29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Perjanjian Berdarah

Cerpen  Maulana Satrya Sinaga

Perempuan itu selalu ke pantai ini saat maghrib menjelang. Kau akan menemukannya antara ambang senja dan malam. Ia akan datang apabila langit sudah mulai memerah dan pulang ketika malam mulai merayap perlahan.

Namanya Raishya, kau akan heran mengapa ia suka ke pantai ini. Mengapa pula tiap hari ia lakukan. Duduk diam, atau sekadar berbicara sendiri dan mengukir nama di pasir-pasir pantai. Wajar kau heran, karena  kau pendatang.

Tapi bagi kami itu adalah hal yang lumrah dan sudah jadi biasa karena kebiasaannya.
Akan aku ceritakan sedikit. Agar kau mengerti Soleh. Begini.

Raishya dan Ahmad saling mencintai. Mereka mengenal buih-buih di dada tatkala mulai tamat SMA. Juga tatkala di malam hari, sepulang mengaji dari rumah Haji Tole. Ahmad menunggu Raishya dan mengantarnya pulang. Ada senyum dan tawa yang meliuk-liuk persis obor yang mereka bawa di sepanjang jalanan pulang.

Sungguh Wak Reman –ayah Raishya– hanya menyangka mereka teman, tidak akan jauh-jauh kisahnya, kalau tau mereka sampai seserius ini. Tentu, dari dahulu Wak Reman tak akan membiarkan tiga tahun ini mereka selalu pulang dan berjumpa bersama. Belum lagi acara jalan diam-diam yang Wak Reman tidak ketahui. Baik itu menanggok anak udang di pinggiran. Atau mengadu rama-rama lalu terpingkal-pingkal tertawa.
“Sudah bulatkah tekad kau Raishya?”

“Sudah Bang Ahmad, Aku hanya nak kawin dengan kau. Bawalah aku pergi jauh dari sini,” mereka berdua menghembus nafas, menyatukannya dengan angin-angin laut.

Ahmad masih bimbang, belum-belum bulat tekadnya. Sebulat purnama yang tengah menggantung di langit yang jadi saksi pertarungan batin hati mereka berdua. Kalau saja tangannya mampu mengengkol mesin itu, tentu sedari dua puluh menit yang lalu, mereka sudah sangat jauh dari pesisir ini dan memulai hidup baru berdua.

“Apa yang kau tunggu Bang, kau masih memikirkan ibu?”
‘Ya, Raishya. Kasihan ibu?”

“Lantas bagaimana? Kalau kau tak cepat. Orang-orang ayahku akan membacok kita. Lihat obor di bukit sana. Sudah mulai mendekat.”
Ahmad bingung, mulai keluar butiran keringat jagung. Kali ini ia merasakan angin laut tak mampu membayar sedikit panas tubuhnya. Selalu. Pikiran andai-andai itu muncul. Dan itu yang kadang tak disukai Raishya.

“Andai aku anak orang berada, andai aku juga juragan sampan seperti ayahmu Raishya, andai orang tuamu tak memandangku hina, andai orang tuamu menyetujui hubungan kita.” selalu itu yang ada di batin Ahmad. Tapi Raishya berulang kali menawarkan dan menimang-nimang hatinya.
“Tak perlu andai-andai Bang, aku mencintaimu apa adanya. Bang Ahmad Sang Muadzin langgar dan nelayan yang ramah serta baik budi dan perangainya.”

Lantas, Ahmad memikirkan ibunya yang sebatang kara. Yang ditinggal ayahnya saat Ahmad mulai pandai merangkak. Kata orang-orang ayahnya melaut di saat badai hebat dan tak kembali sampai saat ini.

Ia kerap membantu ibunya mengecat sampan orang. Menyulam daun nipah jadi atap. Atau membetulkan jala-jala nelayan yang rusak. Semua ia kerjakan demi anaknya Ahmad, agar bisa jadi orang, agar hidup berkecukupan.
Aikh, sekarang dada Ahmad tengah dilanda mendung oleh tatapan Raishya yang sedang ketakutan dan memandang Ahmad agar cepat mengambil keputusan sambil tangannya gemetaran memegang tepian sampan.

“Kalau abang tak mengengkol juga, biarlah sampan ini adik kayuh.”
“Tunggu sebentar, aku sedang berfikir Raishya.”

“Tak akan sempat Bang, putuskan sekarang!”

Memang ibu Ahmad tau prihal kedekatan mereka. Berulang ibunya berkata “Tak usahlah sama dia, cari orang yang sekelas kita. Payah ntar urusannya karang.” Dan benar, sekarang memang benar-benar payah urusannya. Tapi, walau begitu dan tau mereka akan pergi jauh entah kemana menuju laut. Ibunya tetap berpesan. “Ya sudah kalau Nak Pigi, doa ibu menyertai kalian. Cepatlah dikit. Sebelum orang-orang itu menangkap kalian.”
Sungguh, Ahmad tak berpikir panjang. Di akalnya hanya ada cinta. Sekarang ia baru memikirkan betapa sangat susah mengucapkan kata-kata yang mengandung air mata dari ibunya itu.

