28.9 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Pendar Tubuh di Kebun Sawit

Oleh: Budi Afandi

“Kuburkan aku…di tengah…tengah…kebun sawit.”
Kalimat yang diucapkan dengan terpenggal-penggal itu adalah kalimat terakhir yang mampu diucapkan Raniti. Di ujung kalimat itu Raniti melepas napas penghabisan dari lorong tenggorokannya, ia bangkit, berdiri dan menatap Rauh.

Raniti melangkah menuju pojok ruangan, melintasi kerumunan orang-orang yang mulai membingarkan isakan. Dia duduk bersandar dengan mata terpejam dan muka menengadah. Raniti diam seakan sedang menikmati nyanyian terisak yang mulai memenuhi ruangan.
Rauh berdiri, melangkah meninggalkan ruangan. Raniti berdiri, melangkah di belakang Rauh, dan Raniti berdiri menatap Rauh yang memotong bambu untuk keranda.

Sore itu, Raniti berjalan bersama rombongan yang mengusung keranda berisi tubuhnya yang mati. Tubuh Raniti memendarkan cahaya kekuningan, ia berjalan tepat di depan keranda. Wajahnya memancarkan ketenangan, langkahnya menunjukkan keberanian, dan senyumnya seakan berisi semua pesan kemenangan.

Sikap Raniti sore itu membuat Rauh membayangkan para kesatria penjaga raja-raja. Raniti yang berjalan di depan para pengusung keranda, terlihat layaknya kesatria yang mengawal usungan tandu kebesaran raja-raja.

Sepanjang pemakaman, tak sekalipun Raniti melepas pandangan dari liang lahat. Ia diam saja sampai akhirnya ia mulai melangkah menuruni tangga menuju dasar lahat. Ditatapnya semua penghantar yang melemparkan segenggam tanah pada tubuhnya yang berlapis kafan. Sebelum tubuhnya yang memendarkan cahaya kekuningan itu menyaru dan menghilang, Raniti menatap Rauh, lalu keduanya tersenyum.
***

Raniti, adik Rauh, adalah pemuda pemberani. Sosok yang menurut Rauh sangat layak disandingkan dengan kesatria penjaga raja-raja. Meski Raniti tidak memiliki kaki untuk melangkah tegap layaknya kesatria pengawal raja-raja. Tapi Raniti memiliki lebih dari sekadar sepasang kaki, dia memiliki keberanian yang setara dengan kesatria kerajaan manapun.

Raniti selalu bisa berjalan dengan menjejakkan kedua tangannya di permukaan tanah. Dia mampu mengelilingi seluruh kebun sawit dengan cara itu. Biasanya, sambil bernyanyi Raniti memunguti buah sawit yang rontok dari tandanan, memasukkan buah itu ke dalam bakul di punggungnya.
Tidak sedikitpun kekurangan fisik memenggal keberanian Raniti menjalani hidup. Karenanya, tak jarang Rauh membayangkan Raniti berdiri dengan pedang pusaka, menyayat-nyayat tembok kesusahan yang menghalangi langkahnya.

Meski Raniti tidak pernah menjadikan kekurangannya sebagai penghalang, Rauh dan warga kampung tetap saja menyimpan iba. Rauh kerap meminta Raniti berdiam diri di rumah, meninggalkan kesibukan di kebun sawit. Terlebih semenjak mulai maraknya aksi perampokan di kampung mereka, semenjak ada pengusaha yang berniat membeli kebun sawit mereka. Tapi Raniti selalu punya cara untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak kalah kuat dengan Rauh dan warga lainnya.

Seperti malam itu, saat sekali lagi permintaan Rauh dijawabnya dengan gelak tawa dan tawaran bertarung panco. Sebuah jawaban yang membuat Rauh bertahan cukup lama dalam keringat dingin yang mengucur deras. Rauh memang telah memperkirakan kekuatan lengan Raniti, tapi dia tak menyangka kekuatan itu melebihi kekuatan lengannya.

