Cerpen : Sunlie Thomas Alexander
Tentu, bagaimana bisa ia lupakan kenangan itu: usianya ketika itu masih begitu belia, sesegar pucuk dedaunan. Baru saja ia tamatkan SMA di kota kecilnya. Belum ada uang untukmu kuliah, kata bapaknya seperti tercenung. Ia tahu pasti, bapaknya tak sampai hati mengucapkan “tidak ada”. Toh, ia hanya tertawa, sudah bisa menerka semua ini saat ia mati-matian mengerjakan soal-soal dalam ujian kelulusannya.
Di sanalah, di toko sepatu itu, ia kemudian seolah menggenapi kata-kata ibunya yang ibarat nujum: “Nanti jangan ikut melaut, jadi pegawai toko saja di pasar!” Terdengar sedikit sinis, tapi ia ingat benar betapa muramnya wajah perempuan itu. Bapaknya yang baru pulang dari bagan dan sedang mengulung jaring pukat terbatuk. Tentu ia dan sang bapak paham sebab musabab: adik bungsu ibunya yang baru tamat STM dulu ikut melaut dan tak pernah pulang. Tak pernah ditemukan. Itu terjadi tujuh tahun sebelumnya.
Masa depan belumlah tercatat, ia tahu. Tapi toh ia mesti berada di sana, di antara deretan sepatu yang tersusun rapi pada rak-rak tinggi memanjang itu dengan gaji beberapa puluh ribu sebulan…
***
BEGITULAH. Setiap hari ia harus membuka toko tepat jam tujuh pagi, menyapu teras toko, membersihkan kaca etalase, dan membenahikan posisi sepatu-sepatu di rak sebelum karyawan yang lain datang. Istirahat siang hanya dua jam, dari pukul dua belas hingga pukul dua. Toko sepatu itu baru tutup jam sembilan malam, bisa lebih jika sedang banyak pengunjung. Ia mencoba bersabar untuk semua yang begitu menjengkelkan itu. Tentu saja, ia selalu merasa tak seharusnya berada di sana. Kadang-kadang ia merasa kesabarannya sudah di ambang batas. Terutama tatkala ditinggalkan sendirian menutup toko bersama sepatu-sepatu berbagai merk yang tertata rapi tanpa pasangan—ah, begitulah kelaziman, untuk menghindari pengutil yang celaka! Di matanya, entahlah, sepatu-sepatu sebelah kanan itu seolah-olah bernasib serupa dirinya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruang toko yang sunyi. Hanya ada suara jarum jam bergerak, terdengar begitu bergegas seperti memburu usianya.
Lalu ia akan berjalan ke bagian muka toko, memeriksa sekali lagi apakah rolling door sudah terkunci dengan benar. Setelah yakin kunci pintu gulung itu telah beres dengan mengguncangnya, kemudian membungkuk untuk memeriksa gembok di bagian bawah dan mematikan saklar lampu, barulah ia bisa kembali ke kamarnya di lantai tiga.
Sang pemilik toko, pamannya—tepatnya paman jauhnya—seorang yang selalu was-was, mungkin sedikit paranoid karena ketelitian. Segala pekerjaan harus tampak rapi di mata lelaki tambun itu, sebagaimana keamanan semua harta bendanya harus dipastikan terjamin. Setiap sore pamannya itu selalu memeriksa sendiri pembukuan toko, terutama catatan barang yang keluar. Jika ada sedikit saja yang tampak tak beres, misalnya saja harga sepasang kaos kaki yang menurutnya dikorting terlalu murah, alamat buruk meledaklah kemarahannya yang khas. Kata-kata dungu dalam bahasa Hakka bakal terlontar bersama segala cacimaki dalam bahasa Melayu yang tak pernah berhasil dilafadz dengan sempurna.
Tentu ia tak mau kena damprat. Meskipun, ia yakin gajinya tak akan sampai dipotong seperti teman-temannya yang lain. Awen, temannya sesama penjaga toko pernah nyaris dipecat gara-gara lupa mencatat sepatu Adidas yang terjual. Awen waktu itu bahkan dituduh sang paman sengaja hendak menggelapkan uang.
