24 C
Medan
Friday, July 5, 2024

Kenangan di Seberang DPRD Medan

Ramadhan Batubara

Ini Medan. Ada suara air yang mengalir. Di tengah kota. Nyaman dan tak bising. Ada pula pemandangan pohon bambu, tidak rapat, namun cukuplah untuk segarkan mata.

Sekali lagi, Ini Medan; tanpa ada kata ‘Bung’. Sengaja saya tuliskan kalimat itu tanpa kata ‘Bung’ karena memang tak ada keangkuhan yang saya lihat di tempat yang saya kunjungi Jumat siang lalu. Di tempat itu, saya tak melihat Medan seperti yang dibayangkan; ya, Medan yang terwakili dengan kata ‘Bung’ tadi.

Tempat itu hanya sekadar ruang makan. Sebagaimana ruang makan atau rumah makan lainnya, tempat itu pasti menawarkan menu-menu biasa. Sebut saja, nasi dan lauk pauknya. Sangat biasa. Tapi, ketika duduk di tempat itu, Anda pasti merasa beda. Seperti saya, jadi senyum-senyum terus meski hidangan cukup lama disajikan.

Saya tidak akan menyebut merek rumah makan itu. Maklumlah, yang namanya merek, pasti ada ‘nilai’ bukan? Dan, saat ini saya tidak sedang berpromosi, saya hanya sekadar menuliskan pengalaman di tempat itu.

Baiklah, tempat yang mencuri perhatian saya pekan ini adalah rumah makan yang ada di pinggir Sungai Deli. Dia berada tepat di seberang Kantor DPRD Medan. Ingat: seberang. Namanya seberang berarti terpisah sungai, walau seberang juga bisa dipisahkan apapun juga kan? Nah, rumah makan ini benar-benar di seberang sungai.

Tapi sudahlah, yang jelas Jumat siang lalu, saya terpesona dengan pemandangan di sana. Memilih tempat duduk yang menghadap sungai, saya bisa melihat jelas bagaimana kantor para wakil rakyat itu. Pun, memandang ke serong kanan, maka Kantor Wali Kota Medan pun terpampang jelas. Sebuah sudut pandang yang menyenangkan. Belum lagi, ketika pandangan saya arahkan ke sungai. Memang, airnya agak keruh, tapi dia mengalir deras. Gelombang air itu bak di pegunungan saja. Dan, semak serta beberapa pohon bambu yang ada di pinggir sungai cukup meneduhkan mata.
Sesaat saya lupa, bukankah Medan terkenal dengan kesemerawutannya?

Saya memesan menu nasi putih dengan ikan bawal tauco, telur dadar, sambal teri kacang, sayur santan daun ubi, dan sambal. Tentu saya tak sendirian, mana mungkin saya bisa menghabiskan itu semua. Jumat lalu saya memang ditemani istri. Nah, untuk minuman, saya memilih teh manis hangat dan istri saya memilih es timun serut.

Fiuh, saya dan istri terkejut dengan rasa yang ditawarkan rumah makan itu. Pertama, tauco. Ikan bawal ukuran sedang itu dibalut dengan bumbu sederhana. Rasanya tipis dan menyenangkan. Tak pelak, kami pun lahap. Sudah lama makan dengan bumbu yang berlebihan, jenuh juga kan? Begitu dapat menu seperti itu, kami jadi semangat. Rasa tak berbeda ada di telur, sambal teri, dan sayur daun ubi. Rasa masakan rumah tampaknya menjadi pilihan warung ini. Jadi, ketika makan, tak ada kesan sedang makan di rumah makan yang biasanya kaya dengan rempah-rempah.

Kedua, soal rasa minuman. Sebelumnya beberapa kawan merekomendasikan air kelapa di warung itu. Tapi, entah kenapa saat itu saya memang tak minat. Beruntung, teh yang saya pilih ternyata cukup menyenangkan. Ada nuansa berbeda di air berwarna cokelat kemerahan itu. Tidak sekadar rasa teh. Ada rasa lenkongnya. Sumpah, bagi saya agak aneh karena biasanya teh bernuansa wangi melati atau vanila. Tapi, saya menyukainya. Pun dengan timun serut pilihan istri saya. “Segarnya enak, kayaknya dia nambah jeruk,” kata istri saya berlagak sok ahli kuliner.

Akhirnya, kami berdua bertahan di tempat itu hampir satu jam setengah. Selain menimati makanan, kami pun sibuk memandang Medan yang ‘lain’. Sumpah, suara air yang mengalir dan pemandangan pohon di sekitar sungai yang berlatar gedung tinggi cukup menawan. Apalagi, tempat ini letaknya agak menjorok ke dalam, jadi kebisingan lalu lintas cenderung tak begitu dominan.

Sayang, di saat pembayaran, angka tak sesuai yang dibayangkan. Sembilan puluh empat ribu untuk semuanya. Fiuh.
Tapi, kata istri saya, nikmati saja. Kan sudah dimakan dan bukankah rasanya enak. Lalu, bukankah tempatnya menyenangkan?
Iya juga ya. Hm, Ini Medan memang harus pakai kata ‘Bung’. Kalimat itu sudah pas, jadi jangan dicerai-berai nanti jadi tak afdol.
Baiklah, untuk kenangan di seberang DPRD Medan: Medan tetap Ini Medan Bung! (*)

Ramadhan Batubara

Ini Medan. Ada suara air yang mengalir. Di tengah kota. Nyaman dan tak bising. Ada pula pemandangan pohon bambu, tidak rapat, namun cukuplah untuk segarkan mata.

