25.6 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Pemprovsu Tidak Miliki Manajemen Air Bersih

Pengambilan Air Bawah Tanah Bukan Solusi

MEDAN- Jika dilihat dari persediaan, potensi air di Sumatera Utara (Sumut) sangat banyak sehingga sangat “menggelikan”, jika warga di Sumut, terutama di Kota Medan mengalami krisis air.

Permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat tentang kebutuhan air bersih selama ini lebih disebabkan tidak adanya konsep dan program yang jelas dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) tentang manajemen air bersih. “Terlihat jelas, manajemen air yang dimiliki Pemprovsu tidak profesional” kata anggota DPRD Sumut, Brilian Moktar, di Medan, Minggu (11/11).

Menurut Brilian, tidak jelasnya manajemen air bersih di lingkungan Pemprovsu itu bukan sepenuhnya kesalahan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi, yang ditugaskan untuk menyediakan air bersih di Kota Medan dan sekitarnya.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat, Pemprovsu harus melibatkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, mulai dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumut, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sumut, hingga PDAM Tirtanadi selaku pemangku kepentingan utama.

Keterlibatan sejumlah SKPD terkait itu dimaksudkan untuk mensinergikan upaya pengelolaan air yang potensi cukup banyak dan lintas sektor, sehingga memudahkan PDAM Tirtanadi untuk menjalankan tugasnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, mencontohkan pemanfaatan air sungai dan debit air yang ada di kanal pengendali banjir guna diserahkan pengolahannya ke PDAM Tirtanadi untuk menjadi air bersih.
Pemanfaatan debit air yang cukup banyak tersebut mungkin sulit dilakukan PDAM Tirtanadi sendirian karena dikhawatirkan menjadi kewenangan Dinas PSDA, apalgi jika sudah memasuki kabupaten/kota lain. Jika diserahkan kewenangan dalam pengolahannya ke PDAM Tirtanadi, diyakini BUMD tersebut akan memiliki debit air yang melimpah untuk diolah menjadi air bersih sehingga kebutuhan masyarakat di Kota Medan dan sekitarnya akan terpenuhi.
Secara teknis, Brilian menjelaskan, mulai dari kanal pengendali banjir di kawasan Medan Johor hingga Sungai Babura dan Sungai Ular, terdapat debit air yang cukup banyak. Di beberapa lintasan sungai tersebut dapat dibuat sejumlah pos penampungan air yang juga berfungsi sebagai tempat pengolahan air bersih.

Berbagai pos itu juga berfungsi untuk menyerap air yang meninggi akibat menerima curah hujan. Selain menyediakan debit air yang cukup untuk diolah oleh PDAM Tirtanadi, keberadaan pos penampungan air tersebut dapat mengurangi potensi banjir yang sering terjadi akibat penuh debit air sungai. Kalau pengelolaannya seperti itu, PDAM Tirtanadi diyakini dapat mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga modal yang ditanamkan Pemprovsu tidak sia-sia.

Mungkin, PDAM Titanadi perlu belajar dari pengalaman dan kesuksesan Kota Banjarmasin yang berhasil mengelola air sehingga mendapatkan penghargaan “Asean Enviromentally Sustainable Cities Award” dalam pertemuan Asean di Myanmar pada Mei 2011. “Pemprovsu harus mengkaji itu, terutama PDAM Tirtanadi” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut tersebut.

Namun pembelajaran itu harus diterapkan Pemprovsu dan PDAM Tirtanadi untuk menyelesaikan masalah krisis air di Kota Medan sekitarnya.
“Jangan sekedar jalan-jalan yang menghabiskan uang negara” kata.

Selama ini, kata Brilian, kurang persediaan air bersih menyebabkan sebagian besar masyarakat harus mengambil tindakan dengan pengeboran untuk mengambil air bawah tanah.

Pola seperti itu juga dilakukan berbagai perusahaan yang membutuhkan air dalam jumlah besar. Kemungkinan, pola itu juga dilakukan PDAM Tirtanadi guna mendapatkan persediaan air. Meski pola tersebut dapat memenuhi kebutuhan air sebagian masyarakat, tetapi hal itu bukan solusi permanen dan dapat memberikan dampak buruk dalam jangka panjang.

Selain dapat menunjukkan ketidak mampuan PDAM Tirtanadi dalam menyediakan kebutuhan masyarakat, pengeboran untuk mendapatkan air bawah tanah juga dapat mempercepat turunnya tanah. “Khawatirnya, nanti Sumut akan seperti Jakarta yang lebih tinggi laut dari daratan. Karena Kota Medan tidak jauh dari belawan,” kata alumni FE Universitas HKBP Nommensen itu.

Selain mengawatirkan fenomena itu, Brilian juga menyesalkan keberadaan dewan pengawas yang tidak bekerja sama sekali atau memberikan sumbangsih yang nyata dalam kemajuan PDAM Tirtanadi.

