23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Pasokan Gas Industri Juga Tersendat

Karut marut pasokan gas untuk industri di Sumut yang dialami industri di Kota Medan semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, kini industri-industri di Kota Medan hanya mendapat pasokan sebanyak 7 mmcsfd saja dari yang seharusnya mereka terima sebesar 12 mmscfd.

“Sampai saat ini pasokan yang kita terima sudah turun 5 mmscfd. Itu artinya akan berpengaruh terhadap kinerja produksi perusahaan,” kata Ketua Asosiasi Pemakai Gas (Apigas) Sumut, Johan Brien kepada wartawan, Kamis (28/2).

Bahkan bukan tidak mungkin, bila tidak ada solusi jangka pendek yang bisa menjawab kebutuhan pasokan energi ini, maka 54 industri yang menggantungkan pasokan energinya dari gas itu akan tutup. Maka, resikonya akan mengakibatkan sekitar 70 ribu – 100 ribu tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan.

Saat ini, ungkap Johan, resiko di masa krisis gas ini baru disektor turunnya nilai produksi masing-masing industri.
“Kita belum tahu akan kemana resiko ini berjalan. Kita lihat saja nanti diakhir Maret,” tukas Johan lagi.

Johan mengungkapkan ke-54 industri yang hidupnya tergantung dengan pasokan gas ini sudah pasrah. Industri-industri tersebut adalah industri di sector produksi sarung tangan, oleochemical, keramik, CPO dan tepung.

Saat ini, industri-industri tersebut sudah tidak punya solusi lagi. Mereka hanya menyerahkan dirinya pada keputusan pemerintah. Bahkan ketika pemerintah menawarkan agar industri-industri tersebut menggunakan batubara ataupun cangkang sawit sebagai energi pengganti gas, bukanlah pilihan yang tepat dalam kondisi saat ini.

Tentu saja itu akan menambah biaya dan membutuhkan waktu. Khusus untuk energi berbasis batubara, maka harus disiapkan pula unit pengolahan limbahnya.

Resiko lain sebagai  dampak dari krisis gas ini adalah sangat mungkin bila para pengusaha akan mengalihkan investasinya ke Malaysia. Selain ketersediaan pasokan gasnya jelas, juga keamanannya lebih terjamin.  “Di sana juga ada industri oleochemical seperti di Medan,” imbuhnya.

Selain itu Johan sendiri juga mengaku sudah kesal dengan pemerintah yang merasa Sumatera Utara ini dianaktirikan. Dalam konteks pasokan gas ini, Apigas Sumut telah meminta kepastian pasokan energi sejak 2001. Tapi tidak pernah direspon baik oleh pemerintah.

Bahkan instruksi presiden terkait dengan penyediaan Floating Storage Regasification Unit  (FSRU) yang semula hendak dibangun di Belawan dengan mudahnya dialihkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan ke Lampung. Hingga akhirnya, pemerintah melalui Pertamina hanya bisa memberi solusi pipanisasi gas dari Arun, Lhokseumawe ke Medan, Sumut sepanjang 375 km. Rencana waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini lebih dari setahun.
Sementara, industri di Medan sudah megap-megap di Maret 2013 ini. “Kita bingung, dan sudah tidak ada kepastian hukum di negeri ini. Jadi kita serahkan saja ke pemerintah. Mereka yang punya kuasa dan sumber daya,” kesal Johan.

Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas terkait pengelolaan gas di Indonesia. Bahkan pelaku industri nasional yang seharusnya mendapatkan prioritas utama justru dianaktirikan dalam pembagian jatah pasokan gas. Kasus kelangkaan pasokan gas yang terjadi di Sumatera Utara (Sumut), menjadi bukti karut-marutnya pengelolaan gas di Indonesia.

“Pelaku industri di Sumut sudah sejak 10 tahun lalu teriak-teriak soal pasokan gas, tapi tidak pernah didengar oleh pemerintah, sampai akhirnya sekarang krisis pasokan gas benar-benar terjadi,” kata Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Achmad Widjaja, saat dihubungi wartawan, Selasa (26/2).

Menurut Achmad, dalam kasus ini pihak PGN selaku penyalur juga tidak bisa disalahkan karena pasokan dari hulunya tidak ada. “Ibarat mobil PGN tidak diberi bensin,” ujarnya.

Dia menambahkan, kasus kelangkaan pasokan gas industri yang terjadi di Sumut,  merupakan persoalan besar bagi industri nasional yang diakibatkan tidak jelasnya perencanaan yang disusun oleh pemerintah.

“Padahal sudah sejak 3 hingga 5 tahun terakhir pelaku industri di Sumut telah membayar harga gas jauh lebih mahal dibandingkan industri di Jawa, yakni di atas US$ 10 per MMBTU, tapi keluhan mereka tidak pernah didengar,” tukasnya.

Kadin sendiri mendesak pemerintah segera turun tangan untuk mengatasi krisis pasokan gas yang terjadi di Sumut, karena jika tidak segera diselesaikan para pelaku industri lah yang akan menjadi korban.

