Pelajaran dari Pilgub DKI bagi Balon di Pilgubsu 2013
Peneliti LIPI Jaleswari Pramodhawardani mengatakan maraknya keberadaan lembaga survei yang hasil penelitiannnya dipublikasikan kepada masyarakat patut dikritisi independesi dan kepentingannya karena membawa objektivitas dan nilai ilmiah penelitian.
“Angka hasil survei itu kadang tidak berbicara kebenaran tapi mengeliminasi kesalahan,” katanya setelah diskusi “Kemampuan Media Sosial dalam Memprediksi Hasil Pemilihan Kepala Daerah” di Jakarta, Jumat Jaleswari mengatakan kegemaran masyarakat terhadap angka menimbulkan pemahaman bahwa hasil lembaga survei itu merupakan data yang sudah mutlak kebenarannya.
Padahal, menurut Jaleswari, hasil dari lembaga survei itu perlu dipertanyakan mengenai fakta dan kepentingan yang “bermain” di belakangnya. “Fakta itu begitu kompleks sehingga tidak bisa diwakilkan oleh angka-angka saja,” kata dia.
Beberapa waktu lalu sebelum pilkada dan menjelang pemilihan presiden 2014, sejumlah lembaga survei yang mengadakan penelitian tentang calon pemimpin baik dari segi popularitas dan elektabilitas.
Mengenai pilkada, Jaleswari menilai data dari lembaga survei bisa dijadikan data awal, tapi tetap memperhatikan nilai faktualitas hasil penelitian tersebut.
Menurut Jaleswari, pada konteks politik, sebuah data awal dari hasil survei bisa dimodifikasi oleh para politikus sehingga substansi hasil penelitian bisa berlainan dengan realitas. Padahal, menurut Jaleswari, data survei tidak tidak bisa lepas dari kaidah penelitian.
“Lembaga survei harus tetap menunjukkan kebenaran pada masyarakat, makanya ada adegium peneliti boleh salah tapi tidak boleh bohong,” katanya.
Pakar komunikasi politik, Henry Subiakto, mengatakan lembaga survei bisa semakin tidak dipercaya bila dalam putaran II Pilkada DKI Jakarta 2012 kembali menyuguhkan hasil survei yang meleset dan tidak akurat sebagaimana pada putaran I.
“Lembaga survei bisa ‘habis’ dan tidak lagi dipercaya masyarakat bila surveinya di putaran II kembali meleset. Masyarakat bisa menilai bahwa lembaga survei melakukan kebohongan,” kata dosen Universitas Airlangga, Surabaya itu saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (14/7).
Menurut Henry Subiakto, kesalahan dan ketidakakuratan hasil survei pada putaran I Pilkada DKI bisa terjadi karena dua kemungkinan. Yaitu, metodologi yang dilakukan salah sehingga sampel yang diambil tidak representatif; atau karena kesengajaan.
Kalau kemungkinan pertama yang terjadi, kata dia, lembaga survei masih bisa dimaafkan, karena seorang peneliti bisa melakukan kesalahan. Tetapi bila hasil survei tidak akurat karena ada kepentingan mendukung calon tertentu, maka publik tidak akan memaafkan. “Peneliti itu boleh salah tetapi tidak boleh bohong. Lembaga survei itu menjual kredibilitas dan kepercayaan,” katanya.
Henry kemudian mencontohkan lembaga survei Gallup yang melakukan kesalahan saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada 1948. Saat itu, Gallup menyatakan Harry S Truman sebagai petahana akan kalah dari pesaingnya, Thomas E Dewey.
Namun, ternyata hasil pemilihan presiden bertolak belakang dengan survei Gallup. Truman dinyatakan menang setelah meraup suara 49,6 persen, hanya unggul sedikit dibandingkan Dewey yang memperoleh suara 45,1 persen.
“Ternyata kesalahan itu karena Gallup salah mengambil sampel. Mereka menyurvei masyarakat Amerika melalui telepon, padahal saat itu belum semua orang mempunyai telepon,” terang Henry. Atas kesalahan survei itu, masyarakat Amerika kehilangan kepercayaan terhadap Gallup. Perlu waktu cukup lama bagi Gallup untuk memulihkan kepercayaan publik Amerika.
