Fasilitas Dilengkapi, Berjualan Sampai Malam
Relokasi pedagang buku dari komplek Lapangan Merdeka Medan ke Jalan Pegadaian dilakukan bertahap. Hal ini menyusul kesiapan pembangunan kios yang dilakukan Pemko Medan.
Namun, ditargetkan Januari ini juga, pelaksanaan relokasi harus tuntas secara keseluruhan.
Kondisi ini juga melihat target pembangunan sky brigde (jembatan penghubung) antara Lapangan Merdeka dengan Stasiun Kereta Api (KA), sebagai sarana penunjang city chek in yang rencananya akan beroperasi pada Februari.
Wali Kota Medan Rahudman Harahap juga optimistis pembangunan 180 kios pedagang buku bekas di Jalan Pegadaian bisa rampung bulan ini. Dengan begitu, pedagang buku di Lapangan Merdeka bakal segera dipindah.
“Kios pedagang segera rampung, sebab, tinggal tahap penyelesaian. Jadi pedagang buku akan segera kami pindah,” katanya di sela-sela kunjungannya ke lokasi pedagang buku di Jalan Pegadaian. Rahudman memastikan bahwa fasilitas pendukung bagi pedagang dalam berjualan bakal dilengkapi, mulai dari rak buku, jalan dan lampu jalan. Dengan begitu pedagang bisa berjualan sampai malam.
“Nanti kami juga akan bantu modal mereka melalui dana bergulir dengan sistem koperasi,” pungkasnya. Sejauh ini, kios pedagang buku di Jalan Pegadaian sudah selesai dibangun sebanyak 80 unit dari 180 kios yang akan dibangun.
“Sudah selesai 80 kios, sisanya sedang proses pembangunannya. Januari inilah rampung semua,” kata Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan dan Pengembangan Perumahan Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Medan Bukhari.
Kata dia, sebanyak 20 pedagang buku bekas di Lapangan Merdeka sudah direlokasi ke Jalan Pegadaian.Sisanya dipastikan dipindah begitu seluruh kios pedagang di Jalan Pegadaian rampung dibangun. ”Para pedagang yang sudah direlokasi ini adalah pedagang yang lapaknya dijadikan tempat pondasi tiang penopang sky bridge Lapangan Merdeka,” sebutnya.
Dikatakannya, setelah pedagang buku direlokasi, barulah kios-kios pedagang yang ada di Lapangan Merdeka Medan dihancurkan dan dijadikan sebagai sebagai tempat parkir. Sky brigde memiliki panjang 31 meter dan luas lahan parkir 39 meter x 244 meter guna menampung sekitar 400 kendaraan roda empat. Pembanguan Sky Brigde difasilitasi dengan excalator.
“Pembangunan bisa dilakukan secara maksimal bila seluruh pedagang buku di Lapangan Merdeka Medan sudah direlokasi semuanya di Jalan Pergadaian Medan,” kata Bukhari.
Seperti diketahui, berdasarkan keputusan Wali Kota Medan No 511.3/1982. K/2012 bahwa lokasi tempat berjualan 180 pedagang buku akan dipindahkan ke Jalan Pegadaian yang notabene milik PT KAI Divre Sumut-Aceh.
Ketua Asosiasi Pedagang Buku Lapangan Merdeka (Aspeblam) Donald Sitorus mengatakan pada prinsipnya pedagang buku siap pindah ke Jalan Pegadaian Medan.
“Berdasarkan pengakuan pedagang, dari 180 kios yang dibangun hanya 20 kios yang sudah siap untuk ditempati. Sementara, pedagang bilang kalau mereka pindah seluruhnya tanggal 10 Januari ini. Jadi, kemana yang 160 pedagang lagi ditempatkan, karena kiosnya masih dalam tahap penyelesaian,” sebutnya.
Menurut Aspeblam, relokasi dapat terealisasi setelah pedagang mendapat kepastian dari Pemko Medan dan adanya kesepakatan/persetujuan dari PT KAI kepada pedagang buku, serta memohon kepada Walikota untuk tidak merelokasi atas keinginan investor sebelum selesai semuanya dan sebelum nota kesepakatan dari PT KAI keluar dan sah.
