27.8 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Tentang Sakit (Gigi)

Oleh Rezi Gustiadi

Entah ikut merasakan, entah ingin tahu atau sekedar penasaran. Belum pernah kurasakan sakit yang benar-benar luar biasa seperti dialami olehnya. bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, ‘hipersupersensitif’, tidak mau makan, ingin tidur tapi tidak bisa dan segala ‘tetekbengek’nya. Dilanda perhatian, kutanya ia baik-baik. Ia bungkam, menyendiri di sudut ruangan. Tangannya menopang Pipi sebelah kanan dengan sangat kuat, bahkan jarang ia lepaskan.

Sedikit tertawa kunikmati caranya ‘menikmati’ sakit. sakit yang menurut sebagian orang merupakan sebuah sign perlindungan bila tubuh mengalami kerusakan. Sakit yang menurut sebagian orang merupakan suatu rasa atau pengalaman emosional yang orang tersebut akan berusaha untuk menghilangkannya. Sakit yang dirasa semakin parah jika mendapat rangsangan dari luar, dari lingkungan, akibat kelelahan, kesendirian, tumpukan masalah dan rasa yang pernah dialami sebelumnya, dan ada yang mengganggap bahwa sakit adalah kutukan.

Entah sekedar penasaran, entah ingin tahu, ikut merasakan, atau salah persepsi. ‘Menurut sebagian orang’ adalah juru kunci yang kadang tidak berlaku untuknya. Aku belum pernah melihatnya bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, ‘hipersupersensitif’, tidak mau makan, dan segala tetekbengeknya ketika telapak kakinya berdarah dan berlubang dalam saat ia berkelana ke hutan dan ditusuk tiga buah duri besar. Padahal salah satu tubuhnya mengalami kerusakan. ia seperti tidak bereaksi untuk menghilangkannya. untuk pengalaman emosionil sekalian pun, ia -menurut pandanganku –  tidak merasakan.  Saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan suami orang.

Padahal saat itu ia sendiri. Padahal saat itu ia kelelahan menerima interfensi dan gossip panas dari lingkungan sekitarnya. bahkan ada yang mengganggap itu adalah kutukan untuknya. Padahal ia belum pernah mengalami hal tersebut sebelumnya.

***
Mengendap-endap, kubuka pintu ruangan seperti maling yang takut tertangkap basah. Sedikit tertawaku mengandung keanehan yang dahsyat. Aku melongok. Kebungkamannya kadang mendadak padam atau kumat. Sesekali berdiri, melepaskan tangan di pipi kanan namun tetap di sudut ruangan. Matanya kadang melebar lalu menyempit. Aku berjalan mendekat hingga pandangannya berubah. Kuraih lengan tangan kanannya yang masih menyiku pipi. Sedikit tawaku padam. Kunikmati caranya menggambarkan dan bereaksi terhadap rasa hingga menimbulkan gejala.

Terdengar dan terasa olehku hembusan dan bau nafasnya. Caranya mendesah seperi sehabis makan cabe. Cepat, namun lembut terdengar.
“Bang…”, lembut ia beringsut. Nafasnya menghilang. Tanganku merenggang. Aku mematung sekian menit di ruangan. Mendadak ia kumat. Desahannya memanjang. Pipinya tertekan kuat. Matanya menyipit dengan puncak hidung yang mengkerut. Seperti Merasa tidak tahan, ia menghentakkan kakinya sesekali. Oh…wajahnya, kuyu dan sangat kentara.

penasaran menyandarkanku ke dinding ruangan karena aku hampir kehilangan keseimbangan, seolah-olah aku yang mengalami sakit. seolah-olah tubuhku yang rusak. Seolah-olah sakitnya membuatku berusaha untuk menghilangkannya. Seratus persen aku yakin ini bukan kutukan.
Penasaran lebih menghantuiku dari sekedar ingin tahu atau ikut merasakan. Kutelusuri kata ‘sakit’ di Google. Kudapati milyaran hasil dalam sekian milidetik. Tidak mungkin ku ketahui seluruh hasil itu.

