29 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Draft Cerita Pesanan Tok Awang Yang Belum Sepenuhnya Rampung

Tiba-tiba aku berdiri tersandar pada satu bagian dinding. Iya, tiba-tiba saja. Bagaimana aku bisa sampai di sini, aku tak tahu. Letaknya di antara dua rak tinggi yang disesaki kaset, compact disc, dan piringan hitam. Ada juga video serta buku-buku musik. Pada rak di sebelah kiri kubaca deretan huruf kapital tebal berwarna merah yang membentuk kata JAZZ. Label di rak sebelah kanan bertuliskan BLUES.

Oleh: T Agus Khaidir

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kuceritakan dulu bagaimana lima lembar kertas berisi serangkai cerita ini bisa sampai di tanganmu. Beberapa bulan lalu, padaku datang kawan kita Tok Awang. Tanpa berpanjang lebar disampaikannya satu pengakuan yang membuatku jatuh iba. Kata Tok Awang, ia mendadak kehilangan kemampuan merangkai cerita.

Barangkali karena tahu aku juga suka berkhayal lebih, Tok Awang memintaku menuliskan cerita untuknya. Tanpa pikir panjang aku menyangggupi dan di sinilah letak masalahnya. Di luar dugaanku yang paling konyol sekalipun, aku tak dapat menyelesaikan pesanan cerita itu. Ternyata masalah yang sama juga menderaku. Mendadak aku tak bisa lagi bebas masuk ke ruang-ruang angan, sulit merunut jalan takdir dan memutus tali nasib.

Walau sempat dilanda heran, pada akhirnya kehilangan atas kemewahan ini kumaklumi saja. Tak lantas kuanggap sebagai celaka luar biasa. Namun tentunya berbeda kawan kita itu. Bagi juru kisah seperti dia, angan cuma sedikit kalah berarti dari nyawa. Karenanya kukirim cerita yang belum sepenuhnya rampung ini padamu. Harapanku kau dapat membantu menyelesaikannya.

Baiklah, kupikir tak perlu aku mengoceh terlalu panjang. Kau baca sajalah kelanjutan cerita yang kutulis. Oh, iya, lantaran cerita ini masih berupa draft, sudah barang tentu kau dapat menambah, mengurangi, atau bahkan mengubahnya.

Semula kusangka tempat ini mengesankan keelitan. Tapi langsung goyah setelah kusadari betapa ternyata dindingnya begitu kampungan. Cat kusam dan mengelupas, di sana-sini juga terdapat coretan yang sama sekali tak dimaksudkan sebagai seni. Ada peperangan entah di mana, berbagi tempat dengan gambar adegan persenggamaan dalam berbagai posisi. Pesawat-pesawat terbang. UFO. Mobil balap. Pisau komando. Pisang. Monyet. Bebek. Perempuan telanjang. Juga entah berapa puluh simbol agung para pecinta kelas teri: hati tertembus panah.

Langkahku terhenti, lebih tepatnya mendadak berhenti, saat mataku terperogok sosok perempuan. Barangkali 25 tahunan. Tubuhnya dibalut ketat kaus putih U Can See. Ia mengenakan jeans setinggi betis berwarna biru belel. Harum yang elite memenuhi ronggo hidungku. Aku ingat pernah membaui harus seperti ini. Belum lama, tapi aku lupa di mana.

Lamunanku buyar oleh suara berdebum. Satu rak jatuh dan kulihat perempuan itu melangkah menjauh. Kakinya jenjangnya yang dibungkus high heels bertali diayunkan makin cepat. “Hei, tunggu!” kataku berteriak sebelum melesat mengejarnya. Jika kau tanya kenapa aku melakukan hal ini, aku tak tahu. Kakiku bergerak begitu saja. Namun yang pasti, perempuan itu memang telah memantik rasa penasaranku.

Ruangan ini ternyata terletak di gedung berukuran lebih besar. Barangkali semacam mal. Di kanan-kiri-depan ada toko. Tapi aku kemudian jadi ragu pula untuk memastikan apakah tempat ini benar-benar mal. Jika mal, tentu tak sesepi ini. Bahkan sekiranya jam operasi telah usai, mestinya tetap ada petugas keamanan lalu lalang membawa senter atau tongkat berlampu.

