25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Sebelum Main Pakai Sunblock, Akan ke Pesta Nyalon Dulu

Klub sepak bola putri di Indonesia cukup banyak. Tetapi, untuk sekolah sepak bola (SSB) khusus perempuan, baru ada satu di Indonesia. Namanya SSB Queen Bandung. Sekolah itu pun menjadi satu-satunya harapan bagi pembibitan pemain nasional.

NORA SAMPURNA, Bandung

TIM SSB: Dari kiri, Papat Yunisal, Dian Mutiara, Ira Marlianti, Desy Amelia, ditemui  kantor PSSI Jawa Barat, Bandung.//NORA SAMPURNA/JAWA POS/JPNN
TIM SSB: Dari kiri, Papat Yunisal, Dian Mutiara, Ira Marlianti, Desy Amelia, ditemui di kantor PSSI Jawa Barat, Bandung.//NORA SAMPURNA/JAWA POS/JPNN

SIANG itu (23/4) suasana kantor Pengurus Provinsi PSSI Jawa Barat di Jalan Lodaya, Bandung, tampak sepi dari luar.

Meski begitu, di dalamnya ada empat perempuan berambut pendek yang sedang asyik berbincang santai. Salah seorang di antara mereka adalah Papat Yunisal.

Perempuan berkacamata yang mengenakan kemeja merah bertulisan Queen Soccer Academy itu merupakan pemain nasional sepakbola putri era 1980-an. Kini Papat menjadi kepala Sekolah Sepak Bola (SSB) Queen yang khusus untukperempuan. Dia dibantu tiga perempuan lain yang bertindak sebagai pelatih.

“Anak-anak libur latihan setelah mengikuti kompetisi liga futsal perempuan seri keempat.

Tadi saya dan tiga pelatih membicarakan materi latihan dan jadwal berikutnya,” kata Papat.

Beberapa saat kemudian, datang seorang bapak berusia 40-an tahun menemui Papat. Dia bermaksud mendaftarkan anaknya yang duduk di kelas 7 SMP ke SSB Queen. Papat menyampaikan beberapa persyaratan masuk. Antara lain, nilai rata-rata rapor calon siswa minimal tujuh. Kemudian, orang tua siswa harus benarbenar mendukung putrinya mengikuti latihan di SSB Queen.

“Itu sangat penting. Banyak yang mengira bahwa sepak bola hanya butuh kekuatan fisik.

Padahal, kemampuan menjalankan strategi di lapangan juga berhubungan dengan daya pikir.

Selain itu, saya ingin murid-murid Queen tetap berprestasi di akademis,” ujar perempuan kelahiran Subang, 11 Juni 1963, tersebut.

Dukungan orang tua juga menjadi syarat penting yang ditanyakan Papat sebelum menerimamurid.

Sebab, tidak banyak orang tua yang mengizinkan putrinya berlatih sepakbola.“Umumnya khawatir anaknya nanti berkulit hitam, jadi tomboi, atau takut cedera,” beber istri Zulkarnain Lubis, mantan bintang sepak bola yang dijuluki Maradona Indonesia, tersebut.

Yang mendaftar di SSB Queen, kata Papat, kebanyakan mempunyai fisik bagus. Tidak ada yang menderita gangguan kesehatan yang berat seperti penyakit jantung. Kalau toh ada yang punya penyakit asma, misalnya, dia akan diberi latihan khusus. “Biar pas porsi latihannya,” ungkap Papat yang mengantongi sertifikat kepelatihan sepak bola modern usia dini dari KNVB Belanda pada 2012.

Menurut dia, sebenarnya sepak bola putri di Indonesia ada sejak 1969. Bahkan, pada 1970 dan 1980-an, banyak lapangan sepak bola. Kompetisi sepak bola putri pun banyak. Sayangnya, tidak ada regenerasi dan pembinaan yang efektif, sehingga lama-kelamaan “mati suri”.

Baru pada 2005, lahirlah SSB Queen sebagai satu-satunya sekolah sepak bola perempuan di Indonesia. Kelahiran sekolah sepak bola itu tidak lepas dari keprihatinan Papat sebagai mantan pemain sepak bola nasional. Karena itu, dia berharap, melalui SSB Queen, muncul talenta-talenta sepak bola putri Indonesia. Juga, banyak klub sepak bola atau futsal putri di kotakota.

“Di SSB kami membina murid sejak usia dini, sehingga punya kesempatan untuk mengembangkan skill lebih luas,” urai dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan Cimahi itu.