Penasaran menghantarkanku ke sebuah situs tentang sejarah sakit. Defenisi, macam-macam, batas ambang dan lain sebagainya. Ternyata toleransi terhadap sakit dan usaha mengatasinya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan lebih besar pada pria dibanding wanita.

***
Sarung hitamku menyambar lantai. Dengan tangan di pinggang aku mematung di depan sebuah cermin besar. Kuperhatikan wajahku dari leher hingga ujung kepala. Karena kelimpungan, senyumku melebar. Kudekatkan wajahku ke depan cermin. Masih tetap seperti biasa, sudut bibirku masih di depan gigi yang sama dan gusi depan yang tetap muncul ketika aku senyum. Gumy’s smile. Penasaran, rahang bawah kuturunkan. Terlihat lidah, anak lidah, langit-langit, jaringan mulut, dan yang teristimewa dan membuatku penasaran. Gigi!

Sambil beringsut, mulutku katup dan berfikir. Kenapa mesti gigi? Apa istimewanya gigi?
Karena Gigi yang membuatnya menggulinjang, gigi yang membuatnya tidak mau makan, gigi yang membuatnya tetap tidak mau bercerita sedikit pun denganku. Karena dia hipersupersensitif. Gigi yang membuat tangannya tetap bersandar di pipi kanannya, sambil mendesah pendek-panjang, tidak tergesa-gesa karena ia tidak makan cabe. Gigi membuatnya merasakan sakit. Rasa yang seharusnya ada ketika ia ditinggal kawin pacarnya. Ketika ditusuk tiga duri besar.

Sedikit tertawaku padam tanpa sisa, caraku menikmatinya menikmati sakit berubah sesuai dengan frekuensi kumatnya. Di depan cermin aku bergumam sendiri. apakah kakinya kurang bersaraf untuk merasakan sign kerusakan? Atau telapak kakinya terlalu tebal? Tidak merasa tersiksa dengan emosionilnya? Kekasihnya? Interfensi lingkungan ? Kesendirian ?

Abang…, entah ikut merasakan atau sekedar ingin mencari solusi sakitmu. Aku tertawa melihatmu diserang sakit, walau sedikit. Karena baru kali ini aku melihatmu mendapati rasa yang seharusnya muncul ketika dirimu butuh perlindungan. Tapi  dirimu menetap untuk bungkam. Bagiku kamu tidak pernah merasakannya, atau bersembunyi dariku? Atau sakit memberengus mulutmu  sehingga kamu tidak mau bicara denganku? Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Aku tidak tahan melihatmu merangkul badanmu sendiri, mengatupkan mulut sesekali dengan kuat dan saling mengadu gigi dengan kekuatan rahang. Tapi apa daya.

***
Dokter gigi itu sedikit prihatin ketika aku dan abang yang terkesan berwibawa dan menarik masuk ke ruang prakteknya. Setelah ia periksa giginya, aku dipersilahkan menunggu di luar. Tidak berapa lama, ia mengajakku bicara.

Baru sadar betapa pentingnya gigi sebagai aset dalam jajaran elemen tubuh. Kali ini memang tidak mengganggu penampilan karena hanya gigi belakangnya yang terlibat, tapi berpengaruh besar pada kualitas hidupnya. Rutinitas ke dokter gigi tidak hanya sekedar melakukan pembersihan, tapi juga memberikan gambaran menyeluruh tentang gigi. kunikmati cara dokter itu memberikan nasehat pada abang di depanku. Keanggunannya, ketenangannya menghadapi abang, dan caranya berkonsultasi dengannya.