Donal berharap, relokasi pedagang buku ke Jalan Pegadaian merupakan untuk yang terakhir kalinya. “Jangan ada lagi alasan pembangunan untuk merelokasi pedagang, yang nantinya menyingkirkan kami ke kawasan pinggiran,”tegasnya.
Donald menambahkan, dalam pembangunan kios di Jalan Pegadaian nantinya, harus melibatkan pedagang guna mengantisipasi terkait bahan apa yang akan digunakan.
”Soalnya bahan tersebut harus bisa melindungi buku-buku yang rentan rusak kalau tidak diawasi dari air, rayap dan api. Jadi, kami bukan menentang proyek nasional, makanya kami setuju direlokasi,”terangnya.
Di tempat terpisah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan meminta Pemerintah Kota Medan harus bisa menjamin hak pakai para pedagang buku ketika dipindahkan ke lokasi yang baru di Jalan Pegadaian Medan, guna ketenangan dan kenyamanan para pedagang berjualan di lokasi yang baru.
“Ini perlu untuk kepastian dan legalitas penempatan, sehingga para pedagang merasa tenang dan nyaman berjualan di lokasi yang baru,” sebut Ketua Komisi C DPRD Kota Medan, A Hie SH.
Dalam pengaduannya, kata A Hie, Aspeblam meminta kepastian hak pakai di lokasi yang baru diperjelas, karena takut terjadinya penggusuran lagi. Sebab, sepengetahuan pedagang lokasi yang baru itu merupakan lahan milik PT Kereta Api Indonesia Divre Sumut-Aceh. “Ini yang harus diperjelas Pemko kepada para pedagang,” sebut A Hie menyarankan.
Di sisi lain, politisi Partai Demokrat ini juga menyarankan Pemko Medan tidak menimbulkan pergesekan ataupun kecemburuan diantara pedagang ketika melakukan relokasi. Artinya, sebut Bendahara Fraksi Partai Demokrat ini, relokasi yang dilakukan harus secara keseluruhan ketika seluruh bangunan sudah siap untuk ditempati.
Seharusnya, sambung anggota DPRD dari Dapil V ini, relokasi itu jangan setengah-setengah, sebab para pedagang khawatir tidak akan laku di lokasi, karena masih ada yang berjualan di lokasi yang lama. “Kecemburuan diantara pedagang itu yang harus dihindari nantinya,” ujarnya.(gus)
Titi Gantung Dulu, Tempat Para Meneer Berjemur
Titi Gantung merupakan salah satu ikon Kota Medan. Pada awalnya bangunan yang dibuat Belanda ini difungsikan sebagai tempat bersantai atau berjemur para pejabat Belanda.
Seperti apa kondisinya dulu?
Selain sebagai tempat berjemur, titi gantung juga memiliki fungsi sebagai alat penyeberangan, dari pusat kota ke pusat pembelanjaan untuk masyarakat menengah ke bawah.
Pada zaman kejayaannya titi ini sebagai tempat kongkow para istri pejabat, menikmati sore hari di Medan, sambil melihat kereta api lalu lalang. Pada umumnya, para mener ini akan keluar saat matahari sudah mulai turun ke barat.
Dengan menggunakan payung, para wanita ini berdiri secara berbaris untuk kehangatan matahari. “Karena fungsinya itu, maka titi ini memiliki gaya arsitektur Klasik Victoria. Atau seperti bangunan untuk kerajaan atau kelas atas,” ujarnya.
Titi ini dibangun pada tahun 1185, bersama dengan stasiun kereta api besar Medan. Berfungsi sebagai alat penyeberangan dari Spur Straat (jalan stasiun kini) ke Quarantee Brod Straat (Jalan Irian Barat kini).
“Dengan adanya titi ini, akan memudahkan pedagang yang turun ke stasiun untuk mengantarkan barang dagangannya ke daerah maupun ke pusat perdagangan yaitu Sambu (Central Market, sebutan dahulunya),” ujar Sekretaris Pusis (Pusat Studi Ilmu Sosial dan Sejarah), Erond Damanik.
Dijelaskannya, satu-satunya transportasi yang mampu mencapai hingga ke daerah-daerah, yaitu kereta api. Bukan hanya bangsa Belanda saja yang menggunakan, tetapi suku Tionghoa juga menggunakan jalur ini untuk mengantarkan barang dagangan ke berbagai daerah.