SSB Queen merekrut murid usia 8″16 tahun yang dikelompokkan ke dalam dua kelas, yaitu U-12 dan U-16. Latihan berlangsung dua kali dalam sepekan, setiap Kamis dan Minggu. Kalau mendekati kompetisi atau pertandingan, porsi latihan ditingkatkan menjadi empat kali dalam seminggu. Latihan berlokasi di halaman kantor PSSI Jabar, Lapangan Arcamanik, dan Lapangan Tegallega.

Untuk kategori usia kurang dari 12 tahun, materi yang diberikan berupa pengenalan terhadap sepak bola, belum latihan berat. “Ibaratnya, biarkan mereka cinta dulu terhadap sepak bola. Karena itu, saya berikan dasar-dasarnya dulu sambil melihat kemampuan dan kelebihan si anak.

Untuk kategori ini, saya yang pegang langsung,” kata Papat.

Untuk kategori U-16, materi latihan sudah lebih banyak ke teknik dan peningkatan skill tiap murid. Meski mereka perempuan, latihan yang ditempuh tidak lebih ringan dibanding siswa laki-laki. Dari segi regulasi, ukuran lapangan, sampai durasi permainan, materi latihan sama dengan sepak bola putra.

“Latihannya sama keras dengan tim putra.

Cedera atau tabrakan di lapangan itu biasa,” ungkapnya.

Papat menuturkan, suatu ketika ada muridnya yang terkena bola hingga matanya membiru.

Ada juga yang pelipisnya robek. Tetapi, mereka tetap antusias berlatih. Kepada murid-muridnya, dia selalu mewanti-wanti agar tidak memaksakan diri mengambil posisi yang membahayakan.

Kebanyakan murid Queen yang sudah berusia lebih dari 16 tahun dan memiliki kemampuan bagus lantas bergabung dengan klub, baik klub sepak bola maupun futsal. Tidak sedikit di antara alumnus Queen yang bersinar, bahkan menjadi pemain timnas sepak bola putri.

Bagi Papat, hal tersebut merupakan tolok ukur keberhasilan pembinaan SSB Queen. Misalnya, yang ditunjukkan Dian Mutiara, Ira Marlianti, dan Desy Amelia. Ira, alumnus STKIP jurusan olahraga, menjadi pemain timnas sejak 2005.

Dian yang tengah menyelesaikan skripsi di jurusan bahasa Inggris STKIP Pasundan serta Desy yang baru berusia 19 tahun menjadi bagian dari timnas sejak 2009. (*)

Klub sepak bola putri di Indonesia cukup banyak. Tetapi, untuk sekolah sepak bola (SSB) khusus perempuan, baru ada satu di Indonesia. Namanya SSB Queen Bandung. Sekolah itu pun menjadi satu-satunya harapan bagi pembibitan pemain nasional.

NORA SAMPURNA, Bandung

TIM SSB: Dari kiri, Papat Yunisal, Dian Mutiara, Ira Marlianti, Desy Amelia, ditemui  kantor PSSI Jawa Barat, Bandung.//NORA SAMPURNA/JAWA POS/JPNN
TIM SSB: Dari kiri, Papat Yunisal, Dian Mutiara, Ira Marlianti, Desy Amelia, ditemui di kantor PSSI Jawa Barat, Bandung.//NORA SAMPURNA/JAWA POS/JPNN

SIANG itu (23/4) suasana kantor Pengurus Provinsi PSSI Jawa Barat di Jalan Lodaya, Bandung, tampak sepi dari luar.

Meski begitu, di dalamnya ada empat perempuan berambut pendek yang sedang asyik berbincang santai. Salah seorang di antara mereka adalah Papat Yunisal.

Perempuan berkacamata yang mengenakan kemeja merah bertulisan Queen Soccer Academy itu merupakan pemain nasional sepakbola putri era 1980-an. Kini Papat menjadi kepala Sekolah Sepak Bola (SSB) Queen yang khusus untukperempuan. Dia dibantu tiga perempuan lain yang bertindak sebagai pelatih.

“Anak-anak libur latihan setelah mengikuti kompetisi liga futsal perempuan seri keempat.

Tadi saya dan tiga pelatih membicarakan materi latihan dan jadwal berikutnya,” kata Papat.

Beberapa saat kemudian, datang seorang bapak berusia 40-an tahun menemui Papat. Dia bermaksud mendaftarkan anaknya yang duduk di kelas 7 SMP ke SSB Queen. Papat menyampaikan beberapa persyaratan masuk. Antara lain, nilai rata-rata rapor calon siswa minimal tujuh. Kemudian, orang tua siswa harus benarbenar mendukung putrinya mengikuti latihan di SSB Queen.

“Itu sangat penting. Banyak yang mengira bahwa sepak bola hanya butuh kekuatan fisik.

