30 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Jangan Biarkan Sungai Deli Jadi Parit Busuk Raksasa

Sungai Deli dengan panjang 76 kilometer (km) melalui tiga wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kabupaten Karo dan Simalungun di hulu, Deliserdang dan Sergai di tengah serta Kota Medan di hilir hingga bermuara ke laut Belawan. Sayangnya, sepanjang DAS, sungai ini sudah tercemar. Dimulai dari hulu, air yang keruh menandakan sungai tercemar tanah dan unsur hara yang erosi, tergerus dari hutan dan lahan-lahan di sepanjang DAS.

MANFAATKAN SUNGAI: Warga  tinggal  sekitar aliran Sungai Deli  Jalan Kejaksaan Medan, beberapa hari lalu, ramai-ramai memanfaatkan  air sungai untuk mencuci  mandi.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
MANFAATKAN SUNGAI: Warga yang tinggal di sekitar aliran Sungai Deli di Jalan Kejaksaan Medan, beberapa hari lalu, ramai-ramai memanfaatkan air sungai untuk mencuci dan mandi.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Di tengah dan di hilir, limbah industri dan rumahtangga menambah kadar kerusakan ekosistem air sungai. Kadar BOD (Biological Oxygen Demand atau Kebutuhan Oksigen Biologis /KOB) dan COD (Chemical Oxygen Demand atau Kebutuhan Oksigen Kimiawi/KOK) sungai, dua indikator pengukuran kualitas air, bahkan diyakini sudah jauh melampaui ambang batas yang ditentukan.

Kerusakan ekosistem sungai di hilir sebenarnya sudah terdeteksi jauh-jauh hari, bahkan ketika Indonesia masih dijajah Belanda.
Menurut pemerhati lingkungan, Jaya Arjuna, sekitar 1905-an, bantaran Sungai Deli di sekitar lapangan Merdeka, menjadi pusat kehidupan Kota Medan yang sedang bertumbuh. Selain limbah rumahtangga, pabrik kertas dan industri kecil lainnya langsung membuang limbah ke Sungai Deli. Karena air sungai sudah tidak layak dijadikan sumber air bersih, Belanda membangun pabrik pengolahan air minum. Pengolahan air minum inilah yang menjadi cikal PDAM Tirtanadi saat ini.

Belanda juga membuat sungai baru sebagai alternatif masyarakat. “Yang dibuat Belanda yaitu Sungai Kera, Sungai Putih dan Sungai Bedera dan lainnya. (Sungai) ini dimanfaatkan sebagian orang perkotaan yang tidak dapat memanfaatkan air PDAM Tirtanadi,” ucap Jaya Arjuna saat ditemui di rumahnya di Jalan Utama, Rabu (17/4).

Perlahan namun pasti, eksploitasi DAS tanpa terkendali dan tanpa mempertimbangkan dampak ingkungan mulai merambah ke tengah dan hulu. Pencemaran sungai meluas, seiring meningkatnya aktivitas yang mendukung perkembangan wilayah dan pertambahan jumlah penduduk. Penebangan hutan di wilayah penyangga dan sumber air di DAS, memperburuk kondisi sungai dan mencemari sejak di hulu.

Saat ini, rendahnya kesadaran lingkungan dan kebiasaan buruk warga serta pengusaha yang membuang limbah di sungai, kian memperburuk kondisi sungai. Sampah rumahtangga dan limbah industri, hotel, rumahsakit dan limbah lain, campur aduk.

Pemerintah dari struktur terendah hingga pemerintah pusat tak mampu menegakkan supremasi hukum dalam melindungi lingkungan di sekitar DAS. Pembiaran penebangan hutan dengan berbagai alasan tanpa diikuti tindakan konservasi, atau bahkan kebijakan yang dengan sengaja memberi efek buruk bagi lingkungan, mempercepat proses kerusakan ekosistem Sungai Deli.

Prediksikan 20 Tahun Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Utara Ir Hj Hidayati MSi menduga, Sungai Deli akan menjadi parit busuk raksasa dalam 20 tahun ke depan. Kemungkinan itu bahkan bisa lebih cepat terjadi bila seluruh pihak tidak mengurangi ‘beban’ di ekosistem sungai dan tidak ada upaya nyata menyelamatkan lingkungan sungai.
“Bisa jadi kalau tidak di tangani dengan baik, akan jadi parbus (parit busuk),” ucapnya di kantornya di Jalan Teuku Daud, Selasa pekan lalu.

