25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Langit

Gadis itu sendirian di situ. Putih. Gelembung-gelembung angkasa bagai terungkit, naik ke atas, melambai, melambai, melambai putih-putih, menjadi kapas. Tengadah. Ia meminta gulali. Gulali putih. Bagai kapas. Terungkit. Terbangkit. Lalu ia jadi sendiri. Semua orang pergi. Siang. Cerah. Tiada apapun. Hanya langit, langit, dan langit, dan hanya langit bagai kapas putih. Seputih gulali. Ya, langit.

Cerpen: Miftah Fadhli

Bagai dilukis. Langit bagai sal ju. Salju bagai dilukis. Bagai dilukis. Salju bagai langit. Langit dan salju bagai terbangkit. Angin meniup. Berdiri. Sendiri. Langit komulus. Altus. Dombadomba angkasa. Sendiri. Tidak. Bergerombol. Bagai sekumpulan bola. Ya, bola. Bola yang bagai domba. Domba yang bagai dipompa. Melambung. Menggembung. Menjadikan tempat itu bagai tiada tiang-tiang penyangga. Berdiri sendiri. Langit. Menjadi tiada. Hanya langit.

Dan langit. Dan langit. Dan langit dan hanya tempat yang berdiri sendiri. Lalu gadis itu bangkit. Tengadah. Segerombolan langit. Domba tiada mengembik. Tiada gembala. Tiada bukit. Hanya langit. Lembut. Kapas. Gulali. Langit. Domba. Terbangkit. Menggiring langit. Ada gajah, babi, beruang, love, ada rumah, ada pohon blueberry, ada ayunan, ada perosotan, ada langit seperti langit, ada langit seperti panah, ikan, Pisces, ada langit seperti bulan Februari, ada langit, gadis kecil, sekumpulan gula, ada anak-anak pakai babydoll, ada high heels, ada lipstik, ada rupa-rupa daun, ada angin, ada langit yang menyerupai wajah gadis itu. Ada mata. Malaikat? Tuhan? Surga? Cerita? Masa depan? Apakah hanya pertanda? Sekedar langit sajakah? Menyendiri. Menjadi sendiri? Lolipop. Putih-putih. Bagaimana wajah langit? Tuhan? Surga? Malaikat? Manusia? Masa depan? Sejarah? Langit: siung-siung bawang.

Langit: buku-buku pohon tebu. Gedung- gedung, menjadi langit; langit dan hanya langit di situ. Di tempat itu. Surga langit? Tuhan langit? Manusia langit? Malaikat langit? Langit. Tiba-tiba bangkit. Jungkatjungkit. Gadis itu menunggu langit. Bunga-bunga terbang. Kelopak melayang. Ke atas. Tiada sayap. Tiada tangga. Tiada balon-balon. Tiada pesawat terbang. Tiada jet tempur. Tiada langit tanpa ceritacerita. Ia rindukan rumah. Ia rindukan orangtua. Semua di langit. Ada banyak perpustakaan di langit. Berubah jadi angin. Jadi air. Jadi air dan jadi angin. Angin dan hanya ada air. Hujan. Langit.

Bercakapcakap dengan tetitik hitam-hitam. Alis. Hitam bagai alis dilukis. Hitam bagai perosotan terjungkit. Hitam bagai debu-debu arang dihirup angin; hidung angin—angin punya hidung di mulut. Diciptakan langit. Hanya langit dan langit menyerupai wajah-wajah tidak dikenal. Tiada riwayat. Biodata pun tiada. Hanya langit. Bersih. Semuanya bisa hilang bisa muncul. Lihat! Lautan langit. Jarang ada lautan di langit. Ia bisa lihat ada kapal- kapal. Ada layar terbentang. Bajak laut. Sekoci-sekoci bagai ribuan peri. Ada kurcaci. Ikan hiu. Ombak-ombak. Mengabur. Berdebur. Nelayan-nelayan memancing ikan di langit. Marlin. Cumi-cumi. Ubur-ubur. Dugong. Rumput laut—langit.

