. Hampir tak bisa kupercaya dan tak sampai pada akalku bahwa ada cinta dan rindu yang mampu meruntuhkan segala bahkan menghancurkan impian-impian yang telah dibangun bersama. Mungkinkah juga akan membunuh dirinya?

Renunganku tiba-tiba saja terhenti setelah mendengar gaduh di ruang tamu. Baru aku tersadar bahwa istriku telah tidak ada di tempat tidur. Entah bila masanya ia keluar. Aku bergegas menuju sumber suara yang sangat mengganggu di malam hari begini. Tidak hanya mengganggu seisi rumah ini tetapi kukira juga dengan volume suara yang cukup keras tersebut dapat membangunkan tetangga sekitarnya.

“Astaga…!” Lidahku tercekat. Badan serasa hilang semangat. Hampir tak dapat dipercaya atas apa yang kulihat.

Sehelai tikar telah terbentang di ruang tamu dikelilingi puluhan batang lilin di sampingnya. Dengan lampu yang temaram sedemikian berdirilah seorang penari yang tak lain tak bukan adalah istriku. Musik yang keras itu ternyata keluar dari tape mini compo yang terletak di atas bofet sebelah televisi.

Ia menari, ya… ia benar-benar menari. Sejenak aku beridiri terpaku serupa patung menyaksikan setiap inci gerakan tarian yang sedang dipersembahkan oleh istriku. Tak dapat disangkal, ia memang penari. Penari sejati. Nyaris saja aku larut dan terpukau lebih jauh jika tidak segera anak-anakku menyadarkanku dengan memeluk dan menggenggam tanganku.

Tasya dan Maya yang ikut terbangun oleh suara musik yang cukup keras volumenya itu hanya melongo di sisi kiri dan kananku. Aku pun berlutut dan segera memeluk mereka erat. Ada rasa iba dan miris yang tak dapat kubendung lagi hingga tanpa terasa air mata itu tumpah jua. Meski tak bisa kusebutkan untuk apa aku menangis.

Sungguh tak dapat kutebak pula tatapan kedua anakku yang lugu bercampur bingung menyaksikan semua yang terjadi di tengah malam buta ini. Sementara istriku yang kian tenggelam dalam gerak dan langkahnya terlihat semakin sampai ke klimaks. Ia berputar-putar bagaikan gasing. Lalu dengan sisa kesadaran, kuhampiri tape seraya mematikannya.

Istriku tersentak, terduduk lemas sambil napasnya tersengal-sengal. Tanpa menunggu lebih lama, aku pun menyerangnya dengan sungut yang bertubi-tubi.
“Apakah sudah hilang akal sehatmu?”
Dia hanya tertunduk diam.

“Coba kau lihat, sudah jam berapa sekarang ini? Dengar! Aku tidak pernah melarangmu untuk menari. Berkali-kali sudah kukatakan itu. Tetapi bukan begini caranya. Seperti orang gila saja.”
Ia mendongakkan kepalanya. Menatap tajam padaku. Sejenak aku bagai tertikam oleh tatapannya. Tapi emosiku sudah tak terbendung lagi.

“Menarilah, jika memang itu kehendakmu. Silakan… menarilah! tapi jangan kau ikutsertakan kegilaanmu itu pada anak-anakku. Malu! Aku… aku benar-benar malu kalau begini caranya. Hei… dengarkan. Apa otakmu tidak bisa kau gunakan lagi sehingga tak terpikir olehmu bahwa kita punya tetangga. Dengan suara musikmu yang memekakkan telinga itu telah mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain dan yang paling pasti kau telah mengganggu anak-anakku. Anak kita… Aggghh..!”

Seiring dengan itu kuhempaskan tape ke lantai tepat di hadapannya.  Ia yang masih menatap tajam padaku tak menghiraukan kepingan-kepingan tape yang hancur beserakan itu. Ia tiba-tiba berdiri dan terus berlari ke arah kamar, tak digubrisnya Tasya dan Maya yang kini mulai sengugukan menahan tangis. Terakhir kudengar pintu kamar dibanting dan terkunci. Kuncilah pintu itu selama kau mampu seperti aku yang akan mengunci pintu maaf untukmu jika tak segera kau memohon ampun pada suamimu, bathinku dalam hati.

