34.5 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Medan dalam Segenggam Nasi Kucing

Ketika berada jauh dari kota Anda, apa yang Anda paling ingin ceritakan? Pastinya kehebatan kota Anda bukan? Persis dengan saya akhir pekan lalu. Saat berada di Jakarta dan saya sibuk bercerita tentang Medan pada teman-teman.

MENARIKNYA lagi, teman-teman saya ini malah rekan saya saat di Jogjakarta dulu. Kami terlibat cukup lama di Kota Gudeg itu. Dengan kata lain, saya dan mereka berproses bersama di kota yang katanya Kota Proses itu. Nah, atas nama memori, Jumat malam lalu kami sepakat nongkrong di sebuah angkringan sego (nasi) kucing yang ada di Jalan Palmerah Barat, Jakarta. Ya, angkringan dan nasi kucing tak pernah lepas dari kehidupan kami dulu di Jogja.

Idealnya, kami bercerita tentang kisah klasik, misalnya tentang kelucuan kami ketika di Jogja. Ya, seperti berapa ceker ayam semur yang kami makan tanpa menghitungnya saat bayar. Atau, berapa gorengan yang kami telan tanpa bayar. Tapi, malam Jumat lalu hal itu tak kami bincangkan.

Sambil menyantap segenggam nasi kucing, kami malah sibuk bercerita tentang kota masing-masing: mereka bicara soal Jakarta, saya bicarakan Medan.

Awalnya saya tak ingin membincangkan Medan — ayolah, saya kan bukan duta Medan — saya lebih ingin mengingat kenangan semasa bersama mereka.

Tapi mereka memulai cerita tentang kota mereka, ya sudah saya tak mau kalah kan? Malam itu kami bertiga. Dua teman saya berinisial (biar kayak berita hehehe) AS, wartawan majalah Tempo danseoranglagiberinisialDC, wartawan Jawa Pos. Sedangkan saya sendiri berinisial RB alias MB alias KB, wartawan Sumut Pos. Nah, kalau dirunut usia saya paling tua. Saya masuk UGM pada 1997, AS pada 1999 dan DC pada 2002. Secara jabatan di media masing-masing pun saya paling paten. Saya redaktur pelaksana, AS asisten redaktur, dan DC reporter.

Tapi, soal media, tentunya semua paham: saya paling junior. Ayolah Sumut Pos hadir karena ada Jawa Pos dan Jawa Pos ada karena Tempo bukan? Tapi sudahlah, atas nama memori, soal itu tak kami permasalahkan.

Cuma, mereka bicara tentang kota mereka! Awalnya saya ikuti saja perbincangan — tentunya sambil menyantap nasi kucing. Bahkan ketika mereka bertanya, “Medan gimana, Bang?” Saya jawab, “Ya begitulah.” Tapi setelah itu, mereka kok makin bicara tentang Jakarta. Atas nama Medan yang tak mau kalah, saya pun mulai berkoar. Ha ha ha. Praktis saya mirip dengan para pembicara dalam seminar-seminar. Mereka tak membantah atau interupsi. Mereka malah hanyut dalam cerita saya. Entahlah, mereka nikmati atau karena mereka menganggap saya senior (oh ya, mereka junior saya dalam Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM ‘Dian Budaya’). Yang jelas, mereka seperti terhibur dengan cerita saya tentang Medan.

Tambah terhibur ketika saya bercerita tentang ‘dosa-dosa’ Medan. Ya seperti kata Ebiet G Ade: manusia makin bangga dengan dosa-dosa.

Namanya cerita, tentu butuh hal-hal yang ditambahkan bukan? Ya sudah saya tambahkan saja, toh mereka tak tahu. Untungnya saya masih bisa kontrol.

Saya tak bisa bayangkan kalau saya jadi ‘sipanggaron’ layaknya orang Medan yang didaulat bicara tentang Medan. Misalnya ketika mereka menyinggung soal dunia preman.

