30 C
Medan
Thursday, July 4, 2024

Tiga Ekor Kucing

Aku tidak pernah menyukai kucing. Apalagi kucing kampung yang seringkali menyelinap ke dalam rumah ketika tidak ada orang di rumah. Kucing yang langsung menuju dapur. Mengendus-endus. Dan dengan sigap, mencuri ikan asin atau bandeng yang diletakkan di bawah tudung saji di meja makan. Bahkan, kadang ketika ikan asin atau bandeng itu belum dimasak, masih mentah dalam bungkus daun jati, kucing itu sudah lebih dulu menyikatnya.

Oleh: Dadang Ari Murtono

SIAL. Begitu selalu aku memaki setiap kali aku mendapatkan seekor kucing kampung masuk ke dalam rumah. Istriku sudah tahu benar perihal ketidaksukaanku kepada kucing. Itulah sebabnya, sekali pun istriku sangat menyukai kucing – ia bahkan mempunyai tiga ekor kucing sebelum menikah denganku – namun ia menurut ketika aku memintanya untuk membuang kucing-kucing peliharaannya itu ke pasar.

Dan istriku juga tidak lagi kaget bila aku tibatiba saja melemparkan vas bunga, atau piring, atau ponsel, atau apa pun yang saat itu dekat denganku dan berada dalam jangkauan tanganku ke kucing yang masuk ke rumahku. Dulu, pada masa awal pernikahan kami, istriku sering berteriak histeris dan berucap keras, “kasihan kucing itu! Jangan lempar, nanti dia bisa mati!” Dulu pula, istriku sering bertanya, “apa kamu mau diusir seperti itu ketika kamu sedang tidur?” ketika aku sedang berjalan-jalan dengannya dan melihat seekor kucing sedang tidur di pinggir jalan.

Dan dulu pula, istriku juga sering bertanya, “kenapa kau suka melempari kucing-kucing yang masuk ke rumah? Bukankah dia hanya mencuri ikan seperlunya saja. Tidak banyak.

Perutnya tidak begitu besar. Dan itu berarti makannya juga tidak banyak. Aku kasihan dengan kucing-kucing itu.” Tapi aku tidak pernah mempedulikan ucapanucapan istriku itu. Dan aku memang tidak perlu berpanjang lebar menerangkan kepadanya kenapa aku tidak menyukai kucing. Khususnya kucing kampung.

“Pokoknya aku tidak suka,” demikian selalu aku memungkasi keberatan-keberatan istriku. Dan lama-kelamaan, istriku menjadi terbiasa dengan kebiasaanku melempari kucing-kucing. Dan ketika pada suatu sore aku melihat seekor kucing mencuri bandeng di dapur dan aku melemparnya dengan pisau dapur hingga pisau itu menancap di perutnya yang berujung pada kematian si kucing, istriku hanya geleng-geleng kepala. Lalu tanpa berbicara kepadaku, ia kubur kucing itu di kebun belakang rumah. Ia tidak berteriak histeris.

Ia tidak mengucapkan rasa kasihannya kepada kucing itu.

*** Akhir-akhir ini, rasa ketidaksukaanku kepada kucing semakin bertambah-tambah. Dan itu disebabkan oleh seorang laki-laki yang baru pulang ke kampung ini dari kota. Laki-laki itu telah lama merantau. Bertahun-tahun. Dan baru kali ini pulang. Aku tidak mengenalnya karena di kampung ini, aku pendatang. Aku pindah ke kampung ini karena menikah dengan istriku yang memang penduduk asli kampung ini. Mata lakilaki itu selalu mengingatkanku pada mata seekor kucing kampung yang suka menyelinap dan mencuri di dapur. Mata yang menyimpan keinginan untuk mencuri sesuatu dariku. Mata yang melihatku seolah sedang menunggu saat aku lengah untuk mengendap-endap di belakangku.

Konon, kata orang-orang, dulu lelaki itu adalah kekasih istriku. Dia merantau ke kota sebenarnya tidak dengan niat merantau dan bekerja seperti yang lazimnya dilakukan oleh orang-orang lain di kampungku.