***
Paginya barulah kusadari bahwa istriku telah pergi. Istriku penari sejati telah meninggalkan rumah. Istriku yang bernama Alifya Nurinsania telah meninggalkan aku dan anak-anakku. Aku terduduk lesu. Haruskah aku diam, marah barangkali, atau haruskah aku kesal? Mungkin saja aku harus berteriak untuk mengimbangi isi kepala yang sedang bergejolak. Entahlah! Belakangan aku kembali bertanya, akankah cinta juga bisa membunuh tuan pemiliknya?

Akhirnya begitulah, aku melewati hari-hari bersama kedua anak-anakku yang mungil. Hingga pada suatu malam yang diliputi rasa kehilangan aku berharap istriku kembali di sini sambil menyaksikan Tasya dan Maya yang sedang menari-nari di depan televisi yang memutar CD koleksi bundanya menari.***

Pulau Rindu, 14-19 Agustus 2010

Jefri al Malay

Entahlah! Belakangan aku kembali bertanya, akankah cinta juga bisa membunuh tuan pemiliknya?
Lama sudah ia tak menari. Sekitar enam  tahun begitulah. Mungkin ia rindu meliuk-lentukkan tubuhnya, melentikkan  jemari dan melangkah sesuai dengan rentak irama. Tarian demi tarian itu dulu pernah memanjakannya. Memberikan ruang untuk mengekspresikan hidup. Menari baginya adalah gerak kehidupan.

“Kenapa harus menari?’ tanyaku padanya ketika awal pertemuan dulu.
“Ada sisi dalam  kekehidupan yang harus diekspresikan dengan gerak tarian dan sisi itu adalah bagian yang sangat jauh di lubuk hatiku, sukar untuk diutarakan,” katanya sambil menyeka peluh yang masih tersisa di wajahnya.
“Sesukar apakah itu?” tanyaku ingin tahu.

“Tidak seperti yang kau bayangkan dan tak perlu diketahui. Mudahnya, hanya ingin menari dan menari selagi ada kesempatan,” jawabnya ketus dan kemudian meninggalkanku sendiri dengan segudang penasaran yang harus aku perjuangkan untuk mendapatkannya kelak.

Itu kisah yang lampau. Kisah di mana ia menguasai semua jenis tarian, langgam, joget, mak inang, zapin. Semua tarian Melayu ia kuasai bahkan beberapa tarian dari luar juga ia lahap sebisanya. Sedang aku dulu adalah penikmat setianya. Betapa aku terhipnotis bila melihat ia mulai menari di atas panggung. Persis sebuah ritual, ia melakukan gerakan demi gerakan secara total.

Dalam setiap gemulainya seolah mengandung pesona yang memabukkan. Di setiap langkah yang teratur rapi bagai menyulap kehidupan seharinya menjadi kehidupan yang penuh imaji di atas panggung. Kisah-kisah dalam tariannya itu menjelma hidup, seolah-olah berbicara dengan penonton yang hadir. Ah… sungguh aku terpesona.

Lalu, jadilah ia penari yang seharusnya patut diperhitungkan di negeri ini. Seorang penari yang benar-benar menari bila ia menari. Seorang penari yang tidak hanya mengandalkan kecantikan wajah, tidak hanya semata-mata memamerkan bentuk tubuh. Ia menari karena memang terpanggil untuk menari. Bagiku Ia adalah penari sejati.

Tapi perlukah aku jelaskan bagaimana kehidupan seorang penari setelah berada di luar panggung? Tentu saja tidak perlu karena semua pasti tahu, pekerja-pekerja seni di negeri ini semuanya hampir sama. Hanya dihargai bila ia diperlukan selebihnya tentu saja harus pandai-pandai untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Sebuah gambaran yang miris bila dikaitkan dengan visi dan misi di negeri bertuah ini.