Maka saya jawab, “Baru lima tahun aku di Medan.” Mereka pun membalas, “Iya ya Bang. Tapi, setelah gak ada Olo Panggabean pastinya muncul tokoh lain kan?” Ha ha ha, saya tak menjawab. Saya mengambil sebungkus nasi kucing lagi (bungkus yang ketiga). “Medan tuh kayak nasi kucing, gak kenyangkenyang,” bilang saya pada mereka.

Entah karena paham dengan kalimat saya atau karena tahu saya malas membahas soal preman, mereka diam. Mereka pun mengalihkan pembicaraan soal macet di Jakarta. Ups, saya langsung menyambar. “Medan pun macetnya gila!” Lalu, saya mulai bercerita tentang kepadatan jalanan Kota Medan ketika jam sibuk hingga lampu merah yang mulai kehilangan marwah.

Begitulah. Intinya, ketika mereka menyebut Jakarta, saya langsung mengimbanginya dengan kata ‘Medan’.

Entahlah, saya merasa risih saja ketika mereka bicara tentang kota mereka.

Rasa tak mau kalah begitu merongrong kepala. Mungkin benar seorang kawan bilang: orang Medan itu harus berada di depan, naik mobil duduk di depan dan ketika lampu merah harus berada paling depan walau harus melewati garis zebra cross.

Tapi sudahlah, toh, malam Jumat lalu, saya senang bertemu mereka.

Meski lebih banyak saya yang cerita, tapi melihat wajah mereka saya merasa kembali ke Jogjakarta. Apalagi kami duduk lesehan di angkringan nasi kucing.

Memori hidup nyantai mengemuka.

Masa yang indah. Kini setelah saya di Medan dan mereka di Jakarta, suasana semacam itu sangat sulit didapat.

Atas nama wartawan, deadline adalah Tuhannya.

Kami berpisah ketika jam di telepon seluler saya menunjukkan pukul setengah dua malam. Angkringan telah berbenah. Saya pulang ke hotel sedangkan mereka kembali ke kos masing- masing.

Hm, saya kok jadi rindu nongkrong di kawasan Halat sambil menikmati TST bersama teman-teman. Ya, meski saya harus cerita tentang Jakarta pada mereka. (*)

Ketika berada jauh dari kota Anda, apa yang Anda paling ingin ceritakan? Pastinya kehebatan kota Anda bukan? Persis dengan saya akhir pekan lalu. Saat berada di Jakarta dan saya sibuk bercerita tentang Medan pada teman-teman.

MENARIKNYA lagi, teman-teman saya ini malah rekan saya saat di Jogjakarta dulu. Kami terlibat cukup lama di Kota Gudeg itu. Dengan kata lain, saya dan mereka berproses bersama di kota yang katanya Kota Proses itu. Nah, atas nama memori, Jumat malam lalu kami sepakat nongkrong di sebuah angkringan sego (nasi) kucing yang ada di Jalan Palmerah Barat, Jakarta. Ya, angkringan dan nasi kucing tak pernah lepas dari kehidupan kami dulu di Jogja.

Idealnya, kami bercerita tentang kisah klasik, misalnya tentang kelucuan kami ketika di Jogja. Ya, seperti berapa ceker ayam semur yang kami makan tanpa menghitungnya saat bayar. Atau, berapa gorengan yang kami telan tanpa bayar. Tapi, malam Jumat lalu hal itu tak kami bincangkan.

Sambil menyantap segenggam nasi kucing, kami malah sibuk bercerita tentang kota masing-masing: mereka bicara soal Jakarta, saya bicarakan Medan.

Awalnya saya tak ingin membincangkan Medan — ayolah, saya kan bukan duta Medan — saya lebih ingin mengingat kenangan semasa bersama mereka.

Tapi mereka memulai cerita tentang kota mereka, ya sudah saya tak mau kalah kan? Malam itu kami bertiga. Dua teman saya berinisial (biar kayak berita hehehe) AS, wartawan majalah Tempo danseoranglagiberinisialDC, wartawan Jawa Pos. Sedangkan saya sendiri berinisial RB alias MB alias KB, wartawan Sumut Pos. Nah, kalau dirunut usia saya paling tua. Saya masuk UGM pada 1997, AS pada 1999 dan DC pada 2002. Secara jabatan di media masing-masing pun saya paling paten. Saya redaktur pelaksana, AS asisten redaktur, dan DC reporter.