Kemerdekaan Indonesia, juga berakibat beralihnya fungsi jembatan penyeberangan ini. Dari awalnya untuk kongkow saat sore, menjadi tempat penjualanan buku-buku bekas. “Atau tepatnya pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an,” lanjutnya. Lalu kenapa bisa berubah fungsi?
Pada zaman tersebut, buku masih menjadi barang mewah. Dan penjual buku baru juga tidak ada. Karena fungsi sebenarnya adalah penyebarangan, akhirnya tempat ini terpilih sebagai tempat untuk bertransaksi buku bekas.
“Penyeberangan, maknanya sangat luas. Pusat perdagangan. Dahulunya, sistem perdagangan disini masih tradisional, tidak ada sewa menyewa atau kredit. Semua sistemnya tunai,” lanjutnya.
Bertambahnya tahun, sistem perdagangan di Titi Gantung pun berubah, lahan yang digunakan menjadi sistem sewa. Walaupun, ada sebagian pedagang yang memiliki lahan tetap.
Tahun 2009, kebijakan Pemerintah Kota Medan merubah kondisi perdagangan di titi ini. Pada tahun tersebut, pemko merubah perda dan meminta para pedagang buku di tempat ini untuk pindah ke Lapangan Merdeka. Kelestarian titi menjadi alasan, untuk mengangkut para pedagang tersebut.
“Kalau dari arsip yang saya miliki, mulai dari tahun 1900 hingga 2011, tidak ada perubahan pada bangunan titi gantung. Hanya kerangka besi yang terletak di bagian kiri dan kanan yang menjadi pembeda antara jembatan pada zaman dahulu, dengan jembatan tahun ini,” tambah Erond.
Saat ini, Pemko Medan juga sudah mengeluarkan kebijakan, agar para pedagang buku bekas tersebut dapat meninggalkan Lapangan Merdeka. Karena akan beralih fungsi menjadi jembatan penyeberangan ke stasiun kereta api.
Sementara itu, Hairul, salah satu anggota BWS SU menyatakan dari 42 situs heritage yang ada di Medan, hanya titi gantung yang belum memiliki perda. “Kantor operasional kereta api telah ada perdanya. Tapi, kalau titi gantung belum ada sama sekali. Ini masih kita usahakan, agar perdanya keluar,” ujar Hairul.
Dalam situs Pemko Medan, www. pemkomedan.go.id disebutkan bahwa Kota Medan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 1988 berkaitan dengan Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang bernilai sejarah, Arsitektur Kepurbakalaan Dalam Daerah Kota Medan, tercatat sebanyak 39 unit bangunan.
Titi gantung yang lokasinya dekat dengan stasiun besar kereta api Medan, selain memiliki nilai sejarah, arsitekturnya yang khas dan unik.
Selayaknya tidak harus hilang ditelan masa dibandingkan dengan banyak bangunan bernilai sejarah lainnya. Titi Gantung yang semula diperuntukkan sebagai jalan lintas dan penyeberang jalan kaki, calon penumpang kereta api, maupun pengunjung dan penonton berbagai kegiatan, antaranya ‘pasar malam’ di Lapangan Merdeka. Semasa penjajahan Belanda, Lapangan Merdeka bernama Esplanade dan pada waktu pendudukan Jepang bernama Fukuraido.
Pasar Malam dulunya secara berkala sering diselenggarakan di Lapangan Merdeka, sebelum diaktifkannya Medan Fair di Jalan Jenderal Gatot Subroto semasa Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Marah Halim Harahap. Pasar Malam terakhir di Lapangan Merdeka yang bertajuk Pameran Pembangunan Sumatera Utara (Papemsu) tahun 1964.
Bagian bawah bangunan Titi Gantung memiliki 2 pintu gerbang dan ruas jalan yang menghubungkan Jalan Veteran (dulunya Jalan Bali) dengan Jalan Pulau Pinang (sekarang). Hingga tahun 1950-an ruas jalan melalui pintu gerbang tersebut, bila malam ketika kereta api, baik lokomotif dan gerbong tidak dioperasikan setelah langsir dan diparkirkan, bisa dilalui kendaraan dan pejalan kaki.
