Anda ingin menjadi penulis, pengarang, cerpenis, prosais, novelis, atau apapun istilahnya? Maka, akan saya tanya dulu, berapa kata yang Anda kuasai? Bisakah Anda menghitungnya? Setelah itu, dari kata yang Anda kuasai, berapa kata yang bisa Anda definisikan?
Dulu, pada 2006, ketika masih memimpin media sastra BEN! di Jogjakarta, saya sempat grogi kedatangan tamu. Maklum, itulah pertama kali saya dikunjungi dalam kapasitas kerjaan. Apalagi tamu itu orang Jepang. Cewek. Cakep pula.
Ketika itu, tamunya bernama Siho. Seorang peneliti sastra Indonesia dari Universitas Tokyo. Dan saat itu, dia lagi meneliti sastra komunitas. Nah, karena media saya berbasis komunitas dan eksis sejak 2001 (baca, terbit tanpa henti dua pekan sekali) adalah wajar dia mengunjungi saya bukan? Masalahnya, yang tak wajar adalah sikap saya.
Ya, saya terlalu grogi. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Siho — meski dengan bahasa Indonesia yang fasih — terlalu sulit saya cerna. Tak pelak, pertemuan pertama kami tidak memuaskan. Suasana begitu tegang. Beruntung, pertemuan terus berulang. Tempatnya pun dipilih agar suasana jadi santai. Angkringan di belakang Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada jadi tempat favorit: duduk lesehan sambil menikmati kopi jahe dan nasi kucing saat malam sudah tua.
Setelah itu, pertemuan jadi cair. Pertanyaan Siho dan jawaban saya tak lagi standar. Kami — biasanya Siho kalau menemui saya selalu ditemui cerpenis yang bernama Dwicipta — pun mulai bisa bercanda. Misalnya ketika dia salah menyebut nama saya, maka saya akan ngakak. Maklumlah karena sudah akrab, dia tidak lagi memanggil saya Muram, tapi langsung menyebut saya dengan nama Kenon; nama panggilan kecil saya. Nah, karena dari Jepang — meski sudah sangat fasih berbahasa Indonesia — dia tetap tak bisa melepaskan kejepangannya. Dalam bahasa Jepang kan tidak mengenal akhir kata dengan bunyi ‘n’. Untuk akhiran ‘n’ mereka memakai ‘ng’. Nah, ketika dia bertanya pada saya yang akhirnya membuat tawa mengemuka adalah bunyi kalimat ini: jadi Bang Kenong, media Beng yang Abang dirikang ini sudah dalam posisi finansial amang?
Begitulah… Kenangan di atas sengaja saya lantunkan untuk menunjukkan apa yang saya alami sepekan terakhir. Ya, pekan terakhir memang cukup banyak tamu yang hadir di kantor saya. Satu di antaranya adalah Panitia Natal Nasional Partai Demokrat. Cukup ramai. Setidaknya rombongan tamu itu diangkut oleh tiga mobil.
Nah karena ramai, saya sempat merasakan suasana grogi persis menghadapi kunjungan Siho beberapa tahun silam. Beruntung rombongan itu dipimpin Hinca Panjaitan, sosok yang sudah akrab dengan kantor saya. Jika saja tidak ada Hinca, mungkin pertemuan itu akan beda. Tegang dan serius. Kamis lalu, saya dan tiga rekan kantor serta belasan kader Demokrat itu malah sibuk membagi tawa. Ha ha ha ha.
Harus saya akui, berhadapan dengan orang banyak atau dengan orang baru butuh teknik tersendiri. Apalagi, kapasitas kita untuk mewakili perusahaan. Tapi, sesantai apapun sikap kita dan tamu, setiap kalimat kita mencerminkan perusahaan kita bukan? Kalau untuk kongkow-kongkow, mungkin bukan masalah besar: nipu-nipu pun dibenarkan bukan?
Dan ketika kader Demokrat itu datang dengan harapan bantuan publikasi dari koran saya, maka saya katakan: terima kasih karena percaya pada kami. Dan ketika Siho, beberapa tahun silam, datang dengan harapan saya bisa memberi informasi soal media sastra yang saya bangun, maka saya katakan: terima kasih karena menganggap kami ada. Tidak mungkin saya jawab ‘wani piro’ untuk Demokrat dan Siho bukan?
Begitulah, sejatinya, menyambut tamu bisa juga menjadi beban. Ini masih soal tamu yang datang baik-baik, bagaimana jika tamu yang datang adalah orang yang tidak suka dengan perusahaan tempat kita bekerja. Artinya, dia protes dengan sikap perusahaan kita yang menurutnya tidak fair; pemberitaan berat sebelah dan sebagainya. Bagaimana sikap kita? Ikut keras juga? Pasalnya dia tidak mau mendengar penjelasan kita. Tentu bisa saja kita lakukan hal itu, mengingat tamu itu kurang ajar, tapi bisa juga kita bersikap dewasa. Misalnya menjawab: terima kasih sudah langsung mendatangi kami, kami beri hak jawab Anda, jika tidak puas silakan laporkan kami ke polisi. Atau, ketika ada penulis yang mendatangi kita karena merasa karyanya yang dijiplak dimuat di media kita. Maka, kita pun bisa menjawab: akan kami buat ralat, maaf untuk ketidaknyamanan ini. Begitu kan?
Fiuh, ini yang saya maksud, siapa bilang menyambut tamu itu gampang. Ini bukan hanya sekadar memberikan minuman dan panganan. Ada bahasa lain yang wajib kita kuasai yakni kedewasaan. Dan kedewasaan itu tidak bisa muncul dalam sehari dua hari, butuh proses yang panjang. Nanti, ketika tahap itu sudah dirasakan, ada kenikmatan tersendiri saat menemui tamu perusahaan. Percayalah.
Untuk merasakan itu, kerjalah di perusahaan media di Medan. Fiuh, tamu seakan tak berhenti. Sampai-sampai di kantor saya ada papan pengumuman jadwal tamu yang datang. Pekan lalu, sehari bisa dua tamu. Bisa bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bersikap dewasa tadi?
Apakah kalimat saya di atas bisa dibilang sebagai keluhan? Tunggu dulu. Saya malah menikmati hal itu. Pasalnya, semakin banyak tamu yang saya terima, bukankah itu bisa membuat saya makin dewasa? Jadi, perasaan grogi seperti yang saya rasakan saat menerima Siho beberapa waktu silam mulia hilang. Ha ha ha. Ayo terima tamumu jangan sampai dia menunggu. (*)