Aku tidak tahu sekarang jam berapa, namun kukira, jika pun benar tempat ini mal, jam operasi pastilah belum usai. Semua pintu ruangan yang menyerupai toko masih terbuka dan lampu-lampunya masih menyala. Lift dan eskalator juga masih berjalan. Apakah sudah terjadi sesuatu sebelumnya hingga seluruh pengunjung diminta keluar? Jika memang demikian, mengapa alarm tidak menyala? Mengapa aku tak mendengar kebisingan apapun?
Perempuan itu melangkah menuju eskalator. Ia bergerak naik. Satu lantai, dua lantai, dia terus naik, dan makin ke atas tempat ini terasa makin sepi. Tak ada alunan musik instrumental. Tak ada Kenny G atau Dave Koz. Tak ada pengumuman berita kehilangan dari operator. Hanya AC berdenging mengalirkan dingin menusuk tulang. Di lantai tujuh, puluhan video game menyala. Gambar-gambarnya berkelebat liar tanpa suara. Dari satu restoran fast-food, berpuluh-puluh potong ayam goreng masih mengepulkan asap di atas piring-piring yang telah dikotori lumuran saus tomat dan cabai. Embun menitik di permukaan kaca mesin soft drink otomatis.

Mau kemana gerangan dia? Kami tiba di lantai terakhir. Sederet kafe, karaoke louge, diskotek, cineplex. Di balik kaca etalase cineplex yang berdebu menempel poster kusam dari tahun 1990an, Back To The Future. Hollywood tidak pernah memberi penghargaan tinggi pada Michael J Fox. Padahal Tom Hanks, Robert de Niro, atau Al Pacino, aktor-aktor kelas Oscar itu, belum tentu bisa menghidupkan Marty McFly lebih baik darinya.

Aku memang suka pada segala gambaran tentang masa depan. Lucu, menggemaskan, meski di saat yang sama menerbitkan kekhawatiran. Apakah masa depan memang seperti yang digambarkan dalam kedua film itu: mobil terbang, pedang laser, robot, dan para Jedi? Semoga tidak. Barangkali akan lebih menyejukkan apabila di masa depan kendaraan masih melaju di atas tanah dan manusia tetap menjadi penguasa semesta titipan ini.

Kusapu pandangan. Aih, jangan-jangan tempat ini berada di masa depan. Dari sekeping jendela, kulihat menggelantung bulan yang sama. Aku lega. Star Wars mengabarkan bulan tak lagi utuh: tinggal separuh dan bopeng-bopeng persis wajah penderita cacar air.

Ekor mataku menangkap kelebat bayang perempuan itu. Konsentrasiku beralih lagi padanya. Masa depan atau tidak urusan nanti saja. Dia lebih penting. Dia berbelok cepat di satu lorong. Pada papan petunjuk di depan lorong tertulis PARKING AREA.

Tapi lagi-lagi yang kutangkap adalah keasingan. Ruang luas ini sama sekali kosong. Tak seperti umumnya area parkir di lantai atas gedung bertingkat, tak ada pepohonan, lampu hias, atau bangku-bangku beton tempat para sopir duduk sekadar untuk melepas penat kaki. Bahkan tidak ada mobil, yang berkilat maupun yang kap mesinnya berlapis debu tebal karena telah dititipkan entah berapa lama. Jika tak ada sinar bulan, tempat ini pastilah sepenuhnya gelap.
Aku benar-benar merasa tak nyaman. Hampir saja aku berbalik meninggalkan tempat ini kalau saja telingaku tak menangkap suara orang bercakap-cakap. Perempuan dan laki-laki, datang dari arah jam 11. Perempuan lebih dominan. Lelaki menyela sesekali.

Hati-hati aku mendekat. Samar, dekat tembok yang membatasi ruang ini dengan udara bebas, tak jauh dari jalan keluar yang menikung turun, dua bayangan tubuh berhadap-hadapan. Dari bentuknya, memang tubuh perempuan dan laki-laki. Suara perempuan meninggi.
“Untuk apa Anda menanyakan kabarku? Sebenarnya pertanyaannya bukan seperti itu, kan? Sebenarnya Anda hanya bermaksud menanyakan kabar kelaminku, kan? Apakah aku tidak hamil? Tidak. Anda tak perlu khawatirkan soal itu.”
“Aku butuh kamu. Aku cinta kamu.”