“Lembaga survei di Indonesia harus belajar dari pengalaman Gallup. Meskipun saat melakukan survei mendapat dana dari tim sukses calon tertentu, tetapi tetap harus independen,” katanya. Sebelum putaran I Pilkada DKI digelar, sudah beredar cukup banyak hasil survei yang hampir seluruhnya menyatakan keunggulan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Namun, hasil hitung cepat menyatakan kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
***
KEMENANGAN Jokowi-Ahok adalah kejutan Pilgub DKI Jakarta 2012. Kemenangan ini membuat cita-cita incumbent Fauzi Bowo menang satu putaran, terkubur. Sebelumnya, wajar Foke yakin menang satu putaran, karena banyak survei menempatkannya sebagai cagub paling populer. Tapi survei sejumlah lembaga itu tidak menunjukkan kondisi faktual pada Rabu (11/7) kemarin. Suara Jokowi melesat, meninggalkan Foke dengan rentang sekitar 9%.
“Kemenangan pasangan Jokowi – Ahok pada Pilgub putaran pertama ini telah menjungkirbalikkan seluruh hasil survei yang selama ini dilakukan,” komentar Rendra Falentino, peneliti Democracy for Prosperity and Peace (Deprospec) Institute, Kamis (12/7).
Rendra menunjuk hasil berbagai lembaga survei yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei dengan metode yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, pasangan Foke – Nara akan mengungguli pasangan calon lainnya pada Pilgub putaran pertama ini, bahkan beberapa hasil survei menempatkan pasangan Jokowi – Ahok pada peringkat ketiga. “Tetapi ternyata hasil yang ditunjukkan oleh quick count berbeda 180 derajat,” ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Rendra, lembaga survei sebagai salah satu instrumen yang turut melakukan penguatan terhadap proses demokratisasi harus segera melakukan evaluasi terhadap metodologi pelaksanaan survei yang mereka lakukan. “Sehingga kesalahan fatal yang terjadi pada Pilgub kali ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang,” ujarnya.
Rendra juga mencatat, kesuksesan Jokowi disumbang keberhasilan media massa melakukan image building bagi Jokowi.
“Terlepas dari segala kebijakannya yang nyeleneh dan keberpihakannya kepada rakyat kecil, sebelumnya Jokowi hanyalah merupakan seorang Walikota Solo yang mungkin hanya dikenal di wilayah Kota Solo dan sekitarnya. Tetapi melalui pemberitaan media yang luar biasa massif, maka secara mendadak Jokowi menjadi figur yang dikenal di seluruh wilayah Indonesia, termasuk DKI Jakarta,” bebernya.
Menurutnya, jejak rekam yang baik dari Jokowi, ditambah image building yang dilakukan oleh media massa telah sukses mendongkrak elektabilitas Jokowi pada Pilgub DKI Jakarta putaran pertama.
“Fenomena ini sekali lagi membuktikan bahwa media massa memiliki peranan yang luar biasa besar bagi pelaksanaan demokrasi, dan harus turut bertanggung jawab terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia,” ungkapnya. (jpnn)
Ketika Warga Jakarta Menghukum Lembaga Survei
Quick count atau hitung cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei pasca pencoblosan, menempatkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama unggul dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Calon incumbent Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli harus puas di urutan kedua.
Padahal, sebelum pilgub digelar, berbagai hasil survei yang rutin dipublikasikan selalu menempatkan pasangan yang didukung Partai Demokrat itu di tempat teratas. Dengan hasil ini, Pilgub DKI hampir dipastikan berlangsung dua putaran.
Saat ditutup dengan 99,76 persen data yang masuk (409 TPS dari total sampel 410 TPS) Lembaga Survei Indonesia, Rabu (11/7) menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dengan 42,74 persen suara. Sementara Foke-Nara meraih 33,57 persen.
Selanjutnya ada pasangan Hidayat-Didik 11,96 persen, Faisal-Biem 4,94 persen, Alex-Nono 4,74 persen, dan Hendardji–Riza 2,05 persen.
Data quick count serupa dilansir oleh Lingkaran Survei Indonesia. Foke-Nara 34,10 persen, tidak mampu mengalahkan Jokowi-Ahok 43,04 persen. Demikian juga hasil hitung cepat yang dilakukan Indo Barometer, Litbang Kompas, hingga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Semuanya menempatkan Jokowi sebagai pemenang.