Kamarnya yang disediakan buatnya, tiga kali empat, cukup luas untuk ia sendirian. Ada kamar mandi kecil di dalam. Dulu sebelum dirinya, kamar itu ditempati oleh seorang famili jauh yang bekerja untuk perkebunan jeruk sang paman. Kadangkala Awen yang kecapekan diam-diam menumpang tidur di sana. Jika ketahuan, tentu bakal menyembur lagi kemarahan pamannya. Ruko besar itu memang ada banyak kamar. Walau demikian, tak seorang pun karyawan toko yang diijinkan menginap. Orang kikir itu takut ada karyawan yang mengutil barang. Sang paman memang tak percaya pada siapapun. Hanya yang masih terhitung saudaralah yang diperkenankan berdiam di sana. Termasuk dua pembantu rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun.
***
SEKARANG, jika diingat-ingatnya lagi semua pengalamannya di toko sepatu itu, seringkali ia tak habis pikir bagaimana ia sanggup bertahan di sana hingga lebih setahun lamanya. Beberapa kali ia nyaris berputus asa dan berpikir masa depannya akan berakhir di sana. Membusuk di antara deretan sepatu. Jika demikian, ia kerap tenggelam dalam lamunan. Hal mana yang menyebabkannya tiga kali ditegur oleh Bibi Nie, adik bungsu sang paman yang tak menikah dan sering diserahi tanggungjawab toko. Kalau pegawai lain barangkali sudah dicacimaki perawan tua yang judes itu, pikirnya kecut.
Ah, siapa sangka justru dialah yang bertahan lebih lama dibandingkan kawan-kawan yang lain. Awen yang dua bulan lebih dulu masuk darinya, memutuskan berhenti setelah bekerja tujuh bulan. Untuk seorang tamatan SD seperti Awen, tidaklah mudah mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi tampaknya nasib bagus berpihak pada teman barunya itu, lantaran Awen pernah belajar mengemudi pada seorang tetangganya yang sopir truk kaolin. Tentu saja, ditawari bekerja sebagai sopir pick up toko mebel, jauh lebih menyenangkan daripada harus berdiri terus-terusan di toko sambil memasang senyum kaku.
Setelah Awen pergi, ia nyaris tak punya teman akrab. Dua bulan kemudian, Rudi juga berhenti. Menyusul Yeni. Sementara itu, tugasnya di toko semakin berat. Ia tak hanya menjaga toko, tetapi juga disuruh sang paman menyalin ulang catatan penjualan untuk memanipulasi pungutan pajak.
Mula-mula ia berpikir bekerja di toko sepatu pamannya itu tentu lebih baik daripada jadi pegawai toko di pasar kota kecilnya. Paling tidak di kotamadya satu-satunya di pulau kecil itu ia bakal peroleh pengalaman yang lebih luas. Jika saja ia tahu ruang gerak dan waktunya bakal terkungkung begitu rupa di toko itu, barangkali ia akan memilih melaut bersama ayahnya.
Ah, laut yang terbentang luas, meski badan terkurung riak ombak!
Ia jadi kangen pada rumah, pada kawan-kawan sekolahnya, pada mantan pacarnya, dan terutama perpustakaan kesayangannya di kota kecilnya.
***
TERKADANG, dibayangkannya rak-rak sepatu memanjang yang memenuhi keempat dinding toko seperti deretan rak-rak buku di perpustakaan kecil milik Dharma Wanita perusahaan timah itu. Hampir setiap siang sepulang sekolah, ia mampir ke perpustakaan itu. Penjaganya, Bu Sofyan, perempuan separoh baya yang selalu murah senyum. Di sanalah ia mengenal novel-novel Kawabata, Max Havelaar, Burung-burung Manyar Romo Mangun, dan cukup banyak buku-buku sastra lain terbitan Balai Pustaka. Ia juga mendapatkan majalah Horison, Kartini, Selecta, dan Aktuil. Kecuali majalah Stannia milik perusahaan timah, semua majalah itu edisi lama tahun 70-an sampai 80-an.
“Kita tak ada dana sekarang, Dik,” kata Bu Sofyan dengan senyum getir suatu ketika. Kendati belum memiliki KTP, perempuan itu mengijinkannya membuat kartu perpustakaan dan meminjam buku. Biasanya ia menghabiskan waktu sekitar dua tiga jam membaca di sana, sebelum akhirnya membawa pulang buku-buku. Itulah alam semestanya yang pertama.
