26 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Di Pinggir Jalan Titikuning yang Gamang

Oleh: Ramadhan Batubara

Dini hari kemain, ketika suasana mulai tenang dan lampu-lampu mulai dimatikan, saya memilih duduk di sini. Ya, di sebuah restoran siap saji yang beberapa waktu ke belakang menjadi pembicaraan karena diserang sekelompok anak muda. Hm, genk motor.

TAPI, bukan genk motor yang ingin saya bicarakan di lantun ini. Seperti lantun sebelumnya, saya memang ingin menceritakan tentang sebuah tempat di Medan yang mungkin sudah sangat biasa tapi bisa menjadi menarik. Kali ini saya memang pilih Titikuning.

Terbayang dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu saat jalan di depan saya ini belum ada. Menumpang sudako jalur 17, berwarna kuning dan berpintu belakang, saya harus menunggu lama agar bisa menyeberangi Sungai Deli. Jembatannya pun belum bisa dilalui oleh dua mobil di dua sisi bersamaan. Ya, belum ada jembatan dan Jalan AH Nasution seperti sekarang yang ramai dilalui hingga macet di siang hari.

Titikuning bagi saya cukup menarik bukan hanya karena sejak kecil saya sering melewatinya. Tapi Titikuning ini tidak sekadar jembatan yang berwarna kuning, dia juga sebuah kawasan dengan level kelurahan. Selain itu, dari kawasan ini telah lahir seorang sastrawan ternama di Indonesia, Hamsad Rangkuti. Kalau mau dicari tahu, masih banyak kelebihan dari kawasan ini.

Tapi sudahlah, saat ini saya sedang duduk di restoran siap saji yang kabarnya diusahai oleh seorang pembalap Sumut ternama. Tempat yang nyaman untuk menghabiskan malam. Layanan menarik dan menu yang elite. Dan dini hari kemarin, sepulang kerja saya dan teman sekantor memilih tempat ini untuk melepas penat.

Menariknya, kami memang sengaja membuat heboh. Kebetulan kebanyakan dari kami masih menggunakan sepeda motor. Maka, kami datang serempak, terdiri dari dua puluhan orang dengan mengendarai sepeda motor masing-masing. Fiuh. Meski tidak meraung-raungkan suara sepeda motor, kehadiran kami sempat juga membuat warna wajah pengunjung berubah sesaat. Sayang, kostum kami terlalu sopan, terlihat jelas baru pulang kerja. Wajah pengunjung lainnya pun kembali semula. Suasana seram beberapa waktu lalu di tempat ini langsung mencair. Yang ada hanya tawa, tawa, dan tawa. Apalagi, beberapa dari kami sibuk memegang telepon pintar dan langsung mengabadikan momen itu. Jepret.

Nah, di saat suasana hingar-bingar itu, tiba-tiba saya teringat dengan kehebatan Titikuning di zaman dulu. Kini jalan utama yang menjadi pilihan pengguna jalan adalah tepat di belakang gedung ini. Benar-benar berbeda.

Ya, seperti teori evolusi: kemajuan di suatu bidang memang membuat kemunduran di bidang lainnya. Maka, saya hanya mengelus dada dengan perubahan ini. Ya, ketika dulu orang-orang berbondong-bondong membangun rumah atau tempat usaha mengarah ke jalan itu, kini jalan bersajarah tersebut malah dipantati gedung-gedung.

Lalu, apakah perubahan ini bisa dikatakan salah. Tentu, saya tidak menjawabnya dengan kata iya. Pasalnya, pertumbuhan Medan memang tidak bisa dibendung. Dibangunnya jalan dan jembatan baru di Titikuning memang sebuah keharusan. Coba bayangkan jika tetap mengandalkan Titikuning yang lama. Volume kendaraan yang sudah gila-gilaan pastilah tak akan mampu ditampung . Saat ini saja, kawasan ini dikenal sebagai salah satu titik termacet di Kota Medan.