“Ia pergi untuk melupakan sakit hatinya. Orangtua istrimu tidak menyetujui hubungannya dengan istrimu. Aku tidak tahu kenapa orangtua istrimu tidak menyukainya. Yang jelas, lamarannya ditolak, lalu ia pergi ke kota. Dan beberapa waktu kemudian, kau datang dan melamar istrimu,” cerita seseorang di warung kopi.

Namun istriku dengan tegas membantah cerita tersebut. “Aku tidak pernah menjadi kekasihnya.

Sejak dulu, sejak aku dan dia masih kanakkanak, kami telah berteman baik. Kami lebih mirip saudara daripada kekasih. Dan ia pergi ke kota, memang untuk bekerja. Tidak ada alasan lain,” kata istriku.

Tapi entah kenapa, aku merasa sulit percaya dengan bantahan istriku itu. Aku lebih cenderung percaya dengan ucapan orang di warung. Dan rasa tak percaya itu kian bertambah- tambah ketika lelaki itu mendatangi rumahku tepat ketika aku sedang tidak berada di rumah.

Ketika di rumah hanya ada istriku. Awalnya, orang-orang yang mengatakan hal itu kepadaku.

Bukan hanya satu atau dua orang yang berkata seperti itu. Tapi banyak orang. Maka pada suatu hari, aku memutuskan untuk menjebak mereka. Aku pura-pura pergi ke sawah.

Namun aku tidak sampai di sawah. Aku bersembunyi di rumah tetanggaku. Dan dari sana, aku menunggu sambil mengintip. Dan inilah yang kulihat: lelaki itu datang ke rumahku. Menoleh ke kanan ke kiri. Seolah memastikan bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.

Aku merasa kepalaku penuh. Aku merasa ada yang menggelegak dalam dadaku. Dan dengan kemarahan yang luar biasa, aku masuk ke rumahku.

Aku memaki dengan keras ketika kulihat mereka berdua berbincang-bincang di sofa ruang tamu.

“Terkutuk kau! Berselingkuh di belakangku!” teriakku.

Istriku kaget hingga terlonjak dari duduknya.

Lelaki itu menoleh kepadaku sambil melongo.

Aku pikir mereka tengah ketakutan karena perselingkuhan mereka terpergoki. Aku menyaut balik ke luar untuk mengambil batu di halaman rumah. Lalu dengan sekuat tenaga, aku lemparkan batu itu ke arah si lelaki.

“Plak!” batu itu tepat mengenai kepala lelaki itu. Ia berteriak kesakitan. Teriakan yang di telingaku terdengar seperti suara meongan kucing yang biasa kutimpuk bila kupergoki mencuri ikan di dapur. Istriku berteriak histeris. Persis seperti pada masa awal pernikahan kami bila tahu aku melempari kucing.

Aku bergerak cepat ke arah lelaki yang sedang memegangi kepalanya itu. Darah merembes dari sela-sela jemari tangan yang menutupi luka timpukan di kepalanya. Aku hendak mengayunkan kepalan tangan ke lelaki itu. Namun istriku telah keburu memeluk tubuhku. Berusaha menahanku. Berusaha memberi waktu agar lelaki itu segera melarikan diri.

Pada akhirnya, lelaki itu memang berhasil melarikan diri. Istriku menangis. Aku tidak mengejar lelaki itu karena istriku terus saja memeluk tubuhku. Istriku terus menangis sambil tak henti-henti berkata, “sumpah, kami hanya berbincang. Kami kawan lama. Percayalah. Aku tidak berselingkuh dengannya!” Dan pertengkaran dengan istriku berlangsung hingga jauh larut malam. Begitu ribut suara pertengkaran kami hingga beberapa tetangga datang ke rumah kami. Berusaha menengahi kami.

“Sudahlah… sudahlah…” kata para tetangga.

Istriku memang masih terus menangis sambil bersumpah tidak melakukan apa-apa selain berbincang dengan lelaki itu. Dan aku tetap saja tidak bisa menerima penjelasan itu.

