26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jalan di Medan Berbuah-buah

Oleh: Ramadhan Batubara

Jalan Bahagia By Pass Medan pukul tiga sore, tiga hari lalu. Panas. Lalu lintas tak istimewa, tetap menawarkan becak motor dan klakson mobil pribadi yang bercat mulus. Saya, bercelana pendek dan berjaket, berhenti tepat di depan warung buah yang ada di sana.

Alpukat sekilo lima belas ribu. Tanpa ditawar, sang penjual mengurangi harga itu seribu rupiah. “Udah pas itu, Lae. Modalnya cuma tiga belas ribu…,” kata si penjual.

Saya bingung. Seingat saya, begitu memarkirkan sepeda motor, saya langsung menuju tumpukan alpukat dan mengatakan, “Sekilo Bang.” Itu saja.
Tapi sudahlah, saya hargai pikiran dia yang merasa dagangannya itu saya tawar harganya. Sebagai bonusnya, saya melirik beberapa buah melon. Katanya, sekilo melon dihargai lima ribu rupiah. Saya pilih satu, besarnya seperti bola basket balon milik anak-anak. Saya timbang dan ukurannya nyaris dua setengah kilogram . “Tujuh ribu sajalah, Lae” kata si penjual lagi.

Bah, hari ini serasa saya dihujani diskon oleh si penjual. Benar-benar luar biasa, saya bangga dikerjainnya. Karena sok bangga, saya pun mencoba peruntungan. Ya, namanya kalau sudah dikasih hati, kenapa tidak minta jantung kan? “Berarti dua puluh ribu semuanya kan Bang,” pancing saya.
Si penjual tersenyum. “Kan tadi udah dikurangi, Lae…” jawabnya.

Sekali lagi, luar biasa. Saya bangga dikerjainya. Dengan perasaan ikhlas yang tertahan, saya berikan padanya selembar uang seribu dan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Selesai.

Saya berbalik, memutar arah sepeda motor, penjual itu sama sekali tidak peduli. Dia sibuk menghitung uangnya. Sedikit pun tidak ada senyum untuk melepas kepergian pembelinya dengan senyuman. Ayolah, seandainya dia ingin menjaga pelanggan, harusnya dia pura-pura peduli kan? Ah…, saya nyalakan mesin, dia malah nyalakan rokok; seperti tidak ada ikatan perbincangan menarik yang telah kami lewati.

Tapi sudahlah, urusan jual beli kan sudah selesai. Saya berjanji, tidak akan datang ke warung buah itu lagi. Bukan karena merasa tak dipedulikan atau merasa tertipu dengan cara trik dagangnya itu, saya hanya merasa warung buah bukan di tempat itu saja. Tak percaya? Baiklah, katakan pada saya, di ruas jalan mana di Medan ini yang tak ada penjual buahnya? Dengan catatan, buah asli atau buah olahan seperti es buah dan rujak. Bingungkan?

Hebatnya Medan lagi, di beberapa jalan malah identik dengan buah tertentu. Misalnya ketika melintasi Jalan Sunggal yang berada di kawasan Seisikambing B, dekat Tomang Indah. Di jalan itu, sejak dulu kala dikenal sebagai jalan penjual jagung muda. Para penjual dengan tempat pajang berupa papan bertingkat berjejer di bawah pohon-pohon besar yang ada di sana. Jagung muda yang mereka tawarkan pun telah dikupas dan dikemas dalam plastik transparan. Menariknya, setelah matahari terbenam, dagangan itu berubah menjadi durian. Maka, selain jagung muda, jalan ini pun dikenal sebagai kawasan durian juga; untuk durian memang baru berkembang beberapa tahun ke belakang saja.

Jalan lain yang identik dengan buah tertentu adalah Jalan Menteng VII. Di jalan ini akan ditemui beberapa penjual yang memiliki tempat mangkal di pinggir jalan dengan pajangan buah duku yang tergantung. Duku itu juga berplastik. Kalau sedang tidak musim duku, jalan ini bisa dipastikan tetap menjual duku. Maka tak heran, untuk satu plastik duku yang ukuran beratnya kurang lebih satu kilogram itu dihargai hingga lima belas ribu rupiah.
Ada juga jalan pepaya alias kates. Pergilah ke Jalan Perintis Kemerdekaan. Sebelum sampai kampus Universitas HKBP Nommensen, di sisi kiri jalan Anda pasti menemukan barisan penjual pepaya. Mereka bersepeda. Dan, mereka berjualan tanpa mengenal musim sejak dulu kala di sana.

