30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sekali di Medan Tetap di Medan

Apa kabar radio Indonesia? Hm, baik-baik saja. Masih banyak kok stasiun dan masih banyak pendengarnya. Sekali di udara tetap di udara bukan? Ya, radio memang belum mati.

Setidaknya, meski sempat diragukan bisa bertahan ketika muncul televisi, radio tetap saja eksis. Begitulah, saya makin sadar radio tetap memiliki peminat karena Sabtu lalu seharian saya hidup bersama radio. Ceritanya, kemarin, saya dan istri diundang dalam resepsi pernikahan di berbagai tempat. Nah, karena lokasi pesta yang berjauhan, mengandalkan Lena (sepeda motor saya) adalah tidak mungkin. Jadi, kami menumpanglah dengan kendaraan orangtua; kebetulan orangtua dan kami diundang di pernikahan yang sama. Maka, berangkatlah kami sekira pukul 12 siang.

Nah, begitu masuk dalam kendaraan, terdengar suara dari radio. Cukup menyenangkan, setidaknya lagu dan ocehan penyiar mampu mengusir jenuh akibat Medan yang macet.

Lucunya resepsi pernikahan pertama yang kami datangi malah di stasiun radio plat merah. Pasangan yang berbahagia itu mengadakan pesta di auditorium yang ada di lingkungan kantor radio tersebut. Jadi, sudah pantas kan kalau saya lantunkan soal radio?

Tapi sudahlah, poinnya soal radio tetaplah sama dari masa ke masa. Kehadiran televisi, tape recorder, vcd, dvd, hingga internet tak juga menggoyahkannya. Radio tetap didengar meski tidak semuanya di rumah-rumah. Mereka yang memiliki mobil kini jadi konsumennya. Jalanan yang macet menjadi faktor pendukung keberhasilan radio bukan? Ayolah, ketika di mobil, nyamankah orang menonton televisi, membaca koran, atau berselancar di dunia maya?

Sekali lagi sudahlah, radio tetap radio; sekali di udara tetap di udara. Saya malah melihat kecenderungan lain dari perjalanan satu pesta ke pesta lainnya dengan alunan lagu dari radio, saya merasa ada yang menarik dari warga Medan. Maksud saya begini, dari sekian pesta yang kami datangi, nyaris tujuh puluh lima persen tamu yang datang memakai kostum batik. Nah, jika balik ke beberapa tahu silam, tentunya hal itu masih asing bukan?

Sembari memperhatikan corak batik yang dipakai para tamu, pikiran saya melayang jauh ke Pulau Jawa. Ya, bukankah batik berasal dari sana. Dan, hingga kini, setahu saya belum ada batik yang diproduksi di Medan. Saya berpikir, bagaimana batik bisa masuk Medan dan bagaimana pula hingga warga Medan bisa nyaman memakainya. Tentu pikiran saya ini tidak berusaha untuk membuat benteng antara Medan dan Jawa, tapi lebih mengarah pada kenyamanan berpakaian. Dulu, bukankah batik hanya dipakai ‘orangtua’ saat ke kondangan?

Kemarin yang saya lihat berbatik malah ‘anak muda’. Nah, ini dia masalahnya. Begini, seperti apa batik bisa mengubah sudut pandang warga Medan.

Jika dirunut ke belakang, saya ingat ada anjuran memakai batik pada hari Kamis dan Jumat bagi PNS? Yang harus diingat, batik yang disarankan tidaklah harus seragam. Nah, bayangkan berapa baju batik yang harus tersedia untuk para PNS di Medan.

Hm, mungkinkah ini salah satu sebabnya? Setidaknya, posisi PNS masih begitu diminati bukan? Jadi, kenapa tidak makai batik seperti PNS di saat Kamis dan Jumat? Hehehehe… Jika begitu, bayangkan lagi berapa pasokan batik untuk mereka yang ingin berlagak PNS. Bayangkan juga pasokan untuk warga Medan yang akhirnya benar-benar jatuh cinta pada batik. Ya, batik bisa cocok dengan celana jeans; meski pakai jeans, batik tetap berkesan formil kan? Nah, kalau begitu, gaya gaul formil batik dan berjeans cocok untuk kondangan bukan?

Begitulah batik telah hidup dan berkembang di Medan. Namanya Medan tetaplah Medan. Seperti radio; sekali di udara tetap di udara, Medan tetaplah Medan meski ada ‘serangan’ batik yang sejatinya dari Pulau Jawa. Mau bukti? Datanglah ke kondangan atau resepsi pernikahan, lihat warga Medan memakai batik: tetap Medan bukan? Sama sekali tidak mengubah warga Medan menjadi Jawa.

Akhirnya, ini bukan soal perbedaan atau membuat perselisihan antara Medan dan Jawa: warga Medan malah sangat banyak yang bersuku Jawa. Ini tentang eksis. Seperti radio, dia tetap di udara, Medan masih tetap Medan meski banyak perubahan yang ada. Dan, semua itu sama sekali tidak salah. (*)

Apa kabar radio Indonesia? Hm, baik-baik saja. Masih banyak kok stasiun dan masih banyak pendengarnya. Sekali di udara tetap di udara bukan? Ya, radio memang belum mati.