“Kalau tidak selingkuh, kenapa setiap ia datang mesti menunggu aku keluar rumah? Apalagi namanya itu bila bukan selingkuh? Dasar perempuan bejat. Dasar lelaki kucing!” makiku. Sekilas, ekor mataku menangkap senyum seorang perempuan. Perempuan tetanggaku. Senyum yang tidak bisa kuartikan maknanya.

*** Keesokan harinya, seekor kucing kampung masuk ke rumahku. Melihat kucing itu, aku merasa tengah melihat lelaki yang suka menyelinap di belakangku. Kemarahanku seperti dibangkitkan.

Kejadian kemarin seolah terulang lagi.

Aku tunggu hingga kucing itu masuk dapur.

Kutunggu sampai kucing itu menggigit ikan asin. Dan begitu kucing itu asik dengan ikan asinnya, aku mengendap di belakangnya.

Berjalan jinjit pelan agar tak menimbulkan suara yang bisa mengagetkan kucing itu dan membuatnya kabur sebelum aku berhasil menancapkan pisau di perutnya.

Tapi sial. Kakiku menginjak plastik bekas bungkus gula yang terjatuh di lantai. Suara kemeresek membuat kucing itu menoleh kepadaku, lalu berlari secepat kilat ke luar rumah. Aku mengejarnya sambil mengacung-acungkan pisau dapur.

“Kucing sial! Kucing pencuri! Kubunuh kau!” Dan aku terkejut ketika ternyata kucing itu berlari ke rumah lelaki yang suka menyelinap itu. “Apakah itu kucingnya?” batinku.

Aku terus mengejar kucing itu. Sedang di belakangku, di teras rumahku, istriku berteriak keras-keras, “sudahlah! Sudahlah!” Benar dugaanku. Kucing itu memang kucing peliharaan lelaki penyelinap itu. “Kebetulan,” pikirku. “Sekalian saja kubunuh dua ekor kucing itu. Kucing kampung pencuri ikanku dan lelaki kucing yang hendak mencuri istriku.” Kucing itu melompat masuk melalui jendela yang terbuka. Aku menggedor-gedor pintu rumah lelaki penyelinap. “Keluar kalian. Keluarlah kucing-kucing kurang ajar!” teriakku.

Pintu terkuak sedikit. Dan wajah dengan mata kucing itu melongok. “Ada apa?” tanyanya seolah tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan tanpa menjawab ucapannya, kudorong pintu yang sudah terkuak itu. Lelaki itu jatuh terjengkang terkena pintu.

Dan dengan cepat, kuhunjamkan berkali-kali pisau dapur di tangaku ke dada lelaki kucing itu.

Ia berteriak kesakitan. Tidak, tidak, ia tidak berteriak.

Ia mengeong. Ia mengeong kesakitan. Sedang di belakang lelaki itu, dalam jarak beberapa meter, aku melihat kucing kampung pencuri ikan memandangku sambil terus menggigit ikan yang barusan ia curi.

Suara ngeongan lelaki kucing itu segera saja mengundang tetangga-tetangga. Tetangga-tetangga yang segera saja memegang tubuhku.

Menjauhkanku dari lelaki kucing yang telah bersimbah darah dan masih tergeletak di lantai.

Barangkali lelaki itu telah mati. Tetangga-tetangga merebut pisau dari tanganku.

Dan tak lama kemudian, entah siapa yang mengabari, polisi-polisi berdatangan. Menangkapku.

Masih sempat kulihat istriku menangis tersedu-sedu. Meski aku tak tahu apakah tangisnya itu ia persembahkan untukku yang ditangkap polisi atau untuk lelaki kucing yang barusan kutusuk itu.

Dan masih pula sempat kulihat perempuan tetanggaku yang kemarin tersenyum itu. Perempuan itu kali ini tidak tersenyum. Hanya mulutnya saja komat-kamit. Seperti menggumamkan sesuatu. Dan membaca gerak bibirnya, sepertinya perempuan itu berkata, “Kau juga kucing.

