Pengelolaan Sampah
Sampah masih saja jadi dianggap sebagai masalah. Sampah sebagai buangan beragam aktivitas domestik, komersil maupun industri belum bisa dianggap sebagai ‘’kawan’’. Padahal kuantitas sampah yang meningkat dari hari ke hari itu sebetulnya bisa dioptimalkan secara ekonomis. Jika di Solo ada SMK yang menciptakan mobil Esemka, Pemko Medan semestinya justru bikin terobosan dengan mendorong siswa-siswa SMK membuat mesin pengolah sampah yang ekonomis dan berdaya jual.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Pemko Medan di dua kawasan yaitu Namu Bintang dan Desa Terjun tidak mampu lagi menampung produksi sampah Pemko Medan sebanyak 1.400 ton per hari. Masalah sampah Pemko Medan telah membuat “pening” masyarakat dan sejumlah pejabat di daerah ini. Solusi untuk mengatasi gunungan sampah ini, kata Direktur Growth Centre, Kopertis Wilayah I Sumut-NAD Dr Ilmi Abdullah, MSc, Senin (15/9), dapat dikonversikan menjadi energi termal. “Jika energi termal ini dikonversikan menjadi energi listrik, secara teori akan memperoleh power sebesar 7 MW. Peroleh ini dapat memberikan kontribusi langsung atas permintaan listrik Pemko Medan.
Demikian Ilmi di depan peserta seminar lingkungan “Pengelolaan Sampah Domestik Pemko Medan” yang terdiri dari mahasiswa, anggota LSM, sejumlah pejabat Pemko Medan di antaranya Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dr Umar Zein, Bapedalda dan kalangan akademisi, sumber sampah domestik Pemko Medan adalah dari sisa rumah tangga yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan dengan total produksi 1.400 ton per hari.
Menurut Ilmi, sumber sampah domestik Pemko Medan adalah dari sisa rumah tangga yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan dengan total produksi 1.400 ton per hari.
Pengamat Lingkungan dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jaya Arjuna menilai Pemko Medan membutuhkan pejabat yang memiliki kapasitas teruji mengatasi masalah sampah. Pasalnya saat ini perlu inventarisir terhadap berbagai persoalan menyangkut penanganan kebersihan lingkungan. Selanjutnya dibuat program dengan melibatkan semua unsur pemerintahan dari mulai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sampai tingkat kelurahan serta membangun peran serta masyarakat. Dia melihat, secara konsep menyangkut langkah-langkah untuk mengatasi persoalan sampah sudah dibuat, hanya saja implementasinya masih perlu dipertanyakan.Mengenai Adipura, Pemko Medan bisa berkaca pada pengalaman sebelumnya. Masalah utama yang dihadapi daerah ini sehingga mendapat nilai rendah disebabkan buruknya drainase dan pengelolaan sampah.
“Tapi kelihatannya saluran drainase yang buruk itu, belum dapat sepenuhnya teratasi. Terbukti ketika hujan lebat turun di sejumlah kawasan di Medan masih terlihat genangan air,” cetusnya.
Dijelaskannya, tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah juga rendah. Pada penilaian Adipura tahun lalu, Kota Medan hanya beroleh poin 30 yang artinya sama dengan tidak ada pengelolaan.
Begitupun, anggota DPRD Medan, Muslim Maksum menilai Pemko Medan hanya omong kosong belaka yang mengatakan Medan bebas sampah sejak tahun 2011. “Ini sudah 2012, Wali Kota Medan harus mengevaluasi dirinya yang sudah member pernyataan sebatas di bibir saja. Dimana, masih banyak pernyataannya yang belum direalisasikannya,” ungkap Muslim yang juga anggta Komisi D DPRD Medan. Dijelaskannya, hasil survei yang dilakukan dilapangan ternyata, Medan bebas sampah kenyataannya dilapangan sampah masih bebas di kota Medan.
