25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Tak Ada Bunga Melati di Pajak Melati

Ramadhan Batubara

Kali ini soal nama. Ada banyak nama tempat di Indonesia ini yang tidak sesuai dengan namanya. Di Medan, nama Pajak Melati menggugah penasaran saya. Maka, kemarin saya datangi tempat itu.

Pukul setengah tiga sore. Saya pacu Lena membelah jalanan kota. Saya sangat percaya diri dengan kondisi si Lena. Pasalnya, sepeda motor keluaran tahun 2004 itu sehari sebelumnya telah saya servis.

Dari Jalan Panglima Denai (tempat tinggal saya) hingga Jalan Brigjen Katamso perjalanan sangat lancar. Begitu juga ketika berbelok ke Jalan Avrost. Bahkan, saya sempat membeli lima potong tahu yang ramai dijual di seputaran jembatan yang ada di Jalan itu.

Tapi, begitu melewati pos penjagaan dan berbelok ke kiri menuju Jalan SMA 2, si Lena tiba-tiba merajuk. Dia mogok. Sial. Saya cek bensin masih penuh. Saya lihat busi, tak bermasalah. Ampun, mendorong pun jadi langkah terakhir.

Sekira 500 meter dari SMA 2, ada bengkel. Saya mampir di sana dan berharap Lena dapat disembuhkan. Pajak Melati tujuan saya masih jauh. Ah…tukang bengkelnya kurang menjanjikan. Dia tak mendengar keluhan saya, dia malah sibuk membongkar Lena hingga bugil. Mau jam berapa lagi tiba di Pajak Melati!

Dua puluh ribu ongkos obati si Lena. Fiuh. Kata sang tukang bengkel, tenggorokan Lena agak sakit, jadi kurang lancar dia minum bensin. Sudahlah.

Berangkat. Tiba di Pajak Melati pukul lima. Sudah mulai sedikit pengunjungnya. Namun, para penjaja barang-barang bekas dari luar negeri itu tetap saja semangat. Saya masuk gang yang penuh dengan baju. Terus masuk ke dalam dan saya dapati berbagai barang yang menggoda. Bayangkan saja, di atas baju yang ditumpuk, terpampang harganya: sepuluh ribu tiga.

Saya masuk ke subgang; ada banyak gang di gang yang saya masuki tadi. Dan, saya memilih duduk di sebuah lapak yang telah tutup. Di sinilah saya menulis lantun ini. Menarik. Ada suasana yang menyenangkan; di samping saya ada dua bapak main catur. Hahahah… Mereka kurang fokus, langkah mereka beberapa kali terhenti karena ada pembeli.

Begitulah, duduk di jantung Pajak Melati, saya kembali berpikir soal nama tempat ini. Pasalnya, sejak tadi saya tak melihat ada yang menjual bunga melati. Pajak ini — bahasa Indonesianya, pasar — hanya menjual barang bekas impor. Berbagai barang terpampang, semuanya dijual dengan harga miring. Suasananya mirip Pasar Ular di Jakarta, bedanya di sana cenderung menjual barang elektronika dan parfum impor. Di sini, ya itu tadi, baju dan sepatu.

Persis dengan Pasar Ular, beberapa kali ke sana, saya memang tak menemukan pedagang yang menjual ular. Jadi, saya pun paham kalau di sini tak ada yang jual melati.

Soal nama yang berbeda dengan apa yang dijual memang tidak asing lagi. Selain Pajak Melati, di Medan juga ada Pajak Ikan yang sama sekali tidak menjual ikan: suatu saat saya akan ke sana.

Nah, ada juga nama tempat — yang menggunakan nama ‘pasar’ — yang cenderung sesuai dengan barang yang dijual. Contohnya, di Solo. Di sana ada Pasar Kembang dan yang dijual memang kembang. Tidak aneh bukan? Tapi, selang beberapa puluh kilometer ke arah barat, ada juga Pasar Kembang tepatnya di Jogja. Di kota itu, Pasar Kembang juga menjual kembang, tapi kembang yang dimaksud adalah ‘kembang’. Hehehehe, perempuan maksudnya. Ya, Pasar Kembang di Jogja memang dikenal dengan wisata seksnya.

Tapi, itulah nama pasar atau pajak yang menggoda pikiran saya. Pajak Melati adalah ruang yang menarik di kota ini. Kemunculannya sebagai tempat barang bekas impor memang terhitung baru. Sebelumnya, Jalan Mongonsidi adalah raja barang-barang itu. Bahkan, ruang jual di sana begitu indentik dengan barang bekas. Hingga, barang bekas impor pun dinamakan dengan Monza yang merupakan akronim dari Mongonsidi Plaza.

Nah, kehadiran Pajak Melati, secara langsung atau tidak telah menggeser keberadaan ‘plaza’ di Jalan Mongonsidi. Di jalan itu, kini hanya tinggal beberapa kios. Dan barang yang dijual pun semakin terbatas, hanya tas dan ambal.

Tapi sudahlah, kunjungan saya ke Pajak Melati memang harus berakhir. Ada batasan waktu. Kalau saja Lena tak mengulah, mungkin saya bisa lebih lama ‘mengobrak-abrik’ pajak itu. Saya pulang. Ada nasi goreng dengan andaliman yang menunggu saya di Kafe Tradisi di Jalan Setia Budi. Ada yang mau ikut? (*)

Ramadhan Batubara

Kali ini soal nama. Ada banyak nama tempat di Indonesia ini yang tidak sesuai dengan namanya. Di Medan, nama Pajak Melati menggugah penasaran saya. Maka, kemarin saya datangi tempat itu.

