26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Helm Tak Hanya untuk Pelindung

Adakah helm bisa membuat orang berkendara roda dua di Kota Medan merasa aman? Silahkan menjawab sesuka hati, tapi bagi saya helm saja tak cukup.

Itulah sebab ketika menjalani jalan-jalan kota, baik jalan protokol maupun jalan kecil, pengendara banyak yang tak memakai helm. Melepas helm saat berkendara pun seakan menjadi tren. Perhatikanlah, banyak helm tergantung di sepeda motor meski sedang melaju di jalanan. Helm digunakan ketika ada polisi saja. Ya, Kesadaran helm sebagai pelindung memang kurang dihayati. Tapi, bukan soal itu yang ingin saya lantunkan.

Kali ini saya ingin bicara tentang kejahatan di jalanan. Dan, pelaku kejahatan biasanya memakai helm yang cukup safety. Helm yang dipakai bukan helm proyek, tapi helm tertutup yang sangat memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Artinya, helm digunakan pun bukan untuk pelindung dari kemungkinan kecelakaan, tapi pelindung wajah dari tatapan korban maupun saksi mata.

Kehadiran para penjahat tadi memang mengkhawatirkan. Medan bukan lagi tempat yang aman. Jika dulu kekhawatiran terletak pada lalulintas yang semrawut, kini bertambah gila: jalanan sepi malah harus diwaspadai. Buktinya, beberapa waktu lalu, kawan saya pulang kerja dikerjai.

Memang dia pulang larut malam dan perempuan pula, tapi untuk kenyamanan jalan, harus tak peduli malam dan perempuan bukan?

Ceritanya, malam itu sepulang kerja (maklum kerja di koran pulang memang harus dini hari) seperti biasa. Tiba di Jalan Tritura dia risih dengan sebuah sepeda motor yang berada di belakangnya. Saat itu jalanan sepi. Sepeda motor di belakangnya itu menyalakan lampu jauh. Harusnya lampu jauh di tengah malam hari kan sebagai sinyal untuk sebuah manuver kendaraan bukan? Ya, seperti klakson. Tapi, lampu jauh itu tak berganti menjadi lampu standar, malah sinarnya mencurigakan. Kawan saya melirik via kaca spion. Sesaat dia berpikir kalau pengendara itu tak bisa menggunakan lampu, tapi mengapa lajunya lambat; seperti mengawasi. Takut kenapa-kenapa, kawan saya memilih pinggir jalan, maksudnya biar pengendara di belakangnya bisa leluasa menyalip.

Benar si pengendara menyalip, tapi begitu posisi sejajar, dia malah memepet kawan saya tadi. Dia sendirian. Tangan kirinya meraih tas sandang kawan saya yang dikaitkan di sepeda motor, tangan kanannya tetap menarik gas. Tak pelak kawan saya panik. Saat itu dini hari dan jalanan sepi. Tarik menarik tas bak dalam film pun terjadi. Kawan saya ngotot, begitu juga si bandit. Setidaknya sepanjang sepuluh meter tarik menarik terjadi. Si bandit langsung ngacir setelah tak berhasil. Kawan saya lega.

“Harusnya aku ambil sisi kanan jalan, mepet ke pulau jalan, biar dia tak bisa meraih tas. Kan sulit, tangan kanannya kan harus terus menarik gas,” begitu kata kawan saya keesokan harinya.
Perhatikan kalimat itu, harusnya dia memaki si bandit bukan. Setidaknya marah-marah kepada saya seakan saya yang menjadi pelaku: hal itu sering kita lakukan bukan? Maksud saya, ketika kita tak mampu berhadapan dengan sesuatu, maka kita lampiaskan pada yang lain. Contohnya, ketika kita kena marah bos, maka kita akan bicara seolah melawan bos pada orang lain. He he he he. Tapi kawan saya ini aneh, dia malah mencari solusi dari peristiwa yang dia alami.
“Dia kan sendirian, jadi mangsa di sisi kanan pasti sulit dia incar,” tambah kawan saya.

“Kenapa gak ditendang saja sepeda motornya, biar dia nyungsep di jalan raya,” balas saya.

Kawan saya diam. Tak lama kemudian, “Kasihan, dia tak pakai helm. Kalau jatuh, bisa parah dia,” jawabnya.
Ha ha ha, begitulah. Ternyata untuk menjambret atau merampok, helm juga bukan sesuatu yang wajib dipakai untuk melindungi wajah. Hebat bukan? Jadi, ketika untuk melakukan kejahatan saja tak harus pakai helm, bagaimana dengan yang tidak melakukan kejahatan?

Itulah sebab saya katakan, helm saja tak cukup. Helm bukan sesuatu yang penting bagi sebagian orang. Ya, meski dia pernah melihat pengendara sepeda motor yang pecah kepala ketika mengalami kecelakaan. Kepala pecah bukan karena helm, tapi karena kecelakaan, mungkin itu pikirnya. Tapi, kenapa helm di kantor saya masih sering hilang? Ah, entahlah.

Lalu, adakah helm bisa membuat orang berkendara roda dua di Kota Medan merasa aman?  Saya jawab tidak. Buktinya, dua penjambret siang kemarin dimassa di simpang Menteng Tujuh. Dia dikeroyok ketika usahanya gagal. Kenapa helm tak bisa membuatnya aman? Apakah karena dia tak pakai helm hingga gerakannya diketahui? Tidak juga. Dia ketahuan, itu saja. Tapi, helm membuatnya tak aman karena dia dipukuli dengan helm oleh warga.
Begitulah, sekali lagi ini bukan soal standar helm dan manfaatnya, ini soal kejahatan di jalanan. Dan, helm bisa juga digunakan untuk menumpas penjahat bukan? Bagaimana, sepakat? (*)

Adakah helm bisa membuat orang berkendara roda dua di Kota Medan merasa aman? Silahkan menjawab sesuka hati, tapi bagi saya helm saja tak cukup.