Bangunan Titi Gantung dekat stasiun besar kereta api, selain bertembok kokoh, unik dan khas dengan ciri-ciri dilihat dari arah Jalan Pulau Pinang memiliki kelebaran 40 hingga 50 meter dengan tinggi bangunan antara 7 hingga 8 meter dari permukaan jalan. Selain bagian bawahnya berpintu gerbang (tertutup), terdapat jalan berjenjang (tangga) di sebelah kanan dan jalan mendaki berlapis aspal dari dua arah.
Dari arah Jalan Veteran juga memiliki pintu gerbang dan kini berfungsi sebagai gudang, di sebelahnya dimanfaatkan untuk kedai kopi.Bagian sebelah kanan terdapat jalan berjenjang (tangga) dan di sebelah kiri satu ruas jalan mendaki. Kelebaran Titi Gantung terbuat dari besi kokoh dan bagian lantainya berlapis aspal melewati di atas jalur rel kereta api yang berada di bawahnya, terentang panjang 40 hingga 50 meter.
Titi Gantung yang unik dan kokoh ini, tentunya berbeda dengan jembatan di atas jalur rel kereta api yang dilalui kendaraan bermotor di dekat stasiun kereta api Gubeng, Surabaya. Juga berbeda dengan jembatan di dekat Stasiun kereta api Bandung maupun jembatan jalan tol, cililitan Tanjung Priok, Jakarta.
Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) merupakan perusahaan kereta api pertama di luar Jawa semasa kolonial Belanda. Berdasar catatan sejarah, kereta api pertama kalinya di Pulau Jawa, bukan semata-mata untuk angkutan penumpang, titik beratnya untuk angkutan barang, utamanya hasil perkebunan yang sebelumnya diangkut ke kawasan pantai dengan memanfaatkan aliran sungai.
Akibat desakan para pengelola perkebunan, akhirnya pemerintahan Hindia Belanda menyetujui pembangunan rel, ditandai dengan pencangkolan pertama pembangunannya dilakukan Gubernur Jenderal, Baron Solet van Beele, 17 Juni 1864. Rel komersial pertama dibuka sepanjang 26 kilometer menghubungkan Kemijen (Semarang) ke Tanggung, 10 Agustus 1867.
Semua jalur kereta api, dibangun menghubungkan daerah pelabuhan dengan sentra-sentra perkebunan.Berdasarkan sejarahnya, jajahan Hindia Belanda merupakan sentra hasil bumi dan menguntungkan Belanda. Utamanya sejak diberlakukannya tanaman paksa (cultur stelsel) yang menjadikan negeri bunga tulip, kaya berlimpah.
Bila jalur awal yang menghubungkan pelabuhan Semarang dengan daerah vorstenlanden, merupakan sentra penghasil tembakau di Jawa Tengah. Disusul kemudian jalur-jalur kereta api menghubungkan Jakarta Ciwidey yang merupakan sentra perkebunan teh atau Surabaya Jember Besuki di Jawa Timur mau pun Medan Pematang Siantar untuk melayani sentra perkebunan tembakau dan kelapa sawit.
Untuk melayani angkutan bahan tambang batubara di Sulawesi pernah dibangun jaringan rel kereta api. Juga di Kalimantan yang akhirnya dibongkar. Di Sulawesi kini hanya tinggal sisa-sisanya yang masih terlihat. Jaringan kereta api pertama di Sumatera Utara, dimulai tahun 1883 menghubungkan Medan Labuhan sepanjang 17 kilometer. (juli rambe/net)
Stasiun KA Jadi Ikon Kota Medan yang Dilestarikan
Stasiun KA Medan dengan jembatan penyeberangan di sampingnya yang unik dan Kantor PT Kereta Api Jalan. Prof Moh. Yamin Medan, serta.Balai Yasa di Pulo Brayan Medan harus dirawat dan dilestarikan. Hal itu sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya Indonesia.
Demikian Kepala Heritage (Pelestarian Benda dan Bangunan) – PT Kereta Api Indonesia, Ella Ubaidi dalam jumpa pers di Galeri Graha Parahyangan Jln Dayang Sumbi, Bandung.