“Untuk itu, Wali Kota Medan harus menyesuaikan perkataan dan perbuatannya untuk melakukan pengelolaan sampah di kota Medan. selain itu, tumpukan sampah di TPA juga sudah menggunung dan perlu di lakukan pengelolaan sampah,” jelasnya. Menurut Muslim, Pemko Medan harus piawai dengan mengundang pihak ketiga atau investor mengelola sampah yang sudah menumpuk dengan bekerja sama. Sedangkan Ranperda kenaikan retribusi sampah yang sedang digodok Pemko Medan belum bisa diimbangi dengan tugas Dinas Kebersihan Medan memberikan pelkayanan kepada masyarakat. “ranperdanya masih dibahas, tapi kalau dilihat dari sisi masyarakat tida terimbangi kalau kenaikan retribusi sampah yang belum terlayani dengan baik,” tukasnya
Faktanya memang menyedihkan ketika pemerintah kita belum mempunyai strategi jitu yang bersifat massal dalam menyelesaikan permasalah sampah ini. Penyelesaian permasalahan sampah masih bersifat konvensional, sporadis, tidak terintegrasi dan terkoordinasi dan kurang memanfaatkan potensi yang ada di lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat. Permasalahan sampah ini sangat erat kaitannya dengan aspek sosial, sehingga harus dibentuk kesadaran dan kerjasama antar berbagai unsur yang membentuk kehidupan sosial.
Berdasarkan jenisnya, sampah perkotaan di Indonesia dapat dibedakan menjadi sampah organik, yaitu buangan sisa makanan misalnya daging, buah, sayuran dan sebagainya; sampah anorganik, yaitu sisa material sintetis misalnya plastik, kertas, logam, kaca, keramik dan sebagainya; terakhir, buangan bahan berbahaya dan beracun (B3), yaitu buangan yang memiliki karakteristik mudah terbakar, korosif, reaktif, dan beracun. B3 kebanyakan merupakan buangan dari industri, namun ada juga sebagian kecil merupakan buangan dari aktifitas masyarakat kota atau desa misalnya baterai, aki, disinfektan dan sebagainya. Khusus untuk pengklasifikasian dan pengelolaan B3, pemerintah menerbitkan PP Nomor 74 tahun 2001
Komposisi sampah di kota-kota di Indonesia didominasi oleh sampah organik, yaitu berkisar 70%. Sampah organik memiliki karakter mudah terurai menjadi senyawa organik sederhana dalam bentuk cair dengan kandungan BOD berkisar 1500 mg/l, sangat jauh di atas baku mutu yang disyaratkan. Cairan ini dikenal dengan sebutan air lindi. Penanganan sampah organik yang salah akan mengakibatkan -dengan bantuan air hujan, mudah meresapnya air lindi ini ke dalam tanah, mencemari tanah dan air tanah, dan efek negatif yang paling dikhawatirkan adalah tercemarnya sumur-sumur air minum penduduk.
Pengeloaan Sampah
Pengelolaan sampah dimulai dari sumber timbunan sampah, sistem penampungan sampah sementara, transportasi sampah dan pengolahan akhir sampah. Umumnya di Indonesia dewasa ini, masing-masing titik pengelolaan sampah tersebut tidak memenuhi kriteria standar pengelolaan sampah.
Menurut sejarah, pengembangan pengelolaan sampah yang dikoordinir pemerintah dimulai sejak masa pendudukan Jepang yang membentuk RT/RW untuk mengelola sampah dilingkungannya masing-masing, kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia yang dimulai dengan Repelita I (1969-1978) dan seterusnya, yang ditandai dengan banyaknya bantuan luar negeri, era otonomi daerah, hingga sekarang. Sayangnya, dalam kurun waktu 40 tahun tersebut, sistem pengelolaan sampah belum memenuhi kriteria standarnya, sehingga dapat dipastikan lingkungan Indonesia telah tercemar sampah selama masa tersebut.