Memang hasil ini belum final karena hitungan manual versi KPU DKI Jakarta masih berlangsung. Meski begitu, metode quick count selama ini terbukti bisa menjadi alat ukur untuk mengetahui hasil pemilihan dalam waktu singkat. Dan biasanya, hasil penghitungan akhir, tidak akan terlalu jauh berbeda persentasenya dengan versi hitung cepat.
Bagi kubu Fauzi Bowo, hasil quick count ini layaknya tamparan keras. Bagaimana tidak, hasil survei selalu menempatkan Bang Kumis sebagai juara. Bahkan, persentase suaranya cukup jomplang.
Seperti rangkaian survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia yang rutin dirilis setiap bulan dalam beberapa bulan terakhir menjelang pencoblosan digelar. Pada bulan April hingga awal bulan Juli 2012, Foke terus unggul dengan kisaran persentase tertinggi 49,1 persen dan paling rendah 43,7 persen.
Sementara Jokowi terus konsisten membuntuti di urutan kedua dengan persentase tertinggi di hasil survei yang dirilis bulan Mei mencapai 20,9 persen. Sisanya, pasangan yang didukung PDIP dan Gerindra ini selalu berada di sekitar angka 14 persen.
Selain LSI, ada Indo Barometer, Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) yang mengeluarkan survei. Semuanya menjagokan Foke berada di tempat teratas, baik pilgub berlangsung satu putaran atau dua putaran.
Satu lagi lembaga yang mengeluarkan survei di pekan terakhir masa kampanye adalah Jaring Suara Indonesia (JSI). Foke tetap berada di urutan teratas namun persentasenya mulai menurun hanya di angka 35,5 persen. Sedangkan Jokowi cuma mendapat 9,5 persen suara saja.
Sayangnya, kedua lembaga ini, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Jaring Suara Indonesia (JSI) akhirnya mengakui jika mereka memang menjadi konsultan politik Fauzi Bowo dan menjadi bagian dari tim pemenang. Survei yang mereka lakukan pun demi kepentingan kliennya.
Toto Izul Fattah, salah satu peneliti Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mengungkapkan, survei yang dilakukan lembaganya, diongkosi oleh kubu Fauzi Bowo.
“Jadi memang saya merasa wajib mengungkapkan ini untuk kepentingan transparansi, betul LSI ikut jadi tim pemenangan Foke, jujur harus kami sampaikan,” ujarnya di kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu, (1/7) saat merilis hasil survei terakhir pilgub DKI.
Sementara Direktur Eksekutif JSI, Widdi Aswindi mengakui jika survei yang dilakukan lembaganya memang untuk kepentingan Foke. “Sebelum saya paparkan hasil survei JSI, saya akui bahwa survei ini dilakukan memang untuk kepentingan pasangan calon nomor 1,” ungkap Widdi saat merilis hasil survei JSI Jumat 6 Juli lalu.
Soal survei, sudah lama publik mencurigai jika hal itu dilakukan untuk kepentingan salah satu calon. Manipulasi hasil survei, seringkali dijadikan sarana untuk menggiring opini publik. Dalam konteks pilkada misalnya, hasil survei bisa menjadi alat terselubung untuk mempengaruhi persepsi atau pilihan publik. Hasil survei, terutama yang dilakukan secara berkala dengan menempatkan calon tertentu sebagai unggulan, diyakini sangat bisa memengaruhi sikap masyarakat yang masih bingung menentukan pilihan.
Melalui penyebutan berkali-kali bahwa calon tertentu mendapatkan dukungan yang sangat tinggi, ada kecenderungan membuat pemilih yang tadinya netral, atau yang belum memutuskan pilihan terkena efek dominasi. Di Pilgub DKI misalnya, beberapa hasil survei di bulan terakhir menjelang pencoblosan, sangat jelas berupaya menggiring pemikiran publik agar pilkada berlangsung cukup satu putaran. Kebetulan, salah satu calon mengampanyekan pilgub satu putaran.
Sayangnya, upaya itu tidak berhasil dilakukan. Masyarakat Jakarta, ternyata tidak terpengaruh dengan hasil-hasil survei tersebut. Buktinya, suara pemilih Jokowi mampu unggul di atas Fauzi Bowo.
