KEPALA Divisi Advokasi dan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani mengatakan, terjadi pelanggaran berlapis-lapis dilakukan oleh pabrik pembuatan alumunium balok dan kuali di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang.
“Ini perkara tidak biasa,” kata Yati, Sabtu (4/5). “Penganiayaan, penyekapan, pemerasan, pelanggaran hak tenaga kerja, perlanggaran perlindungan anak dan perdata, ada di dalam kasus ini.”
KontraS mendesak hukuman seadil-adilnya kepada pemerintah terhadap pelaku pelanggaran tersebut. “Bukan soal aniaya dan hak tenaga kerja saja, perbudakan dan pemerasan ada didalam perkara ini,” ujar Yati.
Peristiwa ini bermula dari laporan dua buruh asal Lampung melarikan diri dari tempat kerjanya tersebut karena mengalami siksaan, perlakuan kasar, penyekapan dan tidak ada pemberian hak-hak yang wajar.
Kedua buruh tersebut bercerita kepada keluarganya, dan dengan difasilitasi lurah setempat, membuat Laporan Polisi di Polres Lampung Utara tanggal 28 April 2013, dengan persangkaan perampasan kemerdekaan orang dan penganiayaan, sebagaimana dimaksud Pasal 333 KUHP dan Pasal 351 KUHP. “Jumlah pelaku enam orang termasuk pemilik, dua diantaranya masih buron,” kata Yati.
Keluarga juga melaporkan perlakuan buruh yang tidak manusiawi tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan hasil koordinasi dgn Polda Metro-Polda Lampung-Polresta Tangerang, maka dilakukan pengecekan lapangan ke TKP pada Jumat, 3 Mei 2013, pukul 14.00 WIB.
Pabrik yang diduga illegal ini dilaporkan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti menyiksa dan menyekap karyawan, mempekerjakan karyawan di bawah umur, dan para karyawan tersebut tidak diberi upah standar. “Pabrik ini sudah beroperasi 1,5 tahun, tapi memperlakukan karyawannya sangat tidak manusiawi,” ujar Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Kota Tangerang Shinto.
Usaha yang dimiliki oleh JK, 40 tahun itu digerebek polisi pada Jumat petang, 3 Mei 2013 kemarin. Di lokasi, polisi menemukan beberapa fakta soal usaha industri rumahan tersebut, yaitu tempat usaha industri tidak memiliki izin industri dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, tempat istirahat buruh berupa ruang tertutup seluas 8 meter x 6 meter tanpa ranjang tempat tidur, hanya alas tikar, kondisi pengab, lembab, gelap, serta kamar mandi yang kondisinya kotor dan jorok karena tidak terawat.
“Dompet dan HP yang dibawa buruh ketika awal bekerja disita oleh JK dan disimpan istrinya tanpa argumentasi yang jelas,” kata Shinto. “Buruh yang sudah bekerja dua bulan dijanjikan akan mendapat upah sebesar Rp 600 ribu perbulan. “Tapi gaji tidak diberikan,” katanya.
Saat penggerebekan, polisi juga menemukan enam orang buruh yang sedang disekap dengan kondisi ruangan dikunci dari luar. Kondisi para buruh tersebut sangat memprihatinkan. Pakaian yang dikenakan kumal, compang-camping karena berbulan-bulan tidak ganti. “Kondisi tubuh buruh juga tidak terawat. Rambut cokelat, kelopak mata gelap, berpenyakit kulit (kurap dan gatal-gatal), terlihat tidak sehat,” kata Shinto.
Para buruh tersebut mengaku diperlakukan tidak manusiawi. Hak-hak terkait kesehatan dan hak untuk berkomunikasi diabaikan oleh pemilik usaha tersebut. Polisi juga me nemukan empat orang buruh yang masih berusia di bawah 17 tahun dengan status masih anak-anak. (net/jpnn)