Upaya yang dilakukan Pemerintah kota (Pemko) Medan untuk melakukan pembersihan sampah di sungai Deli dengan mengoperasikan dua sampan mengutip sampah yang ada dibantaran sungai dinilai belum maksimal. Pasalnya, pelayanan yang dilakukan belum menggunakan manajemen pengelolaan yang baik. “Pembersihan sungai Deli dengan mengaktifkan sampan atau rakit sampah sebenarnya sudah sangat baik dan dapat meminimalisir sampah yang ada di bantaran sungai. Namun, selama ini yang kurang kan manajemen pengelolaanya yang belum baik dan saya pikir itu tinggal penyempurnaannya saja,” kata pengamat lingkungan dari USU, Jaya Arjuna.
Dikatakan Jaya, ide membuat sampan sampah di Sungai Deli itu, disebutkannya merupakan ide yang dicetuskannya kepada Wali Kota Medan, Rahudman Harahap yang kemudian ditindaklanjuti. Namun, apa yang diinginkan Wali Kota Medan untuk konsep sampan pembersih sampah di Sungai Deli itu belum dijalankan sesuai dengan apa yang diinginkan.
“Pengelolaannya saya nilai belum diterjemahkan dengan baik oleh bawahan Wali Kota Medan, pengelolaan sampah itu harus jelas bagaimana desain teknisnya dengan baik,” kata Jaya.
Apa yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah di sungai deli agar baik adalah desain teknis yang benar. Harusnya berapa sampah yang dihasilkan setiap hari dari sungai Deli harus jelas, dan berapa rakit dan petugas yang dibutuhkan. Setelah itu, pengelolaannya harus dilakukan dengan baik. “Setiap sampah yang sudah dikutip dari bantaran sungai Deli, selanjutnya ditampung di TPA Terjun di Belawan, sampah-sampah itu harus diangkut ke TPA Terjun,” jelasnya.
Selain itu, hal yang harus dilakukan Pemko Medan adalah dengan menetapkan batasan jalur hijau sungai yakni sekitar 10-15 meter dari garis sempadan sungai. Dan batasan jalur hijau sungai yang sudah ditetapkan ini, menurut Jaya ke depan juga bisa dijadikan Pemko Medan menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH), sehingga bisa semakin menambah jumlah RTH di kota Medan. Selanjutnya, yang harus disempurnakan kata Jaya adalah Tempat Penampungan Sementara (TPS) sampah di pinggiran sungai. “Kalau di kota itu ada TPS maka di pinggiran sungai juga harus dibuat TPS, sehingga masyarakat yang berada di bantaran sungai bisa mengumpulkan sampahnya di TPS, dan kemudian sampan sampah itu akan mengutipnya setiap hari dari TPS yang telah disediakan yang kemudian akan dikumpulkan ke hilir. Sekarang ini kan itu belum dilakukan,” ucap Jaya.
Dikatakan Jaya, konsep membuat sampan sampah ini sebenarnya sudah sangat baik, sebab selama ini masyarakat yang berdomisili di pinggiran sungai tentu saja memiliki kontribusi terhadap sampah. Sama halnya dengan masyarakat yang berdomisili di darat. Sehingga, kalau di darat ada truk pengangkut sampah, maka di air sungai tentu juga harus ada sampan/rakit yang fungsinya sama dengan truk pengangkut sampah di darat. “Konsepnya sama dengan pengelolaan sampah di darat, makanya harus ada juga disediakan tempat pembuangan sampah sementaranya di beberapa lokasi di bantaran sungai, dengan begitu pengelolaannya menjadi sempurna dan baik,” paparnya.