Pertarungan Foke dan Jokowi akan berlanjut ke putaran dua yang akan digelar pada 20 September 2012. Tentunya, hingga hari pencoblosan nanti, masih mungkin muncul hasil-hasil survei seperti yang terjadi saat putaran pertama. Atau, mungkin saja tidak ada hasil survei yang akan dipublikasikan lagi oleh lembaga survei yang terbukti salah. Mereka tentunya tidak ingin merusak reputasi sendiri dengan kembali membohongi publik dengan publikasi hasil survei pesanan yang penuh rekayasa.
Kemarin, para pemilih di Jakarta yang menggunakan hak pilihnya, secara tidak langsung telah menghukum lembaga-lembaga survei tersebut. (jpnn)
Jangan Ada Dusta dalam Survei
Pagi ini (Kamis/12 Juli 2012), saya membaca berita salah satu media massa ternama di Jawa Timur dan Indonesia. Isi beritanya mengenai kemampuan Jokowi-Ahok dalam membalik hasil survei dari lembaga-lembaga survei yang konon memiliki reputasi jempolan dalam menebak hasil pemilu kepala daerah sebelum hari pemilihan di Pilgub DKI Jakarta.
Hasil Pilgub ini mengingatkan saya pada penjelasan tiga orang peneliti senior Prof Ali Saukah, Prof Adnan Latief, dan DR Yazid Busthomi tentang masalah mendasar kebenaran ilmiah produk survei yang memerlukan validasi dari peneliti berikutnya yang jujur.
Berikut ini saya rangkum dalam beberapa poin.
Prof Ali Saukah dalam bukunya ‘Statistika Penelitian’ (2009) menjelaskan bahwa tempat pengambilan sampel memegang peranan penting dalam penentuan hasil sebuah survei. Contohnya, daerah A merupakan basis pendukung calon X. Daerah B merupakan basis pendukung calon Y. Jika survey dilakukan di daerah A dengan pertanyaan siapa yang didukung calon X atau Y, maka jawaban yang muncul adalah calon X karena letak survey dilakukan di daerah A yang notabene markas pendukung calon X. Tentu saja para pembaca sudah bisa menebak hasilnya jika dilakukan di daerah B. Prof. Adnan Latief dalam ‘’Penyusunan Proposal Skripsi’’ menjelaskan pentingnya validasi pertanyaan yang akan ditanyakan sebelum melakukan survei. Ilustrasinya pertanyaan: 1) Anda mendukung calon A atau B?; 2) Anda tahu kelemahan masing-masing calon?
3) Anda sadar pilihan anda menentukan masa depan kota anda?
Ketiga pertanyaan di atas ‘seolah-seolah’ bagus. Namun ada satu kelemahan mendasar dari keseluruhan pertanyaan di atas, yakni sudahkah peneliti yakin semua orang mampu menjawab sejujurnya? Sederhananya pertanyaan di atas mem buka peluang untuk mengawur jawaban. Hasil jawaban ngawur dari pertanyaan di atas bila dijadikan patokan tentu hasilnya amat galau alias menyedihkan. Pakar statistik DR Yazid Busthomi M.A dalam suatu diskusi menjelaskan tentang arti ‘’Narrative Research dalam Survei’.
Sederhananya peneliti dan lembaga survei melakukan pendiktean jawaban kepada responden atau subjek penelitian. Contoh pertanyaannya: 1) Apakah saudara mengenal calon A? (Ya); 2) Apakah saudara tahu kesalahan calon A selama memimpin daerah X? (setiap orang punya kelemahan dan manusia memiliki kesalahan); 3) Saudara masih ingin nasib saudara sama karena kesalahan yang dilakukan oleh calon A? (tentu tidak ingin); 4) Apakah saudara mengenal calon B? (tidak); 5) Apakah saudara tahu keunggulan calon B selama memimpin daerah Y? (belum tahu); 6) Apakah saudara pernah mendengar kemakmuran daerah Y selama dipimpin calon B? (belum).
Pertanyaan dari peneliti kepada responden terkesan tidak berimbang. Singkat kata, mengapa calon A diasosiasikan dengan kesalahan sedangkan calon B diasosiasikan dengan kemakmuran? Adakah agenda tersembunyi dari pertanyaan di atas? Pembaca sudah tahu jawabannya. Sederhananya, seharusnya para lembaga survei mengedepankan ‘prinsip’ penyanyi Broery Pesolima sebelum menanggung malu: ‘’Jangan Ada Dusta di Antara Kita’’. He-he-he. (*)