“Raishya, kita tak jadi pergi.”

“Apa Bang, yang benar saja. Kalau tak pergi, kau akan dihakimi dan aku akan dinikahkan dengan orang lain. Kau akan tersiksa dan aku  juga, pikirkan Bang.” Mata Raishya berkaca-kaca menatap Ahmad. Ahmad masih menunduk. Ia menyesal mengajak Raishya memilih jalan ini.
“Ini sudah keputusanku Raishya, Pulanglah.” Raishya tidak percaya, mengapa lelaki yang selalu manis janjinya ini semudah itu sekarang mengambil keputusan ini. Raishya mengeluarkan air  mata. Ia menggeleng tak percaya. Mengangkat kain dan turun dari sampan.
“Kau payah Bang, Kau payah!” perempuan itu berlari entah kemana. Batin Ahmad. Semoga ia pulang.

“Hey, Ahmad penculik anak gadis orang.” Teriak Bang Gantang -tangan kanan Ayah Raishya- yang tugasnya selalu mengutip hutang-hutang orang. Tapi kali ini ia tak menangih hutang. Tapi menagih sedikit penyesalan di wajah Ahmad karena telah berani mendekati anak juragan.
Langsung saja, tiga orang memukuli Ahmad. Sampan bergoyang, bercak darah memerahkan pijakan-pijakan sampan. Setelah dirasa puas, mereka turun dan pergi, yang sebelumnya berucap.

“Kalau tak mau nyawa melayang, jauhi Raishya. Jangan sejengkal pun kau dekati dia. “ Ahmad mengangguk pelan. Sepelan nafasnya yang sengal dan berat. Ia turun perlahan, berniat menjumpai ibu di tengah darah-darah yang membasah badan.

Pintu digedor. Ahmad berulang mengucap salam. Tak juga terbuka, ia mengintip di jendela. Tempat biasa ia membangunkan ibunya dikala pulang kemalaman. Ia melihat tubuh ibunya diam. Ia melihat tubuh ibunya bersimbah darah. Ia melihat di perut ibunya tertikam sebuah parang.
“Bajingan kau Reman, Bajingan!”

Ahmad entah dapat kekuatan darimana, mendobrak pintu belakang. Ia memeluk tubuh ibunya yang mulai membiru di ruang tengah. Ia mengambil parang yang tertancap. Berlari menuju rumah paling besar di kampung.

Ahmad kesetanan, ia berteriak-teriak di gerbang. “Reman keluar kau, Akan Aku tetas kepalamu hingga berlubang. Keluar!”
Sontak ketiga anak buah Reman menghentikan, namun sekali-dua kali tebasan, tubuh ketiga anak buahnya tumbang dan nyawa melayang. Ahmad tersenyum ketika membelah dada Bang Gantang, “Ini yang paling ditakuti di kampung. Tak ada apa-apanya.”

Ia menaiki tangga, terlihat Wak Reman berlari ke dalam. Terjatuh, mengasuh ke lantai. Merangkak mundur. “Maaf, Ahmad. Maaf, Aku tak bermaksud membunuh ibumu. Anak buahku yang keterlaluan.”

“Diam kau!!” dan. Bercak darah memercik ke kepala Ahmad. Wak Reman diam, tak lagi bersuara. Kepalanya terpisah dari tubuh. Raishya yang menyaksikan peristiwa itu di depan mata diam tak bersuara. Hanya jeritan ibunya yang membangunkan warga sekampung. Dan, membawa Ahmad entah kemana. Ada yang bilang, ia dibakar di pinggiran tebing.

Malam itu malam berdarah, setelah Raishya dan Ahmad pada petangnya berjanji pergi, jauh, lalu menikah.
***

Nah, Soleh. Perempuan menawan yang kau lihat sering ke pantai. Sudah terjawab bukan? Kau sering menanyakan siapa  nama yang selalu ia ukir di bibir pantai : Reman dan Ahmad. Itulah dua orang yang ia cintai.

Ia tidak gila, hanya keterkejutan yang membuat ia masih tak percaya dan lebih memilih diam. Meski tiga tahun peristiwa itu terlewatkan.
Kalau kau berminat untuk mencintainya. Berpikirlah ulang.

“Lalu, kenapa Uwak seberat itu menceritakannya kepadaku?”
“Akh, aku tak tau bakal panjang urusannya. Andai aku dulu pulang, dan tak menikah dengan janda kaya di seberang.” Kata lelaki tua itu sembari membersihkan nisan istri dan anaknya : Ahmad.

