31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

BLH Sumut Cari Teknologi Pengurai Sampah

SEIRING perilaku masyarakat Sumatera Utara yang enggan atau malas memisahkan antara sampah organik dan non organik, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Utara terus berupaya mencari solusi bagaimana memecahkan permasalahan sampah di daerah ini.

BERI KETERANGAN: Kadis BLH Sumut Dr Hidayati  saat memberikan keterangan.//istimewa/sumutpos
BERI KETERANGAN: Kadis BLH Sumut Dr Hidayati saat memberikan keterangan.//istimewa/sumutpos

“Saya mencoba mencari solusi permasalahan sampah di Sumut dengan memilih satu teknologi sesuai prilaku masyarakat di Sumut yang mengelola sampahnya tanpa mau memisahkan antara organik dan non organik,” ujar Kepala BLH Sumut Dr Ir Hidayati MSi, kemarin di Medan.

Dengan teknologi itu nantinya, masyarakat tidak perlu lagi memisahkan antara sampah organik maupun non organik. Teknologi tersebut yang akan memeroses sendiri.

Namun, tidak dipungkiri pembangunan teknologinya sedikit mahal dan membutuhkan investor untuk pembangunannya.
“Meski demikian kita tetap berupaya agar teknologi itu bisa terbangun untuk menangani masalah sampah yang ada di Sumut bahkan Indonesia umumnya,” tegas Hidayati.

Memang, lanjut Hidayati, untuk pembangunan teknologi ini pun masih banyak kendala lain yang dihadapi. Prosedur-prosedur untuk investasi masih  terkendala administrasi di Jakarta. Selain itu, untuk pembangunan teknologi inipun harus melalui kajian-kajian yang lebih dalam.

Belum lagi persoalan otonomi daerah turut menjadi hambatan terbangunnya teknologi itu.
“Untuk merealisasikan pembangunan maupun pengoperasian teknologi itu, saya butuh dukungan semua pihak. Jangan pula nanti ada yang berpikiran bahwa Kepala BLH Sumut mendapat proyek pembangunan teknologi ini,” cetus Hidayati.

Karena pada pelaksanaan nantinya, harus ditanggungjawabi oleh instansi teknis, bukan BLH Sumut. “BLH hanya fasilitator saja, yang bertanggungjawab tetap instansi teknis seperti Tarukim,” jelas Hidayati. Dengan adanya teknologi itu, diharapkan persoalan sampah yang tak kunjung usai di daerah ini bisa tertangani nantinya. Jadi masyarakat sudah tidak perlu lagi memilah-milah sampah organik maupun non organik seperti selama ini dilakukan masyarakat.

Selama ini, lanjut Hidayati, daur ulang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat hanya bersifat meminimisasi antara sampah organik dan anorganik saja. Belum kepada inti persoalan penyelesaian masalah sampah.

Masyarakat hanya memisahkan antara sampah bernilai ekonomi dan non ekonomi yang kemudian dijual untuk menambah pendapatan.

Sebenarnya, jika sampah yang non ekonomi itu diolah menjadi bahan dasar listrik, cara ini tentu juga dapat mendatangkan finansial lainnya bagi masyarakat.

“Yang jelas saya sudah coba mencari solusi untuk persoalan sampah melalui teknologi tersebut. Dan saya tetap butuh dukungan dari berbagai pihak agar bisa terwujud,” ujarnya.

Daur Ulang Bernilai Ekonomi
Menyulap barang bekas/sampah menjadi barang bernilai ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun kelompok pengrajin daur ulang menurut Hidayati sampai saat ini masih sebatas hobi. Kualitasnya pun masih terlihat indah di dalam partisi pameran.

“Belumlah dapat diandalkan sebagai mata pencarian untuk makan,” cetusnya.
Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan quality control terhadap produk daur ulang hingga kini memang belum ada. Karena itu, BLH Sumut sangat mengapresiasi perusahaan-perusahaan yang merealisasikan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap masyarakat maupun kelompok pengrajin daur ulang sampah.

“Semoga dengan adanya CSR itu, kemlompok masyarakat dapat dibina dan diberi pelatihan mengenai bagaimana sistem quality control itu dapat berjalan. Baik meliputi keseragaman produk, kemasan produk dan keindahan produk. Ini harus dipertimbangkan dan dipelajari. Jika kita benar-benar ingin memasarkan produk daur ulang hingga luar negeri,” papar Hidayati.

Orang luar negeri bisa saja menerima. Namun, dengan produk tanpa standar, mereka tidak akan mau menerimanya. Apalagi memasarkan produk-produk daur ulang yang tidak seragam.
Untuk itu, lanjut Hidayati, khususnya pengelola lingkungan maupun pihak-pihak berwenang perlu kiranya secara bersama memberikan ilmu-ilmu yang lebih advance kepada masyarakat. Tidak hanya sekadar menyuruh namun tidak diberikan pelatihan quality control maupun pelatihan inovasi dan lainnya.

“Karena itu juga saya berkeinginan membentuk suatu kelompok pengrajin daur ulang di Sumut. “Kita ingin memberi penguatan-penguatan kepada masyarakat agar produk daur ulang mereka nantinya dapat dipasarkan dan memenuhi standar,” katanya. (*/des)

SEIRING perilaku masyarakat Sumatera Utara yang enggan atau malas memisahkan antara sampah organik dan non organik, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Utara terus berupaya mencari solusi bagaimana memecahkan permasalahan sampah di daerah ini.