Kepala Dinas Kebersihan kota Medan Pardamean Siregar mengatakan, pihaknya tetap menyiagakan petugas dan sampan untuk membersihkan Sungai Deli setiap hari. “Kita stand by kan di sana itu ada dua sampan dengan empat petugas, setiap hari itu mereka secara rutin sudah membersihkan sampah yang ada di bantaran sungai lalu kemudian sampah itu diangkut ke TPA,” kata Pardamean. Tak hanya di Sungai Deli, menurut Pardamean, pihaknya menyiagakan sampan dan personel di dua sungai, yakni Sungai Sikambing disiapkan dua sampan dan 4 petugas , serta di Sungai Kera sudah disiapkan 6-12 petugas. (adlan/net/jpnn)
Harta Karun di Bukit Sampah
Tanpa disadari sampah yang kita buang menjadi sumber penghasilan utama bagi ribuan pemulung, seperti yang dirasakan 300an pemulung di TPA Namo Bintang, Deliserdang.
Namo Bintang adalah salah satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota Medan. Luasnya sekitar 16 hektare. Dari total luas itu 10 hektare sudah terisi oleh bukit sampah setinggi 10 hingga 15 meter. Udara dan pemandangannya memang tak sedap. Setiap hari ada 120 truk sampah datang membawa sampah dengan volume 1-3 ton per truk.
Timbunan sampah itu bukan jadi masalah melainkan rezeki bagi 300 pemulung di TPA tersebut. Tuntutan ekonomi dan tidak adanya pekerjaan lain yang lebih menjanjikan membuat mereka terbiasa dengan hidup mencari nafkah. “Siapa yang peduli sama orang kecil,” ujar para pemulung.
M. Ginting Manik (63) atau biasa dipanggil Bulang, sudah puluhan tahun menjadi pemulung di TPA ini. Sekarang ia telah menjadi pembeli hasil pemulung. Dulu, ia bersama istrinya mengumpulkan sampah di TPA ini untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dia tinggal di sebuah rumah kecil berlantai tanah dan papan seadanya di dekat bukit sampah. Ketika ditanyai mengenai kesehatan dan keselamatan nyawanya, ia mengatakan belum pernah sakit parah. Begitu pula istrinya.
Penghasilan Bulang bersama istrinya terbilang lumayan. Semasa ia bersama istrinya masih memulung, mereka mengumpulkan uang Rp65 ribu- Rp100 ribu per hari. ‘’Ada harta karun di bukit sampah ini,’’ katanya. Keselamatan nyawa bukan perhatian utama para pemulung. Begitu supir menuangkan sampah langsung seratusan pemulung berlomba mencari sampah yang dapat dijual (kantong plastik, botot- sampah yang terbuat dari karet, kaleng besi, dan aluminium). Padahal dalam truk bisa saja ada kaca atau kayu yang dapat melukai mereka.
Menurut Bulang pernah ada orang tertimpa sampah hingga meninggal. Istri Bulang juga pernah ditindih kayu keluar dari truk yang sedang bongkar muatan sehingga ia sempat pingsan dan luka. Demikian juga pakaian para pemulung, mereka hanya memakai sepatu tipis, bahkan ada juga tidak memakai sepatu, dan tidak memakai masker karena alasan ribet.
Andre (23) adalah juga pemulung di TPA Namo Bintang. Andre yang adalah tamatan STM ini bekerja sebagai pemulung selama dua tahun, sebelumnya ia mencari pekerjaan di Batam. Karena tidak mendapat pekerjaan di sana, ia pulang ke Medan. Di Medan ia tidak kunjung dapat kerjaan. Akhirnya seorang temannya menawarkan menjadi pemulung di TPA ini.
Andre merasa menjadi pemulung lebih menjanjikan daripada memakai ijazahnya dulu. Setiap hari ia memiliki penghasilan Rp30 ribu-Rp45 ribu jika bekerja dari pagi sampai sore. Bila malamnya juga memulung, bisa mendapat sekitar Rp90 ribu. Tapi ia malas memulung malam hari karena tidak tahan uap panas dari sampah. Menurut Andre, ada juga kawannya pasangan suami-istr) yang membangun rumah di Pancurbatu hanya dari pekerjaan memulung.