“Wah, Anda bicara cinta? Ayolah, tak usah main-main. Lagipula tahu apa Anda soal cinta? Pernah baca Gibran? Anda menikmati lagu-lagu Frank Sinatra? Berhentilah bicara cinta. Itu semua omong kosong! Apakah Anda pernah memimpikan aku? Anda pernah melihat bayang wajahku di cermin tiap kali Anda menyisir rambut atau merapikan dasi? Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk memikirkan aku dalam sehari? Aku yakin tak pernah lebih dari lima menit. Iya, lima menit. Waktu kelamin Anda gelisah. Lalu Anda menghubungiku dan setelah itu kita bergelut seperti dua ekor belut. Apakah Anda yakin pada kata-kata Anda tadi? Anda tak pernah sadar betapa aku sungguh busuk?”
“Aku menghormati kamu.”

Perempuan itu tertawa. Panjang dan lantang dan binal. “Anda lucu sekali. Sumpah, aku sama sekali tak menyangka, Anda ternyata berbakat jadi pelawak. Menghormati? Anda bahkan selalu melenguh-lenguhkan nama perempuan lain tiap kali kita bercinta. Itukah kehormatan dalam defenisi Anda? Bukankah itu sebenarnya kehormatan untuk Anda sendiri? Kehormatan karena Anda mampu Anda mempereteli satu demi satu harga diri perempuan yang sudah terlanjur busuk seperti aku.”

“Tidak, Sayang. Aku benar-benar tidak sanggup hidup tanpa kamu.”

“Hahaha… Sudahlah! Anda juga mengatakan ini pada istri Anda? Aku lelah mendengar kalimat-kalimat cinta Anda. Cinta taik kucing! Bukankah selama ini kita bisa bercinta tanpa perlu repot-repot memikirkan cinta.”

Sunyi sejenak. Hanya suara jatuh air AC dan desau angin yang mampir membelai telinga.  Keheningan dan ketemaraman. Bulu tengkukku berdiri. Lalu perempuan itu bicara lagi.

“Aku pikir Anda perlu tahu. Sebenarnya hubungan kita ini kupertahankan semata karena aku merasa belum cukup bisa menambah kebencian.”
“Benci? Membenci siapa?”

“Anda tidak perlu tahu. Tapi sekarang, kata-kata dan sikap anda tadi sudah membantuku untuk mewujudkan tujuanku itu. Aku sekarang sudah lebih membencinya. Jadi dengan demikian, maka hubungan kita pun harus berakhir.”

Hening lagi beberapa lama. Tidak ada lagi suara-suara itu. Kucoba mengintip (sejak tadi aku bersembunyi dan menguping dari balik sebuah tiang). Bayangan berbentuk tubuh perempuan tidak ada lagi. Hanya tinggal bayangan tubuh laki-laki di sana. Tapi segera kusadari kalau laki-laki itu bukan laki-laki yang sama. Tubuhnya lebih gempal dan lebih pendek ketimbang laki-laki tadi. Ternyata bukan hanya aku dan kedua orang tadi yang berada di tempat ini. Ternyata ada orang lain dan kini dia berdiri dengan tangan ditopangkan pada tembok. Kemana perginya perempuan dan laki-laki yang terlibat pembicaraan sangat serius tadi? Aku tak melihat mereka kembali masuk ke dalam gedung. Apakah mereka pergi lewat jalan yang menikung turun itu?
Lelaki asing itu tiba-tiba berpaling ke arahku. Wajahnya tidak begitu jelas, tenggelam ditelan temaram cahaya. Namun sinar matanya terasa menusuk tajam. Aku merasa terpojok. Aku sudah bersiap-siap mengambil langkah seribu –siapa tahu laki-laki itu marah dan mengejarku. Namun ternyata hal ini tak dilakukannya. Dia justru kembali memalingkan wajah dan selanjutnya melakukan sesuatu yang sungguh mati tak pernah kuduga.
Laki-laki itu kini memanjat tembok. Astaga! Firasatku buruk. Aku berlari mendekatinya.
“Hei, Bung! Jangan bodoh!” kataku berteriak.