Ada badai juga di langit. Bulan bagai berbulan di langit. Bagai bintang berbintang di langit. Kompas. Jarum jam. Detik—langit punya detik. Hei! Badai langit? Badai langit! Ada badai bergemuruh di langit. Awas! Nelayan. Ikanikan. Hallo. Dikatakannya, langit bagai buku. Gadis itu suka membaca buku. Sejarah? Geografi? Biologi? Kewarganegaraan? Astrologi? Astronomi? Mimpi? Kitab-kitab. Langit adalah kitab yang terbentang1. Ada bioskop juga. Bioskop dari kitab. Rupanya ia coba baca langit. Langit-langit dunia. Langit-langit rumah dan mulutnya juga. Langitlangit kepalanya juga. Hallo. Hallo? Sirrus. Pita-pita bagai seratserat kain. Remah-remah roti. Hallo. Matahari. Langit dan serat-serat kain. Benang-benang tipis. Bagai rambut, bagai kakek dan nenek. Langit. Gulali. Ia menunggu gulali dari langit. Hallo. Berputar. Ajaib. Berputar bagai roda ajaib. Bagai domba- domba berputar. Domba dengan sepatu roda? Mengembik. Tiada. Melayang seperti teh diaduk-aduk. Seperti akuarium diganggu-ganggu. Sirrus bagai serat-serat kain. Kain untuk sepotong kitab tanpa ada yang lain. Hanya kitab. Seperti cerita.

Hallo. Siklus. Zeus. Komulus. Altus. Langit. Tua. Tanah. Biji. Pohon. Bunga. Tua. Mati. Langit. Air. Panas. Detik. Uap. Butir-butir. Air. Langit. Siklus. Langit. Langit. Langit dan hanya langit-langit. Mati. Tua. Napas satu-satu. Jantung. Tiada detak. Pesan. Mati. Tanah. Langit. Merekam. Melihat tanpa mata. Tuhan? Malaikat? Tiada pulpen tiada buku tiada tinta tiada alas tiada apa-apa selain hanya langit. Cerita. Bioskop. Langit. Gulali. Langit. Bosan. Ia punya buku gambar. Menunggu gulali, ia lukis langit. Hap! Lalat. Lalat? Hap! Nyamuk juga. Tas. Iya, tas. Resleting. Terkuak. Anti nyamuk. Poles. Menggambar. Diam! Langit. Dan hanya langit hanya gadis itu hanya gulali yang ditunggu. Pensil. 2B. Coret-moret. Sketsa.

Oh, tidak. Langit tidak abu-abu. Langit? Marah? Bukan abu-abu. Putih. Oh, tidak. Pensil putih? Jangan mengada- ada. Hanya langit. Kanvas putih. Cat putih. Panggung putih. Langit putih. Tiada abu-abu sedikitpun. Hanya tanah. Hanya manusia. Hanya hewan. Hanya tumbuhan. Hanya manusia. Hanya tangan- tangan manusia. Langit abuabu. Tangan-tangan manusia bagai rautan pensil. Langit abu-abu. Resleting. Terkuak. Penghapus. Tiada gambar langit hari ini. Biar langit menggambar dirinya sendiri. Menggambar gulali. Menggambar dunia tanpa melihat tanpa melukis tanpa duduk tanpa minum tanpa makan tanpa tidur tanpa apa-apa karena hanya langit dan dunianya yang terbang. Melayang. Langit tanpa rumah tanpa sayap tanpa pesawat terbang tanpa jet tempur tanpa roket tanpa tangga tanpa elevator tanpa tambang tanpa tebing. Tebing? Tidak, ada tebing. Komulus. Lagi-lagi. Altus. Domba-domba. Gadis itu ingin menggambar domba-domba. Dari langit. Tapi langit jauh sekali. Langit dekat tapi jauh sekali. Teramat sangat jauh. Agar tidak digapai.

Tidak diceraiberai sebagaimana bumi diceraiberai. Langit tetap langit. Tengadah. Domba-domba lagi. Selalu. Sebutkan, langit dengan buih dengan ombak dengan putih dengan pasir dengan bintang-gemintang dengan bebulan dengan orangtua dengan rumah-rumah dengan tanaman-tanaman dengan kereta-kereta kuda atau kuda-kuda saja dengan peri-peri dengan hujan tanpa air tanpa siklus tanpa habis tiada rupa tiada wajah tiada warna tiada rasa karena hanya langit dan gulali yang ditunggu-tunggu tapi tidak datang-datang juga. Ia ingin sekali menyaksikan langit setiap hari. Bayangkan saja, tanpa tidur tanpa beranjak tanpa makan dan minum tanpa goyang tanpa kedip tanpa pejam tanpa sakit mata tanpa kacamata tanpa airmata tanpa paling tanpa dekat-jauh tanpa waktu tanpa malam tanpa mendung tanpa muram dan hanya langit dan dia dan gulali dan saksi dan duniaaa!! Jadi, tiada cerita terlewat. Sebab langit tak mengenal jeda.