Padahal, Jalan AH Nasution terdiri atas dua jalur jalan; yang masingmasing sisinya bisa dibariskan tiga mobil. Jembatannya pun tidak sempit; kekurangannya hanya bentuknya saja yang tidak seperti jembatan, jembatan lama memiliki kuping tinggi layaknya jembatan kebanyakan.

Terus terang, biasanya saya melewati kawasan ini dengan suasana yang biasa saja. Dini hari kemarin, ada kegamangan yang mengemuka. Seperti melihat sudako, angkotan kota yang sejatinya bisa menjadi ikon kota.

Kini, sudako secara perlahan mulai dipinggirkan. Alasannya, kendaraan itu sudah sangat tua hingga mencemarkan udara Medan. Ah, bagi saya itukan sekadar alat. Ya, tinggal ganti saja mobilnya, tapi bentuknya tetap dijaga. Selesai. Kenapa harus mengubah sesuatu dengan alasan-alasan yang instan. Ayolah, apalagi yang bisa dijadikan ikon kendaraan Medan setelah bus bertingkat dan becak motor dengan pedal dayung yang telah raib? Seperti Titikuning ini (dalam arti jembatan), mengapa yang baru tidak mempertahankan bentuk Tititkuning yang lama? Lihatlah Titikuning yang baru, bentuknya yang seperti pagar itu bisa saja dikemudian hari tidak dianggap jembatan lagi. Apalagi, semakin banyak gedung di sekitar jembatan itu, dia tertutup, tidak tampak jembatannya. Ujung-ujungnya, warga Medan pun lupa kalau di kawasan ini mengalir sebuah sungai yang bernama Sungai Deli. Ah … Mungkin kegamangan ini terlalu berlebihan. Tapi sudahlah, setidaknya dengan kegamangan yang saya miliki dini hari kemarin, saya makin merasa Medan sebagai kota saya. Ini tentang rasa, kawan. Seperti kami yang menjadikan restoran siap saji ini bak milik kami sendiri. Kemaruk. Ha ha ha Jepret, bunyi telepon pintar kawan saya di sebelah. Ah. (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Dini hari kemain, ketika suasana mulai tenang dan lampu-lampu mulai dimatikan, saya memilih duduk di sini. Ya, di sebuah restoran siap saji yang beberapa waktu ke belakang menjadi pembicaraan karena diserang sekelompok anak muda. Hm, genk motor.

TAPI, bukan genk motor yang ingin saya bicarakan di lantun ini. Seperti lantun sebelumnya, saya memang ingin menceritakan tentang sebuah tempat di Medan yang mungkin sudah sangat biasa tapi bisa menjadi menarik. Kali ini saya memang pilih Titikuning.

Terbayang dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu saat jalan di depan saya ini belum ada. Menumpang sudako jalur 17, berwarna kuning dan berpintu belakang, saya harus menunggu lama agar bisa menyeberangi Sungai Deli. Jembatannya pun belum bisa dilalui oleh dua mobil di dua sisi bersamaan. Ya, belum ada jembatan dan Jalan AH Nasution seperti sekarang yang ramai dilalui hingga macet di siang hari.

Titikuning bagi saya cukup menarik bukan hanya karena sejak kecil saya sering melewatinya. Tapi Titikuning ini tidak sekadar jembatan yang berwarna kuning, dia juga sebuah kawasan dengan level kelurahan. Selain itu, dari kawasan ini telah lahir seorang sastrawan ternama di Indonesia, Hamsad Rangkuti. Kalau mau dicari tahu, masih banyak kelebihan dari kawasan ini.

Tapi sudahlah, saat ini saya sedang duduk di restoran siap saji yang kabarnya diusahai oleh seorang pembalap Sumut ternama. Tempat yang nyaman untuk menghabiskan malam. Layanan menarik dan menu yang elite. Dan dini hari kemarin, sepulang kerja saya dan teman sekantor memilih tempat ini untuk melepas penat.