Peringatanku terlambat. Setelah sesaat berpaling lagi ke arahku, bahkan kali ini sempat tersenyum, laki-laki itu meloncat. Detik berikut terdengar suara berdebum. Kulongokkan kepala. Gelap penuh. Dari lantai 8 ini, puluhan meter jauhnya, mataku tak bisa menemukan setitikpun cahaya. Bahkan di bawah sana pemandangan melulu hitam.

Tiba-tiba kurasakan nyeri di belakang kepalaku. Detik berikut tubuhku seperti melayang. Iya, melayang, lalu melesat turun sangat cepat. Aku menggapai-gapai. Hanya udara kosong menjilat ujung jari. Kututup mata dan kulihat kembali perempuan itu. Kuhirup lagi harum yang kuprasangkakan datang dari tubuhnya. Aku makin yakin pernah mengenalnya. Juga laki-laki yang bunuh diri tadi. Mereka sama sekali tak asing. Tapi siapa? Dimana pernah kutemui mereka?

Aku melayang. Terus melayang. Turun. Terus turun. Terus. Sampai lebih dalam dari delapan lantai. Terus. Sembilan lantai, sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Sekelilingku tetap gelap. Tetap harum.

Begitulah, tulisanku berakhir di sini. Lima halaman dan kupikir sesungguhnya ini cukup panjang untuk ukuran draft cerita. Masalahnya, seperti kuutarakan di awal, cerita ini belum rampung. Barangkali baru separuh jalan saja. Jika Tok Awang masih si juru cerita yang sama-sama kita kenal, tak ada persoalan. Kau ingat, bahkan sekadar beberapa baris kalimat yang tidak dimaksudkan sebagai cerita bisa diolahnya jadi kisah menakjubkan yang membikin para pendengarnya terbengong-bengong. Tapi Tok Awang sekarang adalah Tok Awang yang berbeda. Aku khawatir, jika kuserahkan draf yang belum rampung ini padanya, akan percuma karena toh ia tidak dapat meramunya jadi satu cerita utuh. Karena itu, sekali lagi, demi kawan kita yang terkasih, mudah-mudahan kau berkenan membantu. Salam!
Medan, 2012

 

Tiba-tiba aku berdiri tersandar pada satu bagian dinding. Iya, tiba-tiba saja. Bagaimana aku bisa sampai di sini, aku tak tahu. Letaknya di antara dua rak tinggi yang disesaki kaset, compact disc, dan piringan hitam. Ada juga video serta buku-buku musik. Pada rak di sebelah kiri kubaca deretan huruf kapital tebal berwarna merah yang membentuk kata JAZZ. Label di rak sebelah kanan bertuliskan BLUES.

Oleh: T Agus Khaidir

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kuceritakan dulu bagaimana lima lembar kertas berisi serangkai cerita ini bisa sampai di tanganmu. Beberapa bulan lalu, padaku datang kawan kita Tok Awang. Tanpa berpanjang lebar disampaikannya satu pengakuan yang membuatku jatuh iba. Kata Tok Awang, ia mendadak kehilangan kemampuan merangkai cerita.

Barangkali karena tahu aku juga suka berkhayal lebih, Tok Awang memintaku menuliskan cerita untuknya. Tanpa pikir panjang aku menyangggupi dan di sinilah letak masalahnya. Di luar dugaanku yang paling konyol sekalipun, aku tak dapat menyelesaikan pesanan cerita itu. Ternyata masalah yang sama juga menderaku. Mendadak aku tak bisa lagi bebas masuk ke ruang-ruang angan, sulit merunut jalan takdir dan memutus tali nasib.

Walau sempat dilanda heran, pada akhirnya kehilangan atas kemewahan ini kumaklumi saja. Tak lantas kuanggap sebagai celaka luar biasa. Namun tentunya berbeda kawan kita itu. Bagi juru kisah seperti dia, angan cuma sedikit kalah berarti dari nyawa. Karenanya kukirim cerita yang belum sepenuhnya rampung ini padamu. Harapanku kau dapat membantu menyelesaikannya.

Baiklah, kupikir tak perlu aku mengoceh terlalu panjang. Kau baca sajalah kelanjutan cerita yang kutulis. Oh, iya, lantaran cerita ini masih berupa draft, sudah barang tentu kau dapat menambah, mengurangi, atau bahkan mengubahnya.