Sekali lagi, semua itu hanyalah kenangan yang terbingkai indah baginya. Saat ini, perempuan itu telah terkurung tanpa ampun. Rumah… ya, rumah telah mengurungnya dan ia pun harus jatuh dalam pelukan seorang suami dan dua orang anaknya. Apakah ia tidak menari lagi? Tentu saja tetap menari karena baginya tarian adalah setiap gerakan dalam kehidupannya tetapi ia hanya menari untukku dan untuk segala tetek-bengek anak-anak kami saja.

Sosok istriku dulu memang seorang perempuan dengan seribu imaji dan impian tetapi aku sungguh tidak mengetahui di mana ia menyimpan semuanya itu setelah ia sah menjadi istriku. Aku hanya berpikir, barangkali hal itu tak perlulah dipertanyakan sebab memang sudah lumrah istriku seseorang yang selalu menyimpan apa saja yang menurutnya sulit untuk diutarakan.

Maka bermulalah kehidupan yang baru baginya. Dari kemegahan panggung, silau cahaya lampu, tepuk gemuruh tangan penonton ke sebuah alamat yang dinamakan rumah tangga.

Apakah ia menyesal? Kukira tidak! segala keputusan dan tindak tanduk yang kami lakukan adalah atas nama cinta. Cinta yang dulu kupahami sebagai perisai kekuatan untuk memulai segala sesuatu tetapi akankah demikian halnya? Entahlah! Belakangan aku kembali bertanya, akankah cinta juga bisa membunuh tuan pemiliknya?

Kecintaan istriku terhadap keluarga tak bisa diragukan lagi. Hal itu terlihat dari kesungguhannya mengurus anak-anak dan setia mendampingiku dalam keadaan apapun. Tetapi kecintaan kepada kehidupannya yang dulu juga tak dapat dihapus begitu saja. Seringkali aku melihat ia menari di sela-sela menyelesaikan pekerjaan rumah. Tetapi tentu saja aku anggap itu adalah hal yang wajar.
Pernah suatu kali ketika aku baru saja pulang dari kantor, terdengar olehku senandung yang begitu lirih keluar dari mulutnya. Senandung yang sayup-mayup, seolah-olah ada getaran kerinduan di dalamnya.

Sementara itu istriku terlihat menggerakkan tubuhnya perlahan-lahan seiring dengan senandung yang menjadi musik pengiringnya itu. Aku menyaksikan sambil bersembunyi di celah pintu dapur. Pakaian yang sedang dicuci ditinggalkan untuk beberapa saat. Ia begitu larut dalam tarian tersebut. Entah kenapa kemudian dalam sekali sentakan ia seperti baru tersadar dan menghentikan keterpesonaanku beserta tariannya.
Malam ketika baru saja kami selesai berbagi kehangatan, aku pun bertanya pada istriku “Kamu rindu menari?”

Ia hanya tersenyum. Senyum yang menyimpan segudang makna. Lalu ia segera berdiri, meninggalkan aku sendiri di tempat tidur. Tak berapa lama aku mendengar suara televisi di ruang tamu. Aku pun bangkit berdiri, menyusul istriku. Ternyata ia sedang menonton CD koleksi tariannya. Tersandar ia di kursi, matanya sedikitpun tak bergerak seolah menelan bulat-bulat pertunjukan tari yang sedang ditonton. Aku pun maklum akan hal itu dan berniat untuk tidak menganggunya.

Kulangkahkan kaki kembali menuju kamar tidur tetapi kemudian aku mendengar suaranya.
“Apa salahnya kalau aku rindu?”
Aku mengurungkan niatku dan kembali duduk di sebelahnya. “Tentu saja tidak salah,” jawabku sambil memeluknya.

“Bagaimana kalau kerinduanku ini tak terbendung lagi dan aku sejujurnya ingin menari kembali?”
Aku tersentak. Terdiam untuk beberapa saat. Bingung harus mengatakan apa. “Maksudmu?”
“Aku… aku terpanggil untuk menari dan aku harus menari seperti dulu,” jawabnya.

Untuk sesaat aku memandangnya. Mencoba mencari kebenaran dan kesungguhan atas ucapannya. Dari matanya yang tak lepas memandang pertunjukan tari yang sedang berlangsung, aku berkesimpulan bahwa Ia sedang tidak bercanda.
“Tapi apa sudah dipikirkan masak-masak? Maksudku, bagaimana dengan anak-anak dan pekerjaan di rumah ini?”