***
Di pinggir tempat tidur, aku merayap hati-hati. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Senyap
***

Tentang sakit. Tentang aku.  Abang. Bingung.  Tidak jelas. Perjodohan. Ketidakpedulian.  Bertepuk sebelah tangan. Disangka cinta. Kelimpungan. Sabar. Kasihan. Serta segala tetek bengeknya yang  ber ‘kongkalingkong’ dengan mesra. Tentang aku, abang dan beberapa orang lain, termasuk mantan pacarnya pergi berkelana ke hutan. Mencari sesuatu di balik ketenangan. Mengharapkan suatu rasa meledak ketika ia benar-benar harus ada. ketika tiga duri besar yang menerjam sepatu tipisnya hingga menancap telapak kaki yang keratinnya tidak terlalu tebal. Darah tak menjadi sign baginya. Tidak melakukan perlindungan. Tertutup dengan sensasi alam bebas. Tidak berasa sampai kaus kakinya membusuk luar biasa ketika sampai di rumah. Sebatang rokok habis dilumatnya. Kopi. Coklat. Tidur. Tidak gosok gigi!

Tentang sakit. Tentang abang. Kadang bingung. Kadang tidak jelas. Tidak dianggap. Sering membungkam. Terpaksa menerima. Tentang aku. Tinggal bersama. Yang belum mengikat resmi dengannya. Terpasung dengan seluruh rasa dan tetekbengeknya yang berkongkalingkong mesra.  Tentang aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tenang. Tanpa rasa. Tiga batang rokok habis dilumatnya. Whiskey. Kopi. Coklat. Tidur. Tidak gosok gigi!

Esok. Aku. abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tetap tenang. Tanpa rasa. Menambah satu batang rokok dilumatnya. Whiskey. Kopi. Coklat. Sensasi. Tidur. Tidak gosok gigi!

Esoknya lagi. Aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tetap tenang. Tidak terasa sakit. Menambah satu batang rokok dilumatnya.  Whiskey. Kopi. Coklat. Sensasi. Tanpa ecstasy. Tidur. Tidak gosok gigi!

Esok dan esoknya lagi. Hingga beberapa hari.  Aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka penuh ekspresi yang saling berkongkalingkong. Tenang. Tanpa terlihat sakit. Menambah satu batang rokok dilumatnya. Whiskey. Tanpa kopi. Coklat. Sensasi. Tanpa ecstasy. Tidur. Tidak gosok gigi!
Tetangga seolah-olah bersilaturahmi. Membawa bingkisan khas Jambi. Yang notabene ingin mendapatkan informasi. Justru sebaliknya. Aku yang mendapat informasi. Karena selama ini abang membungkam. Membuatku bingung. Tidak jelas. Disangka cinta. Kelimpungan. Eh ternyata bertepuk sebelah tangan. Tidak dianggap. Sabar. Dan tetangga merasa kasihan.

Tetangga yang memergokinya sekali bergumul dengan mantan kekasihnya di dalam mobil sebelum ia masuk ke rumah. Tetangga yang mendapat gossip dari tetangga tentang mereka yang bertengkar hebat karena mendapati kekasihnya yang berselingkuh dengan suami orang. Tetangga yang merasa kehadiranku yang membuat mereka bergumul. Merayap mobil masuk pagar yang sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, seperti maling yang takut tertangkap basah.

Aku yang baru mengetahi semua. Tentang suatu rasa atau pengalaman emosionil yang orang tersebut akan berusaha untuk menghilangkannya. Namun tidak baginya. Karena ‘menurut sebagian orang’ sama sekali tidak berlaku baginya.

Entah sekedar penasaran, entah ingin tahu, ikut merasakan, atau salah persepsi. Aku yang menemaninya menunggu suatu rasa yang seharusnya meledak saat kakinya ditusuk tiga duri besar. Aku -yang belum tahu- menemaninya menghabiskan sebatang rokok. Menambah sebatang tiap hari. Kopi. Coklat. Beranjak ke whiskey. Seolah-olah mendapat sensasi. Tanpa pernah menyinggung ecstacy. Aku yang mendapatinya pulang dengan wajah datar. Sesekali dengan macam ekspresi yang berkonkalingkong.