Bukankah kau seringkali menyelinap ke rumahku ketika suami dan anak-anakku sedang tidak ada di rumah?” Aku ingin mengucapkan sesuatu. Namun yang keluar dari mulutku hanyalah suara “meong…

meong…”

Aku tidak pernah menyukai kucing. Apalagi kucing kampung yang seringkali menyelinap ke dalam rumah ketika tidak ada orang di rumah. Kucing yang langsung menuju dapur. Mengendus-endus. Dan dengan sigap, mencuri ikan asin atau bandeng yang diletakkan di bawah tudung saji di meja makan. Bahkan, kadang ketika ikan asin atau bandeng itu belum dimasak, masih mentah dalam bungkus daun jati, kucing itu sudah lebih dulu menyikatnya.

Oleh: Dadang Ari Murtono

SIAL. Begitu selalu aku memaki setiap kali aku mendapatkan seekor kucing kampung masuk ke dalam rumah. Istriku sudah tahu benar perihal ketidaksukaanku kepada kucing. Itulah sebabnya, sekali pun istriku sangat menyukai kucing – ia bahkan mempunyai tiga ekor kucing sebelum menikah denganku – namun ia menurut ketika aku memintanya untuk membuang kucing-kucing peliharaannya itu ke pasar.

Dan istriku juga tidak lagi kaget bila aku tibatiba saja melemparkan vas bunga, atau piring, atau ponsel, atau apa pun yang saat itu dekat denganku dan berada dalam jangkauan tanganku ke kucing yang masuk ke rumahku. Dulu, pada masa awal pernikahan kami, istriku sering berteriak histeris dan berucap keras, “kasihan kucing itu! Jangan lempar, nanti dia bisa mati!” Dulu pula, istriku sering bertanya, “apa kamu mau diusir seperti itu ketika kamu sedang tidur?” ketika aku sedang berjalan-jalan dengannya dan melihat seekor kucing sedang tidur di pinggir jalan.

Dan dulu pula, istriku juga sering bertanya, “kenapa kau suka melempari kucing-kucing yang masuk ke rumah? Bukankah dia hanya mencuri ikan seperlunya saja. Tidak banyak.

Perutnya tidak begitu besar. Dan itu berarti makannya juga tidak banyak. Aku kasihan dengan kucing-kucing itu.” Tapi aku tidak pernah mempedulikan ucapanucapan istriku itu. Dan aku memang tidak perlu berpanjang lebar menerangkan kepadanya kenapa aku tidak menyukai kucing. Khususnya kucing kampung.

“Pokoknya aku tidak suka,” demikian selalu aku memungkasi keberatan-keberatan istriku. Dan lama-kelamaan, istriku menjadi terbiasa dengan kebiasaanku melempari kucing-kucing. Dan ketika pada suatu sore aku melihat seekor kucing mencuri bandeng di dapur dan aku melemparnya dengan pisau dapur hingga pisau itu menancap di perutnya yang berujung pada kematian si kucing, istriku hanya geleng-geleng kepala. Lalu tanpa berbicara kepadaku, ia kubur kucing itu di kebun belakang rumah. Ia tidak berteriak histeris.

Ia tidak mengucapkan rasa kasihannya kepada kucing itu.

*** Akhir-akhir ini, rasa ketidaksukaanku kepada kucing semakin bertambah-tambah. Dan itu disebabkan oleh seorang laki-laki yang baru pulang ke kampung ini dari kota. Laki-laki itu telah lama merantau. Bertahun-tahun. Dan baru kali ini pulang. Aku tidak mengenalnya karena di kampung ini, aku pendatang. Aku pindah ke kampung ini karena menikah dengan istriku yang memang penduduk asli kampung ini. Mata lakilaki itu selalu mengingatkanku pada mata seekor kucing kampung yang suka menyelinap dan mencuri di dapur. Mata yang menyimpan keinginan untuk mencuri sesuatu dariku. Mata yang melihatku seolah sedang menunggu saat aku lengah untuk mengendap-endap di belakangku.

Konon, kata orang-orang, dulu lelaki itu adalah kekasih istriku. Dia merantau ke kota sebenarnya tidak dengan niat merantau dan bekerja seperti yang lazimnya dilakukan oleh orang-orang lain di kampungku.

