30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ada Telur di Lapangan Merdeka

Senin awal pekan lalu saya begitu ingin ke Lapangan Merdeka. Bagaimana tidak, ada telur raksasa di lapangan itu. Apalagi, dari kabar yang saya dengar, lapangan itu penuh dengan ornamen Melayu; warna cenderung dipenuhi dengan kuning dan hijau.

Maka, saya kendarai si Lena (sepeda motor saya) ketika hari belum siang benar. Ya, kira-kira pukul sepuluh pagi. Dalam hati, saya berharap akan menemukan keindahan di Lapangan Merdeka itu. Terbayang dalam otak saya: Festival Budaya Melayu Agung.

Akibat harapan terlalu hebat, saya relakan si Lena parkir jauh dari Lapangan Merdeka; saya takut nanti tidak mendapat parkir karena Lapangan Merdeka tentunya ramai. Saya pun memilih sebuah gedung tua yang telah dipugar oleh sebuah media ntuk dijadikan kantor. Letak kantor ini berada di Jalan Ahmad yani alias Kesawan. Nah, dari kantor itu saya berjalan.

Lumayan menyenangkan pilihan saya itu. Saya merasa menjadi wisatawan. Setidaknya, saya dipandang seperti itu oleh beberapa orang yang berada di dalam mobil yang melintas di Jalan Ahmad Yani; mungkin mereka asing melihat saya yang mengenakan jaket, bertas ransel, dan berjalan di trotoar yang sempit. Terserahlah, yang penting saya merasa senang. Begitu pun ketika saya harus berjalan miring karena mobil berdesakan di lampu merah depan kantor PT London Sumatera sementara trotoar penuh dengan parkir sepeda motor.

Setelah berhasil menyeberang, saya pun memasuki kawasan Lapangan Merdeka. Hm, ada perasaan tak enak menyergap; mengapa tak terlihat ramai? Tak ingin kecewa, saya pun melintasi warung-warung makanan yang ada di pinggir Lapangan Merdeka itu; dari warung makanan cepat saji ala luar negeri hingga makanan cepat saji ala dalam negeri. Fiuh… tetap saja sepi.

Sialnya lagi, gerbang tengah menuju lapangan di kawasan itu malah ditutup. Jadi, untuk masuk ke lapangan saya harus memutar; masuk melalui gerbang di seberang Kantor Pos. Kenyataan ini langsung saja membuat saya mengutuk diri: kenapa harus memarkirkan si Lena sedemikian jauh; lihatlah masih banyak tempat yang kosong untuk parkir.

Tapi sudahlah, kata orangtua, nasi sudah jadi bubur. Saya masuki juga arena Festival Budaya Melayu Agung itu. Begitu masuk lapangan, mata saya dihadang sebuah panggung yang besar. Di hadapannya ada tenda besar yang berisikan bangku-bangku berlapiskan kain. Semuanya putih; mulai dari panggung, tenda, hingga kursi. Di antara warna putih itu terselip warna kuning dan hijau, tidak besar namun tampak mencolok. Di sisi kiri dan kanan tenda terdapat beberapa stand berbaris; warnanya juga putih. Sayang, saya tidak menemukan yang khas, selain hanya baru satu dua yang buka, yang dipajang pun tidak begitu “Melayu’. Mengecewakan.

Tapi sudahlah, kata orangtua lainnya, di saat gelap pasti ada terang. Maka, saya pun mencari terang itu. Dan, saya menemukannya!

Di ujung sana, terlihat sebuah telur raksasa. Buru-buru saya langkahkan kaki, sama sekali saya tidak melirik sekian stan yang berada di dekat panggung di sisi tenda. Saking buru-burunya, saya seakan berlari saja.
Setelah sampai, langsung saya dekati telur raksasa itu. Di sisinya ada papan yang ditempeli semacam pemberitahuan. Di situ tertulis kalau telur raksasa ini mendapat rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebaik mozaik telur terbesar. Mozaik kulit telur terbesar dengan ukuran 3 meter x 5 meter yang terdapat 8 ribu kulit telur dengan aneka lukisan wajah dan bentuk. Wow.

Penasaran, saya pun meraba telur itu. Halus. Seperti keramik. Apanya yang telur! Inilah kebodohan saya, mana mungkin telur sebesar itu kan? Ini adalah sebuah karya yang membentuk kulit telur menjadi satu telur besar. Bahannya pun tidak hanya kulit telur, makanya baca petunjuk di samping monumen Kota Medan yang baru ini! Anda penasaran? Silakan baca sendiri ya…. hehehehe.