Saat ini saja, hasil pantauan dan pengujian BLH untuk kualitas air, Sungai Deli  tercemar 80 persen dari hulu, tengah dan hilir.  Polusi air terparah di Medan Utara di hilir. Untuk tengah masih kategori sedangkan dan kawasan hulu relatif normal.
Hidayati mejelaskan, ada dua parameter pengujian yaitu parameter domestik atau organik dan anorganik. Parameter domestik merupakan libah rumah tangga, hotel maupun tempat makan. Sedang parameter anorganik terdapat limbah pabrik yang mengandung logam.

Hidayati mengakui, ada 40 industri pabrik besar yang beroperasi di sekitar Sungai Deli dan membuang langsung limbahnya ke sungai. “Kalau itu, yang menindaknya adalah pemerintah kabupaten dan kota,” ucapnya.
Selain limbah industri, pencemaran air akibat penumpukan sampah di sekitar sungai. Hasil temuan, terdapat 40 tumpukan sampah di sepanjang sungai itu.

Untuk kawasan Hilir didapati pencemaran cuprum dan amoniak, sementara di tengah Sungai Deli ditemukan limbah-limbah organik dari limbah domestik dan hotel. Sementara di hulu sungai pencemaran berasal dari proses erosi. “Kita sudah membuat untuk menanggulangi pencemaran di Sungai Deli UPT (unit pelayanan terpadu),” ucapnya.

Hidayati berharap, ada pengolahan sampah di pembuangan dekat sungai, sehingga sampah tidak mencemari air. “Dan juga untuk industri kecil maunya tidak membuang sampah sembarangan, tapi kalau industri besar kan sudah ada IPAL (instalasi pengelolaan air limbah),” ucapnya.

Sedangkan, Jaya Arjuna berharap pemerintah harus tegas dengan peraturan yang ada dan jangan dibiarkan dan berkomunikasi serta berkoordinasi dengan baik. Dibutuhkan pula pembelajaran, peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem sungai sejak di hulu, di sekitar DAS.

Normalisasi Sungai Deli bukanlah pekerjaan gampang. Sebagai pembanding, Pemerintah DKI Jakarta mengalami banyak kesulitan saat ketika bertekad menormalisasi sungai-sungai di Jakarta. Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan, program normalisasi  yang diharapkan selesai Agustus 2014, berbiaya Rp1 triliun untuk penggantian lahan warga di bantaran.

Menurutnya, halangan muncul dari pengembang perumahan yang rugi bila digusur pengerukan dan pelebaran sungai. “Normalisasi banyak hambatan, perumahan ini perumahan ini,” kata pria yang biasa disapa Ahok ini, 27 Maret lalu.

Di antaranya yang dinormalisasi ada Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Pakin dan beberapa lokasi lainnya.
Sedangkan menurut Prof Dr Ir Abdul Rauf MP, ahli konservasi lahan dari Universitas Sumatera Utara, normalisasi sungai butuh waktu lama, biaya sangat besar dan keterlibatan semua unsur masyarakat. “Memperbaiki Sungai Deli tak cukup dengan membenahi di hulu sungai saja. Harus terintegrasi dari hilir,” ujarnya Sabtu, (20/4) lalu.

Prof Abdul Rauf menegaskan, ada pemahaman keliru saat pejabat dan masyarakat menganggap pembenahan sungai cukup hanya di sekitar sungai saja. Ditegaskannya, pembenahan harus dilakukan di sekitar DAS.

“DAS itu bukan hanya di sekitar sungai, atau bantaran sungai dengan jarak tertentu saja. Segala unsur yang mempengaruhi ketersediaan air sungai, dari hulu sampai ke hilir, itulah DAS sebenarnya dan harus diperbaiki. Termasuk hutan dan daerah resapan air di perbukitan di hilir,” ujarnya.