Ah, jauh hari kemudian ia pun membaca peribaratan ini dari Borges dalam kisah “The Library of Babel” yang berjudul asli “La Biblioteca de Babel”1. Ia tahu, hanya perpustakaan dengan pustakawan baiklah yang bakal menjelma alam semesta mahaluas bagi para pecinta buku. Beberapa perpustakaan telah dikunjunginya saat itu dan banyak di kemudian hari: perpustakaan sekolahnya, perpustakaan-perpustakaan kampus, dan sejumlah perpustakaan kota. Namun hanya segelintir yang menyamai, sedikit lebih buruk, dan melampaui perpustakaan kecilnya. Bu Sofyan pustakawati yang baik, meski tentu saja takkan sebanding seorang Borges—sang direktur Perpustakaan Nasional Argentina yang konon nyaris buta karena ketekunan membaca. Isteri karyawan perusahaan timah itu selalu menyusun buku-bukunya yang tak terlalu banyak dengan teratur, menata letak rak, bangku, dan meja dengan rapi kendati ruangan tak besar. Sehingga terciptalah suasana yang nyaman untuk membaca.
Perpustakaan, pikirnya ketika itu, seperti mesin waktu, atau pintu ke mana saja milik Doraemon. Tinggal mengulurkan tanganmu ke rak, maka kau pun melintasi ruang dan waktu. Demikianlah ia mengunjungi Rusia di jaman Revolusi Bolshevik dalam Dr. Zhivago, bersama Huck Finn, Tom Sawyer dan Joe Harper bertualang menyusuri mississippi2, menyambangi rumah gadis tidur bersama Eguci tua3 atau menghadiri beragam upacara festival di Kyoto dalam Ibukota Lama4. Atau ke masa-masa yang lebih tua, ke peristiwa-peristiwa besar dan heroik dalam sejarah, terkadang melenting ke masa depan yang belum terjadi.
Ai, ingatan pada perpustakaan kesayangan itu membuatnya jadi agak sentimentil. Buku-buku telah membuat hasratnya meninggalkan pulau kecil itu tak tertahankan, pun di tengah rasa kangennya pada rumah.
***
YA, begitulah. Kian hari, ia merasa toko sepatu itu semakin membuatnya terasing dengan dirinya sendiri. Ia tak mau membuang masa mudanya dengan sia-sia di antara rak-rak sepatu itu. Masa depan memang belum tercatat, tapi mesti segera diselamatkan. Atau ia bakal benar-benar menjelma jadi kutu sepatu. Pelan-pelan membusuk bersama gaji puluhan ribu.
Ia telah jenuh menghadapi para pembeli yang cerewet, satu dua preman yang sering meminta uang, kawan-kawan pegawai perempuan yang memakai parfum kelewat wangi, atau orang-orang menjengkelkan yang kadang-kadang datang menanyakan barang-barang yang tak mungkin dijual oleh sebuah toko sepatu: jas, panci, buku tulis…
Jika ada hal yang bisa disyukurinya selama bekerja di toko sepatu itu, barangkali hanyalah ia peroleh kesempatan untuk mengenal banyak orang dengan tabiat mereka yang unik. Jauh lebih kompleks daripada yang didapatkannya di bangku sekolah. Dan semua itu menambah pembendaharaannya dalam menggambar.
Di toko sepatu itu, tak ada yang bisa dibacanya selain surat kabar langganan sang paman. Tak ada toko buku di kotamadya itu. Kerapkali ia melewatkan jam istirahat siangnya dengan menyusuri lapak-lapak kakilima atau kios-kios koran-majalah. Ada banyak novel pop picisan dan cerita silat. Tapi nyaris tak ada yang berharga untuk ia baca.
Ketika ia sudah hampir putus asa dengan hidupnya yang monoton dan terkungkung, dua buah karikaturnya dimuat oleh sebuah tabloid olahraga. Dan itu memberinya sedikit semangat. Pada saat-saat membosankan di toko, ia diam-diam memang membuat banyak karikatur di buku gambar yang dibelinya.
Tentu, ia lalu ingat pada majalah dinding sekolahnya. Selama dua tahun, ia menjadi ilustrator majalah dinding yang nyaris tak punya pembaca itu. Maka suatu hari, berdua dengan Laura, ia pun membuat sejumlah karikatur yang agak vulgar. Tepat sebagaimana bayangan mereka, keesokan harinya saat ditempel, majalah dinding itu ramai dikerumuni oleh anak-anak. Seluruh sekolah heboh. Tentu saja kepala sekolah naik pitam.