Sekali lagi, Ini Medan; tanpa ada kata ‘Bung’. Sengaja saya tuliskan kalimat itu tanpa kata ‘Bung’ karena memang tak ada keangkuhan yang saya lihat di tempat yang saya kunjungi Jumat siang lalu. Di tempat itu, saya tak melihat Medan seperti yang dibayangkan; ya, Medan yang terwakili dengan kata ‘Bung’ tadi.

Tempat itu hanya sekadar ruang makan. Sebagaimana ruang makan atau rumah makan lainnya, tempat itu pasti menawarkan menu-menu biasa. Sebut saja, nasi dan lauk pauknya. Sangat biasa. Tapi, ketika duduk di tempat itu, Anda pasti merasa beda. Seperti saya, jadi senyum-senyum terus meski hidangan cukup lama disajikan.

Saya tidak akan menyebut merek rumah makan itu. Maklumlah, yang namanya merek, pasti ada ‘nilai’ bukan? Dan, saat ini saya tidak sedang berpromosi, saya hanya sekadar menuliskan pengalaman di tempat itu.

Baiklah, tempat yang mencuri perhatian saya pekan ini adalah rumah makan yang ada di pinggir Sungai Deli. Dia berada tepat di seberang Kantor DPRD Medan. Ingat: seberang. Namanya seberang berarti terpisah sungai, walau seberang juga bisa dipisahkan apapun juga kan? Nah, rumah makan ini benar-benar di seberang sungai.

Tapi sudahlah, yang jelas Jumat siang lalu, saya terpesona dengan pemandangan di sana. Memilih tempat duduk yang menghadap sungai, saya bisa melihat jelas bagaimana kantor para wakil rakyat itu. Pun, memandang ke serong kanan, maka Kantor Wali Kota Medan pun terpampang jelas. Sebuah sudut pandang yang menyenangkan. Belum lagi, ketika pandangan saya arahkan ke sungai. Memang, airnya agak keruh, tapi dia mengalir deras. Gelombang air itu bak di pegunungan saja. Dan, semak serta beberapa pohon bambu yang ada di pinggir sungai cukup meneduhkan mata.
Sesaat saya lupa, bukankah Medan terkenal dengan kesemerawutannya?

Saya memesan menu nasi putih dengan ikan bawal tauco, telur dadar, sambal teri kacang, sayur santan daun ubi, dan sambal. Tentu saya tak sendirian, mana mungkin saya bisa menghabiskan itu semua. Jumat lalu saya memang ditemani istri. Nah, untuk minuman, saya memilih teh manis hangat dan istri saya memilih es timun serut.

Fiuh, saya dan istri terkejut dengan rasa yang ditawarkan rumah makan itu. Pertama, tauco. Ikan bawal ukuran sedang itu dibalut dengan bumbu sederhana. Rasanya tipis dan menyenangkan. Tak pelak, kami pun lahap. Sudah lama makan dengan bumbu yang berlebihan, jenuh juga kan? Begitu dapat menu seperti itu, kami jadi semangat. Rasa tak berbeda ada di telur, sambal teri, dan sayur daun ubi. Rasa masakan rumah tampaknya menjadi pilihan warung ini. Jadi, ketika makan, tak ada kesan sedang makan di rumah makan yang biasanya kaya dengan rempah-rempah.

Kedua, soal rasa minuman. Sebelumnya beberapa kawan merekomendasikan air kelapa di warung itu. Tapi, entah kenapa saat itu saya memang tak minat. Beruntung, teh yang saya pilih ternyata cukup menyenangkan. Ada nuansa berbeda di air berwarna cokelat kemerahan itu. Tidak sekadar rasa teh. Ada rasa lenkongnya. Sumpah, bagi saya agak aneh karena biasanya teh bernuansa wangi melati atau vanila. Tapi, saya menyukainya. Pun dengan timun serut pilihan istri saya. “Segarnya enak, kayaknya dia nambah jeruk,” kata istri saya berlagak sok ahli kuliner.

Akhirnya, kami berdua bertahan di tempat itu hampir satu jam setengah. Selain menimati makanan, kami pun sibuk memandang Medan yang ‘lain’. Sumpah, suara air yang mengalir dan pemandangan pohon di sekitar sungai yang berlatar gedung tinggi cukup menawan. Apalagi, tempat ini letaknya agak menjorok ke dalam, jadi kebisingan lalu lintas cenderung tak begitu dominan.

Sayang, di saat pembayaran, angka tak sesuai yang dibayangkan. Sembilan puluh empat ribu untuk semuanya. Fiuh.
Tapi, kata istri saya, nikmati saja. Kan sudah dimakan dan bukankah rasanya enak. Lalu, bukankah tempatnya menyenangkan?
Iya juga ya. Hm, Ini Medan memang harus pakai kata ‘Bung’. Kalimat itu sudah pas, jadi jangan dicerai-berai nanti jadi tak afdol.
Baiklah, untuk kenangan di seberang DPRD Medan: Medan tetap Ini Medan Bung! (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/