31.8 C
Medan
Wednesday, May 8, 2024

Pak Nas, PKI, Pemuda Pancasila

Ormas Pemuda Pancasila (PP) kembali bentrok dengan ormas kepemudaan lainnya. Kali ini terjadi di Binjai pada pekan lalu. Terlepas dari apapun penyebabnya, pada akhirnya Ormas PP selalu menjadi ‘tersangka” utama sebagai biang pembuat rusuh. Tuduhan ini memang menyakitkan. Tapi itulah risiko yang dihadapi pengurus DPP MPN, MPW, MPC, hingga ketingkat kecamatan dan ranting.

PP harus menerima beban yang berat yang diwariskan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution selaku bidan yang melahirkan PP pada tahun 1959 lalu.

Bahwa PP pada awalnya adalah kumpulan orang yang mengandalkan otot dan otak benar adanya. Sebab almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution dan kawan-kawan seperjuangan memang memerlukan sayap pemuda yang punya nyali untuk melawan rongrongan PKI dengan sayap Pemuda Rakyatnya terhadap Pancasila.

Sayap politik Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang juga dibentuk Pak Nas  harus berkolaborasi dengan sayap pemuda dalam perjuangannya melawan gerakan PKIn

Pemuda Pancasila kemudian dibentuk oleh Pak Nas pada tahun 1959. Para pendiri PP seperti almarhum ayahanda HMY Efendi Nasution dan kader lainnya siap dan sadar dengan dua risiko yang bakal dihadapi, membunuh atau dibunuh.

Dan itulah yang terjadi selama PP melakukan perlawanan terhadap rongrongan PKI dan sayapnya Pemuda Rakyat. Jadi kalau ditanya apa yang sudah diberikan kader PP ini kepada bangsa dan negara ini, jawabannya tegas, darah dan nyawa.

Anak Yatim

Setelah perlawanan PKI mereda dan hubungan dengan Pak Nas mulai meranggang, lalu siapa yang bertanggung jawab membina PP ini ke depan, gak ada. Jadilah PP anak yatim yang ditinggal dalam keadaan ekonomi yang sulit di masa itu.

Beratnya tekanan hidup saat itu, jangankan kader PP yang lebih banyak hidup di jalanan, para sarjana yang bekerja sebagai PNS dan lainnya juga kesulitan hidup.

Efwita Nasution puteri almrhum Ketua PP Efendi Nasution mengatakan seperti apa beratnya beban memimpin PP masa itu. Bagaimana membina anggota yang tidak punya pekerjaan tidak punya pendidikan .tidak punya tujuan hidup karena keterbekangan ekonomi. Siapa yang berperan menyikapi ini, ya ketua.

Anak buah melakukan kejahatan, ditangkap, ketuanya datang ke kantor polisi untuk membantu anak buah. Anak buah tidak punya kerja..anak buah sakit, anak buah istri mau melahirkan, anak buah sewa rumah dll, itu tugas ketua.

Seandainya dulu Pak Nas membutuhkan para kiay atau santri yang direkrut menjadi kader PP, sudah lama PP ini menjadi ormas Islam. Karena yang dibutuhkan orang berotot dan punya nyali, jadilah PP seperti sekarang ini.

Setelah kepengurusan PP bergeser ke Jakarta tahun 1983 dan dipimpin oleh Ketua Umum Yapto Suryosumarno, bukannya tak berupaya meningkatkan martabat PP ini. Diantaranya memprioritaskan sarjana untuk memimpin PP hingga ke daerah. Dan seabgreg program lainnya.

Masalahnya bagi kader di lapis bawah adalah soal kesejahteraan dan tuntutan perut. Sementara kalau sudah bicara soal perut, ada atau tidak ada PP masalah kejahatan tetap saja merebak di mana-mana.

Butuh Ketrampilan

Saat masih aktif di MPW PP Sumut, saya beberapa kali bertanya kepada para kader PP tentang apa yang yang paling penting harus diperbuat Pengurus PP kepada mereka. “Ketua, mau dikasi modal berapapun habis sia-sia nanti itu. Mau buka usaha gak ada keahlian apapun. Kamipun malu dan sedih tersisih dari keluarga, tetangga, dan lainnya,” kata mereka.

Untuk menjawab tuntutan tersebut, tak mungkin PP bergerak sendiri. Terlebih lagi beban yang dihadapi PP ini adalah preman  warisan masa lalu yang dibutuhkan untuk menjaga dan mengawal NKRI dan Pancasila dari rongrongan PKI.

Dimana peran Pusat, Pemprov, Pemko, Pemkab, masyarakat. Sudah tau kader PP ini tak punya skill, nilai akademik  untuk bekerja dan membuka usaha, bukannya dicari jalan keluarnya, tapi malah dihujat di sana sini.

Maaf pak Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, Walikota Medan Bobby Nasution dan kepala daerah lainnya,  apa yang bisa anda perbuat untuk mencari solusi terbaik bagi kader PP ini dalam skala Sumut dan kabupaten/kota.

Untuk mengetahui akar masalahnya jelas soal perut, tapi bagaimana mencari solusinya tolonglah bekerjasama dengan MPW Sumut agar langkah yang dilakukan tepat sasaran.

