30 C
Medan
Saturday, June 15, 2024

Status BBM: Hujan Ini Membunuhku …

Kemarin, sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak berusia empat bulan berencana tamasya. Istilah Medannya; raon-raon atawa melancong. Tapi jangan berpikir mereka akan melancong ke tempat wisata di luar kota, mereka hanya ingin menikmati hari libur sembari membelanjakan sedikit uang dari gaji yang baru saja diterima.

Maka sejak matahari telah pindah dari arah tepat di atas kepala, mereka pun bersiap. Namun, namanya punya anak bayi, persiapan mereka tidak bisa cepat bukan? Alhasil, hingga pukul 13.30 WIB, mereka baru siap berkemas. Satu botol susu 120 cc telah disiapkan. Pun, popok siap pakai dan perlengkapan bayi lainnya terkemas dalam sebuah tas berwarna pink dengan gambar tokoh kartun.

Sialnya, ketika sang ayah memanaskan sepeda motor di depan rumah, dia melihat mega hitam bergerak cepat. Matahari tiba-tiba seakan sembunyi.

Ada angin pula. Mendung. Sang ayah memperhatikan langit dengan dalam. Batinnya berteriak: Tuhan, jangan kau buat hujan saat ini, jarang-jarang aku bisa bawa keluarga jalan-jalan!

Tapi, Tuhan tampaknya sedang sibuk. Permintaan sang ayah tak digubris. Langit makin hitam. Mendung semakin menjadi, sebentar lagi hujan.

Sang ayah pun buru-buru masuk rumah. Dia temukan sang ibu yang menatapnya penuh harap. Ada kesedihan terpancar di sana. “Mau hujan ya…,” kata sang ibu.

Si ayah tak menjawab. Dia teringat dengan jas hujan di jok sepeda motornya. Ah, seandainya saja anaknya sudah tak bayi lagi, mungkin pergi di saat mendung bukan masalah. Kalaupun terjebak hujan di jalanan, bukankah mantel bisa menyelamatkan?
“Ya, sudah, pekan depan saja…,” bilang sang ibu.

Si ayah tidak juga menjawab. Dia berpikir, kalau ditunda pekan depan, adakah uang gajinya yang disiapkan untuk jalan-jalan masih utuh? Dia sadar, dia bukanlah sosok yang bisa menyimpan uang.

Jadi, ketika ada uang, harus digunakan langsung jika tidak uang itu akan raib entah kemana; bisa ke perut menjadi sisa makanan atau ke udara menjadi asap rokok.

Belum sempat dia menghayal memiliki mobil, hujan sudah datang. Tidak malu-malu, hujan langsung menyergap bumi dengan begitu derasnya. Air seakan tumpah dari langit. Beberapa kali malah terdengar petir yang membuat anaknya terkejut dan kemudian menangis.

“Ya, sudah, pekan depan saja ya…” akhirnya sang ayah bersuara.

Si ibunya langsung berganti kostum; daster. Sang ayah pun demikian, mengganti celana jeans dengan celana pendek. Baju hemnya pun digantinya dengan kaos. Sementara si anak dibiarkan dengan kostum raon-raon tadi. Dia pun langsung jadi objek. Kedua orangtuanya itu langsung memegang telepon pintar milik mereka masing-masing yang tentunya memiliki kamera. Saatnya foto-foto. Ha ha ha ha.

Bosan foto-foto, mereka berpikir mencari hiburan dengan menonton televisi. Sayang, hujan begitu deras. Suara hujan pun begitu keras. Televisi seakan bisu, hanya menawarkan gambar yang bergerak.

Tiba-tiba si ayah tersadar. Dia langsung bergerak ke pintu depan. Banjir! Teras rumahnya telah penuh dengan air. Ah, dia mengutuk penyemenan gang yang dilakukan Dinas Perkim Kota Medan beberapa waktu lalu.