Kalau soal durian, wah pasti banyak jalan yang menawarkannya. Kita bisa menyebut Jalan Iskandar Muda, Brigjen Katamso, atau Jalan Sunggal tadi. Tapi, ada dua jalan yang diincar penggila durian. Jalan yang dimaksud adalah Jalan Jamin Ginting, tepatnya di kawasan Simalingkar, dan Jalan Gatot Subroto, tepatnya di Kampunglalang.

Dengan fasilitas yang dimiliki Medan soal buah ini, tentu saya tak mau diteken oleh satu penjual buah saja kan? Untuk mencari buah yang lengkap, sumpah cukup banyak warung buah seperti itu. Sebut saja di persimpangan Jalan Halat dengan AR Hakim, tepatnya dekat lampu merah. Lalu, di kawasan Simpang Limun, di Brigjen Katamso dekat Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jalan Karya Wisata dan Karya Jasa Medan Johor, serta berpuluh-puluh jalan lain yang ada di Medan.

Tapi sekali lagi, sudahlah. Kini saya menuju rumah saya yang ada di Medan Amplas. Alpukat dan melon telah ada dalam plastik yang saya gantungkan di sepeda motor. Matahari masih saja garang. Terbayang dalam otak saya, segelas jus alpukat dengan es batu yang banyak. Segar.
Begitu sampai persimpangan Jalan Selamat Ujung, saya lihat di sisi kiri ada sebuah warung buah. Langsung saja saya pukul kepala, kenapa tidak di warung buah itu saja saya membeli buah tadi. Fiuh.

Eit, beberapa meter dari situ, sebelum jembatan tepatnya di sisi kanan, ada juga warung buah. Sudahlah… (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Jalan Bahagia By Pass Medan pukul tiga sore, tiga hari lalu. Panas. Lalu lintas tak istimewa, tetap menawarkan becak motor dan klakson mobil pribadi yang bercat mulus. Saya, bercelana pendek dan berjaket, berhenti tepat di depan warung buah yang ada di sana.

Alpukat sekilo lima belas ribu. Tanpa ditawar, sang penjual mengurangi harga itu seribu rupiah. “Udah pas itu, Lae. Modalnya cuma tiga belas ribu…,” kata si penjual.

Saya bingung. Seingat saya, begitu memarkirkan sepeda motor, saya langsung menuju tumpukan alpukat dan mengatakan, “Sekilo Bang.” Itu saja.
Tapi sudahlah, saya hargai pikiran dia yang merasa dagangannya itu saya tawar harganya. Sebagai bonusnya, saya melirik beberapa buah melon. Katanya, sekilo melon dihargai lima ribu rupiah. Saya pilih satu, besarnya seperti bola basket balon milik anak-anak. Saya timbang dan ukurannya nyaris dua setengah kilogram . “Tujuh ribu sajalah, Lae” kata si penjual lagi.

Bah, hari ini serasa saya dihujani diskon oleh si penjual. Benar-benar luar biasa, saya bangga dikerjainnya. Karena sok bangga, saya pun mencoba peruntungan. Ya, namanya kalau sudah dikasih hati, kenapa tidak minta jantung kan? “Berarti dua puluh ribu semuanya kan Bang,” pancing saya.
Si penjual tersenyum. “Kan tadi udah dikurangi, Lae…” jawabnya.

Sekali lagi, luar biasa. Saya bangga dikerjainya. Dengan perasaan ikhlas yang tertahan, saya berikan padanya selembar uang seribu dan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Selesai.

