Musim pendaftaran mahasiswa baru telah tiba. Calon mahasiswa baru terlihat sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Di tengah hiruk-pikuk pendaftaran, ada baiknya calon mahasiswa baru cermat dalam memilih perguruan tinggi.
Mengapa hal ini penting? Pasalnya, sebagaimana banyak diberitakan, banyak yang termakan tipu daya perguruan tinggi (PT). Mereka rela membayar puluhan juta rupiah demi selembar ijazah. Namun, apa yang mereka dapatkan? Ternyata ijazah tersebut palsu.
Maraknya ijazah illegal dan palsu mengindikasikan bahwa masyarakat masih bermental feodal. Masyarakat mudah terbuai gelar, pangkat, dan kedudukan. Masyarakat memandang bahwa kesejahteraan dapat terjamin dengan memegang ijazah S-1 dan S-2.
Ironisnya, lembaga mulia seperti lembaga pendidikan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem ini. Masyarakat yang memegang gelar kesarjanaan bangga menyandingkan gelar-gelar di depan ataupun di belakang namanya. Bahkan kadang namanya yang pendek tertutup gelar kesarjanaan yang panjang.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa PT sebagai institusi resmi yang boleh mengeluarkan gelar kesarjanaan terjebak dalam sikap pragmatis seperti ini? Mengobral ijazah Peranan PT sebagai lembaga mulia di masyarakat tampaknya sudah mulai bergeser. Kini di masyarakat ada adagium bahwa memperoleh ijazah dan gelar sangat mudah.
Hanya dengan kuliah beberapa bulan saja ijazah sudah dapat dibawa pulang. Tentu mereka harus membayar biaya administrasi yang telah ditentukan atau dijanjikan di awal perkuliahan.
Saya sempat kaget ketika seorang pejabat di daerah saya dengan bangga mengatakan tidak perlu susah payah untuk menumpuk gelar S-2. Lihat saja anggota DPR/DPRD itu, dalam satu tahun telah berhasil meraih gelar MSi atau MH. Apa yang dikatakan pejabat tersebut bukan omong kosong.
Beberapa pejabat dan anggota DPR/DPRD, tanpa harus bersusah payah membuat makalah dan menulis tesis, dalam satu tahun memperoleh gelar master, bahkan tanpa ijazah S-1. Seseorang dapat dengan mudah mendapatkan ijazah S-2. Ketika saya desak di mana kampusnya, sang pejabat enggan memberitahukannya. Fakta tersebut semakin menegaskan bahwa ada PT yang sengaja didirikan untuk mengobral ijazah kepada pegawai, pejabat, atau anggota DPR/DPRD. Adanya PT seperti ini tentu didorong animo masyarakat untuk mendapatkan gelar.
Dengan memperoleh ijazah S-1, misalnya, seseorang dengan mudah naik pangkat ke golongan III/a. Pegawai struktural tidak perlu menunggu waktu tiga sampai empat tahun, sementara pegawai fungsional dua hingga tiga tahun untuk naik pangkat.
Kenaikan pangkat tentu akan menambah pundi-pundi uangnya. Tanpa harus bekerja keras mereka mendapatkan gaji berlimpah. Maka, tidak aneh jika kita banyak menemui pegawai di kantor-kantor layanan masyarakat yang hanya datang, presensi, duduk, bermain game, dan ngobrol di kantor. Tidak ada pekerjaan lain selain hal tersebut.
Kemudahan mendapatkan ijazah ini juga didukung semakin banyaknya PT yang berubah status atau membuka program magister. Hampir semua PT kini telah mempunyai program S-2 walaupun tidak ada guru besar (profesor) atau tenaga pengajar yang mumpuni (doktor, S-3). Dengan satu guru besar yang dipinjam dari kampus lain, sebuah PT sudah dapat membuka program magister.
Datang langsung
Maka dari itu, cermatlah dalam memilih PT. Sebelum mendaftar, cari informasi selengkap mungkin mengenai profil PT, seberapa banyak guru besar dan staf pengajarnya, akreditasinya, dan seterusnya. Jangan mudah percaya dengan brosur atau selebaran. Sekiranya memungkinkan, calon mahasiswa perlu datang langsung melihat kondisi kampus yang akan dituju. Hal ini penting mengingat kini banyak PT asli tetapi palsu (aspal). PT dikelola dengan manajemen duit. Artinya, siapa yang siap membayar jutaan rupiah akan mudah mendapatkan gelar kesarjanaan yang diinginkan.
Guna mencegah masyarakat berperilaku pragmatis seperti ini, pemerintah, terutama Kementerian Pendidikan Nasional cq Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, perlu mendata ulang PT yang sehat dan tidak. Lebih dari itu, pemerintah perlu menindak PT nakal. PT nakal hanya akan semakin memperkeruh iklan PT Indonesia.
PT nakal juga akan menurunkan martabat kampus sebagai lembaga tertinggi dalam strata sosial masyarakat Indonesia. Jika banyak peserta didik yang kurang memenuhi nilai standar ujian nasional 5,5 saja diharuskan mengulang, mengapa banyak PT yang mengobral ijazah, bahkan palsu (ilegal), dibiarkan hidup dan berkembang pesat? Keberanian pemerintah tersebut perlu didukung elemen masyarakat. Sudah saatnya masyarakat berpikir bahwa kuliah bukan hanya masa mencari ijazah.
Kuliah merupakan ajang “adu intelektual”. Di kampus mahasiswa berproses menjadi manusia muda menuju taraf insani, mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada akhirnya, memilih PT yang mempunyai integritas, visi, dan misi yang jelas merupakan pilihan bijak. Pasalnya, PT bukan hanya tempat mencari ijazah dan gelar, melainkan tempat berproses dan menuntut ilmu yang sesungguhnya. (*)