Gara-gara gang itu disemen, lubang aliran air yang berada di teras rumahnya tersumbat. Air tak menemukan jalan keluar dari terasnya itu. Tak pelak, dia mengambil sapu lidi, berusaha mengusir air dari pintu pagar. Dia basah. Dia merana. “Aku harus pindah!” teriaknya.

Untuk menghilangkan suntuk, dibuatnya segelas kopi. Dia bakar rokok. Dia duduk memandang jendela yang menghadap teras penuh air. Telepon pintar di tangannya. Dia buka. Dia lihat status rekan-rekannya di ruang BlackBerry Messenger. Dia ingat, di ruang itu ada rekannya yang bernama HS Poetra Petir.

Kawannya itu selalu membuat status: Hujan Ini Membunuhku setiap turun hujan. Ya, sebuah kalimat plesetan dari lirik lagu yang dipopulerkan D’Masiv: Cinta Ini Membunuhku.

Ups, sang kawan malah tak membuat status itu, padahal hujan di Medan sedang hebat-hebatnya. Dia membuat status: Otw Medan (pakai simbol tidur).

Mencurigakan. Langsung saja sang ayah nge-BBM, si kawannya itu. “Di mana bos, kok Otw ke Medan?” tulis sang ayah.
“Di rumah. Biar terlihat eksis dan sibuk gitu (pakai simbol tertawa),” balas sang kawan.

Sang ayah memaki dalam hati: kurang ajar! Berarti, pikir si ayah, kawannya itu terbunuh hujan juga, tapi pura-pura tidak. Ah, si ayah kembali memandang hujan yang mulai gerimis. Teras masih banjir. Tercium bau amis. “Mulai amis gerimis ini …” tulis si ayah di status BBM-nya.

Dia kembali ke ruang televisi. Dia dapati si ibu dan sang anak sudah tertidur. Dia tersenyum miris. “Sabar ya …,” bisik sang ayah.

Dia pun pergi ke meja komputer. Dia buka Microsft Word. Dia mengetik. Dan dia beri judul filenya: 3FEB-LANTUN, Status BBM. Ya, si ayah itu (pakai simbol nangis) adalah AKU! (*)

Kemarin, sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak berusia empat bulan berencana tamasya. Istilah Medannya; raon-raon atawa melancong. Tapi jangan berpikir mereka akan melancong ke tempat wisata di luar kota, mereka hanya ingin menikmati hari libur sembari membelanjakan sedikit uang dari gaji yang baru saja diterima.

Maka sejak matahari telah pindah dari arah tepat di atas kepala, mereka pun bersiap. Namun, namanya punya anak bayi, persiapan mereka tidak bisa cepat bukan? Alhasil, hingga pukul 13.30 WIB, mereka baru siap berkemas. Satu botol susu 120 cc telah disiapkan. Pun, popok siap pakai dan perlengkapan bayi lainnya terkemas dalam sebuah tas berwarna pink dengan gambar tokoh kartun.

Sialnya, ketika sang ayah memanaskan sepeda motor di depan rumah, dia melihat mega hitam bergerak cepat. Matahari tiba-tiba seakan sembunyi.

Ada angin pula. Mendung. Sang ayah memperhatikan langit dengan dalam. Batinnya berteriak: Tuhan, jangan kau buat hujan saat ini, jarang-jarang aku bisa bawa keluarga jalan-jalan!

Tapi, Tuhan tampaknya sedang sibuk. Permintaan sang ayah tak digubris. Langit makin hitam. Mendung semakin menjadi, sebentar lagi hujan.

Sang ayah pun buru-buru masuk rumah. Dia temukan sang ibu yang menatapnya penuh harap. Ada kesedihan terpancar di sana. “Mau hujan ya…,” kata sang ibu.

Si ayah tak menjawab. Dia teringat dengan jas hujan di jok sepeda motornya. Ah, seandainya saja anaknya sudah tak bayi lagi, mungkin pergi di saat mendung bukan masalah. Kalaupun terjebak hujan di jalanan, bukankah mantel bisa menyelamatkan?
“Ya, sudah, pekan depan saja…,” bilang sang ibu.