Ia hanya diam. Dan sejurus kemudian ada yang tumpah dari kedua belah matanya. Ia menangis. Sungguh aku berusaha untuk menyelami kesedihannya, dengan raut wajah tanpa ekspresi, air mata itu keluar menetes begitu saja. Mungkin inilah air mata kerinduan sekaligus mengandung kepedihan yang menyayat hati.

“Aku tidak bermaksud melarangmu. Tapi, marilah kita sama-sama berpikir dengan jernih. Tentu saja kita tidak bisa mencari pembantu untuk menggantikan tugasmu mengurusi anak-anak dengan gajiku yang tak seberapa ini. Maksudku, ya…lagipula bukankah kita sudah punya komitmen…”
Ucapanku terputus karena tiba-tiba jemarinya memencet remote dan layar televisi pun padam.

Sejenak hanya diam. Air mata itu tak terbendung lagi, mencurah serupa air bah di pipinya. Ia segera bangkit berdiri menuju ke kamar. Aku tinggal sendiri menatap layar televisi kosong, sekosong pikiranku saat itu.

Meskipun sudah berusaha, ternyata aku gagal untuk memahami kerinduannya untuk menari. Tentu saja, karena aku bukanlah seorang seniman. Aku hanya seorang pegawai yang bekerja di sebuah instansi pemerintah. Mana mungkin aku tahu dan memahami lebih dalam hakikat kerinduan dari sudut pandang kesenian. Tapi aku selalu berusaha menjadi suami yang baik. Seingatku, malam itulah merupakan awal dari petaka dalam keluargaku. Istriku tak bisa lagi diajak bicara. Padahal selama ini, komunikasi adalah hal yang selalu kuutamakan dalam keluarga meski pada kondisi apapun.

Tak ada lagi tarian disela pekerjaannya. Ia menjelma menjadi robot yang hanya bekerja mengurus anak-anak dan pekerjaan rutinnya sebagai ibu rumah tangga. Tak ada suara dan canda tawa. Tak ada lagi kemesraan yang seharusnya menjadi pondasi di rumah tanggaku ini.

Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Di samping membuat tidak nyaman, jangan-jangan nanti bisa mengganggu perkembangan dan pertumbuhan ke dua buah hatiku. Sebagai suami yang bijak, aku harus mencari jalan keluarnya. Maka pada suatu kesempatan kuajaklah istriku bicara.

Aku mengusulkan padanya untuk membuat sebuah sanggar kecil-kecilan. Kusuruh ia melatih anak-anak tetangga sekitarnya untuk menari. Setidaknya dalam pikiranku, kerinduannya itu sedikit banyaknya akan dapat terobati. Tetapi nampaknya usulanku itu tidak direspon dengan baik.
“Aku bukan pelatih, aku hanya penari,” katanya dengan tanpa ekspresi.

Aku tidak kehabisan akal. Selagi ada kesempatan kuulangi terus menerus usulanku itu dengan memeberkan berbagai alasan yang positif. Tetapi memang dasar istriku kepala batu. Ia hanya diam membisu, tidak menggubris sedikitpun saran yang kuberikan.

Hingga akhirnya aku betul-betul kewalahan, sesak dengan kondisi yang menimpa keluargaku ini. Tidak hanya pekerjaan yang terbengkalai akibat memikirkan semuanya malahan perhatian terhadap ke dua anakku pun menjadi berkurang. Padahal si Tasya yang baru berumur empat tahun dan adiknya si Maya berumur dua tahun seharusnyalah mendapat kasih sayang dan perhatian yang cukup.

Aku tiba-tiba menjadi sensitif, aku benar-benar sedih dibuatnya. Terkadang timbul juga keegoanku sebagai lelaki, sebagai suami yang sah. Bisa saja aku memerintah dengan paksaan kepada istriku untuk menjaga anak-anakku dengan baik. Lantas kalau ia tidak mau, berikan ia gertakan untuk mencerainya. Tetapi kemudian keegoaan itu padam seketika setiap kali Tasya dan Maya berhambur dalam pelukanku.