Pukul setengah tiga sore. Saya pacu Lena membelah jalanan kota. Saya sangat percaya diri dengan kondisi si Lena. Pasalnya, sepeda motor keluaran tahun 2004 itu sehari sebelumnya telah saya servis.

Dari Jalan Panglima Denai (tempat tinggal saya) hingga Jalan Brigjen Katamso perjalanan sangat lancar. Begitu juga ketika berbelok ke Jalan Avrost. Bahkan, saya sempat membeli lima potong tahu yang ramai dijual di seputaran jembatan yang ada di Jalan itu.

Tapi, begitu melewati pos penjagaan dan berbelok ke kiri menuju Jalan SMA 2, si Lena tiba-tiba merajuk. Dia mogok. Sial. Saya cek bensin masih penuh. Saya lihat busi, tak bermasalah. Ampun, mendorong pun jadi langkah terakhir.

Sekira 500 meter dari SMA 2, ada bengkel. Saya mampir di sana dan berharap Lena dapat disembuhkan. Pajak Melati tujuan saya masih jauh. Ah…tukang bengkelnya kurang menjanjikan. Dia tak mendengar keluhan saya, dia malah sibuk membongkar Lena hingga bugil. Mau jam berapa lagi tiba di Pajak Melati!

Dua puluh ribu ongkos obati si Lena. Fiuh. Kata sang tukang bengkel, tenggorokan Lena agak sakit, jadi kurang lancar dia minum bensin. Sudahlah.

Berangkat. Tiba di Pajak Melati pukul lima. Sudah mulai sedikit pengunjungnya. Namun, para penjaja barang-barang bekas dari luar negeri itu tetap saja semangat. Saya masuk gang yang penuh dengan baju. Terus masuk ke dalam dan saya dapati berbagai barang yang menggoda. Bayangkan saja, di atas baju yang ditumpuk, terpampang harganya: sepuluh ribu tiga.

Saya masuk ke subgang; ada banyak gang di gang yang saya masuki tadi. Dan, saya memilih duduk di sebuah lapak yang telah tutup. Di sinilah saya menulis lantun ini. Menarik. Ada suasana yang menyenangkan; di samping saya ada dua bapak main catur. Hahahah… Mereka kurang fokus, langkah mereka beberapa kali terhenti karena ada pembeli.

Begitulah, duduk di jantung Pajak Melati, saya kembali berpikir soal nama tempat ini. Pasalnya, sejak tadi saya tak melihat ada yang menjual bunga melati. Pajak ini — bahasa Indonesianya, pasar — hanya menjual barang bekas impor. Berbagai barang terpampang, semuanya dijual dengan harga miring. Suasananya mirip Pasar Ular di Jakarta, bedanya di sana cenderung menjual barang elektronika dan parfum impor. Di sini, ya itu tadi, baju dan sepatu.

Persis dengan Pasar Ular, beberapa kali ke sana, saya memang tak menemukan pedagang yang menjual ular. Jadi, saya pun paham kalau di sini tak ada yang jual melati.

Soal nama yang berbeda dengan apa yang dijual memang tidak asing lagi. Selain Pajak Melati, di Medan juga ada Pajak Ikan yang sama sekali tidak menjual ikan: suatu saat saya akan ke sana.

Nah, ada juga nama tempat — yang menggunakan nama ‘pasar’ — yang cenderung sesuai dengan barang yang dijual. Contohnya, di Solo. Di sana ada Pasar Kembang dan yang dijual memang kembang. Tidak aneh bukan? Tapi, selang beberapa puluh kilometer ke arah barat, ada juga Pasar Kembang tepatnya di Jogja. Di kota itu, Pasar Kembang juga menjual kembang, tapi kembang yang dimaksud adalah ‘kembang’. Hehehehe, perempuan maksudnya. Ya, Pasar Kembang di Jogja memang dikenal dengan wisata seksnya.

Tapi, itulah nama pasar atau pajak yang menggoda pikiran saya. Pajak Melati adalah ruang yang menarik di kota ini. Kemunculannya sebagai tempat barang bekas impor memang terhitung baru. Sebelumnya, Jalan Mongonsidi adalah raja barang-barang itu. Bahkan, ruang jual di sana begitu indentik dengan barang bekas. Hingga, barang bekas impor pun dinamakan dengan Monza yang merupakan akronim dari Mongonsidi Plaza.

Nah, kehadiran Pajak Melati, secara langsung atau tidak telah menggeser keberadaan ‘plaza’ di Jalan Mongonsidi. Di jalan itu, kini hanya tinggal beberapa kios. Dan barang yang dijual pun semakin terbatas, hanya tas dan ambal.

Tapi sudahlah, kunjungan saya ke Pajak Melati memang harus berakhir. Ada batasan waktu. Kalau saja Lena tak mengulah, mungkin saya bisa lebih lama ‘mengobrak-abrik’ pajak itu. Saya pulang. Ada nasi goreng dengan andaliman yang menunggu saya di Kafe Tradisi di Jalan Setia Budi. Ada yang mau ikut? (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/