26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Siaga di Jalanan Medan

Ramadhan Batubara

Ceritanya beberapa hari ini ada yang berbeda di Kota Medan. Tidak hanya satu dua orang yang merasakannya. Saya pastikan nyaris seluruh warga Medan merasakan hal itu. Ya, setiap kepala seakan dipaksa untuk terus siaga ketika berada di jalanan.

Setidaknya, bagi saya soal siaga di jalanan makin bertambah. Bayangkan saja, ketika turun ke jalan, berarti saya mengendarai sepeda motor yang saya beri nama Lena. Nah, kondisi Lena kini makin parah. Maklumlah, Lena bukan lagi gadis belia yang masih lincah. Dia sudah tua. Geraknya makin lambat. Ketika roda berputar, dia terasa mau lepas. Belum laga suara rantai dan mesin yang terlalu cepat panas. Ujung-ujungnya, kecepatan yang bisa saya pacu hanya empat puluh kilometer per jam; ini kecepatan maksimal.

Tapi sudahlah, kata orang, nikmatilah apa yang ada. Seperti kata dan sikap Putu Wijaya: berangkat dari yang ada. Maka, dalam sepekan terakhir,  saya pun berangkat dengan menunggangi Lena. Masalahnya, meski sudah saya nikmati, tetap saja saya harus siaga. Jalanan di Kota Medan tampaknya tak bersahabat dengan Lena. Di setiap sudut, jalanan nyaris memberikan hambatan bagi dia. Ya, ketika memasuki jalan kecil, polisi tidur menjadi musuh utama. Bahkan – seperti di Jalan Eka Sama di Kelurahan Gedung Johor – polisi tidur hadir nyaris di setiap lima meter. Tak pelak, Lena menjerit. Cengkeraman rem dan respon gas yang dimilikinya begitu menyedihkan. Lalu, ketika memasuki jalan protokol atawa jalan besar, Lena juga tak bisa bersaing. Kecepatannya menjadi masalah bagi pengendara lain. Bolak-balik kami diklakson. Tentu, ini bukan karena kami ugal-ugalan, tapi karena kami terlalu ‘sopan’. Ya, kecepatan kami membuat pengendara lain terhambat. Orang-orang yang bergegas marah, laju kami dianggap terlalu lambat. Tambah parah lagi, jalan besar juga tidak halus. Aspal bergelombang dan berlubang jadikan masalah makin parah. Lena terpaksa berbelok menghindari gelombang dan lubang. Saat berbelok ini, kendaraan lain tambah terganggu kan?

Kerepotan yang paling nyata adalah ketika Lena ingin menyalip. Kemampuan behitu minim. Ya, belum lagi setengah badan angkutan kota terlewati, ada pula kendaraan dari arah berlawanan. Terpaksa Lena mengalah, mengurangi kecepatan dan balik sembunyi di belakang angkutan kota. Parahnya, angkutan kota sudah biasa berbelok mendadak ketika ada penumpang yang turun atau ada yang akan naik. Tak pelak, Lena terdiam. Berhenti tepat di belakang angkutan tadi.
Tapi sudahlah, nikmati saja apa yang ada. Bukankah Lena sudah begitu banyak membantu saya. Kalau soal siaga, setiap pengendara memang wajib siaga ketika melaju di jalanan.

Menariknya, belakangan ini tidak pengendara saja yang siaga. Mereka yang berada di pinggir jalan juga wajib siaga. Oh, ini bukan soal Afriani dengan Xenia mautnya atau Marini dengan Avanza sialnya. Ini tentang aksi demonstrasi belakangan ini. Perhatikanlah atau kenanglah Medan beberapa hari ini. Di beberapa tempat ada sekian aparat keamanan yang bersiaga. Mereka bukan polisi lalu lintas atau anggota Dinas Perhubungan yang memang lazim siaga di pinggir jalan. Meraka adalah brimob dan bahkan tentara.

Soal siaga yang mereka tunjukan tampak jelas di sekitar kantor gubernur dan DPRD Sumut, kantor walikota dan DPRD Medan, Bandara Polinia, dan sebagainya. Di Medan Amplas, mereka bersiaga di depan gerbang tol Balmerah. Bahkan, mereka membuat tenda; tepat di bawah jembatan layang. Suasana seakan mau perang saja.

