30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sepatuku Bukan Buatan Menteng, Sepatumu Bagaimana?

Oleh: Ramadhan Batubara

Akhir pekan lalu saya berkesempatan mengunjungi Pusat Industri Kecil yang ada di Menteng Kecamatan Medan Denai. Begitu memasuki komplek itu, saya sedikit bingung. Ya, kemana saja saya selama ini, kenapa tempat tersebut jarang terlihat?

Jujur saja, saya bertambah shock ketika menyadari Pusat Industri Kecil itu ternyata tidak seperti saya bayangkan. Maksud saya begini, ketika seorang kawan mengajak saya ke sana, maka dalam bayangan saya adalah pusat industri yang menyegarkan. Teringat oleh saya kawasan Kasongan dan Kota Gede di Jogjakarta sana. Ternyata di Menteng yang saya temukan adalah kumpulan rumah toko; kebanyakan malah kosong.

Memang, ada beberapa pengerajin sepatu dan kulit terlihat beraktivitas, namun tidak mendominasi. Suasana pertokoan tersebut malah terlihat seperti pemukiman. Ada anak yang bermain. Ada jemuran di sisi depan. Ada pula, di ruko itu, menjual sayur-sayuran. Sementara, beberapa warganya duduk di depan ruko sambil berbincang. Tak terbayangkan kalau tempat itu sejatinya adalah sentra industri kerajinan rumah tangga yang andal.

Padahal, menurut Ismed, ketua koperasi di tempat itu, awalnya komplek itu cukup ramai.  Ya, pada 1996 silam, PIK Menteng yang dibangun di Jalan Menteng VII, Medan melalui Wali Kota Bachtiar Djafar melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan mulai berhasil membangkitkan gelora industri rumah tangga. Berbagai macam produk pun berhasil diciptakan dengan pendapatan yang cukup memuaskan. Ekonomi masyarakat menengah ke bawah mulai dapat diperbaiki. Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Ketika 1998 Indonesia dihantam krisis moneter, laju industri kecil di kawasan Menteng inipun kena imbas.

Begitupun ketika era Abdillah memimpin Medan. PIK Medan tak beranjak menuju peningkatan. Kata Ismed, wali kota itu terlalu peduli dengan pengusaha besar. Sementara, PIK semakin ditinggalkan. Ismed pun menceritakan hasil karya PIK ini berupa sepatu, sendal pakaian, tas, bordir dan masih banyak lagi akhirnya ‘punah’ satu-persatu. Kawasan PIK yang terdiri dari 100 ruko ini juga kini banyak beralih fungsi sebagai rumah pribadi yang sudah dijual kepada orang lain.

Hal ini makin diperparah dengan kehadiran barang impor. Setidaknya, sepatu asal China, Thailand, dan Korea masuk bebas ke Sumut. Ujung-ujungnya memang soal uang. Ya, pengusaha kecil yang masih berkecimpung di usaha kulit dan sepatu di PIK Medan memang masih bermasalah dengan modal.

Nah, soal uang dan sepatu ini mengingatkan saya pada sebuah film Iran. Film ini berjudul Children of Heavens diproduksi pada 1997 lalu. Film ini dinominasikan dalam Academy Award untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada 1998. Selain itu, film ini juga meraih penghargaan pada Montreal World Film Festival, Newport International Film Festival, dan Silver Screen Awards di Singapore International Film Festival.

Kisah dalam film ini memang tentang uang dan sepatu. Sebuah kisah yang mengharukan. Bayangkan saja, kakak beradik yang karena miskinnya harus bergantian mengenakan sepatu ke sekolah. Si adik yang perempuan pun terpaksa menggunakan sepatu boot milik kakaknya yang laki-laki. Nah, di akhir cerita, sang kakak mengikuti kontes lari. Hadiahnya adalah sepatu. Si kakak pun mengincar juara tiga yang berhadiah sepatu karet. Rencananya, sepatu hadiah itu akan diberikan pada sang adik. Sayang, sang kakak malah meraih juara satu. Peringkat pertama ini meraih sepatu olahraga untuk laki-laki. Sepatu karet untuk adiknya pun gagal teraih.