“Kalian pikir ini di mana? Apa yang dipikirkan otak jongkok kalian sampai membuat gambar-gambar gila ini!” Pak Piet meledak. Itu seminggu sebelum mereka berpacaran.
Ai! Ia selalu tertawa jika teringat semuanya. Kenang-kenangan di masa SMA itu, bagaimana pun agak menghiburnya, seperti halnya terkadang satu dua gadis berpenampilan modis yang datang ke toko. Ia tahu, tak perlu lagi memikirkan Laura. Mereka berpisah baik-baik dan telah memiliki dunia sendiri. Begitulah, sambil melayani gadis-gadis itu mencari sepatu atau sandal, terkadang ia iseng menggoda mereka. Kemudian ia mengenal Rini. Ah, nama itu awalnya ia baca pada badge di dada kanan baju seragam si kepang kuda. Waktu itu Rini yang baru pulang sekolah datang mencari sepatu olahraga bersama dua orang temannya. Ia ingat, bagaimana sambil mencocokkan ukuran sepatu Rini, ia curi-curi menikmati wajah cantik gadis itu dari samping. Juga bagaimana kawan-kawan Rini kemudian menangkap basah ulahnya itu, dan wajah gadis itu bersemu merah. Tapi Rini datang lagi, dan lagi. Membeli kaos kaki, tali sepatu, sandal gunung, sampai pita rambut. Ah, tidak. Tak pernah terjalin hubungan apapun di antara mereka. Gadis itu datang sebagai pembeli yang terlalu sering, dan ia harus jadi pelayan toko yang baik. Itu saja. Mereka menjadi cukup akrab hanya lantaran seringnya bertemu.
Ia memang tak bisa mengingkari perasaan debarnya setiapkali Rini datang. Tetapi debaran itu—yang demikian nikmat—apalah beda dengan ketika suatu hari Yeni menariknya ke belakang tumpukan kotak sepatu dan menciumnya, atau tatkala sebelah paha putih Bu Metty tersingkap saat perempuan setengah baya pelanggan lama pamannya itu meminta bantuannya memasangkan sepatu hak tinggi yang agak sempit di tumit.
Toh, suatu malam ia sempat membuat sketsa wajah gadis itu. Ia bermaksud menghadiahkan sketsa itu pada Rini sebagai kenang-kenangan sebelum ia pergi. Tetapi, entahlah, gadis itu ternyata tak pernah bertandang lagi. Hingga ia berhenti dari toko tiga bulan kemudian. Tanpa sepengetahuan siapa pun, diam-diam dibawanya sepasang sepatu kulit dan kaos kaki, juga sepotong dasi milik pamannya.
Tak lama setelah itu, dengan sedikit uang yang ia sisihkan setiap bulan, juga bantuan tabungan bapaknya, ia pun meninggalkan pulau kecilnya dan ikut UMPTN. Pertengahan 1997, sebulan sebelum ia menyirap kabar Awen meninggal dalam kecelakaan mobil…
Ya, ketika itu ia masih begitu belia, sesegar pucuk dedaunan.***
Gaten, Yogyakata, Februari 2010
Catatan:
1. Cerita Borges ini pernah diterjemahkan oleh Hasif Amini dalam kumpulan “Labirin Impian” (Yogyakarta: LKiS, 1999). Saya juga membaca versi bahasa Inggrisnya yang diterjemahkan oleh Andrew Hurley dalam “Jorge Luis Borges: Collected Fictions” (London: Allen Lane The Penguin Press [Penguin Grup], 1999). Edisi Inggris terjemahan Hurley ini dibuka dengan kalimat: “The universe (which others call the Library) is composed of an indefinite, perhaps infinite number of hexagonal galleries.”
2. Mark Twain, “The Adventures of Tom Sawyer”. Sempat diterjemahkan oleh Pustaka Jaya.
3. Yasunari Kawabata, “Nemureru Bijo”. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Asrul Sani dari versi Inggris “The House of The Sleeping Beauties” terjemahan Edward G. Seidensticker (Pustaka Jaya)
4. Yasunari Kawabata, “Koto”. Saya membaca novel ini saat mengeditori terjemahan seorang kawan, Nurul Hanafi, yang akan diterbitkan Parikesit Press. Nurul menerjemahkan novel ini dari terjemahan Inggris Martin J. Holman, “The Old Capital”.
BIODATA
Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Bergiat di Parikesit Institute, Yogyakarta. Buku cerpennya adalah Malam Buta Yin (Gama Media, 2009).