Tapi, soal media, tentunya semua paham: saya paling junior. Ayolah Sumut Pos hadir karena ada Jawa Pos dan Jawa Pos ada karena Tempo bukan? Tapi sudahlah, atas nama memori, soal itu tak kami permasalahkan.

Cuma, mereka bicara tentang kota mereka! Awalnya saya ikuti saja perbincangan — tentunya sambil menyantap nasi kucing. Bahkan ketika mereka bertanya, “Medan gimana, Bang?” Saya jawab, “Ya begitulah.” Tapi setelah itu, mereka kok makin bicara tentang Jakarta. Atas nama Medan yang tak mau kalah, saya pun mulai berkoar. Ha ha ha. Praktis saya mirip dengan para pembicara dalam seminar-seminar. Mereka tak membantah atau interupsi. Mereka malah hanyut dalam cerita saya. Entahlah, mereka nikmati atau karena mereka menganggap saya senior (oh ya, mereka junior saya dalam Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM ‘Dian Budaya’). Yang jelas, mereka seperti terhibur dengan cerita saya tentang Medan.

Tambah terhibur ketika saya bercerita tentang ‘dosa-dosa’ Medan. Ya seperti kata Ebiet G Ade: manusia makin bangga dengan dosa-dosa.

Namanya cerita, tentu butuh hal-hal yang ditambahkan bukan? Ya sudah saya tambahkan saja, toh mereka tak tahu. Untungnya saya masih bisa kontrol.

Saya tak bisa bayangkan kalau saya jadi ‘sipanggaron’ layaknya orang Medan yang didaulat bicara tentang Medan. Misalnya ketika mereka menyinggung soal dunia preman.

Maka saya jawab, “Baru lima tahun aku di Medan.” Mereka pun membalas, “Iya ya Bang. Tapi, setelah gak ada Olo Panggabean pastinya muncul tokoh lain kan?” Ha ha ha, saya tak menjawab. Saya mengambil sebungkus nasi kucing lagi (bungkus yang ketiga). “Medan tuh kayak nasi kucing, gak kenyangkenyang,” bilang saya pada mereka.

Entah karena paham dengan kalimat saya atau karena tahu saya malas membahas soal preman, mereka diam. Mereka pun mengalihkan pembicaraan soal macet di Jakarta. Ups, saya langsung menyambar. “Medan pun macetnya gila!” Lalu, saya mulai bercerita tentang kepadatan jalanan Kota Medan ketika jam sibuk hingga lampu merah yang mulai kehilangan marwah.

Begitulah. Intinya, ketika mereka menyebut Jakarta, saya langsung mengimbanginya dengan kata ‘Medan’.

Entahlah, saya merasa risih saja ketika mereka bicara tentang kota mereka.

Rasa tak mau kalah begitu merongrong kepala. Mungkin benar seorang kawan bilang: orang Medan itu harus berada di depan, naik mobil duduk di depan dan ketika lampu merah harus berada paling depan walau harus melewati garis zebra cross.

Tapi sudahlah, toh, malam Jumat lalu, saya senang bertemu mereka.

Meski lebih banyak saya yang cerita, tapi melihat wajah mereka saya merasa kembali ke Jogjakarta. Apalagi kami duduk lesehan di angkringan nasi kucing.

Memori hidup nyantai mengemuka.

Masa yang indah. Kini setelah saya di Medan dan mereka di Jakarta, suasana semacam itu sangat sulit didapat.

Atas nama wartawan, deadline adalah Tuhannya.

Kami berpisah ketika jam di telepon seluler saya menunjukkan pukul setengah dua malam. Angkringan telah berbenah. Saya pulang ke hotel sedangkan mereka kembali ke kos masing- masing.

Hm, saya kok jadi rindu nongkrong di kawasan Halat sambil menikmati TST bersama teman-teman. Ya, meski saya harus cerita tentang Jakarta pada mereka. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/