“Ia pergi untuk melupakan sakit hatinya. Orangtua istrimu tidak menyetujui hubungannya dengan istrimu. Aku tidak tahu kenapa orangtua istrimu tidak menyukainya. Yang jelas, lamarannya ditolak, lalu ia pergi ke kota. Dan beberapa waktu kemudian, kau datang dan melamar istrimu,” cerita seseorang di warung kopi.

Namun istriku dengan tegas membantah cerita tersebut. “Aku tidak pernah menjadi kekasihnya.

Sejak dulu, sejak aku dan dia masih kanakkanak, kami telah berteman baik. Kami lebih mirip saudara daripada kekasih. Dan ia pergi ke kota, memang untuk bekerja. Tidak ada alasan lain,” kata istriku.

Tapi entah kenapa, aku merasa sulit percaya dengan bantahan istriku itu. Aku lebih cenderung percaya dengan ucapan orang di warung. Dan rasa tak percaya itu kian bertambah- tambah ketika lelaki itu mendatangi rumahku tepat ketika aku sedang tidak berada di rumah.

Ketika di rumah hanya ada istriku. Awalnya, orang-orang yang mengatakan hal itu kepadaku.

Bukan hanya satu atau dua orang yang berkata seperti itu. Tapi banyak orang. Maka pada suatu hari, aku memutuskan untuk menjebak mereka. Aku pura-pura pergi ke sawah.

Namun aku tidak sampai di sawah. Aku bersembunyi di rumah tetanggaku. Dan dari sana, aku menunggu sambil mengintip. Dan inilah yang kulihat: lelaki itu datang ke rumahku. Menoleh ke kanan ke kiri. Seolah memastikan bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.

Aku merasa kepalaku penuh. Aku merasa ada yang menggelegak dalam dadaku. Dan dengan kemarahan yang luar biasa, aku masuk ke rumahku.

Aku memaki dengan keras ketika kulihat mereka berdua berbincang-bincang di sofa ruang tamu.

“Terkutuk kau! Berselingkuh di belakangku!” teriakku.

Istriku kaget hingga terlonjak dari duduknya.

Lelaki itu menoleh kepadaku sambil melongo.

Aku pikir mereka tengah ketakutan karena perselingkuhan mereka terpergoki. Aku menyaut balik ke luar untuk mengambil batu di halaman rumah. Lalu dengan sekuat tenaga, aku lemparkan batu itu ke arah si lelaki.

“Plak!” batu itu tepat mengenai kepala lelaki itu. Ia berteriak kesakitan. Teriakan yang di telingaku terdengar seperti suara meongan kucing yang biasa kutimpuk bila kupergoki mencuri ikan di dapur. Istriku berteriak histeris. Persis seperti pada masa awal pernikahan kami bila tahu aku melempari kucing.

Aku bergerak cepat ke arah lelaki yang sedang memegangi kepalanya itu. Darah merembes dari sela-sela jemari tangan yang menutupi luka timpukan di kepalanya. Aku hendak mengayunkan kepalan tangan ke lelaki itu. Namun istriku telah keburu memeluk tubuhku. Berusaha menahanku. Berusaha memberi waktu agar lelaki itu segera melarikan diri.

Pada akhirnya, lelaki itu memang berhasil melarikan diri. Istriku menangis. Aku tidak mengejar lelaki itu karena istriku terus saja memeluk tubuhku. Istriku terus menangis sambil tak henti-henti berkata, “sumpah, kami hanya berbincang. Kami kawan lama. Percayalah. Aku tidak berselingkuh dengannya!” Dan pertengkaran dengan istriku berlangsung hingga jauh larut malam. Begitu ribut suara pertengkaran kami hingga beberapa tetangga datang ke rumah kami. Berusaha menengahi kami.

“Sudahlah… sudahlah…” kata para tetangga.

Istriku memang masih terus menangis sambil bersumpah tidak melakukan apa-apa selain berbincang dengan lelaki itu. Dan aku tetap saja tidak bisa menerima penjelasan itu.