Belawan, Januari 2012

Cerpen  Maulana Satrya Sinaga

Perempuan itu selalu ke pantai ini saat maghrib menjelang. Kau akan menemukannya antara ambang senja dan malam. Ia akan datang apabila langit sudah mulai memerah dan pulang ketika malam mulai merayap perlahan.

Namanya Raishya, kau akan heran mengapa ia suka ke pantai ini. Mengapa pula tiap hari ia lakukan. Duduk diam, atau sekadar berbicara sendiri dan mengukir nama di pasir-pasir pantai. Wajar kau heran, karena  kau pendatang.

Tapi bagi kami itu adalah hal yang lumrah dan sudah jadi biasa karena kebiasaannya.
Akan aku ceritakan sedikit. Agar kau mengerti Soleh. Begini.

Raishya dan Ahmad saling mencintai. Mereka mengenal buih-buih di dada tatkala mulai tamat SMA. Juga tatkala di malam hari, sepulang mengaji dari rumah Haji Tole. Ahmad menunggu Raishya dan mengantarnya pulang. Ada senyum dan tawa yang meliuk-liuk persis obor yang mereka bawa di sepanjang jalanan pulang.

Sungguh Wak Reman –ayah Raishya– hanya menyangka mereka teman, tidak akan jauh-jauh kisahnya, kalau tau mereka sampai seserius ini. Tentu, dari dahulu Wak Reman tak akan membiarkan tiga tahun ini mereka selalu pulang dan berjumpa bersama. Belum lagi acara jalan diam-diam yang Wak Reman tidak ketahui. Baik itu menanggok anak udang di pinggiran. Atau mengadu rama-rama lalu terpingkal-pingkal tertawa.
“Sudah bulatkah tekad kau Raishya?”

“Sudah Bang Ahmad, Aku hanya nak kawin dengan kau. Bawalah aku pergi jauh dari sini,” mereka berdua menghembus nafas, menyatukannya dengan angin-angin laut.

Ahmad masih bimbang, belum-belum bulat tekadnya. Sebulat purnama yang tengah menggantung di langit yang jadi saksi pertarungan batin hati mereka berdua. Kalau saja tangannya mampu mengengkol mesin itu, tentu sedari dua puluh menit yang lalu, mereka sudah sangat jauh dari pesisir ini dan memulai hidup baru berdua.

“Apa yang kau tunggu Bang, kau masih memikirkan ibu?”
‘Ya, Raishya. Kasihan ibu?”

“Lantas bagaimana? Kalau kau tak cepat. Orang-orang ayahku akan membacok kita. Lihat obor di bukit sana. Sudah mulai mendekat.”
Ahmad bingung, mulai keluar butiran keringat jagung. Kali ini ia merasakan angin laut tak mampu membayar sedikit panas tubuhnya. Selalu. Pikiran andai-andai itu muncul. Dan itu yang kadang tak disukai Raishya.

“Andai aku anak orang berada, andai aku juga juragan sampan seperti ayahmu Raishya, andai orang tuamu tak memandangku hina, andai orang tuamu menyetujui hubungan kita.” selalu itu yang ada di batin Ahmad. Tapi Raishya berulang kali menawarkan dan menimang-nimang hatinya.
“Tak perlu andai-andai Bang, aku mencintaimu apa adanya. Bang Ahmad Sang Muadzin langgar dan nelayan yang ramah serta baik budi dan perangainya.”

Lantas, Ahmad memikirkan ibunya yang sebatang kara. Yang ditinggal ayahnya saat Ahmad mulai pandai merangkak. Kata orang-orang ayahnya melaut di saat badai hebat dan tak kembali sampai saat ini.

Ia kerap membantu ibunya mengecat sampan orang. Menyulam daun nipah jadi atap. Atau membetulkan jala-jala nelayan yang rusak. Semua ia kerjakan demi anaknya Ahmad, agar bisa jadi orang, agar hidup berkecukupan.
Aikh, sekarang dada Ahmad tengah dilanda mendung oleh tatapan Raishya yang sedang ketakutan dan memandang Ahmad agar cepat mengambil keputusan sambil tangannya gemetaran memegang tepian sampan.

“Kalau abang tak mengengkol juga, biarlah sampan ini adik kayuh.”
“Tunggu sebentar, aku sedang berfikir Raishya.”

“Tak akan sempat Bang, putuskan sekarang!”

Memang ibu Ahmad tau prihal kedekatan mereka. Berulang ibunya berkata “Tak usahlah sama dia, cari orang yang sekelas kita. Payah ntar urusannya karang.” Dan benar, sekarang memang benar-benar payah urusannya. Tapi, walau begitu dan tau mereka akan pergi jauh entah kemana menuju laut. Ibunya tetap berpesan. “Ya sudah kalau Nak Pigi, doa ibu menyertai kalian. Cepatlah dikit. Sebelum orang-orang itu menangkap kalian.”
Sungguh, Ahmad tak berpikir panjang. Di akalnya hanya ada cinta. Sekarang ia baru memikirkan betapa sangat susah mengucapkan kata-kata yang mengandung air mata dari ibunya itu.