Saya berbalik, memutar arah sepeda motor, penjual itu sama sekali tidak peduli. Dia sibuk menghitung uangnya. Sedikit pun tidak ada senyum untuk melepas kepergian pembelinya dengan senyuman. Ayolah, seandainya dia ingin menjaga pelanggan, harusnya dia pura-pura peduli kan? Ah…, saya nyalakan mesin, dia malah nyalakan rokok; seperti tidak ada ikatan perbincangan menarik yang telah kami lewati.

Tapi sudahlah, urusan jual beli kan sudah selesai. Saya berjanji, tidak akan datang ke warung buah itu lagi. Bukan karena merasa tak dipedulikan atau merasa tertipu dengan cara trik dagangnya itu, saya hanya merasa warung buah bukan di tempat itu saja. Tak percaya? Baiklah, katakan pada saya, di ruas jalan mana di Medan ini yang tak ada penjual buahnya? Dengan catatan, buah asli atau buah olahan seperti es buah dan rujak. Bingungkan?

Hebatnya Medan lagi, di beberapa jalan malah identik dengan buah tertentu. Misalnya ketika melintasi Jalan Sunggal yang berada di kawasan Seisikambing B, dekat Tomang Indah. Di jalan itu, sejak dulu kala dikenal sebagai jalan penjual jagung muda. Para penjual dengan tempat pajang berupa papan bertingkat berjejer di bawah pohon-pohon besar yang ada di sana. Jagung muda yang mereka tawarkan pun telah dikupas dan dikemas dalam plastik transparan. Menariknya, setelah matahari terbenam, dagangan itu berubah menjadi durian. Maka, selain jagung muda, jalan ini pun dikenal sebagai kawasan durian juga; untuk durian memang baru berkembang beberapa tahun ke belakang saja.

Jalan lain yang identik dengan buah tertentu adalah Jalan Menteng VII. Di jalan ini akan ditemui beberapa penjual yang memiliki tempat mangkal di pinggir jalan dengan pajangan buah duku yang tergantung. Duku itu juga berplastik. Kalau sedang tidak musim duku, jalan ini bisa dipastikan tetap menjual duku. Maka tak heran, untuk satu plastik duku yang ukuran beratnya kurang lebih satu kilogram itu dihargai hingga lima belas ribu rupiah.
Ada juga jalan pepaya alias kates. Pergilah ke Jalan Perintis Kemerdekaan. Sebelum sampai kampus Universitas HKBP Nommensen, di sisi kiri jalan Anda pasti menemukan barisan penjual pepaya. Mereka bersepeda. Dan, mereka berjualan tanpa mengenal musim sejak dulu kala di sana.

Kalau soal durian, wah pasti banyak jalan yang menawarkannya. Kita bisa menyebut Jalan Iskandar Muda, Brigjen Katamso, atau Jalan Sunggal tadi. Tapi, ada dua jalan yang diincar penggila durian. Jalan yang dimaksud adalah Jalan Jamin Ginting, tepatnya di kawasan Simalingkar, dan Jalan Gatot Subroto, tepatnya di Kampunglalang.

Dengan fasilitas yang dimiliki Medan soal buah ini, tentu saya tak mau diteken oleh satu penjual buah saja kan? Untuk mencari buah yang lengkap, sumpah cukup banyak warung buah seperti itu. Sebut saja di persimpangan Jalan Halat dengan AR Hakim, tepatnya dekat lampu merah. Lalu, di kawasan Simpang Limun, di Brigjen Katamso dekat Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jalan Karya Wisata dan Karya Jasa Medan Johor, serta berpuluh-puluh jalan lain yang ada di Medan.

Tapi sekali lagi, sudahlah. Kini saya menuju rumah saya yang ada di Medan Amplas. Alpukat dan melon telah ada dalam plastik yang saya gantungkan di sepeda motor. Matahari masih saja garang. Terbayang dalam otak saya, segelas jus alpukat dengan es batu yang banyak. Segar.
Begitu sampai persimpangan Jalan Selamat Ujung, saya lihat di sisi kiri ada sebuah warung buah. Langsung saja saya pukul kepala, kenapa tidak di warung buah itu saja saya membeli buah tadi. Fiuh.

Eit, beberapa meter dari situ, sebelum jembatan tepatnya di sisi kanan, ada juga warung buah. Sudahlah… (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/