Kesiagaan yang mereka lakukan berangkat dari status Kota Medan yang menjadi Siaga Satu. Begitulah, keberadaan aksi menentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang wajib diamankan. Apalagi, soal siaga ini langsung diperintahkan Markas Besar Polri kepada Polisi Daerah Sumatera Utara melalui telegram rahasia.

Itulah sebab, wali kota Medan langsung mengintruksi bawahannya untuk siaga juga. “Kalau memang Siaga I sudah menjadi keputusan di Kota Medan, kami dari Pemko Medan akan mengimbau mulai dari kepala lingkungan, lurah, kecamatan dan aparat pemerintah di Kota Medan, saya perintahkan untuk secara bersama-sama menjaga kondusifitas kota,” katanya.

Lalu, apa yang dilakukan warga kota? Jawabnya, ya siaga juga. Seperti saya dan Lena, yang wajib siaga agar tak jadi korban jalanan. Begitupun warga lain, meski memiliki sepeda motor atau mobil yang kemampuannya jauh lebih baik dari Lena, mereka juga wajib siaga untuk menghindari peristiwa tidak menyenangkan. Coba bayangkan ketika mereka tetap cuek dan lewat di wilayah Jalan Perintis Kemerdekaan pada Jumat malam lalu. Atau, melintasi kawasan Kampus USU di malam yang sama.  Wah, bisa jadi korban massa kan? Contohnya, seorang politisi dari Jakarta sana. Dia tidak siaga dan tidak memetakan demonstrasi di Medan, dia pun jadi korban ketika melintas di Jalan S Parman Jumat siang lalu bukan?
Begitulah, soal siaga memang bukan hanya karena status Siaga I. Jalanan di Medan memang wajib disiagai. Aspal bergelombang, polisi tidur, jalan berlubang, hingga lalu lintas yang cenderung ‘suka-suka’ adalah buktinya. Tapi yang harus diingat, siaga bukan berarti kita tidak turun ke jalan bukan? Maka, berjalanlah agar kehidupan di Medan tetap berputar. Itu saja. (*)

Ramadhan Batubara

Ceritanya beberapa hari ini ada yang berbeda di Kota Medan. Tidak hanya satu dua orang yang merasakannya. Saya pastikan nyaris seluruh warga Medan merasakan hal itu. Ya, setiap kepala seakan dipaksa untuk terus siaga ketika berada di jalanan.

Setidaknya, bagi saya soal siaga di jalanan makin bertambah. Bayangkan saja, ketika turun ke jalan, berarti saya mengendarai sepeda motor yang saya beri nama Lena. Nah, kondisi Lena kini makin parah. Maklumlah, Lena bukan lagi gadis belia yang masih lincah. Dia sudah tua. Geraknya makin lambat. Ketika roda berputar, dia terasa mau lepas. Belum laga suara rantai dan mesin yang terlalu cepat panas. Ujung-ujungnya, kecepatan yang bisa saya pacu hanya empat puluh kilometer per jam; ini kecepatan maksimal.

Tapi sudahlah, kata orang, nikmatilah apa yang ada. Seperti kata dan sikap Putu Wijaya: berangkat dari yang ada. Maka, dalam sepekan terakhir,  saya pun berangkat dengan menunggangi Lena. Masalahnya, meski sudah saya nikmati, tetap saja saya harus siaga. Jalanan di Kota Medan tampaknya tak bersahabat dengan Lena. Di setiap sudut, jalanan nyaris memberikan hambatan bagi dia. Ya, ketika memasuki jalan kecil, polisi tidur menjadi musuh utama. Bahkan – seperti di Jalan Eka Sama di Kelurahan Gedung Johor – polisi tidur hadir nyaris di setiap lima meter. Tak pelak, Lena menjerit. Cengkeraman rem dan respon gas yang dimilikinya begitu menyedihkan. Lalu, ketika memasuki jalan protokol atawa jalan besar, Lena juga tak bisa bersaing. Kecepatannya menjadi masalah bagi pengendara lain. Bolak-balik kami diklakson. Tentu, ini bukan karena kami ugal-ugalan, tapi karena kami terlalu ‘sopan’. Ya, kecepatan kami membuat pengendara lain terhambat. Orang-orang yang bergegas marah, laju kami dianggap terlalu lambat. Tambah parah lagi, jalan besar juga tidak halus. Aspal bergelombang dan berlubang jadikan masalah makin parah. Lena terpaksa berbelok menghindari gelombang dan lubang. Saat berbelok ini, kendaraan lain tambah terganggu kan?