“Sepertinya aku harus ke kebun lebih cepat dari biasanya, mungkin besok malam,” ucap Raniti pada Rauh yang bersimbah peluh.
Raniti menatap ke luar pintu, membelah selaput malam yang menyumirkan hijau dedaunan. Ia menjejakkan dua telapak tangannya di lantai kayu, bergerak menuju pintu. Suara derit lantai kayu mengiringi gerakannya, dia bersandar pada kusen pintu. Raniti menengadahkan wajah, menatap langit malam. Rauh bangkit mendekatinya, turut menatap langit yang bertabur kunang-kunang angkasa.

“Kenapa? Bukankah purnama masih beberapa hari lagi?” ucap Rauh sambil menunduk menatap wajah Raniti.
“Entahlah.”

“Suara-suara itu mengatakan sesuatu padaku,” balas Raniti tanpa mengalihkan pandangan.
Pergi ke kebun sawit saat malam purnama adalah kebiasaan Raniti. Awalnya Rauh tidak pernah mengerti alasan Raniti melakukan hal itu, kebiasaan yang mulai Raniti lakukan setelah tiga bulan kematian ibu bapak mereka.

Tiap kali Rauh bertanya perihal kebiasaannya, Raniti selalu menampik dengan gelak tawa yang memaksa Rauh terus memendam tanya. Hingga datang malam ketika Raniti membuka garis yang menutup kenyataan dari mata Rauh. Membuat kakaknya tidak mampu melepas satu malam purnama pun dari rerumputan di tengah kebun sawit.
***

“Cepat kak,” kata Raniti dari balik punggung Rauh.
“Sabarlah, tumben kau buru-buru.”

“Haha, nanti kakak juga tahu,” Raniti menyambut seraya memukul-mukul pundak Rauh layaknya kusir memukul kuda.
Kebun sawit diselimuti kegelapan saat Rauh dan Raniti tiba di tengah-tengahnya. Cahaya purnama tidak mampu menerangi kebun seperti lampu templok menerangi ruangan.

Raniti langsung bergerak menuju batang sawit kering yang tergeletak di tengah kebun. Batang sawit itu dulu suka diduduki ibu dan bapak mereka untuk sekadar melepas lelah, sebelum keduanya direnggut kecelakaan truk pengangkut kelapa sawit.
“Kakak kemarilah,” suara Raniti merembesi udara malam.

“Lihatlah kak, betapa indahnya kebun ini, betapa merdunya suara-suara alam yang telah memberi kehidupan pada yang hidup, memberi kejayaan pada yang hidup dan mati.”

Rauh tercenung mendengar kalimat itu. Raniti yang tidak memiliki kaki, mengucapkan kalimat layaknya orang bijak dari antah berantah.
“Kakak kemarikan tangan kakak,” ucapnya sambil meraih tangan kanan Rauh.

“Ibu dan bapak ingin bicara,” suaranya yang lirih itu terdengar seperti sengatan listrik  di telinga Rauh.
“Maksudmu?” ucap Rauh seraya berdiri.

Tiba-tiba semua bulu di tubuh Rauh seperti membesar. Rauh merasa seluruh permukaan kulitnya seperti dilaburi air es. Lalu aroma melati menyapa hidung. Aroma itu semakin kencang, membuat udara di sekitar mereka seakan dipenuhi kembang melati. Kemudian perlahan-lahan, telinga Rauh menangkap suara langkah-langkah kaki di atas rerumputan, juga suara bisik-bisik percakapan dan cekikik bocah-bocah. Rauh merasa tubuhnya seakan semakin membesar, jantungnya berpacu dengan keinginan untuk mengajak Raniti meninggalkan kebun sawit, namun sebuah panggilan menyentak kesadarannya.

“Rauh.”
“Bagaimana kabarmu anakku?”
Rauh terdiam. Tiba-tiba dia menangis seperti bayi yang baru sadar tak lagi mendapat susu dari ibunya yang telah mati.
***

“Bergegaslah Raniti,” ucap Rauh sambil menarik tangan Raniti.