Semula kusangka tempat ini mengesankan keelitan. Tapi langsung goyah setelah kusadari betapa ternyata dindingnya begitu kampungan. Cat kusam dan mengelupas, di sana-sini juga terdapat coretan yang sama sekali tak dimaksudkan sebagai seni. Ada peperangan entah di mana, berbagi tempat dengan gambar adegan persenggamaan dalam berbagai posisi. Pesawat-pesawat terbang. UFO. Mobil balap. Pisau komando. Pisang. Monyet. Bebek. Perempuan telanjang. Juga entah berapa puluh simbol agung para pecinta kelas teri: hati tertembus panah.

Langkahku terhenti, lebih tepatnya mendadak berhenti, saat mataku terperogok sosok perempuan. Barangkali 25 tahunan. Tubuhnya dibalut ketat kaus putih U Can See. Ia mengenakan jeans setinggi betis berwarna biru belel. Harum yang elite memenuhi ronggo hidungku. Aku ingat pernah membaui harus seperti ini. Belum lama, tapi aku lupa di mana.

Lamunanku buyar oleh suara berdebum. Satu rak jatuh dan kulihat perempuan itu melangkah menjauh. Kakinya jenjangnya yang dibungkus high heels bertali diayunkan makin cepat. “Hei, tunggu!” kataku berteriak sebelum melesat mengejarnya. Jika kau tanya kenapa aku melakukan hal ini, aku tak tahu. Kakiku bergerak begitu saja. Namun yang pasti, perempuan itu memang telah memantik rasa penasaranku.

Ruangan ini ternyata terletak di gedung berukuran lebih besar. Barangkali semacam mal. Di kanan-kiri-depan ada toko. Tapi aku kemudian jadi ragu pula untuk memastikan apakah tempat ini benar-benar mal. Jika mal, tentu tak sesepi ini. Bahkan sekiranya jam operasi telah usai, mestinya tetap ada petugas keamanan lalu lalang membawa senter atau tongkat berlampu.

Aku tidak tahu sekarang jam berapa, namun kukira, jika pun benar tempat ini mal, jam operasi pastilah belum usai. Semua pintu ruangan yang menyerupai toko masih terbuka dan lampu-lampunya masih menyala. Lift dan eskalator juga masih berjalan. Apakah sudah terjadi sesuatu sebelumnya hingga seluruh pengunjung diminta keluar? Jika memang demikian, mengapa alarm tidak menyala? Mengapa aku tak mendengar kebisingan apapun?
Perempuan itu melangkah menuju eskalator. Ia bergerak naik. Satu lantai, dua lantai, dia terus naik, dan makin ke atas tempat ini terasa makin sepi. Tak ada alunan musik instrumental. Tak ada Kenny G atau Dave Koz. Tak ada pengumuman berita kehilangan dari operator. Hanya AC berdenging mengalirkan dingin menusuk tulang. Di lantai tujuh, puluhan video game menyala. Gambar-gambarnya berkelebat liar tanpa suara. Dari satu restoran fast-food, berpuluh-puluh potong ayam goreng masih mengepulkan asap di atas piring-piring yang telah dikotori lumuran saus tomat dan cabai. Embun menitik di permukaan kaca mesin soft drink otomatis.

Mau kemana gerangan dia? Kami tiba di lantai terakhir. Sederet kafe, karaoke louge, diskotek, cineplex. Di balik kaca etalase cineplex yang berdebu menempel poster kusam dari tahun 1990an, Back To The Future. Hollywood tidak pernah memberi penghargaan tinggi pada Michael J Fox. Padahal Tom Hanks, Robert de Niro, atau Al Pacino, aktor-aktor kelas Oscar itu, belum tentu bisa menghidupkan Marty McFly lebih baik darinya.

Aku memang suka pada segala gambaran tentang masa depan. Lucu, menggemaskan, meski di saat yang sama menerbitkan kekhawatiran. Apakah masa depan memang seperti yang digambarkan dalam kedua film itu: mobil terbang, pedang laser, robot, dan para Jedi? Semoga tidak. Barangkali akan lebih menyejukkan apabila di masa depan kendaraan masih melaju di atas tanah dan manusia tetap menjadi penguasa semesta titipan ini.

