26 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Ragam Menu Ragam Perangai

Ramadhan Batubara

Sambal udang cuma tiga ribu perak. Sop ceker tiga ribu perak. Sambal ikan asin dua ribu perak. Sambal teri kacang dua ribu perak. Total sepuluh ribu perak. Menu makan sehari pun aman. Empat plastik dibawa pulang.

Senyum mengembang. Menu di atas dipesan tetangga saya kemarin pagi jelang siang. Tepatnya, di warung yang berada di pojok sebuah jalan bernama Tuar, Medan Amplas. Kenapa saya letakkan menu itu di lead, jawabnya karena saya terkejut. Ya, bukankah harga itu cukup terjangkau?

Saking terkejutnya, kemarin saya pun ikuti menu tetangga tadi. Tentunya dengan harga yang sama. Dan, saya pun tersenyum sambil membawa empat bungkus menu itu. Lucunya, ketika tersenyum, saya merasa senyum itu pun sama dengan tetangga. Bagaimana tidak, pelayanan dari dua orang di warung itu cukup memuaskan. Mereka cukup cekatan menyendokan menu yang dipesan hingga membungkusnya dalam plastik.

Praktis, cukup lima menit semua menu siap dibawa pulang. Hal ini sangat menolong pembeli yang mengular mengantre. Sayangnya, ketika sampai di rumah, senyum saya langsung hilang. Tadi saya diminta tolong oleh istri untuk membeli lontong. Fiuh. Tapi sudahlah, yang jelas, ketika menjamurnya warung cepat saji dan aneka ayam penyet hingga maraknya warung Padang, warung kecil itu benar-benar membuat saya lega. Bagaimana tidak, biasanya saya terbiasa dengan menu dengan harga yang sudah dipatok.

Di warung kecil di Jalan Tuar itu, harga benar-benar bisa dinegoisasikan. Misalnya, ketika saya latah untuk membeli sambal udang tadi. Ketika saya sampaikan pesanan pada penjual, dia malah balik bertanya: berapa? Tergagap, saya jawab tiga ribu; persis dengan tetangga tadi.

Nah, angka tiga ribu membuat otak saya bekerja. Maksud saya begini, jika memang bisa beli seharga tiga ribu, berarti bisa beli dengan harga dua ribu atau seribu rupiah bukan? Pun, bisa beli sambal udang itu sepuluh ribu rupiah kan? Tentu, kenyataan ini cukup menyenangkan. Pasalnya, sebagai keluarga kecil, yang terdiri dari dua orang, kita kan tak harus membeli sambal udang itu sampai sepuluh ribu rupiah. Cukup disesuaikan dengan kebutuhan.

Lucunya, kehebatan warung kecil di Medan Amplas itu makin tampak beberapa jam kemudian. Tepatnya, sehabis saya dan rekan-rekan bermain futsal di kawasan STM Medan. Jadi, usai main futsal – kali ini formasi pemain bisa dikatakan lengkap -kami sepakat untuk makan di sebuah warung ayam penyet di kawasan itu juga.

Label warung ini cukup pas mengingat ayam penyet cenderung berasal dari Pulau Jawa: nama warung ini adalah nama komunitas putra Jawa di Sumatera. Nah, ketika baru duduk, kami langsung didatangi pelayan; perempuan. Dia tersenyum ramah layaknya pelayan di mana saja. Kami pun senang sambil memperhatikan daftar menu lengkap dengan harganya. Meski tidak semurah warung di Jalan Tuar (hehehehehe), saya melihat harga itu masih sangat wajar. Maka, satu persatu dari kami mulai ribut memesan.

Saat memesan inilah terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Pelayanan itu menghilangkan senyumnya. Malah, dia terlihat marah. Dia tak ramah lagi menunggu kami memesan. Kesannya, dia ingin buru-buru kami memesan. Hal ini bagi saya lucu. Pasalnya, kami berjumlah belasan orang, menu yang ditawarkan juga banyak, mengapa dia tidak sabar.