Si ayah tidak juga menjawab. Dia berpikir, kalau ditunda pekan depan, adakah uang gajinya yang disiapkan untuk jalan-jalan masih utuh? Dia sadar, dia bukanlah sosok yang bisa menyimpan uang.

Jadi, ketika ada uang, harus digunakan langsung jika tidak uang itu akan raib entah kemana; bisa ke perut menjadi sisa makanan atau ke udara menjadi asap rokok.

Belum sempat dia menghayal memiliki mobil, hujan sudah datang. Tidak malu-malu, hujan langsung menyergap bumi dengan begitu derasnya. Air seakan tumpah dari langit. Beberapa kali malah terdengar petir yang membuat anaknya terkejut dan kemudian menangis.

“Ya, sudah, pekan depan saja ya…” akhirnya sang ayah bersuara.

Si ibunya langsung berganti kostum; daster. Sang ayah pun demikian, mengganti celana jeans dengan celana pendek. Baju hemnya pun digantinya dengan kaos. Sementara si anak dibiarkan dengan kostum raon-raon tadi. Dia pun langsung jadi objek. Kedua orangtuanya itu langsung memegang telepon pintar milik mereka masing-masing yang tentunya memiliki kamera. Saatnya foto-foto. Ha ha ha ha.

Bosan foto-foto, mereka berpikir mencari hiburan dengan menonton televisi. Sayang, hujan begitu deras. Suara hujan pun begitu keras. Televisi seakan bisu, hanya menawarkan gambar yang bergerak.

Tiba-tiba si ayah tersadar. Dia langsung bergerak ke pintu depan. Banjir! Teras rumahnya telah penuh dengan air. Ah, dia mengutuk penyemenan gang yang dilakukan Dinas Perkim Kota Medan beberapa waktu lalu.

Gara-gara gang itu disemen, lubang aliran air yang berada di teras rumahnya tersumbat. Air tak menemukan jalan keluar dari terasnya itu. Tak pelak, dia mengambil sapu lidi, berusaha mengusir air dari pintu pagar. Dia basah. Dia merana. “Aku harus pindah!” teriaknya.

Untuk menghilangkan suntuk, dibuatnya segelas kopi. Dia bakar rokok. Dia duduk memandang jendela yang menghadap teras penuh air. Telepon pintar di tangannya. Dia buka. Dia lihat status rekan-rekannya di ruang BlackBerry Messenger. Dia ingat, di ruang itu ada rekannya yang bernama HS Poetra Petir.

Kawannya itu selalu membuat status: Hujan Ini Membunuhku setiap turun hujan. Ya, sebuah kalimat plesetan dari lirik lagu yang dipopulerkan D’Masiv: Cinta Ini Membunuhku.

Ups, sang kawan malah tak membuat status itu, padahal hujan di Medan sedang hebat-hebatnya. Dia membuat status: Otw Medan (pakai simbol tidur).

Mencurigakan. Langsung saja sang ayah nge-BBM, si kawannya itu. “Di mana bos, kok Otw ke Medan?” tulis sang ayah.
“Di rumah. Biar terlihat eksis dan sibuk gitu (pakai simbol tertawa),” balas sang kawan.

Sang ayah memaki dalam hati: kurang ajar! Berarti, pikir si ayah, kawannya itu terbunuh hujan juga, tapi pura-pura tidak. Ah, si ayah kembali memandang hujan yang mulai gerimis. Teras masih banjir. Tercium bau amis. “Mulai amis gerimis ini …” tulis si ayah di status BBM-nya.

Dia kembali ke ruang televisi. Dia dapati si ibu dan sang anak sudah tertidur. Dia tersenyum miris. “Sabar ya …,” bisik sang ayah.

Dia pun pergi ke meja komputer. Dia buka Microsft Word. Dia mengetik. Dan dia beri judul filenya: 3FEB-LANTUN, Status BBM. Ya, si ayah itu (pakai simbol nangis) adalah AKU! (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/