Kusapu pandangan. Aih, jangan-jangan tempat ini berada di masa depan. Dari sekeping jendela, kulihat menggelantung bulan yang sama. Aku lega. Star Wars mengabarkan bulan tak lagi utuh: tinggal separuh dan bopeng-bopeng persis wajah penderita cacar air.

Ekor mataku menangkap kelebat bayang perempuan itu. Konsentrasiku beralih lagi padanya. Masa depan atau tidak urusan nanti saja. Dia lebih penting. Dia berbelok cepat di satu lorong. Pada papan petunjuk di depan lorong tertulis PARKING AREA.

Tapi lagi-lagi yang kutangkap adalah keasingan. Ruang luas ini sama sekali kosong. Tak seperti umumnya area parkir di lantai atas gedung bertingkat, tak ada pepohonan, lampu hias, atau bangku-bangku beton tempat para sopir duduk sekadar untuk melepas penat kaki. Bahkan tidak ada mobil, yang berkilat maupun yang kap mesinnya berlapis debu tebal karena telah dititipkan entah berapa lama. Jika tak ada sinar bulan, tempat ini pastilah sepenuhnya gelap.
Aku benar-benar merasa tak nyaman. Hampir saja aku berbalik meninggalkan tempat ini kalau saja telingaku tak menangkap suara orang bercakap-cakap. Perempuan dan laki-laki, datang dari arah jam 11. Perempuan lebih dominan. Lelaki menyela sesekali.

Hati-hati aku mendekat. Samar, dekat tembok yang membatasi ruang ini dengan udara bebas, tak jauh dari jalan keluar yang menikung turun, dua bayangan tubuh berhadap-hadapan. Dari bentuknya, memang tubuh perempuan dan laki-laki. Suara perempuan meninggi.
“Untuk apa Anda menanyakan kabarku? Sebenarnya pertanyaannya bukan seperti itu, kan? Sebenarnya Anda hanya bermaksud menanyakan kabar kelaminku, kan? Apakah aku tidak hamil? Tidak. Anda tak perlu khawatirkan soal itu.”
“Aku butuh kamu. Aku cinta kamu.”

“Wah, Anda bicara cinta? Ayolah, tak usah main-main. Lagipula tahu apa Anda soal cinta? Pernah baca Gibran? Anda menikmati lagu-lagu Frank Sinatra? Berhentilah bicara cinta. Itu semua omong kosong! Apakah Anda pernah memimpikan aku? Anda pernah melihat bayang wajahku di cermin tiap kali Anda menyisir rambut atau merapikan dasi? Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk memikirkan aku dalam sehari? Aku yakin tak pernah lebih dari lima menit. Iya, lima menit. Waktu kelamin Anda gelisah. Lalu Anda menghubungiku dan setelah itu kita bergelut seperti dua ekor belut. Apakah Anda yakin pada kata-kata Anda tadi? Anda tak pernah sadar betapa aku sungguh busuk?”
“Aku menghormati kamu.”

Perempuan itu tertawa. Panjang dan lantang dan binal. “Anda lucu sekali. Sumpah, aku sama sekali tak menyangka, Anda ternyata berbakat jadi pelawak. Menghormati? Anda bahkan selalu melenguh-lenguhkan nama perempuan lain tiap kali kita bercinta. Itukah kehormatan dalam defenisi Anda? Bukankah itu sebenarnya kehormatan untuk Anda sendiri? Kehormatan karena Anda mampu Anda mempereteli satu demi satu harga diri perempuan yang sudah terlanjur busuk seperti aku.”

“Tidak, Sayang. Aku benar-benar tidak sanggup hidup tanpa kamu.”

“Hahaha… Sudahlah! Anda juga mengatakan ini pada istri Anda? Aku lelah mendengar kalimat-kalimat cinta Anda. Cinta taik kucing! Bukankah selama ini kita bisa bercinta tanpa perlu repot-repot memikirkan cinta.”

Sunyi sejenak. Hanya suara jatuh air AC dan desau angin yang mampir membelai telinga.  Keheningan dan ketemaraman. Bulu tengkukku berdiri. Lalu perempuan itu bicara lagi.