Ironi. Memang, seperti film tadi, usaha sepatu di PIK Menteng jelas menyisakan ironi. Bagi saya, PIK harus memiliki suatu modal lebih. Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal kreativitas. Sebagai sentra industri kecil, komplek itu kan sejatinya bisa diset tidak hanya untuk memproduksi barang. Dia bisa menjelma menjadi tempat tujuan wisata. Seperti yang saya katakan di awal tadi tentang Kasongan dan Kota Gede. Begini, ketika orang ke Jogja dan terpikir tentang gerabah, maka dia akan langsung menuju Kasongan. Begitu pun ketika teringat tentang perak, maka Kota Gede bisa jadi tujuan.

Tentu ini tentang imej yang harus dibangun PIK Menteng. Ismed sempat mengatakan kalau di lokasi itu memang cenderung mengarah pada kerajinan kulit dan sepatu. Nah, kenapa tidak dipromosikan oleh Pemko Medan? Jadikan Menteng sebagai kawasan wisata sepatu dan kerajinan kulit. Dan, pengerajin pun harus siap bersaing dengan sepatu dan kerajinan kulit dari daerah atau negara lain. Harus ada ciri khas. Harus ada keunikan.

Terbayang di otak saya, suatu saat ke depan, ketika ada seorang tamu dari luar kota memaksa saya untuk ke Menteng. Atau, ada seorang kawan di luar daerah yang sibuk menghubungi saya agar dikirimkan sepatu dan kerajinan kulit dari Menteng. Ah…

Tapi sudahlah, sore di pekan lalu itu memang menjadi pengetahuan baru bagi saya. Setidaknya, ketika berbincang dengan Ismed, saya tersadar kalau sepatu yang saya kenakan malah buatan China…. ups. (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Akhir pekan lalu saya berkesempatan mengunjungi Pusat Industri Kecil yang ada di Menteng Kecamatan Medan Denai. Begitu memasuki komplek itu, saya sedikit bingung. Ya, kemana saja saya selama ini, kenapa tempat tersebut jarang terlihat?

Jujur saja, saya bertambah shock ketika menyadari Pusat Industri Kecil itu ternyata tidak seperti saya bayangkan. Maksud saya begini, ketika seorang kawan mengajak saya ke sana, maka dalam bayangan saya adalah pusat industri yang menyegarkan. Teringat oleh saya kawasan Kasongan dan Kota Gede di Jogjakarta sana. Ternyata di Menteng yang saya temukan adalah kumpulan rumah toko; kebanyakan malah kosong.

Memang, ada beberapa pengerajin sepatu dan kulit terlihat beraktivitas, namun tidak mendominasi. Suasana pertokoan tersebut malah terlihat seperti pemukiman. Ada anak yang bermain. Ada jemuran di sisi depan. Ada pula, di ruko itu, menjual sayur-sayuran. Sementara, beberapa warganya duduk di depan ruko sambil berbincang. Tak terbayangkan kalau tempat itu sejatinya adalah sentra industri kerajinan rumah tangga yang andal.

Padahal, menurut Ismed, ketua koperasi di tempat itu, awalnya komplek itu cukup ramai.  Ya, pada 1996 silam, PIK Menteng yang dibangun di Jalan Menteng VII, Medan melalui Wali Kota Bachtiar Djafar melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan mulai berhasil membangkitkan gelora industri rumah tangga. Berbagai macam produk pun berhasil diciptakan dengan pendapatan yang cukup memuaskan. Ekonomi masyarakat menengah ke bawah mulai dapat diperbaiki. Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Ketika 1998 Indonesia dihantam krisis moneter, laju industri kecil di kawasan Menteng inipun kena imbas.

