25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Selamatkan Medan, Lestarikan Tahura

BERASTAGI- Banjir yang ‘menenggelamkan’ hampir seluruh Jakarta pantas dijadikan pelajaran bagi pemangku kepentingan di Medan. Sebelum terlambat, saatnya sekarang menjaga kian meluasnya kerusakan lingkungan, termasuk Taman Hutan Raya (Tahura) dan hutan-hutan di kawasan hulu yang melingkupi Karo, Langkat dan Deli Serdang.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, Ir Sucipto, data menunjukkan telah terjadi degradasi lahan di wilayah administratif Pemkab Karo. Setidaknya, terdapat sekitar 14.225 hektar (ha) areal hutan di wilayahnya yang masuk taraf kritis. Perinciannya, register 6/K (Deleng Sembah Bala) 8.000 ha, register 7/K (Deleng Cengkeh) 5.211 ha, register 2/K (Sinabung) 30 ha, register 1/K (Sibayak II) 250 ha, register 3/K (Sibuaten) 585 ha, register 8/K (Batu Gajah) 179 ha.

Menurutnya, jumlah itu memang masih sedikit dengan tingkat persentase sekira 18-an persen dari total luas wilayah hutan di Karo yang terdata seluas 128.820,51 ha. Namun masalah ini tidak dapat begitu saja dikesampingkan mengingat lahan kritis di luar wilayah hutan yang ada di 17 kecamatan di Karo sudah mencapai 39.180 ha. Apalagi, puluhan ribu ha lahan yang rusak itu berada di pinggiran hutan, hingga dikhawatirkan meluas ke dalam hutan.

“Buat kita ini tentu masalah yang cukup besar, karena hampir dapat dipastikan ketergantungan kita pada hutan tetap tinggi, mengingat daerah ini masyarakatnya bergantung pada hutan yang ada “ ujar Sucipto.

Persoalan yang dinilai mulai ke arah akut ini oleh banyak kalangan juga dipandang sudah perlu langkah langkah baru. Karena bagaimanapun Sungai Petani sebagai sungai utama yang kemudian membelah ke Kota Medan hingga bermuara di Belawan menjadi muara sungai-sungai kecil di sekitarnya. Sungai-sungai ini selama ini dipasok oleh ketersediaan hutan di sekitarnya.

Kini kondisinya semakin memprihatinkan. Sebab banyak kawasan hutan, utamanya di hulu terdegradasi akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang diikuti pembangunan infrastruktur. Di luar data kerusakan yang berada di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, lahan kritis di register 1/K ( Sibayak II) 250 ha seperti yang disebutkan adalah pemandangan nyata yang harus dilirik sebagai masalah serius.

Dampaknya, air cenderung run off setiap kali terjadi hujan di kawasan hulu. Sehingga menambah stok air di kawasan water cathment yang menipis. Akibatnya di kawasan hilir sering terjadi banjir kiriman. Misalnya saja daerah bantara sungai Deli di Kota Medan kerap menerima limpahan air saat hujan terjadi selama beberapa hari di kawasan hulu sungai. Baik itu di kawasan hulu yang terletak di Kabupaten Karo, Langkat maupun Deliserdang.

Aktivis lingkungan hidup Palapa, Lailan Syahri Ramadhan pun turut prihatin, terutama melihat sikap banyak pemangku kepentingan melihat permasalahan ini hanya formalitas belaka.

Tidak melihat Kabupaten Karo sebagai kawasan yang memainkan peran startegis untuk daerah tangkapan air, kalaupun ada perhatian terhadap hancurnya kawasan hutan dan Tahura.

Sebagai contoh sambungnya ,bagaimana sebuah kawasan hutan yang memainkan peranan penting hanya dijaga oleh Polisi hutan dengan beberapa orang saja sementara kawasan yang dijaga seluas 51.600 ha. “Logikanya dimana, dengan SDM beberapa orang untuk menjaga kawasan seluas itu.”

Kemudian, upaya penanaman pohon dikawasan hulu untuk mengantisipasi terjadinya banjir, tidak diikuti kegiatan perawatan. Pohon yang ditanam hidup enggan mati tak mau.

Ketiga, tidak ada koordinasi secara berkesinambungan antar instansi terkait sehingga kerusakan terus saja terjadi dan kawasan hutan terus saja terbuka tutupannya.

“Kalau sudah rusak saling lempar tanggung jawab. Tidak menutup kemungkinan, 5 atau 10 tahun ke depan Medan dilanda banjir besar seperti Jakarta,” papar Lailan.