Entah aku yang salah persepsi. Seolah-olah ia tidak merasakan sakit. sakit yang seharusnya ada dan dirasa semakin parah karena rangsangan lingkungan. Karena tetangga yang sering datang seolah-olah bersilaturahmi -dengan atau tanpa bingkisan khas Jambi- berkerumun satu-satu dengan sengaja mendatangkan tukang sayur keliling di depan pagar rumah.  Rasa yang seharusnya semakin parah karena ia sendiri. Tidak pernah berbagi cerita denganku. Karena aku dianggap tiada. Karena semua perjodohan. Karena aku semua. Orang tuanya. Kekasihnya. Selingkuhannya. Rokok. Kopi. coklat. Whiskey. Ecstacy. Semua. Semua. Semuaaa.

***
Entah ikut merasakan, entah ingin tahu atau sekedar penasaran. Sering kudapati abang sedang menggulung diri. Sesekali ia bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, hipersupersensitif, tidak mau makan, ingin tidur tapi tidak bisa dan segala tetekbengeknya. Dilanda perhatian, kutanya ia baik-baik. Ia tetap membungkam, menyendiri di sudut ruangan. Tangannya menopang Pipi sebelah kanan dengan sangat kuat, bahkan jarang ia lepaskan.

Walau tersiksa, sedikit tertawa kunikmati caranya menikmati rasa yang seharusnya ada ketika kakinya ditusuk tiga duri besar walau tertutup dengan sensasi alam bebas. Rasa yang entah ada atau tidak ketika memergoki kekasihnya berselingkuh dengan suami orang. yang seharusnya diperparah dengan kesendiriannya dan Terjaman gossip tetangga, melalui silaturahmi basi dan tukang sayur keliling.

Dimulai dari penasaran, yang menyandarkanku ke dinding ruangan karena aku hampir kehilangan keseimbangan, seolah-olah aku yang mengalami sakit hingga menghantarkanku ke sebuah cermin besar, memperhatikan gumy’s smile. Sudut mulut. Lidah dan anaknya. langit-langit. Jaringan mulut. Gusi. Dan Gigi. yang membuatnya menggulinjang. yang membuatnya tidak mau makan. Tetap tidak mau bercerita sedikit pun. Membuatnya hipersupersensitif. Tangannya tetap bersandar di pipi kanannya, sambil mendesah pendek-panjang.

***
Sedikit tawaku padam tanpa sisa ketika kami datang ke dokter gigi atas perintah orang tuanya.  Kunikmati cara dokter itu memberikan nasehat pada abang di depanku. Keanggunannya, ketenangannya menghadapi abang, dan caranya berkonsultasi dengannya.
Penasaran yang menghantarkanku ke sebuah situs tentang sejarah sakit. defenisi, macam-macam, batas ambang dan lain sebagainya yang ternyata berkorelasi dengan konsultasiku dengan dokter gigi.

Bahwa  persepsi sakit bersifat individual. Toleransi terhadap sakit dan usaha mengatasinya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan lebih besar pada pria dibanding wanita.

Aku yakin didalam hati pasti ia menjerit ketika ditusuk kakinya oleh tiga duri besar. Hanya karena malu merintih kesakitan di depan pacar dan kerabatnya seolah-olah sakitnya tertutupi oleh sensasi alam bebas. Di dalam hati ia pasti merintih karena kekasihnya, karena ia selalu membungkam. Selalu melampiaskan dengan sebatang rokok. Kopi. Coklat. Whiskey. Tanpa ecstasy. Sampai akhirnya, semua dialami gigi.
Percaya atau tidak, sensasi sakit gigi luar biasa dashyatnya daripada sakit hati. Dan abang, dapat menunggingkan lagu dangdut yang cukup fenomenal itu. Biar tak mengapa.

***
Di pinggir tempat tidurnya, aku merayap hati-hati. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Membawa segelas air, analgesic, antibiotik dan vitamin.