Sebagai akademisi, Prof Abdul Rauf melihat penyelesaian masalahan pencemaran Sungai Deli dan sungai-sungai lainnya di Indonesia sebagai sebuah pekerjaan besar dan butuh komitmen besar untuk mengatasinya. Perbaikannya butuh upaya yang komprehensif. Dia mencontohkan upaya normalisasi yang dilakukan pemerintah Jerman atas Sungai Spree. Air sungai yang membelah Kota Berlin itu kembali jernih setelah warga Jerman dan pemerintahnya bekerja keras selama 40 tahun.(ban/tom)

Sungai Deli dengan panjang 76 kilometer (km) melalui tiga wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kabupaten Karo dan Simalungun di hulu, Deliserdang dan Sergai di tengah serta Kota Medan di hilir hingga bermuara ke laut Belawan. Sayangnya, sepanjang DAS, sungai ini sudah tercemar. Dimulai dari hulu, air yang keruh menandakan sungai tercemar tanah dan unsur hara yang erosi, tergerus dari hutan dan lahan-lahan di sepanjang DAS.

MANFAATKAN SUNGAI: Warga  tinggal  sekitar aliran Sungai Deli  Jalan Kejaksaan Medan, beberapa hari lalu, ramai-ramai memanfaatkan  air sungai untuk mencuci  mandi.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
MANFAATKAN SUNGAI: Warga yang tinggal di sekitar aliran Sungai Deli di Jalan Kejaksaan Medan, beberapa hari lalu, ramai-ramai memanfaatkan air sungai untuk mencuci dan mandi.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Di tengah dan di hilir, limbah industri dan rumahtangga menambah kadar kerusakan ekosistem air sungai. Kadar BOD (Biological Oxygen Demand atau Kebutuhan Oksigen Biologis /KOB) dan COD (Chemical Oxygen Demand atau Kebutuhan Oksigen Kimiawi/KOK) sungai, dua indikator pengukuran kualitas air, bahkan diyakini sudah jauh melampaui ambang batas yang ditentukan.

Kerusakan ekosistem sungai di hilir sebenarnya sudah terdeteksi jauh-jauh hari, bahkan ketika Indonesia masih dijajah Belanda.
Menurut pemerhati lingkungan, Jaya Arjuna, sekitar 1905-an, bantaran Sungai Deli di sekitar lapangan Merdeka, menjadi pusat kehidupan Kota Medan yang sedang bertumbuh. Selain limbah rumahtangga, pabrik kertas dan industri kecil lainnya langsung membuang limbah ke Sungai Deli. Karena air sungai sudah tidak layak dijadikan sumber air bersih, Belanda membangun pabrik pengolahan air minum. Pengolahan air minum inilah yang menjadi cikal PDAM Tirtanadi saat ini.

Belanda juga membuat sungai baru sebagai alternatif masyarakat. “Yang dibuat Belanda yaitu Sungai Kera, Sungai Putih dan Sungai Bedera dan lainnya. (Sungai) ini dimanfaatkan sebagian orang perkotaan yang tidak dapat memanfaatkan air PDAM Tirtanadi,” ucap Jaya Arjuna saat ditemui di rumahnya di Jalan Utama, Rabu (17/4).

Perlahan namun pasti, eksploitasi DAS tanpa terkendali dan tanpa mempertimbangkan dampak ingkungan mulai merambah ke tengah dan hulu. Pencemaran sungai meluas, seiring meningkatnya aktivitas yang mendukung perkembangan wilayah dan pertambahan jumlah penduduk. Penebangan hutan di wilayah penyangga dan sumber air di DAS, memperburuk kondisi sungai dan mencemari sejak di hulu.

Saat ini, rendahnya kesadaran lingkungan dan kebiasaan buruk warga serta pengusaha yang membuang limbah di sungai, kian memperburuk kondisi sungai. Sampah rumahtangga dan limbah industri, hotel, rumahsakit dan limbah lain, campur aduk.

Pemerintah dari struktur terendah hingga pemerintah pusat tak mampu menegakkan supremasi hukum dalam melindungi lingkungan di sekitar DAS. Pembiaran penebangan hutan dengan berbagai alasan tanpa diikuti tindakan konservasi, atau bahkan kebijakan yang dengan sengaja memberi efek buruk bagi lingkungan, mempercepat proses kerusakan ekosistem Sungai Deli.

Prediksikan 20 Tahun Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Utara Ir Hj Hidayati MSi menduga, Sungai Deli akan menjadi parit busuk raksasa dalam 20 tahun ke depan. Kemungkinan itu bahkan bisa lebih cepat terjadi bila seluruh pihak tidak mengurangi ‘beban’ di ekosistem sungai dan tidak ada upaya nyata menyelamatkan lingkungan sungai.
“Bisa jadi kalau tidak di tangani dengan baik, akan jadi parbus (parit busuk),” ucapnya di kantornya di Jalan Teuku Daud, Selasa pekan lalu.