Begitupun ketika era Abdillah memimpin Medan. PIK Medan tak beranjak menuju peningkatan. Kata Ismed, wali kota itu terlalu peduli dengan pengusaha besar. Sementara, PIK semakin ditinggalkan. Ismed pun menceritakan hasil karya PIK ini berupa sepatu, sendal pakaian, tas, bordir dan masih banyak lagi akhirnya ‘punah’ satu-persatu. Kawasan PIK yang terdiri dari 100 ruko ini juga kini banyak beralih fungsi sebagai rumah pribadi yang sudah dijual kepada orang lain.

Hal ini makin diperparah dengan kehadiran barang impor. Setidaknya, sepatu asal China, Thailand, dan Korea masuk bebas ke Sumut. Ujung-ujungnya memang soal uang. Ya, pengusaha kecil yang masih berkecimpung di usaha kulit dan sepatu di PIK Medan memang masih bermasalah dengan modal.

Nah, soal uang dan sepatu ini mengingatkan saya pada sebuah film Iran. Film ini berjudul Children of Heavens diproduksi pada 1997 lalu. Film ini dinominasikan dalam Academy Award untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada 1998. Selain itu, film ini juga meraih penghargaan pada Montreal World Film Festival, Newport International Film Festival, dan Silver Screen Awards di Singapore International Film Festival.

Kisah dalam film ini memang tentang uang dan sepatu. Sebuah kisah yang mengharukan. Bayangkan saja, kakak beradik yang karena miskinnya harus bergantian mengenakan sepatu ke sekolah. Si adik yang perempuan pun terpaksa menggunakan sepatu boot milik kakaknya yang laki-laki. Nah, di akhir cerita, sang kakak mengikuti kontes lari. Hadiahnya adalah sepatu. Si kakak pun mengincar juara tiga yang berhadiah sepatu karet. Rencananya, sepatu hadiah itu akan diberikan pada sang adik. Sayang, sang kakak malah meraih juara satu. Peringkat pertama ini meraih sepatu olahraga untuk laki-laki. Sepatu karet untuk adiknya pun gagal teraih.

Ironi. Memang, seperti film tadi, usaha sepatu di PIK Menteng jelas menyisakan ironi. Bagi saya, PIK harus memiliki suatu modal lebih. Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal kreativitas. Sebagai sentra industri kecil, komplek itu kan sejatinya bisa diset tidak hanya untuk memproduksi barang. Dia bisa menjelma menjadi tempat tujuan wisata. Seperti yang saya katakan di awal tadi tentang Kasongan dan Kota Gede. Begini, ketika orang ke Jogja dan terpikir tentang gerabah, maka dia akan langsung menuju Kasongan. Begitu pun ketika teringat tentang perak, maka Kota Gede bisa jadi tujuan.

Tentu ini tentang imej yang harus dibangun PIK Menteng. Ismed sempat mengatakan kalau di lokasi itu memang cenderung mengarah pada kerajinan kulit dan sepatu. Nah, kenapa tidak dipromosikan oleh Pemko Medan? Jadikan Menteng sebagai kawasan wisata sepatu dan kerajinan kulit. Dan, pengerajin pun harus siap bersaing dengan sepatu dan kerajinan kulit dari daerah atau negara lain. Harus ada ciri khas. Harus ada keunikan.

Terbayang di otak saya, suatu saat ke depan, ketika ada seorang tamu dari luar kota memaksa saya untuk ke Menteng. Atau, ada seorang kawan di luar daerah yang sibuk menghubungi saya agar dikirimkan sepatu dan kerajinan kulit dari Menteng. Ah…

Tapi sudahlah, sore di pekan lalu itu memang menjadi pengetahuan baru bagi saya. Setidaknya, ketika berbincang dengan Ismed, saya tersadar kalau sepatu yang saya kenakan malah buatan China…. ups. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/