Medan, 23-03-2012

Oleh Rezi Gustiadi

Entah ikut merasakan, entah ingin tahu atau sekedar penasaran. Belum pernah kurasakan sakit yang benar-benar luar biasa seperti dialami olehnya. bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, ‘hipersupersensitif’, tidak mau makan, ingin tidur tapi tidak bisa dan segala ‘tetekbengek’nya. Dilanda perhatian, kutanya ia baik-baik. Ia bungkam, menyendiri di sudut ruangan. Tangannya menopang Pipi sebelah kanan dengan sangat kuat, bahkan jarang ia lepaskan.

Sedikit tertawa kunikmati caranya ‘menikmati’ sakit. sakit yang menurut sebagian orang merupakan sebuah sign perlindungan bila tubuh mengalami kerusakan. Sakit yang menurut sebagian orang merupakan suatu rasa atau pengalaman emosional yang orang tersebut akan berusaha untuk menghilangkannya. Sakit yang dirasa semakin parah jika mendapat rangsangan dari luar, dari lingkungan, akibat kelelahan, kesendirian, tumpukan masalah dan rasa yang pernah dialami sebelumnya, dan ada yang mengganggap bahwa sakit adalah kutukan.

Entah sekedar penasaran, entah ingin tahu, ikut merasakan, atau salah persepsi. ‘Menurut sebagian orang’ adalah juru kunci yang kadang tidak berlaku untuknya. Aku belum pernah melihatnya bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, ‘hipersupersensitif’, tidak mau makan, dan segala tetekbengeknya ketika telapak kakinya berdarah dan berlubang dalam saat ia berkelana ke hutan dan ditusuk tiga buah duri besar. Padahal salah satu tubuhnya mengalami kerusakan. ia seperti tidak bereaksi untuk menghilangkannya. untuk pengalaman emosionil sekalian pun, ia -menurut pandanganku –  tidak merasakan.  Saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan suami orang.

Padahal saat itu ia sendiri. Padahal saat itu ia kelelahan menerima interfensi dan gossip panas dari lingkungan sekitarnya. bahkan ada yang mengganggap itu adalah kutukan untuknya. Padahal ia belum pernah mengalami hal tersebut sebelumnya.

***
Mengendap-endap, kubuka pintu ruangan seperti maling yang takut tertangkap basah. Sedikit tertawaku mengandung keanehan yang dahsyat. Aku melongok. Kebungkamannya kadang mendadak padam atau kumat. Sesekali berdiri, melepaskan tangan di pipi kanan namun tetap di sudut ruangan. Matanya kadang melebar lalu menyempit. Aku berjalan mendekat hingga pandangannya berubah. Kuraih lengan tangan kanannya yang masih menyiku pipi. Sedikit tawaku padam. Kunikmati caranya menggambarkan dan bereaksi terhadap rasa hingga menimbulkan gejala.

Terdengar dan terasa olehku hembusan dan bau nafasnya. Caranya mendesah seperi sehabis makan cabe. Cepat, namun lembut terdengar.
“Bang…”, lembut ia beringsut. Nafasnya menghilang. Tanganku merenggang. Aku mematung sekian menit di ruangan. Mendadak ia kumat. Desahannya memanjang. Pipinya tertekan kuat. Matanya menyipit dengan puncak hidung yang mengkerut. Seperti Merasa tidak tahan, ia menghentakkan kakinya sesekali. Oh…wajahnya, kuyu dan sangat kentara.

penasaran menyandarkanku ke dinding ruangan karena aku hampir kehilangan keseimbangan, seolah-olah aku yang mengalami sakit. seolah-olah tubuhku yang rusak. Seolah-olah sakitnya membuatku berusaha untuk menghilangkannya. Seratus persen aku yakin ini bukan kutukan.
Penasaran lebih menghantuiku dari sekedar ingin tahu atau ikut merasakan. Kutelusuri kata ‘sakit’ di Google. Kudapati milyaran hasil dalam sekian milidetik. Tidak mungkin ku ketahui seluruh hasil itu.