Menariknya, kami memang sengaja membuat heboh. Kebetulan kebanyakan dari kami masih menggunakan sepeda motor. Maka, kami datang serempak, terdiri dari dua puluhan orang dengan mengendarai sepeda motor masing-masing. Fiuh. Meski tidak meraung-raungkan suara sepeda motor, kehadiran kami sempat juga membuat warna wajah pengunjung berubah sesaat. Sayang, kostum kami terlalu sopan, terlihat jelas baru pulang kerja. Wajah pengunjung lainnya pun kembali semula. Suasana seram beberapa waktu lalu di tempat ini langsung mencair. Yang ada hanya tawa, tawa, dan tawa. Apalagi, beberapa dari kami sibuk memegang telepon pintar dan langsung mengabadikan momen itu. Jepret.

Nah, di saat suasana hingar-bingar itu, tiba-tiba saya teringat dengan kehebatan Titikuning di zaman dulu. Kini jalan utama yang menjadi pilihan pengguna jalan adalah tepat di belakang gedung ini. Benar-benar berbeda.

Ya, seperti teori evolusi: kemajuan di suatu bidang memang membuat kemunduran di bidang lainnya. Maka, saya hanya mengelus dada dengan perubahan ini. Ya, ketika dulu orang-orang berbondong-bondong membangun rumah atau tempat usaha mengarah ke jalan itu, kini jalan bersajarah tersebut malah dipantati gedung-gedung.

Lalu, apakah perubahan ini bisa dikatakan salah. Tentu, saya tidak menjawabnya dengan kata iya. Pasalnya, pertumbuhan Medan memang tidak bisa dibendung. Dibangunnya jalan dan jembatan baru di Titikuning memang sebuah keharusan. Coba bayangkan jika tetap mengandalkan Titikuning yang lama. Volume kendaraan yang sudah gila-gilaan pastilah tak akan mampu ditampung . Saat ini saja, kawasan ini dikenal sebagai salah satu titik termacet di Kota Medan.

Padahal, Jalan AH Nasution terdiri atas dua jalur jalan; yang masingmasing sisinya bisa dibariskan tiga mobil. Jembatannya pun tidak sempit; kekurangannya hanya bentuknya saja yang tidak seperti jembatan, jembatan lama memiliki kuping tinggi layaknya jembatan kebanyakan.

Terus terang, biasanya saya melewati kawasan ini dengan suasana yang biasa saja. Dini hari kemarin, ada kegamangan yang mengemuka. Seperti melihat sudako, angkotan kota yang sejatinya bisa menjadi ikon kota.

Kini, sudako secara perlahan mulai dipinggirkan. Alasannya, kendaraan itu sudah sangat tua hingga mencemarkan udara Medan. Ah, bagi saya itukan sekadar alat. Ya, tinggal ganti saja mobilnya, tapi bentuknya tetap dijaga. Selesai. Kenapa harus mengubah sesuatu dengan alasan-alasan yang instan. Ayolah, apalagi yang bisa dijadikan ikon kendaraan Medan setelah bus bertingkat dan becak motor dengan pedal dayung yang telah raib? Seperti Titikuning ini (dalam arti jembatan), mengapa yang baru tidak mempertahankan bentuk Tititkuning yang lama? Lihatlah Titikuning yang baru, bentuknya yang seperti pagar itu bisa saja dikemudian hari tidak dianggap jembatan lagi. Apalagi, semakin banyak gedung di sekitar jembatan itu, dia tertutup, tidak tampak jembatannya. Ujung-ujungnya, warga Medan pun lupa kalau di kawasan ini mengalir sebuah sungai yang bernama Sungai Deli. Ah … Mungkin kegamangan ini terlalu berlebihan. Tapi sudahlah, setidaknya dengan kegamangan yang saya miliki dini hari kemarin, saya makin merasa Medan sebagai kota saya. Ini tentang rasa, kawan. Seperti kami yang menjadikan restoran siap saji ini bak milik kami sendiri. Kemaruk. Ha ha ha Jepret, bunyi telepon pintar kawan saya di sebelah. Ah. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/