Padahal, kemampuan menjalankan strategi di lapangan juga berhubungan dengan daya pikir.

Selain itu, saya ingin murid-murid Queen tetap berprestasi di akademis,” ujar perempuan kelahiran Subang, 11 Juni 1963, tersebut.

Dukungan orang tua juga menjadi syarat penting yang ditanyakan Papat sebelum menerimamurid.

Sebab, tidak banyak orang tua yang mengizinkan putrinya berlatih sepakbola.“Umumnya khawatir anaknya nanti berkulit hitam, jadi tomboi, atau takut cedera,” beber istri Zulkarnain Lubis, mantan bintang sepak bola yang dijuluki Maradona Indonesia, tersebut.

Yang mendaftar di SSB Queen, kata Papat, kebanyakan mempunyai fisik bagus. Tidak ada yang menderita gangguan kesehatan yang berat seperti penyakit jantung. Kalau toh ada yang punya penyakit asma, misalnya, dia akan diberi latihan khusus. “Biar pas porsi latihannya,” ungkap Papat yang mengantongi sertifikat kepelatihan sepak bola modern usia dini dari KNVB Belanda pada 2012.

Menurut dia, sebenarnya sepak bola putri di Indonesia ada sejak 1969. Bahkan, pada 1970 dan 1980-an, banyak lapangan sepak bola. Kompetisi sepak bola putri pun banyak. Sayangnya, tidak ada regenerasi dan pembinaan yang efektif, sehingga lama-kelamaan “mati suri”.

Baru pada 2005, lahirlah SSB Queen sebagai satu-satunya sekolah sepak bola perempuan di Indonesia. Kelahiran sekolah sepak bola itu tidak lepas dari keprihatinan Papat sebagai mantan pemain sepak bola nasional. Karena itu, dia berharap, melalui SSB Queen, muncul talenta-talenta sepak bola putri Indonesia. Juga, banyak klub sepak bola atau futsal putri di kotakota.

“Di SSB kami membina murid sejak usia dini, sehingga punya kesempatan untuk mengembangkan skill lebih luas,” urai dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan Cimahi itu.

SSB Queen merekrut murid usia 8″16 tahun yang dikelompokkan ke dalam dua kelas, yaitu U-12 dan U-16. Latihan berlangsung dua kali dalam sepekan, setiap Kamis dan Minggu. Kalau mendekati kompetisi atau pertandingan, porsi latihan ditingkatkan menjadi empat kali dalam seminggu. Latihan berlokasi di halaman kantor PSSI Jabar, Lapangan Arcamanik, dan Lapangan Tegallega.

Untuk kategori usia kurang dari 12 tahun, materi yang diberikan berupa pengenalan terhadap sepak bola, belum latihan berat. “Ibaratnya, biarkan mereka cinta dulu terhadap sepak bola. Karena itu, saya berikan dasar-dasarnya dulu sambil melihat kemampuan dan kelebihan si anak.

Untuk kategori ini, saya yang pegang langsung,” kata Papat.

Untuk kategori U-16, materi latihan sudah lebih banyak ke teknik dan peningkatan skill tiap murid. Meski mereka perempuan, latihan yang ditempuh tidak lebih ringan dibanding siswa laki-laki. Dari segi regulasi, ukuran lapangan, sampai durasi permainan, materi latihan sama dengan sepak bola putra.

“Latihannya sama keras dengan tim putra.

Cedera atau tabrakan di lapangan itu biasa,” ungkapnya.

Papat menuturkan, suatu ketika ada muridnya yang terkena bola hingga matanya membiru.

Ada juga yang pelipisnya robek. Tetapi, mereka tetap antusias berlatih. Kepada murid-muridnya, dia selalu mewanti-wanti agar tidak memaksakan diri mengambil posisi yang membahayakan.

Kebanyakan murid Queen yang sudah berusia lebih dari 16 tahun dan memiliki kemampuan bagus lantas bergabung dengan klub, baik klub sepak bola maupun futsal. Tidak sedikit di antara alumnus Queen yang bersinar, bahkan menjadi pemain timnas sepak bola putri.

Bagi Papat, hal tersebut merupakan tolok ukur keberhasilan pembinaan SSB Queen. Misalnya, yang ditunjukkan Dian Mutiara, Ira Marlianti, dan Desy Amelia. Ira, alumnus STKIP jurusan olahraga, menjadi pemain timnas sejak 2005.

Dian yang tengah menyelesaikan skripsi di jurusan bahasa Inggris STKIP Pasundan serta Desy yang baru berusia 19 tahun menjadi bagian dari timnas sejak 2009. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/