Melihat itu, saya jadi batal memesan. Entahlah, mungkin karena masih terbayang kenikmatan belanja di warung kecil tadi, saya jadi malas memesan di ayam penyet ini. Pelayannya kurang menyenangkan. Padahal, kami tidak menggodanya, kami hanya lama memilih. Eh, kok marah. Ya sudah, saya saja yang marah.

Kawan-kawan tetap memilih. Saya bertahan tidak. Parahnya, ketika pesanan datang, si pelayan tadi malah menghilangkan keramahan. Dia letakkan pesanan begitu saja.

Tanpa senyum, seakan kami ke warung itu bukan untuk membeli. Tapi sudahlah, mungkin kami dilihatnya tak menyenangkan; meski hal ini tak boleh dilakukan pelayan bukan?

Belum lagi kesal saya hilang, eh, si pelayan malah buat kesalahan lagi. Minuman pesanan seorang kawan malah salah. Fiuh. Beruntung sang kawan tetap menerima. Nah, ketika sudah begitu, si pelayan tetap tak tersenyum! Bukankah seharusnya dia bersyukur dengan sikap kawan saya tadi hingga dia tak harus menanggung kesalahan itu?

Tapi, sekali lagi, sudahlah. Dua ratus dua belas ribu berpindah ke warung itu. Tak masalah. Makanan di warung itu memang sudah ada harga standar. Tidak bisa ditawar. Tidak bisa dibeli setengah-setangah. Dan, kalau anak kecil yang belanja, ya jumlah makanan dan harga pun tidak bisa disesuaikan: tetap ikut porsi orang dewasa.

Begitulah, soal makanan memang tak hanya sekadar soal rasa dan harga. Ada bahasa lain terkait hal itu, yakni kenyamanan. Dan, mungkin hal ini yang dilupakan pelayan tadi. Namun, sudahlah …. (*)

Ramadhan Batubara

Sambal udang cuma tiga ribu perak. Sop ceker tiga ribu perak. Sambal ikan asin dua ribu perak. Sambal teri kacang dua ribu perak. Total sepuluh ribu perak. Menu makan sehari pun aman. Empat plastik dibawa pulang.

Senyum mengembang. Menu di atas dipesan tetangga saya kemarin pagi jelang siang. Tepatnya, di warung yang berada di pojok sebuah jalan bernama Tuar, Medan Amplas. Kenapa saya letakkan menu itu di lead, jawabnya karena saya terkejut. Ya, bukankah harga itu cukup terjangkau?

Saking terkejutnya, kemarin saya pun ikuti menu tetangga tadi. Tentunya dengan harga yang sama. Dan, saya pun tersenyum sambil membawa empat bungkus menu itu. Lucunya, ketika tersenyum, saya merasa senyum itu pun sama dengan tetangga. Bagaimana tidak, pelayanan dari dua orang di warung itu cukup memuaskan. Mereka cukup cekatan menyendokan menu yang dipesan hingga membungkusnya dalam plastik.

Praktis, cukup lima menit semua menu siap dibawa pulang. Hal ini sangat menolong pembeli yang mengular mengantre. Sayangnya, ketika sampai di rumah, senyum saya langsung hilang. Tadi saya diminta tolong oleh istri untuk membeli lontong. Fiuh. Tapi sudahlah, yang jelas, ketika menjamurnya warung cepat saji dan aneka ayam penyet hingga maraknya warung Padang, warung kecil itu benar-benar membuat saya lega. Bagaimana tidak, biasanya saya terbiasa dengan menu dengan harga yang sudah dipatok.

Di warung kecil di Jalan Tuar itu, harga benar-benar bisa dinegoisasikan. Misalnya, ketika saya latah untuk membeli sambal udang tadi. Ketika saya sampaikan pesanan pada penjual, dia malah balik bertanya: berapa? Tergagap, saya jawab tiga ribu; persis dengan tetangga tadi.