Penasaran menghantarkanku ke sebuah situs tentang sejarah sakit. Defenisi, macam-macam, batas ambang dan lain sebagainya. Ternyata toleransi terhadap sakit dan usaha mengatasinya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan lebih besar pada pria dibanding wanita.

***
Sarung hitamku menyambar lantai. Dengan tangan di pinggang aku mematung di depan sebuah cermin besar. Kuperhatikan wajahku dari leher hingga ujung kepala. Karena kelimpungan, senyumku melebar. Kudekatkan wajahku ke depan cermin. Masih tetap seperti biasa, sudut bibirku masih di depan gigi yang sama dan gusi depan yang tetap muncul ketika aku senyum. Gumy’s smile. Penasaran, rahang bawah kuturunkan. Terlihat lidah, anak lidah, langit-langit, jaringan mulut, dan yang teristimewa dan membuatku penasaran. Gigi!

Sambil beringsut, mulutku katup dan berfikir. Kenapa mesti gigi? Apa istimewanya gigi?
Karena Gigi yang membuatnya menggulinjang, gigi yang membuatnya tidak mau makan, gigi yang membuatnya tetap tidak mau bercerita sedikit pun denganku. Karena dia hipersupersensitif. Gigi yang membuat tangannya tetap bersandar di pipi kanannya, sambil mendesah pendek-panjang, tidak tergesa-gesa karena ia tidak makan cabe. Gigi membuatnya merasakan sakit. Rasa yang seharusnya ada ketika ia ditinggal kawin pacarnya. Ketika ditusuk tiga duri besar.

Sedikit tertawaku padam tanpa sisa, caraku menikmatinya menikmati sakit berubah sesuai dengan frekuensi kumatnya. Di depan cermin aku bergumam sendiri. apakah kakinya kurang bersaraf untuk merasakan sign kerusakan? Atau telapak kakinya terlalu tebal? Tidak merasa tersiksa dengan emosionilnya? Kekasihnya? Interfensi lingkungan ? Kesendirian ?

Abang…, entah ikut merasakan atau sekedar ingin mencari solusi sakitmu. Aku tertawa melihatmu diserang sakit, walau sedikit. Karena baru kali ini aku melihatmu mendapati rasa yang seharusnya muncul ketika dirimu butuh perlindungan. Tapi  dirimu menetap untuk bungkam. Bagiku kamu tidak pernah merasakannya, atau bersembunyi dariku? Atau sakit memberengus mulutmu  sehingga kamu tidak mau bicara denganku? Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Aku tidak tahan melihatmu merangkul badanmu sendiri, mengatupkan mulut sesekali dengan kuat dan saling mengadu gigi dengan kekuatan rahang. Tapi apa daya.

***
Dokter gigi itu sedikit prihatin ketika aku dan abang yang terkesan berwibawa dan menarik masuk ke ruang prakteknya. Setelah ia periksa giginya, aku dipersilahkan menunggu di luar. Tidak berapa lama, ia mengajakku bicara.

Baru sadar betapa pentingnya gigi sebagai aset dalam jajaran elemen tubuh. Kali ini memang tidak mengganggu penampilan karena hanya gigi belakangnya yang terlibat, tapi berpengaruh besar pada kualitas hidupnya. Rutinitas ke dokter gigi tidak hanya sekedar melakukan pembersihan, tapi juga memberikan gambaran menyeluruh tentang gigi. kunikmati cara dokter itu memberikan nasehat pada abang di depanku. Keanggunannya, ketenangannya menghadapi abang, dan caranya berkonsultasi dengannya.