“Aku pikir Anda perlu tahu. Sebenarnya hubungan kita ini kupertahankan semata karena aku merasa belum cukup bisa menambah kebencian.”
“Benci? Membenci siapa?”

“Anda tidak perlu tahu. Tapi sekarang, kata-kata dan sikap anda tadi sudah membantuku untuk mewujudkan tujuanku itu. Aku sekarang sudah lebih membencinya. Jadi dengan demikian, maka hubungan kita pun harus berakhir.”

Hening lagi beberapa lama. Tidak ada lagi suara-suara itu. Kucoba mengintip (sejak tadi aku bersembunyi dan menguping dari balik sebuah tiang). Bayangan berbentuk tubuh perempuan tidak ada lagi. Hanya tinggal bayangan tubuh laki-laki di sana. Tapi segera kusadari kalau laki-laki itu bukan laki-laki yang sama. Tubuhnya lebih gempal dan lebih pendek ketimbang laki-laki tadi. Ternyata bukan hanya aku dan kedua orang tadi yang berada di tempat ini. Ternyata ada orang lain dan kini dia berdiri dengan tangan ditopangkan pada tembok. Kemana perginya perempuan dan laki-laki yang terlibat pembicaraan sangat serius tadi? Aku tak melihat mereka kembali masuk ke dalam gedung. Apakah mereka pergi lewat jalan yang menikung turun itu?
Lelaki asing itu tiba-tiba berpaling ke arahku. Wajahnya tidak begitu jelas, tenggelam ditelan temaram cahaya. Namun sinar matanya terasa menusuk tajam. Aku merasa terpojok. Aku sudah bersiap-siap mengambil langkah seribu –siapa tahu laki-laki itu marah dan mengejarku. Namun ternyata hal ini tak dilakukannya. Dia justru kembali memalingkan wajah dan selanjutnya melakukan sesuatu yang sungguh mati tak pernah kuduga.
Laki-laki itu kini memanjat tembok. Astaga! Firasatku buruk. Aku berlari mendekatinya.
“Hei, Bung! Jangan bodoh!” kataku berteriak.

Peringatanku terlambat. Setelah sesaat berpaling lagi ke arahku, bahkan kali ini sempat tersenyum, laki-laki itu meloncat. Detik berikut terdengar suara berdebum. Kulongokkan kepala. Gelap penuh. Dari lantai 8 ini, puluhan meter jauhnya, mataku tak bisa menemukan setitikpun cahaya. Bahkan di bawah sana pemandangan melulu hitam.

Tiba-tiba kurasakan nyeri di belakang kepalaku. Detik berikut tubuhku seperti melayang. Iya, melayang, lalu melesat turun sangat cepat. Aku menggapai-gapai. Hanya udara kosong menjilat ujung jari. Kututup mata dan kulihat kembali perempuan itu. Kuhirup lagi harum yang kuprasangkakan datang dari tubuhnya. Aku makin yakin pernah mengenalnya. Juga laki-laki yang bunuh diri tadi. Mereka sama sekali tak asing. Tapi siapa? Dimana pernah kutemui mereka?

Aku melayang. Terus melayang. Turun. Terus turun. Terus. Sampai lebih dalam dari delapan lantai. Terus. Sembilan lantai, sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Sekelilingku tetap gelap. Tetap harum.

Begitulah, tulisanku berakhir di sini. Lima halaman dan kupikir sesungguhnya ini cukup panjang untuk ukuran draft cerita. Masalahnya, seperti kuutarakan di awal, cerita ini belum rampung. Barangkali baru separuh jalan saja. Jika Tok Awang masih si juru cerita yang sama-sama kita kenal, tak ada persoalan. Kau ingat, bahkan sekadar beberapa baris kalimat yang tidak dimaksudkan sebagai cerita bisa diolahnya jadi kisah menakjubkan yang membikin para pendengarnya terbengong-bengong. Tapi Tok Awang sekarang adalah Tok Awang yang berbeda. Aku khawatir, jika kuserahkan draf yang belum rampung ini padanya, akan percuma karena toh ia tidak dapat meramunya jadi satu cerita utuh. Karena itu, sekali lagi, demi kawan kita yang terkasih, mudah-mudahan kau berkenan membantu. Salam!
Medan, 2012

 

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/