Nah, angka tiga ribu membuat otak saya bekerja. Maksud saya begini, jika memang bisa beli seharga tiga ribu, berarti bisa beli dengan harga dua ribu atau seribu rupiah bukan? Pun, bisa beli sambal udang itu sepuluh ribu rupiah kan? Tentu, kenyataan ini cukup menyenangkan. Pasalnya, sebagai keluarga kecil, yang terdiri dari dua orang, kita kan tak harus membeli sambal udang itu sampai sepuluh ribu rupiah. Cukup disesuaikan dengan kebutuhan.

Lucunya, kehebatan warung kecil di Medan Amplas itu makin tampak beberapa jam kemudian. Tepatnya, sehabis saya dan rekan-rekan bermain futsal di kawasan STM Medan. Jadi, usai main futsal – kali ini formasi pemain bisa dikatakan lengkap -kami sepakat untuk makan di sebuah warung ayam penyet di kawasan itu juga.

Label warung ini cukup pas mengingat ayam penyet cenderung berasal dari Pulau Jawa: nama warung ini adalah nama komunitas putra Jawa di Sumatera. Nah, ketika baru duduk, kami langsung didatangi pelayan; perempuan. Dia tersenyum ramah layaknya pelayan di mana saja. Kami pun senang sambil memperhatikan daftar menu lengkap dengan harganya. Meski tidak semurah warung di Jalan Tuar (hehehehehe), saya melihat harga itu masih sangat wajar. Maka, satu persatu dari kami mulai ribut memesan.

Saat memesan inilah terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Pelayanan itu menghilangkan senyumnya. Malah, dia terlihat marah. Dia tak ramah lagi menunggu kami memesan. Kesannya, dia ingin buru-buru kami memesan. Hal ini bagi saya lucu. Pasalnya, kami berjumlah belasan orang, menu yang ditawarkan juga banyak, mengapa dia tidak sabar.

Melihat itu, saya jadi batal memesan. Entahlah, mungkin karena masih terbayang kenikmatan belanja di warung kecil tadi, saya jadi malas memesan di ayam penyet ini. Pelayannya kurang menyenangkan. Padahal, kami tidak menggodanya, kami hanya lama memilih. Eh, kok marah. Ya sudah, saya saja yang marah.

Kawan-kawan tetap memilih. Saya bertahan tidak. Parahnya, ketika pesanan datang, si pelayan tadi malah menghilangkan keramahan. Dia letakkan pesanan begitu saja.

Tanpa senyum, seakan kami ke warung itu bukan untuk membeli. Tapi sudahlah, mungkin kami dilihatnya tak menyenangkan; meski hal ini tak boleh dilakukan pelayan bukan?

Belum lagi kesal saya hilang, eh, si pelayan malah buat kesalahan lagi. Minuman pesanan seorang kawan malah salah. Fiuh. Beruntung sang kawan tetap menerima. Nah, ketika sudah begitu, si pelayan tetap tak tersenyum! Bukankah seharusnya dia bersyukur dengan sikap kawan saya tadi hingga dia tak harus menanggung kesalahan itu?

Tapi, sekali lagi, sudahlah. Dua ratus dua belas ribu berpindah ke warung itu. Tak masalah. Makanan di warung itu memang sudah ada harga standar. Tidak bisa ditawar. Tidak bisa dibeli setengah-setangah. Dan, kalau anak kecil yang belanja, ya jumlah makanan dan harga pun tidak bisa disesuaikan: tetap ikut porsi orang dewasa.

Begitulah, soal makanan memang tak hanya sekadar soal rasa dan harga. Ada bahasa lain terkait hal itu, yakni kenyamanan. Dan, mungkin hal ini yang dilupakan pelayan tadi. Namun, sudahlah …. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/