25.6 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Hakim Tipikor Medan: Jangan Digembar-gemborkan

Hakim pengadilan tindak pidana korupsi di PN (Pengadilan Negeri) Medan, Denny Iskandar SH mengaku tidak begitu ambil pusing dengan laporan ICW terkait 84 hakim tipikor di Indonesia, dimana 6 di antaranya hakim di Medan yang dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA) serta KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

“Itu hak mereka. Laporkan saja. Sampai sekarang di kalangan hakim PN Medan, saya juga belum mendengar siapa saja nama hakim di Medan yang dilaporkan itu. Saya tahunya juga dari sejumlah media yang memberitakan hal tersebut,” ucap Denny yang merupakan hakim Ad hoc di Pengadilan Tipikor Medan.

Dinyatakannya, saat ini masalah korupsi terlalu digembor-gemborkan. Bahkan vonis bebas yang dikeluarkan Majelis Hakim terhadap terdakwa korupsi terlalu dipermasalahkan. Padahal, katanya, Majelis Hakim mengambil keputusan tetap berdasarkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
“Saya pikir jangan terlalu digembor-gemborkan lah. Apalagi soal vonis bebas yang dijatuhkan. Majelis Hakim kan tetap mengacu pada KUHP. Jadi jangan kami yang disalahkan. Kalau tidak puas dengan keputusan itu, ubah saja kembali KUHP nya,” ungkap Denny.

Namun, sambungnya, laporan ICW tersebut dijadikan beberapa pihak untuk mencari kesempatan. “Jadi soal yang beginian, selalu dijadikan beberapa pihak untuk mencari nama. Padahal putusan itu kita jatuhkan sesuai KUHP. Jadi kalau memang tidak setuju, baca lagi KUHP. Jangan asal ngomong aja.
Terkait laporan ICW tersebut, Denny mengaku sangat mendukung. “Itu bagus, biar ada evaluasi di kalangan penegak hukum. Kalau bisa besok kami dipanggil dan diperiksa, juga tidak masalah. Tapi tolong jangan buat yang nggak-nggak. Asal tujuannya untuk kebaikan, kita tetap dukung. Kalau misalnya saya termasuk 6 hakim di Medan yang juga dilaporkan, aku senang, malah terkenal aku. Jadi ada evaluasi buat ku,” ungkapnya.
Disebutkan Denny, dirinya sendiri tidak memungkiri masih adanya hakim nakal.

“Memang ada yang seperti itu. Tapi semuanya tergantung moral. Jadi tidak bisa juga disalahkan intitusinya atau cara perekrutan hakimnya. Selama ini, kami juga sering diberi arahan oleh Ketua PN. Beliau juga sering mengingatkan kami,” terangnya.

Denny juga sempat ‘curhat’ saat disinggung mengenai perekrutan hakim Ad hoc yang harus mendapat perhatian khusus.

“Yang bilang perekrutan hakim Ad hoc seperti itu, namanya tidak ada otak. Karena saat perekrutan kami hanya diberi segelas air mineral dan gorengan. Kami harus menjalani proses seleksi dari pagi sampai malam. Bahkan ada teman saya yang sampai muntah-muntah gara-gara itu. Sebenarnya ya, jadi hakim Ad hoc itu tidak enak. Kami hanya bertugas sebagai hakim hingga 5 tahun. Setelah itu tidak dapat apa-apa. Tidak seperti anggota DPRD yang dapat fasilitas lengkap,” bebernya lagi.

Sementara itu, Pengamat Sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU) Badaruddin yang dimintai pendapatnya soal banyaknya hakim nakal mengatakan, masih banyaknya hakim yang nakal disebabkan tidak komitmennya hakim terhadap tugas yang dilakukan serta adanya krisis moral dalam penegakan hukum.