Rauh mempercepat langkahnya. Dia setengah berlari begitu pegangan dari tangan Raniti dilepasnya. Membuat Raniti bergerak cepat menyusulnya. Keduanya menjejak di dingin tebaran kamboja dan melati yang memenuhi permukaan rerumputan. Sesekali mereka menyapu buliran air di kulit wajah, air yang memercik memenuhi udara kebun sawit. Air yang berasal dari pancuran yang bertebaran di taman di tengah kebun sawit. Pancuran air yang disekat pagar batang-batang kamboja dan gemulai tangkai melati.

Sejak saat malam purnama di mana Rauh bertemu kembali dengan ibu bapaknya, dia menjadi lebih gila mendatangi kebun sawit tatkala purnama. Rauh selalu berlari cepat menjejak rerumputan sambil memanggul Raniti. Dan begitu duduk di bangku di tengah taman kamboja itu, keduanya berhamburan memeluk ibu bapaknya.

Rauh berlari semakin menjauh. Dia berbelok di tembok-tembok pancuran, menghilang dan muncul seperti hendak mengajak Raniti bermain petak umpet. Tingkah kedua tubuh dengan pendaran cahaya kebiruan itu mengundang senyum tubuh-tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan, tubuh-tubuh yang menebar di atas rerumputan selayaknya manusia di tengah sebuah pesta kebun.
“Kakak, nanti pulanglah lebih dulu,” kata Raniti saat keduanya bergabung dengan ratusan tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan.
“Maksudmu?” tanya Rauh.

“Datanglah pada kami tiap malam purnama tiba,” ucap ibu bapaknya bersamaan.

“Datanglah pada kami tiap malam purnama tiba,” suara-suara dari tubuh dengan pendaran cahaya kekuningan memenuhi sekeliling Rauh. Mendesak tubuhnya hingga dia tersentak di samping tubuh Raniti di atas batang sawit kering. Dan keesokan harinya, Raniti mati begitu saja setelah meminta dimakamkan di tengah kebun sawit.
***
Raniti bersimpuh di hadapan tubuh Rauh yang bersimbah darah, tak jauh dari makam Raniti yang masih basah. Raniti menangis kering tanpa air mata di bawah laburan cahaya purnama. Di hadapannya tubuh Rauh sudah tak berbentuk, dipenuhi luka bacokan. Berkali-kali tangan Raniti yang memendarkan cahaya kekuningan menyapu tubuh Rauh yang dingin.
“Kenapa kau memilih mati dengan cara ini?” lirih Raniti.
“Sudahlah nak,” ucap ibunya.

“Perampok-perampok itu pasti akan dibalas,” kata bapaknya.

“Mari kita bantu kedatangan kakakmu,” bapaknya melanjutkan sambil menyentuh pundak Raniti.
Puluhan tubuh-tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan mulai berdatangan mengitari Raniti dan ibu bapaknya. Bersamaan dengan hari yang mulai terang, jumlah mereka kian bertambah. Mereka berdiri di antara warga yang sedang berusaha mencari bagian tubuh Rauh yang terpisah-pisah. Lalu mereka semua mengiringi langkah warga yang membawa keranda berisi tubuh Rauh yang mulai disatukan.

Begitu keranda diturunkan di halaman rumah, Rauh bangkit, menatap sekeliling, dan tersenyum pada Raniti dan ibu bapaknya. Tubuh Rauh yang memendarkan cahaya kekuningan berjalan menghampiri adiknya dan ibu bapaknya. Bersama semua tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan, keempatnya memerhatikan warga yang mulai menyiapkan pemakaman.