“Kalau tidak selingkuh, kenapa setiap ia datang mesti menunggu aku keluar rumah? Apalagi namanya itu bila bukan selingkuh? Dasar perempuan bejat. Dasar lelaki kucing!” makiku. Sekilas, ekor mataku menangkap senyum seorang perempuan. Perempuan tetanggaku. Senyum yang tidak bisa kuartikan maknanya.

*** Keesokan harinya, seekor kucing kampung masuk ke rumahku. Melihat kucing itu, aku merasa tengah melihat lelaki yang suka menyelinap di belakangku. Kemarahanku seperti dibangkitkan.

Kejadian kemarin seolah terulang lagi.

Aku tunggu hingga kucing itu masuk dapur.

Kutunggu sampai kucing itu menggigit ikan asin. Dan begitu kucing itu asik dengan ikan asinnya, aku mengendap di belakangnya.

Berjalan jinjit pelan agar tak menimbulkan suara yang bisa mengagetkan kucing itu dan membuatnya kabur sebelum aku berhasil menancapkan pisau di perutnya.

Tapi sial. Kakiku menginjak plastik bekas bungkus gula yang terjatuh di lantai. Suara kemeresek membuat kucing itu menoleh kepadaku, lalu berlari secepat kilat ke luar rumah. Aku mengejarnya sambil mengacung-acungkan pisau dapur.

“Kucing sial! Kucing pencuri! Kubunuh kau!” Dan aku terkejut ketika ternyata kucing itu berlari ke rumah lelaki yang suka menyelinap itu. “Apakah itu kucingnya?” batinku.

Aku terus mengejar kucing itu. Sedang di belakangku, di teras rumahku, istriku berteriak keras-keras, “sudahlah! Sudahlah!” Benar dugaanku. Kucing itu memang kucing peliharaan lelaki penyelinap itu. “Kebetulan,” pikirku. “Sekalian saja kubunuh dua ekor kucing itu. Kucing kampung pencuri ikanku dan lelaki kucing yang hendak mencuri istriku.” Kucing itu melompat masuk melalui jendela yang terbuka. Aku menggedor-gedor pintu rumah lelaki penyelinap. “Keluar kalian. Keluarlah kucing-kucing kurang ajar!” teriakku.

Pintu terkuak sedikit. Dan wajah dengan mata kucing itu melongok. “Ada apa?” tanyanya seolah tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan tanpa menjawab ucapannya, kudorong pintu yang sudah terkuak itu. Lelaki itu jatuh terjengkang terkena pintu.

Dan dengan cepat, kuhunjamkan berkali-kali pisau dapur di tangaku ke dada lelaki kucing itu.

Ia berteriak kesakitan. Tidak, tidak, ia tidak berteriak.

Ia mengeong. Ia mengeong kesakitan. Sedang di belakang lelaki itu, dalam jarak beberapa meter, aku melihat kucing kampung pencuri ikan memandangku sambil terus menggigit ikan yang barusan ia curi.

Suara ngeongan lelaki kucing itu segera saja mengundang tetangga-tetangga. Tetangga-tetangga yang segera saja memegang tubuhku.

Menjauhkanku dari lelaki kucing yang telah bersimbah darah dan masih tergeletak di lantai.

Barangkali lelaki itu telah mati. Tetangga-tetangga merebut pisau dari tanganku.

Dan tak lama kemudian, entah siapa yang mengabari, polisi-polisi berdatangan. Menangkapku.

Masih sempat kulihat istriku menangis tersedu-sedu. Meski aku tak tahu apakah tangisnya itu ia persembahkan untukku yang ditangkap polisi atau untuk lelaki kucing yang barusan kutusuk itu.

Dan masih pula sempat kulihat perempuan tetanggaku yang kemarin tersenyum itu. Perempuan itu kali ini tidak tersenyum. Hanya mulutnya saja komat-kamit. Seperti menggumamkan sesuatu. Dan membaca gerak bibirnya, sepertinya perempuan itu berkata, “Kau juga kucing.

Bukankah kau seringkali menyelinap ke rumahku ketika suami dan anak-anakku sedang tidak ada di rumah?” Aku ingin mengucapkan sesuatu. Namun yang keluar dari mulutku hanyalah suara “meong…

meong…”

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/