Dapat dibayangkan, jika setiap pemulung memperoleh Rp30 ribu per hari, maka uang yang diperoleh 300 pemulung di tempat itu mendekati Rp10 juta setiap hari atau Rp300 juta per bulan. Mungkin tidak pernah terpikirkan, bukit sampah di TPA Namo Bintang menyimpan harta karun yang menghidupi ratusan atau mungkin ribuan orang. (salmen sembiring)
Sehari Capai 1.280 Ton
VOLUME sampah organik dan non organik yang dihasilkan dari sampah rumah tangga dan di sekitar jalan kota Medan yang setiap harinya diangkut oleh truk sampah milik Dinas Kebersihan kota Medan, mencapai 1.250-1.280 ton perharinya.
Seluruh sampah tersebut dibawa ke tempat penampungan akhir (TPA) milik Pemko Medan di kawasan Namo Bintang, Pancur Batu dan kawasan Terjun, Medan Marelan untuk dipaparkan menggunakan beko. Tak ketinggalan ratusan pemulung juga ikut membantu memilah sampah yang setiap harinya dibawah dapat berkurang mencapai 25 persen per harinya.
“Dari hasil pendataan kita (Dinas Kebersihan Medan) di TPA dengan menimbang seluruh sampah yang dibawah oleh truk sampah dari berbagai jenis sampah di kota Medan. Jumlahnya ada sebanyak 1.250-1.280 ton setiap harinya. Itulah jumlah banyaknya sampah yang setiap hari kita angkut dari sampah masyarakat,” kata Kepala Dinas Kebersihan Kota Medan Pardamean Siregar kepada Sumut Pos di ruang kerjanya, Kamis (15/3) siang.
Dijelaskannya, setiap harinya Dinas Kebersihan Medan melakukan pengangkutan sampah sebanyak tiga kali dalam sehari dengan waktu yang teratur. “Pertama dimulai dari pagi pukul 06.30-08.00 WIB dengan menggunakan 157 unit truk sampah, kedua dimulai dari pukul 13.00-18.00 WIB menggunakan pickup yang disebut ambulance sampah sebanyak 6 unit. Dan, yang ketiga untuk jadwal malam dimulai dari pukul 19.00-selesai dengan menggunakan 8 unit truk sampah yang dipakai secara rutin, kalau dibutuhkan lebih banyak bisa bertambah jumlah truk sampahnya,” jelasnya sembari mengingatkan ambulance sampah di Kecamatan bukan milik Dinas Kebersihan Medan.
Sedangkan untuk jumlah TPA milik Pemko Medan yang sampai saat ini masih digunakan ada dua. Salah satunya di kawasan Desa Namo Bintang, Pancur Batu dengan luas 16 hektare yang kondisinya sudah penuh tumpukan sampah dengan jumlah 350 orang pemulung. Kemudian, di kawasan Desa Terjun, Kecamatan Medan Marelan dengan luas 14 hektare dengan luas lahan yang terisi sampah 10 hektare dan 4 hektare masih kosong.
“Kalau untuk kawasan Terjun kondisi lahan masih 80 persen. Rencanaya, Pemko juga akan menambah lahan untuk mencari TPA di sekitar kawasan Terjun juga karena kondisi TPA di Namo Bintang sudah penuh dengan sampah dan hanya diratakan saja,” ungkapnya. Dikatakannya, untuk pengelolaan sampah di TPA, petugas Dinas Kebersihan Medan langsung dibantu dengan pemulung yang hampir seluruhnya warga sekitar untuk memilah-milah sampah jenis plastik, karton dan sampah jenis logam.
“Sebenarnya, secara tugas pemulung itu sangat menggangu. Tapi, kalau dilarang mereka akan marah. Karena kita juga punya petugas untuk memilah-milah sampah yang hasilnya juga akan dijual ke tempat penampungan barang bekas untuk tambah rezeki. Tetapi sebenarnya juga, para pemulung itu juga membantu untuk memilah sampah yang hampir setiap harinya 25 persen sampah diambilnya,” ungkapnya seraya menambahkan kalau pada hari libur jumlah pemulung bisa semakin banyak mencapai 400 orang setiap harinya.