“Kenapa akhirnya banyak hakim-hakim kita yang nakal, ini disebabkan tidak adanya komitment mereka. Saya pikir mereka tidak berdiri sendiri. Artinya hakim-hakim ini juga mungkin dipengaruhi oleh advokat atau terdakwa yang menghubungi mereka. Pada akhirnya mental-mental hakim yang tidak kuat ini terpengaruh juga,” ujar Badaruddin.

Dikatakannya, faktor yang menyebabkan masih banyaknya hakim nakal disebabkan moralitas. “Jadi kita lihat ada kecelakaan mentalitas juga dalam masyarakat kita. Faktor yang paling kuat yaitu moralitas nya. Saya fikir, kalau dikatakan masalah gaji yang diperoleh hakim kurang bukan faktor yang signifikant. Karena kalau dilihat dari kemampuan ekonomi mereka sudah mapan,” sebutnya.

Namun, pihaknya tetap optimis dengan masih adanya hakim bersih. “Saya pikir masih ada hakim yg bersih walaupun jumlahnya sangat sedikit. Tapi tingkatannya mungkin berbeda-beda. Ada yang nakalnya kelewatan, sedang-sedang saja, atau barangkali ada yang memang bersih. Tapi memang lebih tinggi hakim nakalnya berdasarkan pola perilaku masyarakat yang kita lihat serta dari temuan ICW,” ujarnya.

Pihaknya juga mengkritisi proses perekrutan hakim Ad hoc. Dimana seharusnya perekrutan hakim Ad hoc tidak semata-mata melihat kecerdasannya saja. Tapi juga melihat track record-nya.

“Track record-nya seperti apa selama ini. Berapa banyak kasus korupsi yang telah divonis bebas hakim tersebut. Ini harusnya menjadi bahan pertimbangan,” tegasnya.

Untuk itu, harus ada evaluasi secara konfrehensif. “Jadi kita harus optimis dengan adanya penegak hukum yang bersih. Karena ini proses terus ya. Semakin banyak kasus yang bisa terungkap, sebenarnya ini gambaran mereka sudah mulai bekerja. Selama ini banyak kasus yang tidak terungkap bukan berarti itu bersih. (far)

Hakim pengadilan tindak pidana korupsi di PN (Pengadilan Negeri) Medan, Denny Iskandar SH mengaku tidak begitu ambil pusing dengan laporan ICW terkait 84 hakim tipikor di Indonesia, dimana 6 di antaranya hakim di Medan yang dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA) serta KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

“Itu hak mereka. Laporkan saja. Sampai sekarang di kalangan hakim PN Medan, saya juga belum mendengar siapa saja nama hakim di Medan yang dilaporkan itu. Saya tahunya juga dari sejumlah media yang memberitakan hal tersebut,” ucap Denny yang merupakan hakim Ad hoc di Pengadilan Tipikor Medan.

Dinyatakannya, saat ini masalah korupsi terlalu digembor-gemborkan. Bahkan vonis bebas yang dikeluarkan Majelis Hakim terhadap terdakwa korupsi terlalu dipermasalahkan. Padahal, katanya, Majelis Hakim mengambil keputusan tetap berdasarkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
“Saya pikir jangan terlalu digembor-gemborkan lah. Apalagi soal vonis bebas yang dijatuhkan. Majelis Hakim kan tetap mengacu pada KUHP. Jadi jangan kami yang disalahkan. Kalau tidak puas dengan keputusan itu, ubah saja kembali KUHP nya,” ungkap Denny.

Namun, sambungnya, laporan ICW tersebut dijadikan beberapa pihak untuk mencari kesempatan. “Jadi soal yang beginian, selalu dijadikan beberapa pihak untuk mencari nama. Padahal putusan itu kita jatuhkan sesuai KUHP. Jadi kalau memang tidak setuju, baca lagi KUHP. Jangan asal ngomong aja.
Terkait laporan ICW tersebut, Denny mengaku sangat mendukung. “Itu bagus, biar ada evaluasi di kalangan penegak hukum. Kalau bisa besok kami dipanggil dan diperiksa, juga tidak masalah. Tapi tolong jangan buat yang nggak-nggak. Asal tujuannya untuk kebaikan, kita tetap dukung. Kalau misalnya saya termasuk 6 hakim di Medan yang juga dilaporkan, aku senang, malah terkenal aku. Jadi ada evaluasi buat ku,” ungkapnya.
Disebutkan Denny, dirinya sendiri tidak memungkiri masih adanya hakim nakal.