Lailan Syahri Ramadhan berharap pihak terkait di tingkat provinsi dan empat kabupaten di sekitar hutan berkoordinasi intensif mengamankan dan melestarikan kawasan hutan Tahura Bukit Barisan. Selain dari itu kota Medan sebagi penerima manfaat dari lestarinya atau terjaganya kawasan hulu, semestinya juga mencarikan alternatif sebagai kompensasi terjaganya kawasan hulu. (nanang)

BERASTAGI- Banjir yang ‘menenggelamkan’ hampir seluruh Jakarta pantas dijadikan pelajaran bagi pemangku kepentingan di Medan. Sebelum terlambat, saatnya sekarang menjaga kian meluasnya kerusakan lingkungan, termasuk Taman Hutan Raya (Tahura) dan hutan-hutan di kawasan hulu yang melingkupi Karo, Langkat dan Deli Serdang.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, Ir Sucipto, data menunjukkan telah terjadi degradasi lahan di wilayah administratif Pemkab Karo. Setidaknya, terdapat sekitar 14.225 hektar (ha) areal hutan di wilayahnya yang masuk taraf kritis. Perinciannya, register 6/K (Deleng Sembah Bala) 8.000 ha, register 7/K (Deleng Cengkeh) 5.211 ha, register 2/K (Sinabung) 30 ha, register 1/K (Sibayak II) 250 ha, register 3/K (Sibuaten) 585 ha, register 8/K (Batu Gajah) 179 ha.

Menurutnya, jumlah itu memang masih sedikit dengan tingkat persentase sekira 18-an persen dari total luas wilayah hutan di Karo yang terdata seluas 128.820,51 ha. Namun masalah ini tidak dapat begitu saja dikesampingkan mengingat lahan kritis di luar wilayah hutan yang ada di 17 kecamatan di Karo sudah mencapai 39.180 ha. Apalagi, puluhan ribu ha lahan yang rusak itu berada di pinggiran hutan, hingga dikhawatirkan meluas ke dalam hutan.

“Buat kita ini tentu masalah yang cukup besar, karena hampir dapat dipastikan ketergantungan kita pada hutan tetap tinggi, mengingat daerah ini masyarakatnya bergantung pada hutan yang ada “ ujar Sucipto.

Persoalan yang dinilai mulai ke arah akut ini oleh banyak kalangan juga dipandang sudah perlu langkah langkah baru. Karena bagaimanapun Sungai Petani sebagai sungai utama yang kemudian membelah ke Kota Medan hingga bermuara di Belawan menjadi muara sungai-sungai kecil di sekitarnya. Sungai-sungai ini selama ini dipasok oleh ketersediaan hutan di sekitarnya.

Kini kondisinya semakin memprihatinkan. Sebab banyak kawasan hutan, utamanya di hulu terdegradasi akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang diikuti pembangunan infrastruktur. Di luar data kerusakan yang berada di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, lahan kritis di register 1/K ( Sibayak II) 250 ha seperti yang disebutkan adalah pemandangan nyata yang harus dilirik sebagai masalah serius.

Dampaknya, air cenderung run off setiap kali terjadi hujan di kawasan hulu. Sehingga menambah stok air di kawasan water cathment yang menipis. Akibatnya di kawasan hilir sering terjadi banjir kiriman. Misalnya saja daerah bantara sungai Deli di Kota Medan kerap menerima limpahan air saat hujan terjadi selama beberapa hari di kawasan hulu sungai. Baik itu di kawasan hulu yang terletak di Kabupaten Karo, Langkat maupun Deliserdang.

Aktivis lingkungan hidup Palapa, Lailan Syahri Ramadhan pun turut prihatin, terutama melihat sikap banyak pemangku kepentingan melihat permasalahan ini hanya formalitas belaka.

Tidak melihat Kabupaten Karo sebagai kawasan yang memainkan peran startegis untuk daerah tangkapan air, kalaupun ada perhatian terhadap hancurnya kawasan hutan dan Tahura.

Sebagai contoh sambungnya ,bagaimana sebuah kawasan hutan yang memainkan peranan penting hanya dijaga oleh Polisi hutan dengan beberapa orang saja sementara kawasan yang dijaga seluas 51.600 ha. “Logikanya dimana, dengan SDM beberapa orang untuk menjaga kawasan seluas itu.”

Kemudian, upaya penanaman pohon dikawasan hulu untuk mengantisipasi terjadinya banjir, tidak diikuti kegiatan perawatan. Pohon yang ditanam hidup enggan mati tak mau.

Ketiga, tidak ada koordinasi secara berkesinambungan antar instansi terkait sehingga kerusakan terus saja terjadi dan kawasan hutan terus saja terbuka tutupannya.

“Kalau sudah rusak saling lempar tanggung jawab. Tidak menutup kemungkinan, 5 atau 10 tahun ke depan Medan dilanda banjir besar seperti Jakarta,” papar Lailan.

Lailan Syahri Ramadhan berharap pihak terkait di tingkat provinsi dan empat kabupaten di sekitar hutan berkoordinasi intensif mengamankan dan melestarikan kawasan hutan Tahura Bukit Barisan. Selain dari itu kota Medan sebagi penerima manfaat dari lestarinya atau terjaganya kawasan hulu, semestinya juga mencarikan alternatif sebagai kompensasi terjaganya kawasan hulu. (nanang)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/