Setelah saya perhatikan lebih dalam ternyata ada beberapa lukisan yang tersimpan dari telur raksasa itu (ini juga sesuai petunjuk). Jadi, dari pecahan kulit yang disusun, jika diperhatikan lebih dalam akan terlihat beberapa lukisan. Hm, menarik juga.

Yang agak menggugah pikiran saya adalah keberadaan ornamen semacam ulos di tengah-tengah telur itu. Kenapa? Maksudnya, entah karena kebodohan saya, yang jelas saya tidak melihat hubungan telur dengan ornamen itu? Adakah yang bisa memberitahu saya? Setidaknya, di petunjuk samping telur itu juga tidak diterangkan. Ah,  apakah ini sebuah pesanan. Tapi tunggu dulu, jangan sangka pesanan itu harus dari sponsor semata; meskipun hal itu bisa sangat mungkin. Kadang, seorang kreator memang dihadapi oleh beberapa pesanan. Misalnya begini, karena saya pernah tinggal di Jogjakarta dan Langsa, bukankah dua kota itu sering saya masukan dalam lantun atau catatan saya? Ada juga pesanan yang sengaja dibuat si kreator untuk ajang unjuk gigi.

Tapi, sudahlah, setidaknya kepenasaran saya untuk melihat telur di Lapangan Merdeka telah tuntas. Saya bangga karena Medan berani menciptakan sebuah ikon baru dan tidak berharap pada peninggalan saya. Ya, saya bangga dengan itu walau dengan beberapa ketidakpuasan; sebuah catatan untuk saya pribadi tentunya.

Saya pun melangkahkan kaki lagi menuju gedung tua yang telah dipugar menjadi kantor sebuah harian di Medan. Lalu lintas makin ramai, tidak seperti saya pergi tadi. Saya kesulitan menyeberang. Zebra cross di Jalan Pulau Pinang terkesan setengah hati. Dia tidak penuh. Zebra cross hanya untuk jalur yang menuju lampu merah depan kantor PT London Sumatera, sedangkan jalur yang berbelok kanan menuju jalan tempat mantan Deli Plasa berada tidak ada. Saya harus ekstra hati-hati. Sumpah…, nyesal juga saya tinggalkan Lena di sana. Ah. (*)

Senin awal pekan lalu saya begitu ingin ke Lapangan Merdeka. Bagaimana tidak, ada telur raksasa di lapangan itu. Apalagi, dari kabar yang saya dengar, lapangan itu penuh dengan ornamen Melayu; warna cenderung dipenuhi dengan kuning dan hijau.

Maka, saya kendarai si Lena (sepeda motor saya) ketika hari belum siang benar. Ya, kira-kira pukul sepuluh pagi. Dalam hati, saya berharap akan menemukan keindahan di Lapangan Merdeka itu. Terbayang dalam otak saya: Festival Budaya Melayu Agung.

Akibat harapan terlalu hebat, saya relakan si Lena parkir jauh dari Lapangan Merdeka; saya takut nanti tidak mendapat parkir karena Lapangan Merdeka tentunya ramai. Saya pun memilih sebuah gedung tua yang telah dipugar oleh sebuah media ntuk dijadikan kantor. Letak kantor ini berada di Jalan Ahmad yani alias Kesawan. Nah, dari kantor itu saya berjalan.

Lumayan menyenangkan pilihan saya itu. Saya merasa menjadi wisatawan. Setidaknya, saya dipandang seperti itu oleh beberapa orang yang berada di dalam mobil yang melintas di Jalan Ahmad Yani; mungkin mereka asing melihat saya yang mengenakan jaket, bertas ransel, dan berjalan di trotoar yang sempit. Terserahlah, yang penting saya merasa senang. Begitu pun ketika saya harus berjalan miring karena mobil berdesakan di lampu merah depan kantor PT London Sumatera sementara trotoar penuh dengan parkir sepeda motor.

Setelah berhasil menyeberang, saya pun memasuki kawasan Lapangan Merdeka. Hm, ada perasaan tak enak menyergap; mengapa tak terlihat ramai? Tak ingin kecewa, saya pun melintasi warung-warung makanan yang ada di pinggir Lapangan Merdeka itu; dari warung makanan cepat saji ala luar negeri hingga makanan cepat saji ala dalam negeri. Fiuh… tetap saja sepi.