Dengarkan. Dengung. Langit bicara. Tidak.

Dengarkan sekali lagi. Hening. Gadis kecil itu diam. Tiada kedip. Tajamkan telinga. Langit. Tidak berbisik. Suara. Kicau? Ya, kicau! Burung gereja? Walet? Layang- layang? Kenari? Kicau lagi. Doa? Tergantung di langit? Kata siapa? Tuhan? Doa lagi? Ada doa lagi? Doa orang-orang mati. Kicau? Bagai kicau. Bagai racau. Ada elang juga. Hei! Dengar lagi. Deru. Tangis? Bukan. Tawa? Juga bukan. Tiada deru di langit. Tapi ini? Bidadari? Tidak. Astaga, tuhan. Tuhan? Deru. Deru? Deru! Tuhan bicara. Ada mata. Ada malaikat. Surga juga ada. Langit penuh orang-orang lari. Tuhan berseru. Langit barat bermuram- durja. Tua. Jadi tua. Jadi semakin gelap. Langit.

Oh, tidak! Tuhan jangan. Mohon. Gadis kecil menangis. Gulali belum juga muncul. Tuhan, masih ada gulali. Jangan. Merah. Tuhan marah. Marah? Langit penuh orang-orang lari. Hujan. Di langit ada hujan. Banjir. Langit banjir? Lautan langit banjir. Ikan-ikan tenggelam. Kapal terombang-ambing. Terumbu-terumbu karang tersapu banjir. Langit kena bencana. Gadis kecil menangis. Ikannya. Februarinya. Rasinya. Dihantam banjir. Banjir langit! Tuhan, jangan! Gadis kecil tidur. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Empat tetes. Airmata? Iya.

Tapi tidak juga. Hujan? Langit bocor. Banjir turun ke bumi. Laki-laki. Perempuan. Gulali. Tersenyum. Payung. Gulali. Gadis kecil bangun. Berpelukan. Gulali. Tersenyum. Kecewa. Gulali putih? Tidak. Gulali merah. Yang putih, telah tiada. 21/1/2011-06/09/2011 1

“Langit adalah kitab yang terbentang,” adalah kalimat yang diucapkan oleh Weh, salah satu karakter dalam novel “ Edensor” karya Andrea Hirata.

Gadis itu sendirian di situ. Putih. Gelembung-gelembung angkasa bagai terungkit, naik ke atas, melambai, melambai, melambai putih-putih, menjadi kapas. Tengadah. Ia meminta gulali. Gulali putih. Bagai kapas. Terungkit. Terbangkit. Lalu ia jadi sendiri. Semua orang pergi. Siang. Cerah. Tiada apapun. Hanya langit, langit, dan langit, dan hanya langit bagai kapas putih. Seputih gulali. Ya, langit.

Cerpen: Miftah Fadhli

Bagai dilukis. Langit bagai sal ju. Salju bagai dilukis. Bagai dilukis. Salju bagai langit. Langit dan salju bagai terbangkit. Angin meniup. Berdiri. Sendiri. Langit komulus. Altus. Dombadomba angkasa. Sendiri. Tidak. Bergerombol. Bagai sekumpulan bola. Ya, bola. Bola yang bagai domba. Domba yang bagai dipompa. Melambung. Menggembung. Menjadikan tempat itu bagai tiada tiang-tiang penyangga. Berdiri sendiri. Langit. Menjadi tiada. Hanya langit.

Dan langit. Dan langit. Dan langit dan hanya tempat yang berdiri sendiri. Lalu gadis itu bangkit. Tengadah. Segerombolan langit. Domba tiada mengembik. Tiada gembala. Tiada bukit. Hanya langit. Lembut. Kapas. Gulali. Langit. Domba. Terbangkit. Menggiring langit. Ada gajah, babi, beruang, love, ada rumah, ada pohon blueberry, ada ayunan, ada perosotan, ada langit seperti langit, ada langit seperti panah, ikan, Pisces, ada langit seperti bulan Februari, ada langit, gadis kecil, sekumpulan gula, ada anak-anak pakai babydoll, ada high heels, ada lipstik, ada rupa-rupa daun, ada angin, ada langit yang menyerupai wajah gadis itu. Ada mata. Malaikat? Tuhan? Surga? Cerita? Masa depan? Apakah hanya pertanda? Sekedar langit sajakah? Menyendiri. Menjadi sendiri? Lolipop. Putih-putih. Bagaimana wajah langit? Tuhan? Surga? Malaikat? Manusia? Masa depan? Sejarah? Langit: siung-siung bawang.