Selama ini, cukup banyak keluhan masyarakat terhadap layanan PDAM Tirtanadi, baik jumlah air, tingkat kebersihan air, hingga keharusan untuk mengeluarkan uang lebih besar untuk mendapatkan pemasangan baru. Seharusnya, dewan pengawas memanggil jajaran direksi PDAM Tirtanadi Sumut. (ari)

Pengambilan Air Bawah Tanah Bukan Solusi

MEDAN- Jika dilihat dari persediaan, potensi air di Sumatera Utara (Sumut) sangat banyak sehingga sangat “menggelikan”, jika warga di Sumut, terutama di Kota Medan mengalami krisis air.

Permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat tentang kebutuhan air bersih selama ini lebih disebabkan tidak adanya konsep dan program yang jelas dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) tentang manajemen air bersih. “Terlihat jelas, manajemen air yang dimiliki Pemprovsu tidak profesional” kata anggota DPRD Sumut, Brilian Moktar, di Medan, Minggu (11/11).

Menurut Brilian, tidak jelasnya manajemen air bersih di lingkungan Pemprovsu itu bukan sepenuhnya kesalahan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi, yang ditugaskan untuk menyediakan air bersih di Kota Medan dan sekitarnya.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat, Pemprovsu harus melibatkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, mulai dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumut, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sumut, hingga PDAM Tirtanadi selaku pemangku kepentingan utama.

Keterlibatan sejumlah SKPD terkait itu dimaksudkan untuk mensinergikan upaya pengelolaan air yang potensi cukup banyak dan lintas sektor, sehingga memudahkan PDAM Tirtanadi untuk menjalankan tugasnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, mencontohkan pemanfaatan air sungai dan debit air yang ada di kanal pengendali banjir guna diserahkan pengolahannya ke PDAM Tirtanadi untuk menjadi air bersih.
Pemanfaatan debit air yang cukup banyak tersebut mungkin sulit dilakukan PDAM Tirtanadi sendirian karena dikhawatirkan menjadi kewenangan Dinas PSDA, apalgi jika sudah memasuki kabupaten/kota lain. Jika diserahkan kewenangan dalam pengolahannya ke PDAM Tirtanadi, diyakini BUMD tersebut akan memiliki debit air yang melimpah untuk diolah menjadi air bersih sehingga kebutuhan masyarakat di Kota Medan dan sekitarnya akan terpenuhi.
Secara teknis, Brilian menjelaskan, mulai dari kanal pengendali banjir di kawasan Medan Johor hingga Sungai Babura dan Sungai Ular, terdapat debit air yang cukup banyak. Di beberapa lintasan sungai tersebut dapat dibuat sejumlah pos penampungan air yang juga berfungsi sebagai tempat pengolahan air bersih.

Berbagai pos itu juga berfungsi untuk menyerap air yang meninggi akibat menerima curah hujan. Selain menyediakan debit air yang cukup untuk diolah oleh PDAM Tirtanadi, keberadaan pos penampungan air tersebut dapat mengurangi potensi banjir yang sering terjadi akibat penuh debit air sungai. Kalau pengelolaannya seperti itu, PDAM Tirtanadi diyakini dapat mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga modal yang ditanamkan Pemprovsu tidak sia-sia.

Mungkin, PDAM Titanadi perlu belajar dari pengalaman dan kesuksesan Kota Banjarmasin yang berhasil mengelola air sehingga mendapatkan penghargaan “Asean Enviromentally Sustainable Cities Award” dalam pertemuan Asean di Myanmar pada Mei 2011. “Pemprovsu harus mengkaji itu, terutama PDAM Tirtanadi” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut tersebut.

Namun pembelajaran itu harus diterapkan Pemprovsu dan PDAM Tirtanadi untuk menyelesaikan masalah krisis air di Kota Medan sekitarnya.
“Jangan sekedar jalan-jalan yang menghabiskan uang negara” kata.

Selama ini, kata Brilian, kurang persediaan air bersih menyebabkan sebagian besar masyarakat harus mengambil tindakan dengan pengeboran untuk mengambil air bawah tanah.

Pola seperti itu juga dilakukan berbagai perusahaan yang membutuhkan air dalam jumlah besar. Kemungkinan, pola itu juga dilakukan PDAM Tirtanadi guna mendapatkan persediaan air. Meski pola tersebut dapat memenuhi kebutuhan air sebagian masyarakat, tetapi hal itu bukan solusi permanen dan dapat memberikan dampak buruk dalam jangka panjang.

Selain dapat menunjukkan ketidak mampuan PDAM Tirtanadi dalam menyediakan kebutuhan masyarakat, pengeboran untuk mendapatkan air bawah tanah juga dapat mempercepat turunnya tanah. “Khawatirnya, nanti Sumut akan seperti Jakarta yang lebih tinggi laut dari daratan. Karena Kota Medan tidak jauh dari belawan,” kata alumni FE Universitas HKBP Nommensen itu.

Selain mengawatirkan fenomena itu, Brilian juga menyesalkan keberadaan dewan pengawas yang tidak bekerja sama sekali atau memberikan sumbangsih yang nyata dalam kemajuan PDAM Tirtanadi.

Selama ini, cukup banyak keluhan masyarakat terhadap layanan PDAM Tirtanadi, baik jumlah air, tingkat kebersihan air, hingga keharusan untuk mengeluarkan uang lebih besar untuk mendapatkan pemasangan baru. Seharusnya, dewan pengawas memanggil jajaran direksi PDAM Tirtanadi Sumut. (ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/