“Memang ada yang seperti itu. Tapi semuanya tergantung moral. Jadi tidak bisa juga disalahkan intitusinya atau cara perekrutan hakimnya. Selama ini, kami juga sering diberi arahan oleh Ketua PN. Beliau juga sering mengingatkan kami,” terangnya.

Denny juga sempat ‘curhat’ saat disinggung mengenai perekrutan hakim Ad hoc yang harus mendapat perhatian khusus.

“Yang bilang perekrutan hakim Ad hoc seperti itu, namanya tidak ada otak. Karena saat perekrutan kami hanya diberi segelas air mineral dan gorengan. Kami harus menjalani proses seleksi dari pagi sampai malam. Bahkan ada teman saya yang sampai muntah-muntah gara-gara itu. Sebenarnya ya, jadi hakim Ad hoc itu tidak enak. Kami hanya bertugas sebagai hakim hingga 5 tahun. Setelah itu tidak dapat apa-apa. Tidak seperti anggota DPRD yang dapat fasilitas lengkap,” bebernya lagi.

Sementara itu, Pengamat Sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU) Badaruddin yang dimintai pendapatnya soal banyaknya hakim nakal mengatakan, masih banyaknya hakim yang nakal disebabkan tidak komitmennya hakim terhadap tugas yang dilakukan serta adanya krisis moral dalam penegakan hukum.

“Kenapa akhirnya banyak hakim-hakim kita yang nakal, ini disebabkan tidak adanya komitment mereka. Saya pikir mereka tidak berdiri sendiri. Artinya hakim-hakim ini juga mungkin dipengaruhi oleh advokat atau terdakwa yang menghubungi mereka. Pada akhirnya mental-mental hakim yang tidak kuat ini terpengaruh juga,” ujar Badaruddin.

Dikatakannya, faktor yang menyebabkan masih banyaknya hakim nakal disebabkan moralitas. “Jadi kita lihat ada kecelakaan mentalitas juga dalam masyarakat kita. Faktor yang paling kuat yaitu moralitas nya. Saya fikir, kalau dikatakan masalah gaji yang diperoleh hakim kurang bukan faktor yang signifikant. Karena kalau dilihat dari kemampuan ekonomi mereka sudah mapan,” sebutnya.

Namun, pihaknya tetap optimis dengan masih adanya hakim bersih. “Saya pikir masih ada hakim yg bersih walaupun jumlahnya sangat sedikit. Tapi tingkatannya mungkin berbeda-beda. Ada yang nakalnya kelewatan, sedang-sedang saja, atau barangkali ada yang memang bersih. Tapi memang lebih tinggi hakim nakalnya berdasarkan pola perilaku masyarakat yang kita lihat serta dari temuan ICW,” ujarnya.

Pihaknya juga mengkritisi proses perekrutan hakim Ad hoc. Dimana seharusnya perekrutan hakim Ad hoc tidak semata-mata melihat kecerdasannya saja. Tapi juga melihat track record-nya.

“Track record-nya seperti apa selama ini. Berapa banyak kasus korupsi yang telah divonis bebas hakim tersebut. Ini harusnya menjadi bahan pertimbangan,” tegasnya.

Untuk itu, harus ada evaluasi secara konfrehensif. “Jadi kita harus optimis dengan adanya penegak hukum yang bersih. Karena ini proses terus ya. Semakin banyak kasus yang bisa terungkap, sebenarnya ini gambaran mereka sudah mulai bekerja. Selama ini banyak kasus yang tidak terungkap bukan berarti itu bersih. (far)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/