“Kak, kita cari pembunuh kakak,” Raniti berbisik pada Rauh yang langsung mengangguk sambil tersenyum dingin. Pendaran kekuningan yang mengeliling tubuh keduanya perlahan berubah, memerah serupa darah. (*)
# Mataram-Jakarta, Desember 2011-November 2012

Oleh: Budi Afandi

“Kuburkan aku…di tengah…tengah…kebun sawit.”
Kalimat yang diucapkan dengan terpenggal-penggal itu adalah kalimat terakhir yang mampu diucapkan Raniti. Di ujung kalimat itu Raniti melepas napas penghabisan dari lorong tenggorokannya, ia bangkit, berdiri dan menatap Rauh.

Raniti melangkah menuju pojok ruangan, melintasi kerumunan orang-orang yang mulai membingarkan isakan. Dia duduk bersandar dengan mata terpejam dan muka menengadah. Raniti diam seakan sedang menikmati nyanyian terisak yang mulai memenuhi ruangan.
Rauh berdiri, melangkah meninggalkan ruangan. Raniti berdiri, melangkah di belakang Rauh, dan Raniti berdiri menatap Rauh yang memotong bambu untuk keranda.

Sore itu, Raniti berjalan bersama rombongan yang mengusung keranda berisi tubuhnya yang mati. Tubuh Raniti memendarkan cahaya kekuningan, ia berjalan tepat di depan keranda. Wajahnya memancarkan ketenangan, langkahnya menunjukkan keberanian, dan senyumnya seakan berisi semua pesan kemenangan.

Sikap Raniti sore itu membuat Rauh membayangkan para kesatria penjaga raja-raja. Raniti yang berjalan di depan para pengusung keranda, terlihat layaknya kesatria yang mengawal usungan tandu kebesaran raja-raja.

Sepanjang pemakaman, tak sekalipun Raniti melepas pandangan dari liang lahat. Ia diam saja sampai akhirnya ia mulai melangkah menuruni tangga menuju dasar lahat. Ditatapnya semua penghantar yang melemparkan segenggam tanah pada tubuhnya yang berlapis kafan. Sebelum tubuhnya yang memendarkan cahaya kekuningan itu menyaru dan menghilang, Raniti menatap Rauh, lalu keduanya tersenyum.
***

Raniti, adik Rauh, adalah pemuda pemberani. Sosok yang menurut Rauh sangat layak disandingkan dengan kesatria penjaga raja-raja. Meski Raniti tidak memiliki kaki untuk melangkah tegap layaknya kesatria pengawal raja-raja. Tapi Raniti memiliki lebih dari sekadar sepasang kaki, dia memiliki keberanian yang setara dengan kesatria kerajaan manapun.

Raniti selalu bisa berjalan dengan menjejakkan kedua tangannya di permukaan tanah. Dia mampu mengelilingi seluruh kebun sawit dengan cara itu. Biasanya, sambil bernyanyi Raniti memunguti buah sawit yang rontok dari tandanan, memasukkan buah itu ke dalam bakul di punggungnya.
Tidak sedikitpun kekurangan fisik memenggal keberanian Raniti menjalani hidup. Karenanya, tak jarang Rauh membayangkan Raniti berdiri dengan pedang pusaka, menyayat-nyayat tembok kesusahan yang menghalangi langkahnya.

Meski Raniti tidak pernah menjadikan kekurangannya sebagai penghalang, Rauh dan warga kampung tetap saja menyimpan iba. Rauh kerap meminta Raniti berdiam diri di rumah, meninggalkan kesibukan di kebun sawit. Terlebih semenjak mulai maraknya aksi perampokan di kampung mereka, semenjak ada pengusaha yang berniat membeli kebun sawit mereka. Tapi Raniti selalu punya cara untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak kalah kuat dengan Rauh dan warga lainnya.

Seperti malam itu, saat sekali lagi permintaan Rauh dijawabnya dengan gelak tawa dan tawaran bertarung panco. Sebuah jawaban yang membuat Rauh bertahan cukup lama dalam keringat dingin yang mengucur deras. Rauh memang telah memperkirakan kekuatan lengan Raniti, tapi dia tak menyangka kekuatan itu melebihi kekuatan lengannya.

“Sepertinya aku harus ke kebun lebih cepat dari biasanya, mungkin besok malam,” ucap Raniti pada Rauh yang bersimbah peluh.
Raniti menatap ke luar pintu, membelah selaput malam yang menyumirkan hijau dedaunan. Ia menjejakkan dua telapak tangannya di lantai kayu, bergerak menuju pintu. Suara derit lantai kayu mengiringi gerakannya, dia bersandar pada kusen pintu. Raniti menengadahkan wajah, menatap langit malam. Rauh bangkit mendekatinya, turut menatap langit yang bertabur kunang-kunang angkasa.

“Kenapa? Bukankah purnama masih beberapa hari lagi?” ucap Rauh sambil menunduk menatap wajah Raniti.
“Entahlah.”

“Suara-suara itu mengatakan sesuatu padaku,” balas Raniti tanpa mengalihkan pandangan.
Pergi ke kebun sawit saat malam purnama adalah kebiasaan Raniti. Awalnya Rauh tidak pernah mengerti alasan Raniti melakukan hal itu, kebiasaan yang mulai Raniti lakukan setelah tiga bulan kematian ibu bapak mereka.

Tiap kali Rauh bertanya perihal kebiasaannya, Raniti selalu menampik dengan gelak tawa yang memaksa Rauh terus memendam tanya. Hingga datang malam ketika Raniti membuka garis yang menutup kenyataan dari mata Rauh. Membuat kakaknya tidak mampu melepas satu malam purnama pun dari rerumputan di tengah kebun sawit.
***

“Cepat kak,” kata Raniti dari balik punggung Rauh.
“Sabarlah, tumben kau buru-buru.”

“Haha, nanti kakak juga tahu,” Raniti menyambut seraya memukul-mukul pundak Rauh layaknya kusir memukul kuda.
Kebun sawit diselimuti kegelapan saat Rauh dan Raniti tiba di tengah-tengahnya. Cahaya purnama tidak mampu menerangi kebun seperti lampu templok menerangi ruangan.

Raniti langsung bergerak menuju batang sawit kering yang tergeletak di tengah kebun. Batang sawit itu dulu suka diduduki ibu dan bapak mereka untuk sekadar melepas lelah, sebelum keduanya direnggut kecelakaan truk pengangkut kelapa sawit.
“Kakak kemarilah,” suara Raniti merembesi udara malam.

“Lihatlah kak, betapa indahnya kebun ini, betapa merdunya suara-suara alam yang telah memberi kehidupan pada yang hidup, memberi kejayaan pada yang hidup dan mati.”

Rauh tercenung mendengar kalimat itu. Raniti yang tidak memiliki kaki, mengucapkan kalimat layaknya orang bijak dari antah berantah.
“Kakak kemarikan tangan kakak,” ucapnya sambil meraih tangan kanan Rauh.

“Ibu dan bapak ingin bicara,” suaranya yang lirih itu terdengar seperti sengatan listrik  di telinga Rauh.
“Maksudmu?” ucap Rauh seraya berdiri.

Tiba-tiba semua bulu di tubuh Rauh seperti membesar. Rauh merasa seluruh permukaan kulitnya seperti dilaburi air es. Lalu aroma melati menyapa hidung. Aroma itu semakin kencang, membuat udara di sekitar mereka seakan dipenuhi kembang melati. Kemudian perlahan-lahan, telinga Rauh menangkap suara langkah-langkah kaki di atas rerumputan, juga suara bisik-bisik percakapan dan cekikik bocah-bocah. Rauh merasa tubuhnya seakan semakin membesar, jantungnya berpacu dengan keinginan untuk mengajak Raniti meninggalkan kebun sawit, namun sebuah panggilan menyentak kesadarannya.

“Rauh.”
“Bagaimana kabarmu anakku?”
Rauh terdiam. Tiba-tiba dia menangis seperti bayi yang baru sadar tak lagi mendapat susu dari ibunya yang telah mati.
***

“Bergegaslah Raniti,” ucap Rauh sambil menarik tangan Raniti.

Rauh mempercepat langkahnya. Dia setengah berlari begitu pegangan dari tangan Raniti dilepasnya. Membuat Raniti bergerak cepat menyusulnya. Keduanya menjejak di dingin tebaran kamboja dan melati yang memenuhi permukaan rerumputan. Sesekali mereka menyapu buliran air di kulit wajah, air yang memercik memenuhi udara kebun sawit. Air yang berasal dari pancuran yang bertebaran di taman di tengah kebun sawit. Pancuran air yang disekat pagar batang-batang kamboja dan gemulai tangkai melati.

Sejak saat malam purnama di mana Rauh bertemu kembali dengan ibu bapaknya, dia menjadi lebih gila mendatangi kebun sawit tatkala purnama. Rauh selalu berlari cepat menjejak rerumputan sambil memanggul Raniti. Dan begitu duduk di bangku di tengah taman kamboja itu, keduanya berhamburan memeluk ibu bapaknya.

Rauh berlari semakin menjauh. Dia berbelok di tembok-tembok pancuran, menghilang dan muncul seperti hendak mengajak Raniti bermain petak umpet. Tingkah kedua tubuh dengan pendaran cahaya kebiruan itu mengundang senyum tubuh-tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan, tubuh-tubuh yang menebar di atas rerumputan selayaknya manusia di tengah sebuah pesta kebun.
“Kakak, nanti pulanglah lebih dulu,” kata Raniti saat keduanya bergabung dengan ratusan tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan.
“Maksudmu?” tanya Rauh.

“Datanglah pada kami tiap malam purnama tiba,” ucap ibu bapaknya bersamaan.

“Datanglah pada kami tiap malam purnama tiba,” suara-suara dari tubuh dengan pendaran cahaya kekuningan memenuhi sekeliling Rauh. Mendesak tubuhnya hingga dia tersentak di samping tubuh Raniti di atas batang sawit kering. Dan keesokan harinya, Raniti mati begitu saja setelah meminta dimakamkan di tengah kebun sawit.
***
Raniti bersimpuh di hadapan tubuh Rauh yang bersimbah darah, tak jauh dari makam Raniti yang masih basah. Raniti menangis kering tanpa air mata di bawah laburan cahaya purnama. Di hadapannya tubuh Rauh sudah tak berbentuk, dipenuhi luka bacokan. Berkali-kali tangan Raniti yang memendarkan cahaya kekuningan menyapu tubuh Rauh yang dingin.
“Kenapa kau memilih mati dengan cara ini?” lirih Raniti.
“Sudahlah nak,” ucap ibunya.

“Perampok-perampok itu pasti akan dibalas,” kata bapaknya.

“Mari kita bantu kedatangan kakakmu,” bapaknya melanjutkan sambil menyentuh pundak Raniti.
Puluhan tubuh-tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan mulai berdatangan mengitari Raniti dan ibu bapaknya. Bersamaan dengan hari yang mulai terang, jumlah mereka kian bertambah. Mereka berdiri di antara warga yang sedang berusaha mencari bagian tubuh Rauh yang terpisah-pisah. Lalu mereka semua mengiringi langkah warga yang membawa keranda berisi tubuh Rauh yang mulai disatukan.

Begitu keranda diturunkan di halaman rumah, Rauh bangkit, menatap sekeliling, dan tersenyum pada Raniti dan ibu bapaknya. Tubuh Rauh yang memendarkan cahaya kekuningan berjalan menghampiri adiknya dan ibu bapaknya. Bersama semua tubuh yang memendarkan cahaya kekuningan, keempatnya memerhatikan warga yang mulai menyiapkan pemakaman.

“Kak, kita cari pembunuh kakak,” Raniti berbisik pada Rauh yang langsung mengangguk sambil tersenyum dingin. Pendaran kekuningan yang mengeliling tubuh keduanya perlahan berubah, memerah serupa darah. (*)
# Mataram-Jakarta, Desember 2011-November 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/