31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Yudi Latief Orasi Politik di Satu Dasawarsa Bakumsu

MEDAN- Setelah berjalan lebih dari satu dasawarsa, daya sengat demokrasi Indonesia masih terus dipertanyakan. Secara prosedural, demokrasi Indonesia memang gegap gempita. Penegakan hukum dan perlindungan HAM, sebagai basis utama dari demokrasi justru terbengkalai.
Alih-alih menghasilkan pemerintahan dan kekuasaan yang berbasis pada daulat rakyat, demokrasi justru memproduksi rezim kekuasaan pemerintahan yang mencederai dan memerkosa hak-hak rakyat.

Deskripsi di atas merupakan potret utama refleksi Perhimpunan Bakumsu selama satu dasawarsa kiprahnya melakukan pendampingan dan advokasi hukum terhadap kelompok masyarakat yang dilanggar haknya oleh kekuasaan masih arogan, khususnya di Sumut.

Dalam kaitan pula Bakumsu meluncurkan buku ‘’Satu Dasawarsa Bakumsu’’ disertai orasi politik dari Dr. Yudi Latif, pemikir kebangsaan dan kenegaraan, dengan tema”Keluar dari Krisis Demokrasi”,  pada Jumat (4/5). “Satu dasawarsa terakhir memang  nyaris tidak ada perubahan berarti dalam aspek hukum  dan politik HAM kita, baik di level nasional apalagi lokal,’’ ungkap Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Benget Silitonga.
Rangkaian acara ini diawali dengan studi tematis “Mewujudkan Penegakan Hukum dan HAM yang berkeadilan sosial”. Studi  ini akan menghadirkan Uli Parulian Sihombing, SH, LLM dari Indonesian Legal Resources Center (ILRC) untuk memberi masukan soal reformasi hukum dan strategi bantuan hukum  berbasis keadilan sosial.

Studi ini diperuntukkan untuk undangan terbatas. “Kami juga menggelar acara diskusi/bedah buku terbitan Bakumsu dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia yakni “Kratos minus Demos, Demokrasi Indonesia Catatan dari Bawah,” kata Benget. Buku ini disebutkan hasil pemikiran sejumlah aktivis dan pegiat demokrasi yang bekerjasama dengan Bakumsu yakni Hery Priyono, Usman Hamid, Soetandyo Wignjosoebroto, Johny Nelson Simanjuntak, Posman Sibuea, Nur Ahmad F. Lubis, dan Hendardi  Simanjuntak. (val)

MEDAN- Setelah berjalan lebih dari satu dasawarsa, daya sengat demokrasi Indonesia masih terus dipertanyakan. Secara prosedural, demokrasi Indonesia memang gegap gempita. Penegakan hukum dan perlindungan HAM, sebagai basis utama dari demokrasi justru terbengkalai.
Alih-alih menghasilkan pemerintahan dan kekuasaan yang berbasis pada daulat rakyat, demokrasi justru memproduksi rezim kekuasaan pemerintahan yang mencederai dan memerkosa hak-hak rakyat.

Deskripsi di atas merupakan potret utama refleksi Perhimpunan Bakumsu selama satu dasawarsa kiprahnya melakukan pendampingan dan advokasi hukum terhadap kelompok masyarakat yang dilanggar haknya oleh kekuasaan masih arogan, khususnya di Sumut.

Dalam kaitan pula Bakumsu meluncurkan buku ‘’Satu Dasawarsa Bakumsu’’ disertai orasi politik dari Dr. Yudi Latif, pemikir kebangsaan dan kenegaraan, dengan tema”Keluar dari Krisis Demokrasi”,  pada Jumat (4/5). “Satu dasawarsa terakhir memang  nyaris tidak ada perubahan berarti dalam aspek hukum  dan politik HAM kita, baik di level nasional apalagi lokal,’’ ungkap Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Benget Silitonga.
Rangkaian acara ini diawali dengan studi tematis “Mewujudkan Penegakan Hukum dan HAM yang berkeadilan sosial”. Studi  ini akan menghadirkan Uli Parulian Sihombing, SH, LLM dari Indonesian Legal Resources Center (ILRC) untuk memberi masukan soal reformasi hukum dan strategi bantuan hukum  berbasis keadilan sosial.

Studi ini diperuntukkan untuk undangan terbatas. “Kami juga menggelar acara diskusi/bedah buku terbitan Bakumsu dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia yakni “Kratos minus Demos, Demokrasi Indonesia Catatan dari Bawah,” kata Benget. Buku ini disebutkan hasil pemikiran sejumlah aktivis dan pegiat demokrasi yang bekerjasama dengan Bakumsu yakni Hery Priyono, Usman Hamid, Soetandyo Wignjosoebroto, Johny Nelson Simanjuntak, Posman Sibuea, Nur Ahmad F. Lubis, dan Hendardi  Simanjuntak. (val)

Artikel Terkait

Bobby Resmikan Pekan Kuliner Kondang

Dua Artis Meriahkan HMAF 2019

Gagal Jadi Pengusaha, Kini Jadi Pengajar

Terpopuler

Artikel Terbaru

/