“Kontrak kita masih berjalan hingga Mei 2013, jadi mau tidak mau pasokan untuk Maret hingga Mei harus tetap dipenuhi,” pungkasnya.(rel/mea)

Karut marut pasokan gas untuk industri di Sumut yang dialami industri di Kota Medan semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, kini industri-industri di Kota Medan hanya mendapat pasokan sebanyak 7 mmcsfd saja dari yang seharusnya mereka terima sebesar 12 mmscfd.

“Sampai saat ini pasokan yang kita terima sudah turun 5 mmscfd. Itu artinya akan berpengaruh terhadap kinerja produksi perusahaan,” kata Ketua Asosiasi Pemakai Gas (Apigas) Sumut, Johan Brien kepada wartawan, Kamis (28/2).

Bahkan bukan tidak mungkin, bila tidak ada solusi jangka pendek yang bisa menjawab kebutuhan pasokan energi ini, maka 54 industri yang menggantungkan pasokan energinya dari gas itu akan tutup. Maka, resikonya akan mengakibatkan sekitar 70 ribu – 100 ribu tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan.

Saat ini, ungkap Johan, resiko di masa krisis gas ini baru disektor turunnya nilai produksi masing-masing industri.
“Kita belum tahu akan kemana resiko ini berjalan. Kita lihat saja nanti diakhir Maret,” tukas Johan lagi.

Johan mengungkapkan ke-54 industri yang hidupnya tergantung dengan pasokan gas ini sudah pasrah. Industri-industri tersebut adalah industri di sector produksi sarung tangan, oleochemical, keramik, CPO dan tepung.

Saat ini, industri-industri tersebut sudah tidak punya solusi lagi. Mereka hanya menyerahkan dirinya pada keputusan pemerintah. Bahkan ketika pemerintah menawarkan agar industri-industri tersebut menggunakan batubara ataupun cangkang sawit sebagai energi pengganti gas, bukanlah pilihan yang tepat dalam kondisi saat ini.

Tentu saja itu akan menambah biaya dan membutuhkan waktu. Khusus untuk energi berbasis batubara, maka harus disiapkan pula unit pengolahan limbahnya.

Resiko lain sebagai  dampak dari krisis gas ini adalah sangat mungkin bila para pengusaha akan mengalihkan investasinya ke Malaysia. Selain ketersediaan pasokan gasnya jelas, juga keamanannya lebih terjamin.  “Di sana juga ada industri oleochemical seperti di Medan,” imbuhnya.

Selain itu Johan sendiri juga mengaku sudah kesal dengan pemerintah yang merasa Sumatera Utara ini dianaktirikan. Dalam konteks pasokan gas ini, Apigas Sumut telah meminta kepastian pasokan energi sejak 2001. Tapi tidak pernah direspon baik oleh pemerintah.

Bahkan instruksi presiden terkait dengan penyediaan Floating Storage Regasification Unit  (FSRU) yang semula hendak dibangun di Belawan dengan mudahnya dialihkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan ke Lampung. Hingga akhirnya, pemerintah melalui Pertamina hanya bisa memberi solusi pipanisasi gas dari Arun, Lhokseumawe ke Medan, Sumut sepanjang 375 km. Rencana waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini lebih dari setahun.
Sementara, industri di Medan sudah megap-megap di Maret 2013 ini. “Kita bingung, dan sudah tidak ada kepastian hukum di negeri ini. Jadi kita serahkan saja ke pemerintah. Mereka yang punya kuasa dan sumber daya,” kesal Johan.

Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas terkait pengelolaan gas di Indonesia. Bahkan pelaku industri nasional yang seharusnya mendapatkan prioritas utama justru dianaktirikan dalam pembagian jatah pasokan gas. Kasus kelangkaan pasokan gas yang terjadi di Sumatera Utara (Sumut), menjadi bukti karut-marutnya pengelolaan gas di Indonesia.

“Pelaku industri di Sumut sudah sejak 10 tahun lalu teriak-teriak soal pasokan gas, tapi tidak pernah didengar oleh pemerintah, sampai akhirnya sekarang krisis pasokan gas benar-benar terjadi,” kata Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Achmad Widjaja, saat dihubungi wartawan, Selasa (26/2).

Menurut Achmad, dalam kasus ini pihak PGN selaku penyalur juga tidak bisa disalahkan karena pasokan dari hulunya tidak ada. “Ibarat mobil PGN tidak diberi bensin,” ujarnya.

Dia menambahkan, kasus kelangkaan pasokan gas industri yang terjadi di Sumut,  merupakan persoalan besar bagi industri nasional yang diakibatkan tidak jelasnya perencanaan yang disusun oleh pemerintah.

“Padahal sudah sejak 3 hingga 5 tahun terakhir pelaku industri di Sumut telah membayar harga gas jauh lebih mahal dibandingkan industri di Jawa, yakni di atas US$ 10 per MMBTU, tapi keluhan mereka tidak pernah didengar,” tukasnya.

Kadin sendiri mendesak pemerintah segera turun tangan untuk mengatasi krisis pasokan gas yang terjadi di Sumut, karena jika tidak segera diselesaikan para pelaku industri lah yang akan menjadi korban.

“Kontrak kita masih berjalan hingga Mei 2013, jadi mau tidak mau pasokan untuk Maret hingga Mei harus tetap dipenuhi,” pungkasnya.(rel/mea)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/