Ella Ubaidi selaku EVP Pelestarian Benda & Bangunan PT. Kereta Api Indonesia didampingi Trenggono Adi selaku VP Bangunan mengungkapkan, Stasiun Kereta Api yang menghadap Lapangan Merdeka Medan dan Kantor Kereta Api di Jalan Prof. Moh. Yamin Medan adalah bangunan jaman Belanda tahun 1876 yang unik, kokoh seperti halnya Bank Indonesia cabang Medan dan Kantor Pos Jalan Balai Kota Medan harus dilestarikan sesuai yang diamanatkan Undang-Undang tegas keduanya.
Ditandaskan, Perkeretaapian Indonesia dikelola PT Kereta Api Indonesia (Persero) di bawah binaan Departemen Perhubungan Republik Indonesia dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian berposisi sebagal operator dalam tatanan pengusahaan dan pengelolaan, Perkeretaapian Indonesia.
PT Kereta Api Indonesia tidak hanya bergelut di bidang jasa angkutan penumpang dan barang yang komersial, namun berperan mendukung upaya pemerintah menyangkut tujuan social melalui CSR (Coorporate Social Responsibility) yakni turut memajukan kesejahteraan umum di berbagai bidang kegiatan Perkeretaapian Indonesia dimulai sejak tahun 1864 terbagi dalam 3 periode yaitu periode prakernerdekaan, periode perang kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan.
Managemen PT KA sejak 1 April 2009 membentuk Unit Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan yang bertugas dan bertanggung jawab melakukan identifikasi, inventarisasi, melindungi, merawat, bahkan merencanakan pemanfaatan benda dan bangunan milik perusahaan yang masuk dalam kategori cagar budaya sesuai UU No. 5 Tahun 1992.
Dalam kurun waktu 1 tahun 3 bulan telah dikerjakan kegiatan identifikasi, konservasi, renovasi, sosialisasi dan penggalain kembali sejarah termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalam benda / bangunan cagar budaya, antara lain Konservasi Gedung Lawang Sewu, Renovasi Kantor Divisi Regional 2 Sumatra Barat, Renovasi Kantor Daerah Operasi 9 Jember, Pengembangan Kawasan Museum Kereta Api Sawahlunto, Pengembangan Museum Kereta Api Sawahlunto, Ekskavasi Stasiun Tanjungpriok.
Kemudian Renovasi Museum & Galeri Graha Parahyangan, Pengembangan Kawasan Museum Ambarawa, Railway Heritage Campaign Event, Railway Heritage Campaign Tools, Konservasi Mesin Cetak Karcis Edmonson, Pedoman Teknis Pelestarian Bangunan Perkeretaapian, Studi Pengembangan Heritage ke Nehara-negara di Eropa.
Ditambah, Inventarisasi Aset Heritage, Pengembangan Jakarta Heritage Rail Trail, Pemasangan Tanda Benda Cagar Budaya, Panduan Penataan, Pengelolaan & Pemanfaatan Bangunan, Pengoperasian Kereta Wisata Jaladara, Lokomotip Uap TD 1002 menjadi Munumen, Pembuatan Video Indonesian Heritage Railway, Konservasi Stasiun Solo Jebres, Preservasi Kereta Kayu. Tidak ketinggalan dilakukan Perencanaan BY Manggarai menjadi Living Museum, Penyusunan Buku Profil Stasiun Heritage, Renovasi Kantor Divisi regional 1 Medan dan Renovasi BY Pulubrayan Medan.
Ella Ubaidi yang pada jumpa pers didampingi Saifudin dan Sukendar dari Humas PTKA menyatakan pencitraan kereta api terhadap masyarakat akan ditingkatkan. Seperti halnya seluruh stasiun kereta api harus dibenahi, dilestarikan agar tetap bersih dan indah, ujarnya. “Dalam tugasnya kami melibatkan banyak pakar dari berbagai bidang keilmuan seperti para ekonom, arsitektur, sipil, arkeolog, budayawan, sejarawan dalam negeri dan luar negeri” ujar Trenggono Adi. Dalam 5 tahun ke depan, dana yang diinvestasikan akan kembali bahkan mendatangkan laba besar. (net/jpnn)