Setidaknya, meski sempat diragukan bisa bertahan ketika muncul televisi, radio tetap saja eksis. Begitulah, saya makin sadar radio tetap memiliki peminat karena Sabtu lalu seharian saya hidup bersama radio. Ceritanya, kemarin, saya dan istri diundang dalam resepsi pernikahan di berbagai tempat. Nah, karena lokasi pesta yang berjauhan, mengandalkan Lena (sepeda motor saya) adalah tidak mungkin. Jadi, kami menumpanglah dengan kendaraan orangtua; kebetulan orangtua dan kami diundang di pernikahan yang sama. Maka, berangkatlah kami sekira pukul 12 siang.

Nah, begitu masuk dalam kendaraan, terdengar suara dari radio. Cukup menyenangkan, setidaknya lagu dan ocehan penyiar mampu mengusir jenuh akibat Medan yang macet.

Lucunya resepsi pernikahan pertama yang kami datangi malah di stasiun radio plat merah. Pasangan yang berbahagia itu mengadakan pesta di auditorium yang ada di lingkungan kantor radio tersebut. Jadi, sudah pantas kan kalau saya lantunkan soal radio?

Tapi sudahlah, poinnya soal radio tetaplah sama dari masa ke masa. Kehadiran televisi, tape recorder, vcd, dvd, hingga internet tak juga menggoyahkannya. Radio tetap didengar meski tidak semuanya di rumah-rumah. Mereka yang memiliki mobil kini jadi konsumennya. Jalanan yang macet menjadi faktor pendukung keberhasilan radio bukan? Ayolah, ketika di mobil, nyamankah orang menonton televisi, membaca koran, atau berselancar di dunia maya?

Sekali lagi sudahlah, radio tetap radio; sekali di udara tetap di udara. Saya malah melihat kecenderungan lain dari perjalanan satu pesta ke pesta lainnya dengan alunan lagu dari radio, saya merasa ada yang menarik dari warga Medan. Maksud saya begini, dari sekian pesta yang kami datangi, nyaris tujuh puluh lima persen tamu yang datang memakai kostum batik. Nah, jika balik ke beberapa tahu silam, tentunya hal itu masih asing bukan?

Sembari memperhatikan corak batik yang dipakai para tamu, pikiran saya melayang jauh ke Pulau Jawa. Ya, bukankah batik berasal dari sana. Dan, hingga kini, setahu saya belum ada batik yang diproduksi di Medan. Saya berpikir, bagaimana batik bisa masuk Medan dan bagaimana pula hingga warga Medan bisa nyaman memakainya. Tentu pikiran saya ini tidak berusaha untuk membuat benteng antara Medan dan Jawa, tapi lebih mengarah pada kenyamanan berpakaian. Dulu, bukankah batik hanya dipakai ‘orangtua’ saat ke kondangan?

Kemarin yang saya lihat berbatik malah ‘anak muda’. Nah, ini dia masalahnya. Begini, seperti apa batik bisa mengubah sudut pandang warga Medan.

Jika dirunut ke belakang, saya ingat ada anjuran memakai batik pada hari Kamis dan Jumat bagi PNS? Yang harus diingat, batik yang disarankan tidaklah harus seragam. Nah, bayangkan berapa baju batik yang harus tersedia untuk para PNS di Medan.

Hm, mungkinkah ini salah satu sebabnya? Setidaknya, posisi PNS masih begitu diminati bukan? Jadi, kenapa tidak makai batik seperti PNS di saat Kamis dan Jumat? Hehehehe… Jika begitu, bayangkan lagi berapa pasokan batik untuk mereka yang ingin berlagak PNS. Bayangkan juga pasokan untuk warga Medan yang akhirnya benar-benar jatuh cinta pada batik. Ya, batik bisa cocok dengan celana jeans; meski pakai jeans, batik tetap berkesan formil kan? Nah, kalau begitu, gaya gaul formil batik dan berjeans cocok untuk kondangan bukan?

Begitulah batik telah hidup dan berkembang di Medan. Namanya Medan tetaplah Medan. Seperti radio; sekali di udara tetap di udara, Medan tetaplah Medan meski ada ‘serangan’ batik yang sejatinya dari Pulau Jawa. Mau bukti? Datanglah ke kondangan atau resepsi pernikahan, lihat warga Medan memakai batik: tetap Medan bukan? Sama sekali tidak mengubah warga Medan menjadi Jawa.

Akhirnya, ini bukan soal perbedaan atau membuat perselisihan antara Medan dan Jawa: warga Medan malah sangat banyak yang bersuku Jawa. Ini tentang eksis. Seperti radio, dia tetap di udara, Medan masih tetap Medan meski banyak perubahan yang ada. Dan, semua itu sama sekali tidak salah. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/