BERI KETERANGAN: Kadis BLH Sumut Dr Hidayati  saat memberikan keterangan.//istimewa/sumutpos
BERI KETERANGAN: Kadis BLH Sumut Dr Hidayati saat memberikan keterangan.//istimewa/sumutpos

“Saya mencoba mencari solusi permasalahan sampah di Sumut dengan memilih satu teknologi sesuai prilaku masyarakat di Sumut yang mengelola sampahnya tanpa mau memisahkan antara organik dan non organik,” ujar Kepala BLH Sumut Dr Ir Hidayati MSi, kemarin di Medan.

Dengan teknologi itu nantinya, masyarakat tidak perlu lagi memisahkan antara sampah organik maupun non organik. Teknologi tersebut yang akan memeroses sendiri.

Namun, tidak dipungkiri pembangunan teknologinya sedikit mahal dan membutuhkan investor untuk pembangunannya.
“Meski demikian kita tetap berupaya agar teknologi itu bisa terbangun untuk menangani masalah sampah yang ada di Sumut bahkan Indonesia umumnya,” tegas Hidayati.

Memang, lanjut Hidayati, untuk pembangunan teknologi ini pun masih banyak kendala lain yang dihadapi. Prosedur-prosedur untuk investasi masih  terkendala administrasi di Jakarta. Selain itu, untuk pembangunan teknologi inipun harus melalui kajian-kajian yang lebih dalam.

Belum lagi persoalan otonomi daerah turut menjadi hambatan terbangunnya teknologi itu.
“Untuk merealisasikan pembangunan maupun pengoperasian teknologi itu, saya butuh dukungan semua pihak. Jangan pula nanti ada yang berpikiran bahwa Kepala BLH Sumut mendapat proyek pembangunan teknologi ini,” cetus Hidayati.

Karena pada pelaksanaan nantinya, harus ditanggungjawabi oleh instansi teknis, bukan BLH Sumut. “BLH hanya fasilitator saja, yang bertanggungjawab tetap instansi teknis seperti Tarukim,” jelas Hidayati. Dengan adanya teknologi itu, diharapkan persoalan sampah yang tak kunjung usai di daerah ini bisa tertangani nantinya. Jadi masyarakat sudah tidak perlu lagi memilah-milah sampah organik maupun non organik seperti selama ini dilakukan masyarakat.

Selama ini, lanjut Hidayati, daur ulang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat hanya bersifat meminimisasi antara sampah organik dan anorganik saja. Belum kepada inti persoalan penyelesaian masalah sampah.

Masyarakat hanya memisahkan antara sampah bernilai ekonomi dan non ekonomi yang kemudian dijual untuk menambah pendapatan.

Sebenarnya, jika sampah yang non ekonomi itu diolah menjadi bahan dasar listrik, cara ini tentu juga dapat mendatangkan finansial lainnya bagi masyarakat.

“Yang jelas saya sudah coba mencari solusi untuk persoalan sampah melalui teknologi tersebut. Dan saya tetap butuh dukungan dari berbagai pihak agar bisa terwujud,” ujarnya.

Daur Ulang Bernilai Ekonomi
Menyulap barang bekas/sampah menjadi barang bernilai ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun kelompok pengrajin daur ulang menurut Hidayati sampai saat ini masih sebatas hobi. Kualitasnya pun masih terlihat indah di dalam partisi pameran.

“Belumlah dapat diandalkan sebagai mata pencarian untuk makan,” cetusnya.
Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan quality control terhadap produk daur ulang hingga kini memang belum ada. Karena itu, BLH Sumut sangat mengapresiasi perusahaan-perusahaan yang merealisasikan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap masyarakat maupun kelompok pengrajin daur ulang sampah.

“Semoga dengan adanya CSR itu, kemlompok masyarakat dapat dibina dan diberi pelatihan mengenai bagaimana sistem quality control itu dapat berjalan. Baik meliputi keseragaman produk, kemasan produk dan keindahan produk. Ini harus dipertimbangkan dan dipelajari. Jika kita benar-benar ingin memasarkan produk daur ulang hingga luar negeri,” papar Hidayati.

Orang luar negeri bisa saja menerima. Namun, dengan produk tanpa standar, mereka tidak akan mau menerimanya. Apalagi memasarkan produk-produk daur ulang yang tidak seragam.
Untuk itu, lanjut Hidayati, khususnya pengelola lingkungan maupun pihak-pihak berwenang perlu kiranya secara bersama memberikan ilmu-ilmu yang lebih advance kepada masyarakat. Tidak hanya sekadar menyuruh namun tidak diberikan pelatihan quality control maupun pelatihan inovasi dan lainnya.

“Karena itu juga saya berkeinginan membentuk suatu kelompok pengrajin daur ulang di Sumut. “Kita ingin memberi penguatan-penguatan kepada masyarakat agar produk daur ulang mereka nantinya dapat dipasarkan dan memenuhi standar,” katanya. (*/des)

Artikel Terkait

Bobby Resmikan Pekan Kuliner Kondang

Dua Artis Meriahkan HMAF 2019

Gagal Jadi Pengusaha, Kini Jadi Pengajar

Terpopuler

Artikel Terbaru

/