“Raishya, kita tak jadi pergi.”

“Apa Bang, yang benar saja. Kalau tak pergi, kau akan dihakimi dan aku akan dinikahkan dengan orang lain. Kau akan tersiksa dan aku  juga, pikirkan Bang.” Mata Raishya berkaca-kaca menatap Ahmad. Ahmad masih menunduk. Ia menyesal mengajak Raishya memilih jalan ini.
“Ini sudah keputusanku Raishya, Pulanglah.” Raishya tidak percaya, mengapa lelaki yang selalu manis janjinya ini semudah itu sekarang mengambil keputusan ini. Raishya mengeluarkan air  mata. Ia menggeleng tak percaya. Mengangkat kain dan turun dari sampan.
“Kau payah Bang, Kau payah!” perempuan itu berlari entah kemana. Batin Ahmad. Semoga ia pulang.

“Hey, Ahmad penculik anak gadis orang.” Teriak Bang Gantang -tangan kanan Ayah Raishya- yang tugasnya selalu mengutip hutang-hutang orang. Tapi kali ini ia tak menangih hutang. Tapi menagih sedikit penyesalan di wajah Ahmad karena telah berani mendekati anak juragan.
Langsung saja, tiga orang memukuli Ahmad. Sampan bergoyang, bercak darah memerahkan pijakan-pijakan sampan. Setelah dirasa puas, mereka turun dan pergi, yang sebelumnya berucap.

“Kalau tak mau nyawa melayang, jauhi Raishya. Jangan sejengkal pun kau dekati dia. “ Ahmad mengangguk pelan. Sepelan nafasnya yang sengal dan berat. Ia turun perlahan, berniat menjumpai ibu di tengah darah-darah yang membasah badan.

Pintu digedor. Ahmad berulang mengucap salam. Tak juga terbuka, ia mengintip di jendela. Tempat biasa ia membangunkan ibunya dikala pulang kemalaman. Ia melihat tubuh ibunya diam. Ia melihat tubuh ibunya bersimbah darah. Ia melihat di perut ibunya tertikam sebuah parang.
“Bajingan kau Reman, Bajingan!”

Ahmad entah dapat kekuatan darimana, mendobrak pintu belakang. Ia memeluk tubuh ibunya yang mulai membiru di ruang tengah. Ia mengambil parang yang tertancap. Berlari menuju rumah paling besar di kampung.

Ahmad kesetanan, ia berteriak-teriak di gerbang. “Reman keluar kau, Akan Aku tetas kepalamu hingga berlubang. Keluar!”
Sontak ketiga anak buah Reman menghentikan, namun sekali-dua kali tebasan, tubuh ketiga anak buahnya tumbang dan nyawa melayang. Ahmad tersenyum ketika membelah dada Bang Gantang, “Ini yang paling ditakuti di kampung. Tak ada apa-apanya.”

Ia menaiki tangga, terlihat Wak Reman berlari ke dalam. Terjatuh, mengasuh ke lantai. Merangkak mundur. “Maaf, Ahmad. Maaf, Aku tak bermaksud membunuh ibumu. Anak buahku yang keterlaluan.”

“Diam kau!!” dan. Bercak darah memercik ke kepala Ahmad. Wak Reman diam, tak lagi bersuara. Kepalanya terpisah dari tubuh. Raishya yang menyaksikan peristiwa itu di depan mata diam tak bersuara. Hanya jeritan ibunya yang membangunkan warga sekampung. Dan, membawa Ahmad entah kemana. Ada yang bilang, ia dibakar di pinggiran tebing.

Malam itu malam berdarah, setelah Raishya dan Ahmad pada petangnya berjanji pergi, jauh, lalu menikah.
***

Nah, Soleh. Perempuan menawan yang kau lihat sering ke pantai. Sudah terjawab bukan? Kau sering menanyakan siapa  nama yang selalu ia ukir di bibir pantai : Reman dan Ahmad. Itulah dua orang yang ia cintai.

Ia tidak gila, hanya keterkejutan yang membuat ia masih tak percaya dan lebih memilih diam. Meski tiga tahun peristiwa itu terlewatkan.
Kalau kau berminat untuk mencintainya. Berpikirlah ulang.

“Lalu, kenapa Uwak seberat itu menceritakannya kepadaku?”
“Akh, aku tak tau bakal panjang urusannya. Andai aku dulu pulang, dan tak menikah dengan janda kaya di seberang.” Kata lelaki tua itu sembari membersihkan nisan istri dan anaknya : Ahmad.

Belawan, Januari 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/