Langit: buku-buku pohon tebu. Gedung- gedung, menjadi langit; langit dan hanya langit di situ. Di tempat itu. Surga langit? Tuhan langit? Manusia langit? Malaikat langit? Langit. Tiba-tiba bangkit. Jungkatjungkit. Gadis itu menunggu langit. Bunga-bunga terbang. Kelopak melayang. Ke atas. Tiada sayap. Tiada tangga. Tiada balon-balon. Tiada pesawat terbang. Tiada jet tempur. Tiada langit tanpa ceritacerita. Ia rindukan rumah. Ia rindukan orangtua. Semua di langit. Ada banyak perpustakaan di langit. Berubah jadi angin. Jadi air. Jadi air dan jadi angin. Angin dan hanya ada air. Hujan. Langit.

Bercakapcakap dengan tetitik hitam-hitam. Alis. Hitam bagai alis dilukis. Hitam bagai perosotan terjungkit. Hitam bagai debu-debu arang dihirup angin; hidung angin—angin punya hidung di mulut. Diciptakan langit. Hanya langit dan langit menyerupai wajah-wajah tidak dikenal. Tiada riwayat. Biodata pun tiada. Hanya langit. Bersih. Semuanya bisa hilang bisa muncul. Lihat! Lautan langit. Jarang ada lautan di langit. Ia bisa lihat ada kapal- kapal. Ada layar terbentang. Bajak laut. Sekoci-sekoci bagai ribuan peri. Ada kurcaci. Ikan hiu. Ombak-ombak. Mengabur. Berdebur. Nelayan-nelayan memancing ikan di langit. Marlin. Cumi-cumi. Ubur-ubur. Dugong. Rumput laut—langit.

Ada badai juga di langit. Bulan bagai berbulan di langit. Bagai bintang berbintang di langit. Kompas. Jarum jam. Detik—langit punya detik. Hei! Badai langit? Badai langit! Ada badai bergemuruh di langit. Awas! Nelayan. Ikanikan. Hallo. Dikatakannya, langit bagai buku. Gadis itu suka membaca buku. Sejarah? Geografi? Biologi? Kewarganegaraan? Astrologi? Astronomi? Mimpi? Kitab-kitab. Langit adalah kitab yang terbentang1. Ada bioskop juga. Bioskop dari kitab. Rupanya ia coba baca langit. Langit-langit dunia. Langit-langit rumah dan mulutnya juga. Langitlangit kepalanya juga. Hallo. Hallo? Sirrus. Pita-pita bagai seratserat kain. Remah-remah roti. Hallo. Matahari. Langit dan serat-serat kain. Benang-benang tipis. Bagai rambut, bagai kakek dan nenek. Langit. Gulali. Ia menunggu gulali dari langit. Hallo. Berputar. Ajaib. Berputar bagai roda ajaib. Bagai domba- domba berputar. Domba dengan sepatu roda? Mengembik. Tiada. Melayang seperti teh diaduk-aduk. Seperti akuarium diganggu-ganggu. Sirrus bagai serat-serat kain. Kain untuk sepotong kitab tanpa ada yang lain. Hanya kitab. Seperti cerita.

Hallo. Siklus. Zeus. Komulus. Altus. Langit. Tua. Tanah. Biji. Pohon. Bunga. Tua. Mati. Langit. Air. Panas. Detik. Uap. Butir-butir. Air. Langit. Siklus. Langit. Langit. Langit dan hanya langit-langit. Mati. Tua. Napas satu-satu. Jantung. Tiada detak. Pesan. Mati. Tanah. Langit. Merekam. Melihat tanpa mata. Tuhan? Malaikat? Tiada pulpen tiada buku tiada tinta tiada alas tiada apa-apa selain hanya langit. Cerita. Bioskop. Langit. Gulali. Langit. Bosan. Ia punya buku gambar. Menunggu gulali, ia lukis langit. Hap! Lalat. Lalat? Hap! Nyamuk juga. Tas. Iya, tas. Resleting. Terkuak. Anti nyamuk. Poles. Menggambar. Diam! Langit. Dan hanya langit hanya gadis itu hanya gulali yang ditunggu. Pensil. 2B. Coret-moret. Sketsa.