***
Di pinggir tempat tidur, aku merayap hati-hati. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Senyap
***

Tentang sakit. Tentang aku.  Abang. Bingung.  Tidak jelas. Perjodohan. Ketidakpedulian.  Bertepuk sebelah tangan. Disangka cinta. Kelimpungan. Sabar. Kasihan. Serta segala tetek bengeknya yang  ber ‘kongkalingkong’ dengan mesra. Tentang aku, abang dan beberapa orang lain, termasuk mantan pacarnya pergi berkelana ke hutan. Mencari sesuatu di balik ketenangan. Mengharapkan suatu rasa meledak ketika ia benar-benar harus ada. ketika tiga duri besar yang menerjam sepatu tipisnya hingga menancap telapak kaki yang keratinnya tidak terlalu tebal. Darah tak menjadi sign baginya. Tidak melakukan perlindungan. Tertutup dengan sensasi alam bebas. Tidak berasa sampai kaus kakinya membusuk luar biasa ketika sampai di rumah. Sebatang rokok habis dilumatnya. Kopi. Coklat. Tidur. Tidak gosok gigi!

Tentang sakit. Tentang abang. Kadang bingung. Kadang tidak jelas. Tidak dianggap. Sering membungkam. Terpaksa menerima. Tentang aku. Tinggal bersama. Yang belum mengikat resmi dengannya. Terpasung dengan seluruh rasa dan tetekbengeknya yang berkongkalingkong mesra.  Tentang aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tenang. Tanpa rasa. Tiga batang rokok habis dilumatnya. Whiskey. Kopi. Coklat. Tidur. Tidak gosok gigi!

Esok. Aku. abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tetap tenang. Tanpa rasa. Menambah satu batang rokok dilumatnya. Whiskey. Kopi. Coklat. Sensasi. Tidur. Tidak gosok gigi!

Esoknya lagi. Aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tetap tenang. Tidak terasa sakit. Menambah satu batang rokok dilumatnya.  Whiskey. Kopi. Coklat. Sensasi. Tanpa ecstasy. Tidur. Tidak gosok gigi!

Esok dan esoknya lagi. Hingga beberapa hari.  Aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka penuh ekspresi yang saling berkongkalingkong. Tenang. Tanpa terlihat sakit. Menambah satu batang rokok dilumatnya. Whiskey. Tanpa kopi. Coklat. Sensasi. Tanpa ecstasy. Tidur. Tidak gosok gigi!
Tetangga seolah-olah bersilaturahmi. Membawa bingkisan khas Jambi. Yang notabene ingin mendapatkan informasi. Justru sebaliknya. Aku yang mendapat informasi. Karena selama ini abang membungkam. Membuatku bingung. Tidak jelas. Disangka cinta. Kelimpungan. Eh ternyata bertepuk sebelah tangan. Tidak dianggap. Sabar. Dan tetangga merasa kasihan.

Tetangga yang memergokinya sekali bergumul dengan mantan kekasihnya di dalam mobil sebelum ia masuk ke rumah. Tetangga yang mendapat gossip dari tetangga tentang mereka yang bertengkar hebat karena mendapati kekasihnya yang berselingkuh dengan suami orang. Tetangga yang merasa kehadiranku yang membuat mereka bergumul. Merayap mobil masuk pagar yang sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, seperti maling yang takut tertangkap basah.

Aku yang baru mengetahi semua. Tentang suatu rasa atau pengalaman emosionil yang orang tersebut akan berusaha untuk menghilangkannya. Namun tidak baginya. Karena ‘menurut sebagian orang’ sama sekali tidak berlaku baginya.

Entah sekedar penasaran, entah ingin tahu, ikut merasakan, atau salah persepsi. Aku yang menemaninya menunggu suatu rasa yang seharusnya meledak saat kakinya ditusuk tiga duri besar. Aku -yang belum tahu- menemaninya menghabiskan sebatang rokok. Menambah sebatang tiap hari. Kopi. Coklat. Beranjak ke whiskey. Seolah-olah mendapat sensasi. Tanpa pernah menyinggung ecstacy. Aku yang mendapatinya pulang dengan wajah datar. Sesekali dengan macam ekspresi yang berkonkalingkong.