Saat kalut yang terus bergelayut inilah tiba-tiba aku teringat masa di mana aku dan istriku membuat komitmen untuk menikah. Ia yang mulai pesimis dengan dunia kesenian di negeri ini memutuskan untuk berhenti menari. Katanya butuh pengorbanan dan perjuangan yang besar untuk menjadi seniman. Sementara ia hanya seorang wanita yang tidak memiliki kedua hal tersebut.

“Ya… mungkin memang tidak mudah mendapat pengakuan untuk jadi seniman dan mempertanggungjawabkannya,” tuturku ketika itu sekedar berusaha mengikuti alur pembicaraannya meskipun tak sepenuhnya kupahami apa yang telah kukatakan. Tapi setidaknya setelah itu ia menguraikan satu persatu pesoalan kesenian yang timpang menurut versinya sendiri.

Ia menyebutkan kesenian di negeri ini bagi sebagian kalangan hanya dijadikan ladang untuk mengeruk keuntungan dalam hal memperkaya diri pribadi. Belum ada kesadaran yang hakiki dan matlamat yang jelas bagi kesenian itu sendiri, lebih banyaknya kesenian di negeri ini hanya berupa seremonial belaka, tak ada yang menyentuh sampai ke hakikat dan proses inti dari berkesenian itu.
“Proses berkesenian itu seharusnya mampu memanusiawikan manusia,” ujarnya mantap sementara aku hanya mengangguk dan melongo.

Sungguh, saat itu dengan berapi-api ia juga menyebutkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pelaku seni dan seniman belum dilakukan dengan sepenuh hati. Terlalu besar ketelantaran ketimbang pengabdian yang diberikan. Sehingga seniman diibaratkan ada tetapi seperti tak ada. Kalaupun ada itu hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan. Maka banyaklah lahir seniman yang sedikit berkarya tetapi pandai mencari muka.

“Ini krisis,” katanya. Ia terdiam sejenak kemudian dengan nada yang sedikit lunak ia melanjutkan. “Mungkin benar kata kawanku, tak usah terlalu banyak berharap kepada orang lain, kalau ingin berkesenian yang berkaryalah dan berkesenian dengan caramu sendiri,” lalu ia menggenggam tanganku erat seraya mengajak pulang. Genggamannya itu aku simpulkan bahwa ia akhirnya setuju dengan tawaranku yang tertunda selama ini. Bahwa sudah sekian lama aku menuggu persetujuannya untuk menikah. Ternyata benar, tak berapa bulan kemudian kami pun menikah.

Malam kian larut dalam gelapnya. Sementara mataku yang tak bisa terpejam sepicingpun masih terus bergenang dalam lintas kenang tentang pembicaraan antara aku dan istriku dulu. Berusaha mencari titik terang dari sekian ratus ucapan yang telah dimuntahkannya. Tetapi tetap kebuntuan semu yang kutemukan.

Apakah ini akibat dari istriku yang telah sekian lama memendam kecintaan dan kerinduannya untuk menari sehingga diibaratkan letusan gunung api yang tiba pada saatnya harus memuntahkan semua, membinasakan apa saja tanpa kenal ampun. Hampir tak bisa kupercaya dan tak sampai pada akalku bahwa ada cinta dan rindu yang mampu meruntuhkan segala bahkan menghancurkan impian-impian yang telah dibangun bersama. Mungkinkah juga akan membunuh dirinya?

Renunganku tiba-tiba saja terhenti setelah mendengar gaduh di ruang tamu. Baru aku tersadar bahwa istriku telah tidak ada di tempat tidur. Entah bila masanya ia keluar. Aku bergegas menuju sumber suara yang sangat mengganggu di malam hari begini. Tidak hanya mengganggu seisi rumah ini tetapi kukira juga dengan volume suara yang cukup keras tersebut dapat membangunkan tetangga sekitarnya.

“Astaga…!” Lidahku tercekat. Badan serasa hilang semangat. Hampir tak dapat dipercaya atas apa yang kulihat.

Sehelai tikar telah terbentang di ruang tamu dikelilingi puluhan batang lilin di sampingnya. Dengan lampu yang temaram sedemikian berdirilah seorang penari yang tak lain tak bukan adalah istriku. Musik yang keras itu ternyata keluar dari tape mini compo yang terletak di atas bofet sebelah televisi.