Kerepotan yang paling nyata adalah ketika Lena ingin menyalip. Kemampuan behitu minim. Ya, belum lagi setengah badan angkutan kota terlewati, ada pula kendaraan dari arah berlawanan. Terpaksa Lena mengalah, mengurangi kecepatan dan balik sembunyi di belakang angkutan kota. Parahnya, angkutan kota sudah biasa berbelok mendadak ketika ada penumpang yang turun atau ada yang akan naik. Tak pelak, Lena terdiam. Berhenti tepat di belakang angkutan tadi.
Tapi sudahlah, nikmati saja apa yang ada. Bukankah Lena sudah begitu banyak membantu saya. Kalau soal siaga, setiap pengendara memang wajib siaga ketika melaju di jalanan.

Menariknya, belakangan ini tidak pengendara saja yang siaga. Mereka yang berada di pinggir jalan juga wajib siaga. Oh, ini bukan soal Afriani dengan Xenia mautnya atau Marini dengan Avanza sialnya. Ini tentang aksi demonstrasi belakangan ini. Perhatikanlah atau kenanglah Medan beberapa hari ini. Di beberapa tempat ada sekian aparat keamanan yang bersiaga. Mereka bukan polisi lalu lintas atau anggota Dinas Perhubungan yang memang lazim siaga di pinggir jalan. Meraka adalah brimob dan bahkan tentara.

Soal siaga yang mereka tunjukan tampak jelas di sekitar kantor gubernur dan DPRD Sumut, kantor walikota dan DPRD Medan, Bandara Polinia, dan sebagainya. Di Medan Amplas, mereka bersiaga di depan gerbang tol Balmerah. Bahkan, mereka membuat tenda; tepat di bawah jembatan layang. Suasana seakan mau perang saja.

Kesiagaan yang mereka lakukan berangkat dari status Kota Medan yang menjadi Siaga Satu. Begitulah, keberadaan aksi menentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang wajib diamankan. Apalagi, soal siaga ini langsung diperintahkan Markas Besar Polri kepada Polisi Daerah Sumatera Utara melalui telegram rahasia.

Itulah sebab, wali kota Medan langsung mengintruksi bawahannya untuk siaga juga. “Kalau memang Siaga I sudah menjadi keputusan di Kota Medan, kami dari Pemko Medan akan mengimbau mulai dari kepala lingkungan, lurah, kecamatan dan aparat pemerintah di Kota Medan, saya perintahkan untuk secara bersama-sama menjaga kondusifitas kota,” katanya.

Lalu, apa yang dilakukan warga kota? Jawabnya, ya siaga juga. Seperti saya dan Lena, yang wajib siaga agar tak jadi korban jalanan. Begitupun warga lain, meski memiliki sepeda motor atau mobil yang kemampuannya jauh lebih baik dari Lena, mereka juga wajib siaga untuk menghindari peristiwa tidak menyenangkan. Coba bayangkan ketika mereka tetap cuek dan lewat di wilayah Jalan Perintis Kemerdekaan pada Jumat malam lalu. Atau, melintasi kawasan Kampus USU di malam yang sama.  Wah, bisa jadi korban massa kan? Contohnya, seorang politisi dari Jakarta sana. Dia tidak siaga dan tidak memetakan demonstrasi di Medan, dia pun jadi korban ketika melintas di Jalan S Parman Jumat siang lalu bukan?
Begitulah, soal siaga memang bukan hanya karena status Siaga I. Jalanan di Medan memang wajib disiagai. Aspal bergelombang, polisi tidur, jalan berlubang, hingga lalu lintas yang cenderung ‘suka-suka’ adalah buktinya. Tapi yang harus diingat, siaga bukan berarti kita tidak turun ke jalan bukan? Maka, berjalanlah agar kehidupan di Medan tetap berputar. Itu saja. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/