Dan secara bersamaan langkah ini juga dilakukan oleh DPP MPN dalam skala nasional. Sekali Layar Terkembang Surut Kita Berpantang…

Ormas Pemuda Pancasila (PP) kembali bentrok dengan ormas kepemudaan lainnya. Kali ini terjadi di Binjai pada pekan lalu. Terlepas dari apapun penyebabnya, pada akhirnya Ormas PP selalu menjadi ‘tersangka” utama sebagai biang pembuat rusuh. Tuduhan ini memang menyakitkan. Tapi itulah risiko yang dihadapi pengurus DPP MPN, MPW, MPC, hingga ketingkat kecamatan dan ranting.

PP harus menerima beban yang berat yang diwariskan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution selaku bidan yang melahirkan PP pada tahun 1959 lalu.

Bahwa PP pada awalnya adalah kumpulan orang yang mengandalkan otot dan otak benar adanya. Sebab almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution dan kawan-kawan seperjuangan memang memerlukan sayap pemuda yang punya nyali untuk melawan rongrongan PKI dengan sayap Pemuda Rakyatnya terhadap Pancasila.

Sayap politik Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang juga dibentuk Pak Nas  harus berkolaborasi dengan sayap pemuda dalam perjuangannya melawan gerakan PKIn

Pemuda Pancasila kemudian dibentuk oleh Pak Nas pada tahun 1959. Para pendiri PP seperti almarhum ayahanda HMY Efendi Nasution dan kader lainnya siap dan sadar dengan dua risiko yang bakal dihadapi, membunuh atau dibunuh.

Dan itulah yang terjadi selama PP melakukan perlawanan terhadap rongrongan PKI dan sayapnya Pemuda Rakyat. Jadi kalau ditanya apa yang sudah diberikan kader PP ini kepada bangsa dan negara ini, jawabannya tegas, darah dan nyawa.

Anak Yatim

Setelah perlawanan PKI mereda dan hubungan dengan Pak Nas mulai meranggang, lalu siapa yang bertanggung jawab membina PP ini ke depan, gak ada. Jadilah PP anak yatim yang ditinggal dalam keadaan ekonomi yang sulit di masa itu.

Beratnya tekanan hidup saat itu, jangankan kader PP yang lebih banyak hidup di jalanan, para sarjana yang bekerja sebagai PNS dan lainnya juga kesulitan hidup.

Efwita Nasution puteri almrhum Ketua PP Efendi Nasution mengatakan seperti apa beratnya beban memimpin PP masa itu. Bagaimana membina anggota yang tidak punya pekerjaan tidak punya pendidikan .tidak punya tujuan hidup karena keterbekangan ekonomi. Siapa yang berperan menyikapi ini, ya ketua.

Anak buah melakukan kejahatan, ditangkap, ketuanya datang ke kantor polisi untuk membantu anak buah. Anak buah tidak punya kerja..anak buah sakit, anak buah istri mau melahirkan, anak buah sewa rumah dll, itu tugas ketua.

Seandainya dulu Pak Nas membutuhkan para kiay atau santri yang direkrut menjadi kader PP, sudah lama PP ini menjadi ormas Islam. Karena yang dibutuhkan orang berotot dan punya nyali, jadilah PP seperti sekarang ini.

Setelah kepengurusan PP bergeser ke Jakarta tahun 1983 dan dipimpin oleh Ketua Umum Yapto Suryosumarno, bukannya tak berupaya meningkatkan martabat PP ini. Diantaranya memprioritaskan sarjana untuk memimpin PP hingga ke daerah. Dan seabgreg program lainnya.

Masalahnya bagi kader di lapis bawah adalah soal kesejahteraan dan tuntutan perut. Sementara kalau sudah bicara soal perut, ada atau tidak ada PP masalah kejahatan tetap saja merebak di mana-mana.

Butuh Ketrampilan

Saat masih aktif di MPW PP Sumut, saya beberapa kali bertanya kepada para kader PP tentang apa yang yang paling penting harus diperbuat Pengurus PP kepada mereka. “Ketua, mau dikasi modal berapapun habis sia-sia nanti itu. Mau buka usaha gak ada keahlian apapun. Kamipun malu dan sedih tersisih dari keluarga, tetangga, dan lainnya,” kata mereka.

Untuk menjawab tuntutan tersebut, tak mungkin PP bergerak sendiri. Terlebih lagi beban yang dihadapi PP ini adalah preman  warisan masa lalu yang dibutuhkan untuk menjaga dan mengawal NKRI dan Pancasila dari rongrongan PKI.

Dimana peran Pusat, Pemprov, Pemko, Pemkab, masyarakat. Sudah tau kader PP ini tak punya skill, nilai akademik  untuk bekerja dan membuka usaha, bukannya dicari jalan keluarnya, tapi malah dihujat di sana sini.

Maaf pak Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, Walikota Medan Bobby Nasution dan kepala daerah lainnya,  apa yang bisa anda perbuat untuk mencari solusi terbaik bagi kader PP ini dalam skala Sumut dan kabupaten/kota.

Untuk mengetahui akar masalahnya jelas soal perut, tapi bagaimana mencari solusinya tolonglah bekerjasama dengan MPW Sumut agar langkah yang dilakukan tepat sasaran.

Dan secara bersamaan langkah ini juga dilakukan oleh DPP MPN dalam skala nasional. Sekali Layar Terkembang Surut Kita Berpantang…

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/