Seluruh sampah yang tertumpuk di TPA, tambah Pardamean, akan dibiarkan saja setelah diserakkan oleh bechko dan pemulung diendapkan yang didalamnya terdapat gas metan yang berbahaya bagi manusia.”Jadi, sifatnya sampah yang di TPA hanya di paparkan saja. Biasanya, TPA yang bisa dimanfaatkan setelah 20 tahun diendapkan dan gas metannya sudah habis,” pungkasnya.
Namun, tak lupa Pardamean menjelaskan kalau pihak ketiga dari PT Agro sudah melakukan kerjasama dengan Dinas Kebersihan kota Medan untuk mengelola sampah yang akan diubah menjadi tenaga listrik. “Seperti di daerah lain di TPA Banter Gebang, Jakarta. Sudah mengelola sampah menjadi tenaga listrik yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak. Nah, kota Medan juga sudah dimulai dengan dilakukan penjajahan dahulu dari pihak ketiga. Memang belum berjalan, tetapi saat ini sedang penjajahan yang sudah dilakukan sebanyak dua tahap,” ujarnya.
Diungkapkannya, sebelum Wali Kota Medan Rahudman Harahap membuat kebijakan ‘kota Medan bebas Sampah’, Dinas Kebersihan hanya terfokus terhadap sampah rumah tangga saja, sedangkan untuk sampah lainnya seperti di drainase dan di taman kota merupakan tugas dari dinas terkait untuk mengangkut sampah tersebut agar tidak menjadi kotor.
“Sekarang, seluruh sampah di Kota Medan merupakan tugas dari Dinas Kebersihan Medan dengan dibantu oleh pihak Kecamatan dengan ambulance sampah yang juga kiut memantau tumukan sampah yang tidak boleh teronggok untuk segera diangkut,” bebernya.
Terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang kenaikan retribusi sampah di kota Medan yang sedang digodok oleh DPRD Medan, selama ini untuk retribusi sampah di Kota Medan belum naik dan tetap mengacu pada Perda lama tentang retribusi pembayaran sampah.
“Kalau untuk retribusi sampah flukutasi (tidak sama semua) dengan melihat besaran dan ukuran tempat tinggalnya. Seperti rumah tangga dikutip retribusi sebesar Rp10 ribu per bulan, kantor juga dikutip retribusi sebesar Rp25 ribu. Yang jelas, untuk retribusinya sesuai dengan Perda yang lama sembarti menunggu perda baru disahkan,” ujarnya.
Kepada masyarakat, Pardamean tak lupa mengimbau agar memulai dari awal melakukan pemilahan sampah di sekitar tempat tinggalnya. “Dengan pemilahaan dari sampah basah dan kering serta sampah organik dan non-organik ditempatkan di tong sampah yang berbeda sekaligus membantu kerja petugas sampah. Selain itu, masyarakat juga dihimbau agar perduli dengan kebersihan kota Medan yang sudah dicanangkan untuk membuang sampah jangan sembarangan dan buanglah sampah pada tempatnya,” harapnya. (adlan)
Sumber sampah dapat berasal dari rumah tangga, perkantoran, pasar, fasilitas umum (taman, jalan raya), maupun industri. Permasalahan yang ada adalah, secara umum sampah masih digabung menjadi satu baik organik, anorganik, bahkan B3. Kebiasaan pemilahan sampah belum dipraktekkan secara massal, tidak saja di rumah tangga, bahkan juga di kantor-kantor pemerintah yang seharusnya menjadi contoh pengelolaan persampahan. Penggabungan sampah ini akan menyulitkan proses pengelolaan sampah selanjutnya.Sistem Penampungan Sampah Sementara
Penampungan sampah sementara di Indonesia umumnya menggunakan kontainer besi atau bak beton ukuran 4m3 yang diletakkan pada persimpangan jalan, pasar, area pertokoan, taman dan sebagainya. Permasalahan yang ada adalah secara massal pemerintah tidak menyediakan
Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang dibedakan berdasarkan jenis sampah. Praktek massal yang ada adalah penghasil sampah meletakkan segala jenis sampahnya dalam satu TPS yang tersedia di satu lokasi. Permasalahan lain adalah, TPS tidak mampu menampung sampah akhirnya sampah tercecer, hal ini disebabkan karena kuantitas sampah yang melebihi TPS atau jadwal pengosongan TPS yang tidak tepat.Transportasi Sampah
Masalah yang sering ditemui adalah keterlambatan pengosongan TPS atau ketidakteraturan jadwal pemindahan sampah dari TPS ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah. Hal ini disebabkan karena tidak optimalnya pengaturan rute pengangkutan sampah atau jumlah truk sampah yang terbatas. Jumlah truk sampah yang terbatas ini disebabkan karena kesalahan perencanaan atau pemeliharaan truk sampah yang tidak sesuai standar sehingga rusak sebelum masa operasinya berakhir.Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah
Pencemaran terhadap lingkungan terbesar terjadi di TPA . Bisa dikatakan umumnya TPA di Indonesia menggunakan lahan urug yang dioperasikan secara serampangan, yaitu sampah diletakkan begitu saja di atas tanah (open dumping). Lalu, sampah akan terbawa infiltrasi air hujan, meresap ke dalam tanah, mencemari air tanah sesuai dengan arah pergerakannya. Jika arah pergerakan air tanah menuju permukiman penduduk, maka sumber-sumber air minum penduduk akan tercemar. (*)
Jadwal Pengangkutan
Pukul 06.30-08.00 WIB menggunakan 157 unit truk sampah
Pukul 13.00-18.00 WIB menggunakan pickup yang disebut ambulance sampah sebanyak 6 unit. Pukul 19.00-selesai menggunakan 8 unit truk sampah
TPA milik Pemko Medan
Lokasi : Desa Namo Bintang, Pancur Batu
Luas : 16 hektare
Pemulung : 350 Orang
Kondisi : Overload
Lokasi : Desa Terjun, Medan Marelan
Luas : 14 hektare
Pemulung : 400 Orang
Kondisi : Sisa 4 hektare yang masih kosong.
Kapasitas Kebijakan Pengelolaan Sampah
Kebijakan penanganan sampah diperlukan skenario, jangka waktu dan target yang jelas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan energi sampah semaksimal mungkin. Berbeda dengan konsep kebijakan persampahan di Indonesia yang tidak memiliki skenario, jangka waktu, dan target yang jelas. Maka yang diperlukan adalah:
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
Adanya pemisahan peran stakeholder antara pembuat kebijakan dan operator.
Diperlukan peran Pemerintah (Pusat maupun kota) yang lebih dominan sebagai pembuat kebijakan dan fasilitator.
Kemampuan SDM yang handal dan profesional dalam sistem pengelolaan sampah merupakan modal yang kuat dalam menentukan keberhasilan program kebersihan di swedia, untuk itu diperlukan upaya serius dalam meningkatkan kualitas SDM.
Peningkatan Kapasitas Keuangan
Retribusi yang dibebankan kepada masyarakat dibayarkan per tahun dengan nilai yang sesuai dengan jumlah sampah yang dihasilkan.
Insentif diberikan kepada mereka yang secara signifikan dapat mengurangi jumlah sampah (untuk kompos maupun daur ulang).
Pendapatan dari retribusi 100 % dikembalikan untuk biaya pengelolaan sampah melalui kontrak dengan pihak swasta.
Peningkatan Kapasitas Peraturan
Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan dengan ketentuan pengelolaan sampah harus realistis, sistematis dan menjadi acuan dalam pelaksanaan penanganan sampah di lapangan baik oleh pihak pengelola maupun masyarakat.