Oh, tidak. Langit tidak abu-abu. Langit? Marah? Bukan abu-abu. Putih. Oh, tidak. Pensil putih? Jangan mengada- ada. Hanya langit. Kanvas putih. Cat putih. Panggung putih. Langit putih. Tiada abu-abu sedikitpun. Hanya tanah. Hanya manusia. Hanya hewan. Hanya tumbuhan. Hanya manusia. Hanya tangan- tangan manusia. Langit abuabu. Tangan-tangan manusia bagai rautan pensil. Langit abu-abu. Resleting. Terkuak. Penghapus. Tiada gambar langit hari ini. Biar langit menggambar dirinya sendiri. Menggambar gulali. Menggambar dunia tanpa melihat tanpa melukis tanpa duduk tanpa minum tanpa makan tanpa tidur tanpa apa-apa karena hanya langit dan dunianya yang terbang. Melayang. Langit tanpa rumah tanpa sayap tanpa pesawat terbang tanpa jet tempur tanpa roket tanpa tangga tanpa elevator tanpa tambang tanpa tebing. Tebing? Tidak, ada tebing. Komulus. Lagi-lagi. Altus. Domba-domba. Gadis itu ingin menggambar domba-domba. Dari langit. Tapi langit jauh sekali. Langit dekat tapi jauh sekali. Teramat sangat jauh. Agar tidak digapai.

Tidak diceraiberai sebagaimana bumi diceraiberai. Langit tetap langit. Tengadah. Domba-domba lagi. Selalu. Sebutkan, langit dengan buih dengan ombak dengan putih dengan pasir dengan bintang-gemintang dengan bebulan dengan orangtua dengan rumah-rumah dengan tanaman-tanaman dengan kereta-kereta kuda atau kuda-kuda saja dengan peri-peri dengan hujan tanpa air tanpa siklus tanpa habis tiada rupa tiada wajah tiada warna tiada rasa karena hanya langit dan gulali yang ditunggu-tunggu tapi tidak datang-datang juga. Ia ingin sekali menyaksikan langit setiap hari. Bayangkan saja, tanpa tidur tanpa beranjak tanpa makan dan minum tanpa goyang tanpa kedip tanpa pejam tanpa sakit mata tanpa kacamata tanpa airmata tanpa paling tanpa dekat-jauh tanpa waktu tanpa malam tanpa mendung tanpa muram dan hanya langit dan dia dan gulali dan saksi dan duniaaa!! Jadi, tiada cerita terlewat. Sebab langit tak mengenal jeda.

Dengarkan. Dengung. Langit bicara. Tidak.

Dengarkan sekali lagi. Hening. Gadis kecil itu diam. Tiada kedip. Tajamkan telinga. Langit. Tidak berbisik. Suara. Kicau? Ya, kicau! Burung gereja? Walet? Layang- layang? Kenari? Kicau lagi. Doa? Tergantung di langit? Kata siapa? Tuhan? Doa lagi? Ada doa lagi? Doa orang-orang mati. Kicau? Bagai kicau. Bagai racau. Ada elang juga. Hei! Dengar lagi. Deru. Tangis? Bukan. Tawa? Juga bukan. Tiada deru di langit. Tapi ini? Bidadari? Tidak. Astaga, tuhan. Tuhan? Deru. Deru? Deru! Tuhan bicara. Ada mata. Ada malaikat. Surga juga ada. Langit penuh orang-orang lari. Tuhan berseru. Langit barat bermuram- durja. Tua. Jadi tua. Jadi semakin gelap. Langit.

Oh, tidak! Tuhan jangan. Mohon. Gadis kecil menangis. Gulali belum juga muncul. Tuhan, masih ada gulali. Jangan. Merah. Tuhan marah. Marah? Langit penuh orang-orang lari. Hujan. Di langit ada hujan. Banjir. Langit banjir? Lautan langit banjir. Ikan-ikan tenggelam. Kapal terombang-ambing. Terumbu-terumbu karang tersapu banjir. Langit kena bencana. Gadis kecil menangis. Ikannya. Februarinya. Rasinya. Dihantam banjir. Banjir langit! Tuhan, jangan! Gadis kecil tidur. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Empat tetes. Airmata? Iya.

Tapi tidak juga. Hujan? Langit bocor. Banjir turun ke bumi. Laki-laki. Perempuan. Gulali. Tersenyum. Payung. Gulali. Gadis kecil bangun. Berpelukan. Gulali. Tersenyum. Kecewa. Gulali putih? Tidak. Gulali merah. Yang putih, telah tiada. 21/1/2011-06/09/2011 1

“Langit adalah kitab yang terbentang,” adalah kalimat yang diucapkan oleh Weh, salah satu karakter dalam novel “ Edensor” karya Andrea Hirata.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/