Saat ini saja, hasil pantauan dan pengujian BLH untuk kualitas air, Sungai Deli  tercemar 80 persen dari hulu, tengah dan hilir.  Polusi air terparah di Medan Utara di hilir. Untuk tengah masih kategori sedangkan dan kawasan hulu relatif normal.
Hidayati mejelaskan, ada dua parameter pengujian yaitu parameter domestik atau organik dan anorganik. Parameter domestik merupakan libah rumah tangga, hotel maupun tempat makan. Sedang parameter anorganik terdapat limbah pabrik yang mengandung logam.

Hidayati mengakui, ada 40 industri pabrik besar yang beroperasi di sekitar Sungai Deli dan membuang langsung limbahnya ke sungai. “Kalau itu, yang menindaknya adalah pemerintah kabupaten dan kota,” ucapnya.
Selain limbah industri, pencemaran air akibat penumpukan sampah di sekitar sungai. Hasil temuan, terdapat 40 tumpukan sampah di sepanjang sungai itu.

Untuk kawasan Hilir didapati pencemaran cuprum dan amoniak, sementara di tengah Sungai Deli ditemukan limbah-limbah organik dari limbah domestik dan hotel. Sementara di hulu sungai pencemaran berasal dari proses erosi. “Kita sudah membuat untuk menanggulangi pencemaran di Sungai Deli UPT (unit pelayanan terpadu),” ucapnya.

Hidayati berharap, ada pengolahan sampah di pembuangan dekat sungai, sehingga sampah tidak mencemari air. “Dan juga untuk industri kecil maunya tidak membuang sampah sembarangan, tapi kalau industri besar kan sudah ada IPAL (instalasi pengelolaan air limbah),” ucapnya.

Sedangkan, Jaya Arjuna berharap pemerintah harus tegas dengan peraturan yang ada dan jangan dibiarkan dan berkomunikasi serta berkoordinasi dengan baik. Dibutuhkan pula pembelajaran, peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem sungai sejak di hulu, di sekitar DAS.

Normalisasi Sungai Deli bukanlah pekerjaan gampang. Sebagai pembanding, Pemerintah DKI Jakarta mengalami banyak kesulitan saat ketika bertekad menormalisasi sungai-sungai di Jakarta. Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan, program normalisasi  yang diharapkan selesai Agustus 2014, berbiaya Rp1 triliun untuk penggantian lahan warga di bantaran.

Menurutnya, halangan muncul dari pengembang perumahan yang rugi bila digusur pengerukan dan pelebaran sungai. “Normalisasi banyak hambatan, perumahan ini perumahan ini,” kata pria yang biasa disapa Ahok ini, 27 Maret lalu.

Di antaranya yang dinormalisasi ada Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Pakin dan beberapa lokasi lainnya.
Sedangkan menurut Prof Dr Ir Abdul Rauf MP, ahli konservasi lahan dari Universitas Sumatera Utara, normalisasi sungai butuh waktu lama, biaya sangat besar dan keterlibatan semua unsur masyarakat. “Memperbaiki Sungai Deli tak cukup dengan membenahi di hulu sungai saja. Harus terintegrasi dari hilir,” ujarnya Sabtu, (20/4) lalu.

Prof Abdul Rauf menegaskan, ada pemahaman keliru saat pejabat dan masyarakat menganggap pembenahan sungai cukup hanya di sekitar sungai saja. Ditegaskannya, pembenahan harus dilakukan di sekitar DAS.

“DAS itu bukan hanya di sekitar sungai, atau bantaran sungai dengan jarak tertentu saja. Segala unsur yang mempengaruhi ketersediaan air sungai, dari hulu sampai ke hilir, itulah DAS sebenarnya dan harus diperbaiki. Termasuk hutan dan daerah resapan air di perbukitan di hilir,” ujarnya.

Sebagai akademisi, Prof Abdul Rauf melihat penyelesaian masalahan pencemaran Sungai Deli dan sungai-sungai lainnya di Indonesia sebagai sebuah pekerjaan besar dan butuh komitmen besar untuk mengatasinya. Perbaikannya butuh upaya yang komprehensif. Dia mencontohkan upaya normalisasi yang dilakukan pemerintah Jerman atas Sungai Spree. Air sungai yang membelah Kota Berlin itu kembali jernih setelah warga Jerman dan pemerintahnya bekerja keras selama 40 tahun.(ban/tom)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/