Itulah sebab ketika menjalani jalan-jalan kota, baik jalan protokol maupun jalan kecil, pengendara banyak yang tak memakai helm. Melepas helm saat berkendara pun seakan menjadi tren. Perhatikanlah, banyak helm tergantung di sepeda motor meski sedang melaju di jalanan. Helm digunakan ketika ada polisi saja. Ya, Kesadaran helm sebagai pelindung memang kurang dihayati. Tapi, bukan soal itu yang ingin saya lantunkan.

Kali ini saya ingin bicara tentang kejahatan di jalanan. Dan, pelaku kejahatan biasanya memakai helm yang cukup safety. Helm yang dipakai bukan helm proyek, tapi helm tertutup yang sangat memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Artinya, helm digunakan pun bukan untuk pelindung dari kemungkinan kecelakaan, tapi pelindung wajah dari tatapan korban maupun saksi mata.

Kehadiran para penjahat tadi memang mengkhawatirkan. Medan bukan lagi tempat yang aman. Jika dulu kekhawatiran terletak pada lalulintas yang semrawut, kini bertambah gila: jalanan sepi malah harus diwaspadai. Buktinya, beberapa waktu lalu, kawan saya pulang kerja dikerjai.

Memang dia pulang larut malam dan perempuan pula, tapi untuk kenyamanan jalan, harus tak peduli malam dan perempuan bukan?

Ceritanya, malam itu sepulang kerja (maklum kerja di koran pulang memang harus dini hari) seperti biasa. Tiba di Jalan Tritura dia risih dengan sebuah sepeda motor yang berada di belakangnya. Saat itu jalanan sepi. Sepeda motor di belakangnya itu menyalakan lampu jauh. Harusnya lampu jauh di tengah malam hari kan sebagai sinyal untuk sebuah manuver kendaraan bukan? Ya, seperti klakson. Tapi, lampu jauh itu tak berganti menjadi lampu standar, malah sinarnya mencurigakan. Kawan saya melirik via kaca spion. Sesaat dia berpikir kalau pengendara itu tak bisa menggunakan lampu, tapi mengapa lajunya lambat; seperti mengawasi. Takut kenapa-kenapa, kawan saya memilih pinggir jalan, maksudnya biar pengendara di belakangnya bisa leluasa menyalip.

Benar si pengendara menyalip, tapi begitu posisi sejajar, dia malah memepet kawan saya tadi. Dia sendirian. Tangan kirinya meraih tas sandang kawan saya yang dikaitkan di sepeda motor, tangan kanannya tetap menarik gas. Tak pelak kawan saya panik. Saat itu dini hari dan jalanan sepi. Tarik menarik tas bak dalam film pun terjadi. Kawan saya ngotot, begitu juga si bandit. Setidaknya sepanjang sepuluh meter tarik menarik terjadi. Si bandit langsung ngacir setelah tak berhasil. Kawan saya lega.

“Harusnya aku ambil sisi kanan jalan, mepet ke pulau jalan, biar dia tak bisa meraih tas. Kan sulit, tangan kanannya kan harus terus menarik gas,” begitu kata kawan saya keesokan harinya.
Perhatikan kalimat itu, harusnya dia memaki si bandit bukan. Setidaknya marah-marah kepada saya seakan saya yang menjadi pelaku: hal itu sering kita lakukan bukan? Maksud saya, ketika kita tak mampu berhadapan dengan sesuatu, maka kita lampiaskan pada yang lain. Contohnya, ketika kita kena marah bos, maka kita akan bicara seolah melawan bos pada orang lain. He he he he. Tapi kawan saya ini aneh, dia malah mencari solusi dari peristiwa yang dia alami.
“Dia kan sendirian, jadi mangsa di sisi kanan pasti sulit dia incar,” tambah kawan saya.

“Kenapa gak ditendang saja sepeda motornya, biar dia nyungsep di jalan raya,” balas saya.

Kawan saya diam. Tak lama kemudian, “Kasihan, dia tak pakai helm. Kalau jatuh, bisa parah dia,” jawabnya.
Ha ha ha, begitulah. Ternyata untuk menjambret atau merampok, helm juga bukan sesuatu yang wajib dipakai untuk melindungi wajah. Hebat bukan? Jadi, ketika untuk melakukan kejahatan saja tak harus pakai helm, bagaimana dengan yang tidak melakukan kejahatan?

Itulah sebab saya katakan, helm saja tak cukup. Helm bukan sesuatu yang penting bagi sebagian orang. Ya, meski dia pernah melihat pengendara sepeda motor yang pecah kepala ketika mengalami kecelakaan. Kepala pecah bukan karena helm, tapi karena kecelakaan, mungkin itu pikirnya. Tapi, kenapa helm di kantor saya masih sering hilang? Ah, entahlah.

Lalu, adakah helm bisa membuat orang berkendara roda dua di Kota Medan merasa aman?  Saya jawab tidak. Buktinya, dua penjambret siang kemarin dimassa di simpang Menteng Tujuh. Dia dikeroyok ketika usahanya gagal. Kenapa helm tak bisa membuatnya aman? Apakah karena dia tak pakai helm hingga gerakannya diketahui? Tidak juga. Dia ketahuan, itu saja. Tapi, helm membuatnya tak aman karena dia dipukuli dengan helm oleh warga.
Begitulah, sekali lagi ini bukan soal standar helm dan manfaatnya, ini soal kejahatan di jalanan. Dan, helm bisa juga digunakan untuk menumpas penjahat bukan? Bagaimana, sepakat? (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/