Entah aku yang salah persepsi. Seolah-olah ia tidak merasakan sakit. sakit yang seharusnya ada dan dirasa semakin parah karena rangsangan lingkungan. Karena tetangga yang sering datang seolah-olah bersilaturahmi -dengan atau tanpa bingkisan khas Jambi- berkerumun satu-satu dengan sengaja mendatangkan tukang sayur keliling di depan pagar rumah.  Rasa yang seharusnya semakin parah karena ia sendiri. Tidak pernah berbagi cerita denganku. Karena aku dianggap tiada. Karena semua perjodohan. Karena aku semua. Orang tuanya. Kekasihnya. Selingkuhannya. Rokok. Kopi. coklat. Whiskey. Ecstacy. Semua. Semua. Semuaaa.

***
Entah ikut merasakan, entah ingin tahu atau sekedar penasaran. Sering kudapati abang sedang menggulung diri. Sesekali ia bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, hipersupersensitif, tidak mau makan, ingin tidur tapi tidak bisa dan segala tetekbengeknya. Dilanda perhatian, kutanya ia baik-baik. Ia tetap membungkam, menyendiri di sudut ruangan. Tangannya menopang Pipi sebelah kanan dengan sangat kuat, bahkan jarang ia lepaskan.

Walau tersiksa, sedikit tertawa kunikmati caranya menikmati rasa yang seharusnya ada ketika kakinya ditusuk tiga duri besar walau tertutup dengan sensasi alam bebas. Rasa yang entah ada atau tidak ketika memergoki kekasihnya berselingkuh dengan suami orang. yang seharusnya diperparah dengan kesendiriannya dan Terjaman gossip tetangga, melalui silaturahmi basi dan tukang sayur keliling.

Dimulai dari penasaran, yang menyandarkanku ke dinding ruangan karena aku hampir kehilangan keseimbangan, seolah-olah aku yang mengalami sakit hingga menghantarkanku ke sebuah cermin besar, memperhatikan gumy’s smile. Sudut mulut. Lidah dan anaknya. langit-langit. Jaringan mulut. Gusi. Dan Gigi. yang membuatnya menggulinjang. yang membuatnya tidak mau makan. Tetap tidak mau bercerita sedikit pun. Membuatnya hipersupersensitif. Tangannya tetap bersandar di pipi kanannya, sambil mendesah pendek-panjang.

***
Sedikit tawaku padam tanpa sisa ketika kami datang ke dokter gigi atas perintah orang tuanya.  Kunikmati cara dokter itu memberikan nasehat pada abang di depanku. Keanggunannya, ketenangannya menghadapi abang, dan caranya berkonsultasi dengannya.
Penasaran yang menghantarkanku ke sebuah situs tentang sejarah sakit. defenisi, macam-macam, batas ambang dan lain sebagainya yang ternyata berkorelasi dengan konsultasiku dengan dokter gigi.

Bahwa  persepsi sakit bersifat individual. Toleransi terhadap sakit dan usaha mengatasinya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan lebih besar pada pria dibanding wanita.

Aku yakin didalam hati pasti ia menjerit ketika ditusuk kakinya oleh tiga duri besar. Hanya karena malu merintih kesakitan di depan pacar dan kerabatnya seolah-olah sakitnya tertutupi oleh sensasi alam bebas. Di dalam hati ia pasti merintih karena kekasihnya, karena ia selalu membungkam. Selalu melampiaskan dengan sebatang rokok. Kopi. Coklat. Whiskey. Tanpa ecstasy. Sampai akhirnya, semua dialami gigi.
Percaya atau tidak, sensasi sakit gigi luar biasa dashyatnya daripada sakit hati. Dan abang, dapat menunggingkan lagu dangdut yang cukup fenomenal itu. Biar tak mengapa.

***
Di pinggir tempat tidurnya, aku merayap hati-hati. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Membawa segelas air, analgesic, antibiotik dan vitamin.

Medan, 23-03-2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/