Ia menari, ya… ia benar-benar menari. Sejenak aku beridiri terpaku serupa patung menyaksikan setiap inci gerakan tarian yang sedang dipersembahkan oleh istriku. Tak dapat disangkal, ia memang penari. Penari sejati. Nyaris saja aku larut dan terpukau lebih jauh jika tidak segera anak-anakku menyadarkanku dengan memeluk dan menggenggam tanganku.

Tasya dan Maya yang ikut terbangun oleh suara musik yang cukup keras volumenya itu hanya melongo di sisi kiri dan kananku. Aku pun berlutut dan segera memeluk mereka erat. Ada rasa iba dan miris yang tak dapat kubendung lagi hingga tanpa terasa air mata itu tumpah jua. Meski tak bisa kusebutkan untuk apa aku menangis.

Sungguh tak dapat kutebak pula tatapan kedua anakku yang lugu bercampur bingung menyaksikan semua yang terjadi di tengah malam buta ini. Sementara istriku yang kian tenggelam dalam gerak dan langkahnya terlihat semakin sampai ke klimaks. Ia berputar-putar bagaikan gasing. Lalu dengan sisa kesadaran, kuhampiri tape seraya mematikannya.

Istriku tersentak, terduduk lemas sambil napasnya tersengal-sengal. Tanpa menunggu lebih lama, aku pun menyerangnya dengan sungut yang bertubi-tubi.
“Apakah sudah hilang akal sehatmu?”
Dia hanya tertunduk diam.

“Coba kau lihat, sudah jam berapa sekarang ini? Dengar! Aku tidak pernah melarangmu untuk menari. Berkali-kali sudah kukatakan itu. Tetapi bukan begini caranya. Seperti orang gila saja.”
Ia mendongakkan kepalanya. Menatap tajam padaku. Sejenak aku bagai tertikam oleh tatapannya. Tapi emosiku sudah tak terbendung lagi.

“Menarilah, jika memang itu kehendakmu. Silakan… menarilah! tapi jangan kau ikutsertakan kegilaanmu itu pada anak-anakku. Malu! Aku… aku benar-benar malu kalau begini caranya. Hei… dengarkan. Apa otakmu tidak bisa kau gunakan lagi sehingga tak terpikir olehmu bahwa kita punya tetangga. Dengan suara musikmu yang memekakkan telinga itu telah mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain dan yang paling pasti kau telah mengganggu anak-anakku. Anak kita… Aggghh..!”

Seiring dengan itu kuhempaskan tape ke lantai tepat di hadapannya.  Ia yang masih menatap tajam padaku tak menghiraukan kepingan-kepingan tape yang hancur beserakan itu. Ia tiba-tiba berdiri dan terus berlari ke arah kamar, tak digubrisnya Tasya dan Maya yang kini mulai sengugukan menahan tangis. Terakhir kudengar pintu kamar dibanting dan terkunci. Kuncilah pintu itu selama kau mampu seperti aku yang akan mengunci pintu maaf untukmu jika tak segera kau memohon ampun pada suamimu, bathinku dalam hati.

***
Paginya barulah kusadari bahwa istriku telah pergi. Istriku penari sejati telah meninggalkan rumah. Istriku yang bernama Alifya Nurinsania telah meninggalkan aku dan anak-anakku. Aku terduduk lesu. Haruskah aku diam, marah barangkali, atau haruskah aku kesal? Mungkin saja aku harus berteriak untuk mengimbangi isi kepala yang sedang bergejolak. Entahlah! Belakangan aku kembali bertanya, akankah cinta juga bisa membunuh tuan pemiliknya?

Akhirnya begitulah, aku melewati hari-hari bersama kedua anak-anakku yang mungil. Hingga pada suatu malam yang diliputi rasa kehilangan aku berharap istriku kembali di sini sambil menyaksikan Tasya dan Maya yang sedang menari-nari di depan televisi yang memutar CD koleksi bundanya menari.***

Pulau Rindu, 14-19 Agustus 2010

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru