26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Mendekati Cahaya

Cerpen:   Tjak S Parlan

Tidak terlalu buruk, aku kira. Mendengar  kehidupan dari ruang yang sempit ini. Mengintip cahaya dari lubang kecil  di lorong bawah tanah. Aku melihat orang – orang  pergi pulang, entah kemana.  Deru  kendaraan yang  tak  pernah berhenti.  Semuanya terjadi di bawah siraman cahaya.  Lalu, aku mulai merindukan tiga hal yang—mau tak mau—dilalui oleh mereka;  lahir, hidup dan mati.     

Night Club

Siapa yang peduli dengan hentakan musik? Di tempat ini, segala jenis musik akan membuat orang selalu bergoyang. Dari dangdut sampai rock ‘n roll. Bahkan setiap apapun –yang berbunyi, kadang tak perlu ada unsur harmoni, karena itu tidak penting- akan membuat puluhan manusia di tempat ini ingin menari. Tentu saja, bukankah panggung di depan itu, lantai keramik, kursi-kursi, meja, daftar menu, berderet-deret aneka merk miuman, terang redup lampu, toilet,  yang berbaur dengan kelakar orang-orang lupa, sengaja diciptakan untuk sebuah kebutuhan?  Menari.   Ya, kukira menari adalah  kata  yang  teramat cukup  untuk mewakili.

Pun juga aku, datang kemari hanya untuk menari. Bersama siapa pun yang bisa enjoy dengan goyanganku. Yang  bisa memberikan lenguhan-lenguhan patah, seirama dalam denyut, detak, desir, bergelinjang.  Jika ya, night club ini akan buka sampai pagi. Bisa dipastikan aku akan kemana setelah itu. Ke sebuah hotel di pinggiran kota, di dekat pantai, di bawah siraman cahaya bulan. Atau hanya ke sebuah lorong gelap di tengah-tengah kota. Tepat sekali! Jika saja kalian memastikan aku pada pilihan yang ketiga. Sebab aku selalu memangsa mereka di ruang-ruang yang minim cahaya. Mereka meraung. Aku melakukan selebrasi. Menari, di sebuah lorong gelap di bawah mereka yang benar-benar hidup.
********

Lorong Bawah Tanah

Temaram, dari waktu ke waktu. Sudah beribu-ribu tahun. Dulunya aku lebih betah di gua-gua. Lalu peradaban berubah. Gedung-gedung megah. Beton-beton raksasa yang selalu menyisakan ruang bawah tanah. Entah itu hanya sekadar saluran air, gudang  atau  ruang yang sengaja dibuat untuk keperluan tertentu. Private party mungkin, menyusun rencana-rencana rahasia, tempat menyimpan barang berharga atau apa sajalah. Yang  pasti,  ruang kehidupan di bawah tanah itu tidak diciptakan untukku. Ambil alih, atau memanfaatkan tempat ala kadarnya, adalah alasan yang  paling tepat bagiku untuk memiliki tempat tinggal. Sebuah lorong; suatu  tempat  yang jauh dari cahaya.

Bagaimana lagi? Di zaman yang serba beton ini, nyaris tak bisa ditemukan gua-gua. Dulu yang serba rimba, serba purba, disulap menjadi serba kota. Memang  masih  ada jauh di tempat asalku yang dulu. Biasanya aku hanya menemukan para pemburu, peladang yang berpindah-pindah, atau pencuri kayu. Aku bosan mencium aroma mereka. Tubuh yang bermandi peluh. Bau tanah. Tak ada wangi parfum yang menggoda gairahku  seperti kebanyakan aroma khas yang sering kutemui di nigt  club, bar, pub juga tempat-tempat karaoke. Kurang ada taste-nya. Karena bete, juga keinginan untuk menyesuaikan dengan zaman,  aku pindah ke kota.

Suatu ketika, ada sebuah saat dimana aku merindukan tempatku yang dulu. Maka pada sebuah malam yang basah-saat paling tepat melakukan perjalanan- aku terbang melawat kesana.  Membawa seratus tahun kerinduan. Jika kalian manusia, bisa dibayangkan betapa lamanya. Tetapi sungguh, yang kutemui justeru kebencian. Jangankan sebuah prasasti, bekas-bekas kenangan pun sudah tak ada. Tempat  itu  praktis menjadi sebuah kota industri di tengah-tengah desa yang serba udik. Belakangan desa itu pun mulai ketularan.  Aku meradang. Dendam kesumat kepada manusia mulai tak tertahan. Kumasuki sebuah bar. Kukecup leher mereka satu persatu. Kuseret tubuh-tubuh mereka ke sebuah lorong panjang dekat pendulangan emas. Tak setetes pun dari darah mereka kusisakan. Sejak kejadian di lorong itu, tubuhku sering merasa gatal-gatal. Lalu aku teringat satu kata—dari sekian banyak— yang pernah sering diperdebatkan dulu; mercury, mercury, mercury….  Aku kena! Berikutnya ada alasan bagiku untuk meragukan eksistensi sebagai yang bukan manusia. Terjangkit gejala, tapi masih jauh dibawah ambang batas. Bisa diobati, begitulah seorang pakar-yang nyaris kujadikan santap malam-mengatakannya padaku. Ternyata aku benar-benar terjangkit gejala untuk menjadi manusia.

Tapi sudahlah. Itu dulu, masa lalu yang memang selalu hanya diperkosa dalam ingatan. Hanya cenderung dilupakan. Manusia telah mengajariku untuk mengalihkan isu. Ada juga pilihan yang dibuat seolah cukup arif dan bijak: mari kita jadikan semua itu sebagai sebuah pelajaran. Titik. Habis!
***

Cahaya

Cahaya, cahya, sinar, nur—apa pun istilahnya—tak pernah akan habis. Tentu saja jika sumber dari segala sumber cahaya itu—yang abadi—tak serta merta menjadi murka, lalu meledakkan dirinya minimal seperti kedahsyatan bom yang beberapa waktu lalu kembali menjadi teror. Seberapa dahsyat sih, hasil rakitan dari tangan – tangan yang masih sumir keberadaanya itu? Jika dibandingkan dengan berapa kerugian lahir batin bagi siapapun yang dikorbankan atau yang menjadi sejatinya korban, misalnya.  Bumi dan langit, jika aku harus menjawabnya. Manusia, jika aku harus menuduh pelakunya. Sebab setan punya perjanjian yang jelas untuk menjerumuskan manusia. Malah mahluk yang kerap menjadi icon umpatan, kemarahan, juga segala yang buruk ini, yaitu setan,  lebih perkasa mengakui dirinya sebagai sumber dari segala jahanam.

Lalu, jika aku merindukan sepotong leher jenjang yang ingin kukecup demi mempertahankan hidup, bagaimana pendapatmu? Jahanam! Lantas, jika aku tiba-tiba merasa merindukan cahaya, bagaimana kira-kira? Gila! Tidak. Kamu ndak perlu menjawabnya. Dengan mendengarkan kisah-kisahku, niscaya kamu akan memahaminya. Dengan mengerti aku, kamu-meski pelan-pelan-akan merasa gamblang akan diriku yang sebenarnya.
Pertama-tama: aku bukan carnivora. Sebuah species pemakan daging. Bahkan cenderung sembarang daging. Ya, karena aku punya pilihan. Hanya daging tertentu yang boleh menjadi santapan. Bahkan, daging tak terlalu penting. Ia-daging- melulu hanya sebuah sarana untuk memperoleh sari-sarinya. Aku hanya berselera dengan bau amis dan anyir darah. Darah yang mengaliri setiap tubuh kalian. Tubuh-tubuh yang gentayangan di night club, bar, pub, karaoke, panti pijat atau villa para pejabat.  Tapi, alangkah malangnya ketika kalian semua tahu bahwa hanya pada malam hari, hanya pada saat cahaya matahari tidak secara langsung menyentuh kulitku, aku bisa memenuhi seleraku. Cahaya matahari bisa membuatku terbakar. Seluruh tubuhku akan melepuh secepat kilat. Gosong, lalu lenyap tanpa sisa.

Kedua: aku vampir, drakula, gerandong. Beberapa orang pernah menyebutku sebagai salah satunya. Malah ada yang lebih berani menyebut ketiga-tiganya sekaligus. Lebih komplit, katanya. Sebutan yang semestinya, meskipun diam-diam aku menertawai mereka. Vampir, drakula, gerandong, semua bisa saja ada. Tapi aku lebih suka menyebut diriku sebagai “oknum yang mengalami trauma terhadap cahaya”. Cahaya matahari dimana kalian bisa lahir, hidup, juga mati di bawah siramannya. Di bawah cahaya, hidup itu terus berjalan. Dan di tempat ini, pada sebuah tempat yang terlindung dari cahaya aku dapat menyaksikan semuanya. Lalu aku merindukannya, cahaya itu.
***

Mendekati Cahaya

Tidak terlalu buruk, aku kira. Mendengar  kehidupan dari ruang yang sempit ini. Mengintip cahaya dari lubang kecil  di lorong bawah tanah. Aku melihat orang – orang  pergi pulang, entah kemana.  Deru  kendaraan yang  tak  pernah berhenti.  Semuanya terjadi di bawah siraman cahaya.  Lalu, aku mulai merindukan tiga hal;  lahir, hidup juga mati.

Itu sebagian dari cita-citaku. Sudah terlalu lama rasanya. Berabad-abad, berimigrasi, bereinkarnasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu tubuh ke raga yang lainnya. Itu sebuah pengalaman yang amat panjang. Hingga akhirnya aku menjadi lebih dewasa. Tapi usiaku tak kunjung menjadi tua. Waktu, tiba-tiba melata  sangat lambat. Bosan yang tak pernah bisa diungkapkan, membuatku ingin menjadi seperti kalian.

Lalu aku mulai belajar. Dari sebuah basemen gedung bertingkat milik seorang konglomerat, kudekati cahaya itu. Ingin juga rasanya berbaur dengan mereka. Bangun pagi-pagi. Seorang istri menyiapkan sarapan untukku. Tak lupa sebelum aku berangkat, ia mencium tanganku, merestuiku dan merindukanku untuk makan siang bersama selepas pulang kerja. Bercanda, tertawa-tawa bersama kolega.

Aku juga punya keinginan yang kuat untuk bertaruh. Dalam waktu dekat, seseorang, sesuatu, oknum, vampir, drakula, atau gerandong ini akan lahir menjadi dirinya yang baru. Seperti pagi ini, aku agak telat pulang dari night club. Cahaya matahari langsung menyentuh kulitku. Rasanya seperti terbakar. Hanya dengan kesabaran penuh, konsentrasi dan niat, pelan-pelan aku mulai bisa mendekati cahaya. Ah, aku menjadi lebih mirip manusia. Di bawah gedung, seorang anak kecil menjajakan koran,”Korannya koran… Korannya, Bos… Pemimpin Baru… Obat palsu …. Kecap palsu ….”

Aku membelinya satu. Tak buru-buru kubaca. Matahari terlalu menyengat. Tubuhku menjadi terlalu dekat dengan panggang.  Berpayungkan koran, aku menyusuri jalan menuju rumah. Pada sebuah lorong gelap, dari sebuah gedung bertingkat milik seseorang, mungkin konglomerat.  (*)

 

Cerpen:   Tjak S Parlan

Tidak terlalu buruk, aku kira. Mendengar  kehidupan dari ruang yang sempit ini. Mengintip cahaya dari lubang kecil  di lorong bawah tanah. Aku melihat orang – orang  pergi pulang, entah kemana.  Deru  kendaraan yang  tak  pernah berhenti.  Semuanya terjadi di bawah siraman cahaya.  Lalu, aku mulai merindukan tiga hal yang—mau tak mau—dilalui oleh mereka;  lahir, hidup dan mati.     

Night Club

Siapa yang peduli dengan hentakan musik? Di tempat ini, segala jenis musik akan membuat orang selalu bergoyang. Dari dangdut sampai rock ‘n roll. Bahkan setiap apapun –yang berbunyi, kadang tak perlu ada unsur harmoni, karena itu tidak penting- akan membuat puluhan manusia di tempat ini ingin menari. Tentu saja, bukankah panggung di depan itu, lantai keramik, kursi-kursi, meja, daftar menu, berderet-deret aneka merk miuman, terang redup lampu, toilet,  yang berbaur dengan kelakar orang-orang lupa, sengaja diciptakan untuk sebuah kebutuhan?  Menari.   Ya, kukira menari adalah  kata  yang  teramat cukup  untuk mewakili.

Pun juga aku, datang kemari hanya untuk menari. Bersama siapa pun yang bisa enjoy dengan goyanganku. Yang  bisa memberikan lenguhan-lenguhan patah, seirama dalam denyut, detak, desir, bergelinjang.  Jika ya, night club ini akan buka sampai pagi. Bisa dipastikan aku akan kemana setelah itu. Ke sebuah hotel di pinggiran kota, di dekat pantai, di bawah siraman cahaya bulan. Atau hanya ke sebuah lorong gelap di tengah-tengah kota. Tepat sekali! Jika saja kalian memastikan aku pada pilihan yang ketiga. Sebab aku selalu memangsa mereka di ruang-ruang yang minim cahaya. Mereka meraung. Aku melakukan selebrasi. Menari, di sebuah lorong gelap di bawah mereka yang benar-benar hidup.
********

Lorong Bawah Tanah

Temaram, dari waktu ke waktu. Sudah beribu-ribu tahun. Dulunya aku lebih betah di gua-gua. Lalu peradaban berubah. Gedung-gedung megah. Beton-beton raksasa yang selalu menyisakan ruang bawah tanah. Entah itu hanya sekadar saluran air, gudang  atau  ruang yang sengaja dibuat untuk keperluan tertentu. Private party mungkin, menyusun rencana-rencana rahasia, tempat menyimpan barang berharga atau apa sajalah. Yang  pasti,  ruang kehidupan di bawah tanah itu tidak diciptakan untukku. Ambil alih, atau memanfaatkan tempat ala kadarnya, adalah alasan yang  paling tepat bagiku untuk memiliki tempat tinggal. Sebuah lorong; suatu  tempat  yang jauh dari cahaya.

Bagaimana lagi? Di zaman yang serba beton ini, nyaris tak bisa ditemukan gua-gua. Dulu yang serba rimba, serba purba, disulap menjadi serba kota. Memang  masih  ada jauh di tempat asalku yang dulu. Biasanya aku hanya menemukan para pemburu, peladang yang berpindah-pindah, atau pencuri kayu. Aku bosan mencium aroma mereka. Tubuh yang bermandi peluh. Bau tanah. Tak ada wangi parfum yang menggoda gairahku  seperti kebanyakan aroma khas yang sering kutemui di nigt  club, bar, pub juga tempat-tempat karaoke. Kurang ada taste-nya. Karena bete, juga keinginan untuk menyesuaikan dengan zaman,  aku pindah ke kota.

Suatu ketika, ada sebuah saat dimana aku merindukan tempatku yang dulu. Maka pada sebuah malam yang basah-saat paling tepat melakukan perjalanan- aku terbang melawat kesana.  Membawa seratus tahun kerinduan. Jika kalian manusia, bisa dibayangkan betapa lamanya. Tetapi sungguh, yang kutemui justeru kebencian. Jangankan sebuah prasasti, bekas-bekas kenangan pun sudah tak ada. Tempat  itu  praktis menjadi sebuah kota industri di tengah-tengah desa yang serba udik. Belakangan desa itu pun mulai ketularan.  Aku meradang. Dendam kesumat kepada manusia mulai tak tertahan. Kumasuki sebuah bar. Kukecup leher mereka satu persatu. Kuseret tubuh-tubuh mereka ke sebuah lorong panjang dekat pendulangan emas. Tak setetes pun dari darah mereka kusisakan. Sejak kejadian di lorong itu, tubuhku sering merasa gatal-gatal. Lalu aku teringat satu kata—dari sekian banyak— yang pernah sering diperdebatkan dulu; mercury, mercury, mercury….  Aku kena! Berikutnya ada alasan bagiku untuk meragukan eksistensi sebagai yang bukan manusia. Terjangkit gejala, tapi masih jauh dibawah ambang batas. Bisa diobati, begitulah seorang pakar-yang nyaris kujadikan santap malam-mengatakannya padaku. Ternyata aku benar-benar terjangkit gejala untuk menjadi manusia.

Tapi sudahlah. Itu dulu, masa lalu yang memang selalu hanya diperkosa dalam ingatan. Hanya cenderung dilupakan. Manusia telah mengajariku untuk mengalihkan isu. Ada juga pilihan yang dibuat seolah cukup arif dan bijak: mari kita jadikan semua itu sebagai sebuah pelajaran. Titik. Habis!
***

Cahaya

Cahaya, cahya, sinar, nur—apa pun istilahnya—tak pernah akan habis. Tentu saja jika sumber dari segala sumber cahaya itu—yang abadi—tak serta merta menjadi murka, lalu meledakkan dirinya minimal seperti kedahsyatan bom yang beberapa waktu lalu kembali menjadi teror. Seberapa dahsyat sih, hasil rakitan dari tangan – tangan yang masih sumir keberadaanya itu? Jika dibandingkan dengan berapa kerugian lahir batin bagi siapapun yang dikorbankan atau yang menjadi sejatinya korban, misalnya.  Bumi dan langit, jika aku harus menjawabnya. Manusia, jika aku harus menuduh pelakunya. Sebab setan punya perjanjian yang jelas untuk menjerumuskan manusia. Malah mahluk yang kerap menjadi icon umpatan, kemarahan, juga segala yang buruk ini, yaitu setan,  lebih perkasa mengakui dirinya sebagai sumber dari segala jahanam.

Lalu, jika aku merindukan sepotong leher jenjang yang ingin kukecup demi mempertahankan hidup, bagaimana pendapatmu? Jahanam! Lantas, jika aku tiba-tiba merasa merindukan cahaya, bagaimana kira-kira? Gila! Tidak. Kamu ndak perlu menjawabnya. Dengan mendengarkan kisah-kisahku, niscaya kamu akan memahaminya. Dengan mengerti aku, kamu-meski pelan-pelan-akan merasa gamblang akan diriku yang sebenarnya.
Pertama-tama: aku bukan carnivora. Sebuah species pemakan daging. Bahkan cenderung sembarang daging. Ya, karena aku punya pilihan. Hanya daging tertentu yang boleh menjadi santapan. Bahkan, daging tak terlalu penting. Ia-daging- melulu hanya sebuah sarana untuk memperoleh sari-sarinya. Aku hanya berselera dengan bau amis dan anyir darah. Darah yang mengaliri setiap tubuh kalian. Tubuh-tubuh yang gentayangan di night club, bar, pub, karaoke, panti pijat atau villa para pejabat.  Tapi, alangkah malangnya ketika kalian semua tahu bahwa hanya pada malam hari, hanya pada saat cahaya matahari tidak secara langsung menyentuh kulitku, aku bisa memenuhi seleraku. Cahaya matahari bisa membuatku terbakar. Seluruh tubuhku akan melepuh secepat kilat. Gosong, lalu lenyap tanpa sisa.

Kedua: aku vampir, drakula, gerandong. Beberapa orang pernah menyebutku sebagai salah satunya. Malah ada yang lebih berani menyebut ketiga-tiganya sekaligus. Lebih komplit, katanya. Sebutan yang semestinya, meskipun diam-diam aku menertawai mereka. Vampir, drakula, gerandong, semua bisa saja ada. Tapi aku lebih suka menyebut diriku sebagai “oknum yang mengalami trauma terhadap cahaya”. Cahaya matahari dimana kalian bisa lahir, hidup, juga mati di bawah siramannya. Di bawah cahaya, hidup itu terus berjalan. Dan di tempat ini, pada sebuah tempat yang terlindung dari cahaya aku dapat menyaksikan semuanya. Lalu aku merindukannya, cahaya itu.
***

Mendekati Cahaya

Tidak terlalu buruk, aku kira. Mendengar  kehidupan dari ruang yang sempit ini. Mengintip cahaya dari lubang kecil  di lorong bawah tanah. Aku melihat orang – orang  pergi pulang, entah kemana.  Deru  kendaraan yang  tak  pernah berhenti.  Semuanya terjadi di bawah siraman cahaya.  Lalu, aku mulai merindukan tiga hal;  lahir, hidup juga mati.

Itu sebagian dari cita-citaku. Sudah terlalu lama rasanya. Berabad-abad, berimigrasi, bereinkarnasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu tubuh ke raga yang lainnya. Itu sebuah pengalaman yang amat panjang. Hingga akhirnya aku menjadi lebih dewasa. Tapi usiaku tak kunjung menjadi tua. Waktu, tiba-tiba melata  sangat lambat. Bosan yang tak pernah bisa diungkapkan, membuatku ingin menjadi seperti kalian.

Lalu aku mulai belajar. Dari sebuah basemen gedung bertingkat milik seorang konglomerat, kudekati cahaya itu. Ingin juga rasanya berbaur dengan mereka. Bangun pagi-pagi. Seorang istri menyiapkan sarapan untukku. Tak lupa sebelum aku berangkat, ia mencium tanganku, merestuiku dan merindukanku untuk makan siang bersama selepas pulang kerja. Bercanda, tertawa-tawa bersama kolega.

Aku juga punya keinginan yang kuat untuk bertaruh. Dalam waktu dekat, seseorang, sesuatu, oknum, vampir, drakula, atau gerandong ini akan lahir menjadi dirinya yang baru. Seperti pagi ini, aku agak telat pulang dari night club. Cahaya matahari langsung menyentuh kulitku. Rasanya seperti terbakar. Hanya dengan kesabaran penuh, konsentrasi dan niat, pelan-pelan aku mulai bisa mendekati cahaya. Ah, aku menjadi lebih mirip manusia. Di bawah gedung, seorang anak kecil menjajakan koran,”Korannya koran… Korannya, Bos… Pemimpin Baru… Obat palsu …. Kecap palsu ….”

Aku membelinya satu. Tak buru-buru kubaca. Matahari terlalu menyengat. Tubuhku menjadi terlalu dekat dengan panggang.  Berpayungkan koran, aku menyusuri jalan menuju rumah. Pada sebuah lorong gelap, dari sebuah gedung bertingkat milik seseorang, mungkin konglomerat.  (*)

 

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/