32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Ekspor Cokelat Sumut Tertekan

MEDAN- Nilai ekspor biji cokelat asal Sumatera Utara mulai tertekan sejak embargo negara Pantai Gading dan Ghana akibat krisis politik di cabut pada Juni 2012. Saat ini, kedua negara produsen biji cokelat tersebut mulai mencari pasar kembali.

Dari data Surat Keterangan Asal (SKA) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut Subdis Perdagangan Luar Negeri, nilai ekspor biji cokelat hingga November 2012 turun 31,03% menjadi USD67,587 juta dengan volume 28.120 ton dari periode sama tahun lalu sebesar USD97,996 juta dengan volume 31.089 ton. Penurunan tersebut, karena 2 negara dari benua Afrika tersebut mulai kembali mendatangi negara-negara konsumen sebelumnya. Karena, saat adanya embargo politik yang terjadi selama 3 tahun, importir mencari pengalihan ke Indonesia, tepatnya di Sumut.

“Sekarang, setelah embargo di cabut, Pantai Gading dan Ghana mencari pelanggan-pelanggannya yang dulu. Itu lah yang membuat ekspor biji cokelat kita terus turun karena importir juga mulai kembali membeli biji cokelat ke negara itu,” ujarnya.

Selain masalah embargo, penetapan bea keluar (BK) kakao yang masih 5% juga menjadi penghambat ekspor komoditi itu. Apabila pemerintah menurunkan atau membatalkan tentu bisa mendongkrak nilai ekspor salah satu komoditi utama ekspor asal daerah ini tersebut. “Pantai Gading dan Ghana tidak ada memberlakukan BK jadi ekspor kita terus tertekan. Jadi, tidak menimbulkan masalah bagi eksportir kakao.” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia (AEKI) Sumut, Andryanus Simanjuntak mengatakan, ekspor kakao sulit di dongkrak karena berbagai kondisi baik secara eksternal maupun internal. Kondisi eksternal karena krisis global yang masih memberatkan eksportir melakukan ekspor sementara secara internal, penerapan kebijakan BK membuat eksportir lesu. “Harga memang sudah mulai naik menjadi Rp23 ribu per kg namun harga segitu masih rendah karena sebelumnya sempat mencapai Rp25 ribu per kg. Kalau bukan untuk memenuhi kontrak, perdagangan kakao sangat sepi,” katanya.

Sementara jika bicara produksi, jika dilihat sebenarnya juga tidak begitu tinggi yaitu sekitar 400 ton. Dengan harga seperti sekarang ini, petani juga enggan menjual meski produksinya tidak banyak. “Kita lihat bagaimana tahun depan apakah industri kakao masih akan berkembang pesat atau tidak,” katanya. (ram)
yang juga berdampak terhadap permintaan,” pungkasnya

MEDAN- Nilai ekspor biji cokelat asal Sumatera Utara mulai tertekan sejak embargo negara Pantai Gading dan Ghana akibat krisis politik di cabut pada Juni 2012. Saat ini, kedua negara produsen biji cokelat tersebut mulai mencari pasar kembali.

Dari data Surat Keterangan Asal (SKA) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut Subdis Perdagangan Luar Negeri, nilai ekspor biji cokelat hingga November 2012 turun 31,03% menjadi USD67,587 juta dengan volume 28.120 ton dari periode sama tahun lalu sebesar USD97,996 juta dengan volume 31.089 ton. Penurunan tersebut, karena 2 negara dari benua Afrika tersebut mulai kembali mendatangi negara-negara konsumen sebelumnya. Karena, saat adanya embargo politik yang terjadi selama 3 tahun, importir mencari pengalihan ke Indonesia, tepatnya di Sumut.

“Sekarang, setelah embargo di cabut, Pantai Gading dan Ghana mencari pelanggan-pelanggannya yang dulu. Itu lah yang membuat ekspor biji cokelat kita terus turun karena importir juga mulai kembali membeli biji cokelat ke negara itu,” ujarnya.

Selain masalah embargo, penetapan bea keluar (BK) kakao yang masih 5% juga menjadi penghambat ekspor komoditi itu. Apabila pemerintah menurunkan atau membatalkan tentu bisa mendongkrak nilai ekspor salah satu komoditi utama ekspor asal daerah ini tersebut. “Pantai Gading dan Ghana tidak ada memberlakukan BK jadi ekspor kita terus tertekan. Jadi, tidak menimbulkan masalah bagi eksportir kakao.” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia (AEKI) Sumut, Andryanus Simanjuntak mengatakan, ekspor kakao sulit di dongkrak karena berbagai kondisi baik secara eksternal maupun internal. Kondisi eksternal karena krisis global yang masih memberatkan eksportir melakukan ekspor sementara secara internal, penerapan kebijakan BK membuat eksportir lesu. “Harga memang sudah mulai naik menjadi Rp23 ribu per kg namun harga segitu masih rendah karena sebelumnya sempat mencapai Rp25 ribu per kg. Kalau bukan untuk memenuhi kontrak, perdagangan kakao sangat sepi,” katanya.

Sementara jika bicara produksi, jika dilihat sebenarnya juga tidak begitu tinggi yaitu sekitar 400 ton. Dengan harga seperti sekarang ini, petani juga enggan menjual meski produksinya tidak banyak. “Kita lihat bagaimana tahun depan apakah industri kakao masih akan berkembang pesat atau tidak,” katanya. (ram)
yang juga berdampak terhadap permintaan,” pungkasnya

Artikel Terkait

Bobby Resmikan Pekan Kuliner Kondang

Dua Artis Meriahkan HMAF 2019

Gagal Jadi Pengusaha, Kini Jadi Pengajar

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/