Sialnya lagi, gerbang tengah menuju lapangan di kawasan itu malah ditutup. Jadi, untuk masuk ke lapangan saya harus memutar; masuk melalui gerbang di seberang Kantor Pos. Kenyataan ini langsung saja membuat saya mengutuk diri: kenapa harus memarkirkan si Lena sedemikian jauh; lihatlah masih banyak tempat yang kosong untuk parkir.

Tapi sudahlah, kata orangtua, nasi sudah jadi bubur. Saya masuki juga arena Festival Budaya Melayu Agung itu. Begitu masuk lapangan, mata saya dihadang sebuah panggung yang besar. Di hadapannya ada tenda besar yang berisikan bangku-bangku berlapiskan kain. Semuanya putih; mulai dari panggung, tenda, hingga kursi. Di antara warna putih itu terselip warna kuning dan hijau, tidak besar namun tampak mencolok. Di sisi kiri dan kanan tenda terdapat beberapa stand berbaris; warnanya juga putih. Sayang, saya tidak menemukan yang khas, selain hanya baru satu dua yang buka, yang dipajang pun tidak begitu “Melayu’. Mengecewakan.

Tapi sudahlah, kata orangtua lainnya, di saat gelap pasti ada terang. Maka, saya pun mencari terang itu. Dan, saya menemukannya!

Di ujung sana, terlihat sebuah telur raksasa. Buru-buru saya langkahkan kaki, sama sekali saya tidak melirik sekian stan yang berada di dekat panggung di sisi tenda. Saking buru-burunya, saya seakan berlari saja.
Setelah sampai, langsung saya dekati telur raksasa itu. Di sisinya ada papan yang ditempeli semacam pemberitahuan. Di situ tertulis kalau telur raksasa ini mendapat rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebaik mozaik telur terbesar. Mozaik kulit telur terbesar dengan ukuran 3 meter x 5 meter yang terdapat 8 ribu kulit telur dengan aneka lukisan wajah dan bentuk. Wow.

Penasaran, saya pun meraba telur itu. Halus. Seperti keramik. Apanya yang telur! Inilah kebodohan saya, mana mungkin telur sebesar itu kan? Ini adalah sebuah karya yang membentuk kulit telur menjadi satu telur besar. Bahannya pun tidak hanya kulit telur, makanya baca petunjuk di samping monumen Kota Medan yang baru ini! Anda penasaran? Silakan baca sendiri ya…. hehehehe.

Setelah saya perhatikan lebih dalam ternyata ada beberapa lukisan yang tersimpan dari telur raksasa itu (ini juga sesuai petunjuk). Jadi, dari pecahan kulit yang disusun, jika diperhatikan lebih dalam akan terlihat beberapa lukisan. Hm, menarik juga.

Yang agak menggugah pikiran saya adalah keberadaan ornamen semacam ulos di tengah-tengah telur itu. Kenapa? Maksudnya, entah karena kebodohan saya, yang jelas saya tidak melihat hubungan telur dengan ornamen itu? Adakah yang bisa memberitahu saya? Setidaknya, di petunjuk samping telur itu juga tidak diterangkan. Ah,  apakah ini sebuah pesanan. Tapi tunggu dulu, jangan sangka pesanan itu harus dari sponsor semata; meskipun hal itu bisa sangat mungkin. Kadang, seorang kreator memang dihadapi oleh beberapa pesanan. Misalnya begini, karena saya pernah tinggal di Jogjakarta dan Langsa, bukankah dua kota itu sering saya masukan dalam lantun atau catatan saya? Ada juga pesanan yang sengaja dibuat si kreator untuk ajang unjuk gigi.

Tapi, sudahlah, setidaknya kepenasaran saya untuk melihat telur di Lapangan Merdeka telah tuntas. Saya bangga karena Medan berani menciptakan sebuah ikon baru dan tidak berharap pada peninggalan saya. Ya, saya bangga dengan itu walau dengan beberapa ketidakpuasan; sebuah catatan untuk saya pribadi tentunya.

Saya pun melangkahkan kaki lagi menuju gedung tua yang telah dipugar menjadi kantor sebuah harian di Medan. Lalu lintas makin ramai, tidak seperti saya pergi tadi. Saya kesulitan menyeberang. Zebra cross di Jalan Pulau Pinang terkesan setengah hati. Dia tidak penuh. Zebra cross hanya untuk jalur yang menuju lampu merah depan kantor PT London Sumatera, sedangkan jalur yang berbelok kanan menuju jalan tempat mantan Deli Plasa berada tidak ada. Saya harus ekstra hati-hati. Sumpah…, nyesal juga saya tinggalkan Lena di sana. Ah. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/