29 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Dari Sertifikasi Ulama hingga Mendata Toko Kimia

Basmi Terorisme

Aksi pemberantasan aksi terorisme di Indonesia terus dilakukan. Alih-alih surut, aksi teror justru merebak. Kelompok yang disebut polisi sebagai jaringan teroris terus berbiak. Bahkan, sokongan dana kepada mereka terus mengalir. Untuk meredamnya, pemerintah akan memutus suplai dana itu. Rancangan Undang-undang Anti Pendanaan Teroris pun diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

ANTISIPASI:  Aparat Kepolisian  memeriksa barang bawaan penumpang bus  melintas   Pulomerak, Cilegon, Rabu (12/9). //jpnn
ANTISIPASI: Aparat Kepolisian memeriksa barang bawaan penumpang bus yang melintas di Pulomerak, Cilegon, Rabu (12/9). //jpnn

“Kita membutuhkan UU Anti Pendanaan Terorisme atau Counter Financing Terrorism sebagai dasar hukum untuk menangani aksi teror,” kata Wakil Kepala PPATK Agus Santoso kepada wartawan, Senin (10/9) lalu.

Diharapkan, UU ini membuat pencegahan dan pemberantasan terorisme lebih komprehensif. Sebab, di dalamnya memuat upaya memutus aliran dana kepada individu atau kelompok teroris. “Salah satu terobosan hukum dalam UU itu adalah pengaturan kriminilisasi perbuatan yang bertujuan mendanai kegiatan yang patut diduga untuk kegiatan terorisme,” jelas Agus.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, mengatakan aliran dana kelompok teroris sulit dilacak dan dihentikan, sebab Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak cukup untuk mencegahnya. “Undang-undang itu (pencucian uang) belum memadai,” ujar Ansyaad.

DPR bergerak cepat. Panitia khusus yang diketuai oleh Adang Daradjatun dibentuk untuk meresponsnya. Kini, pembahasannya dalam tahap dengar pendapat dengan berbagai pihak terkait, termasuk Badan Intelijen Negara. “Saya harap dalam dua kali masa sidang RUU ini bisa selesai,” kata Adang.
DPR, kata Adang, berupaya mempercepat pembahasan, karena ada beban psikologis. “Selanjutnya kami akan dengarkan pendapat dari jajaran Kementerian Keuangan, Polri, dan korporasi yang mungkin merasa tertuduh,” tambah mantan Wakapolri ini.

Menurut Adang, tiga pendekatan mendasari penyusunan UU ini. Pertama, segi filosofis, pemerintah wajib menjaga keamanan. Kedua, segi sosial, dicari tahu segala peristiwa yang berhubungan dengan terorisme. Ketiga, segi yuridis, perlu batasan soal pendanaan terorisme yang dilakukan oleh per orangan atau korporasi.

Sependapat dengan Agus, dia mengatakan UU ini akan sangat efektif untuk membasmi aksi terorisme di Indonesia. “Teror kan perlu dana untuk membeli bahan-bahan kimia. Kalau pendanaan mudah masuk ke pelaku teror, bisa berakibat fatal,” tambah Adang.

Adang menyatakan, UU itu tidak akan sewenang-wenang jika diterapkan. UU ini justru melindungi individu atau korporasi yang dituduh memberikan dana kepada jaringan teroris. Rekening para tertuduh juga tak serta-merta langsung dapat ditutup. “Saya ingin garis bawahi bahwa UU itu nantinya menjadi payung hukum bagi yang merasa dituduh,” katanya.

“Karena nanti, polisi tidak bisa sembarangan menyebut sebuah organisasi menerima dana untuk kepentingan teroris. Keputusan itu berada di pengadilan,” Adang menambahkan. UU ini juga memberi ruang bagi individu atau korporasi yang dituduh mendanai terorisme untuk membela diri ke pengadilan.

RUU ini dipandang mendesak. Sebab, anggota jaringan teroris dengan mudah mendapat senjata dan bahan peledak. Itu artinya, jaringan ini memiliki kemampuan pendanaan yang besar. Bahkan, jaringan teroris diduga telah berhasil mengumpulkan dana mencapai miliaran rupiah untuk operasinya. “Nilai persisnya kami tidak tahu, tapi diperkirakan mencapai Rp7-8 miliar,” ujar Ansyaad.

Keterangan itu didapat dari anggota jaringan teroris yang ditangkap Densus pada Maret lalu. Ansyaad menyebut jaringan ini sebagai ‘Kelompok Sebelas’. Satu terduga teroris ditangkap di Gambir, Jakarta; 4 di Medan, Sumatera Utara; 2 di Bandung, Jawa Barat, 1 di Palembang, Sumatera Selatan; 2 di Solo, Jawa Tengah; dan 1 di Jawa Timur.

Menurut Ansyaad, dana itu dikumpulkan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan cara meretas situs-situs di internet. “Mereka hacker MLM (multi level marketing) online. Yang hackernya ditangkap di Bandung, dua orang,” katanya.

Berdasar pengakuan mereka yang ditangkap, kata Ansyaad, dana itu sebagian sudah digunakan untuk membiayai sejumlah operasi jaringan teroris di sejumlah wilayah Indonesia. Seperti di Poso Sulawesi Tengah dan Solo Jawa Tengah.

“Dana itu untuk membeli senjata dan bahan peledak, ternyata sebagian sudah digunakan untuk mendanai peledakan di Solo,” katanya. Dana itu juga digunakan untuk biaya pelatihan di Poso dan daerah Sulawesi lainnya.
***

SABTU 8 September 2012 malam, ledakan besar terjadi di sebuah rumah yang digunakan untuk Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara, Beji, Depok, Jawa Barat. Tiga orang terluka—satu di antaranya kritis. Dua orang lainya melarikan diri.

Polisi mengatakan, yayasan itu hanya sebagai kedok. Rumah itu ternyata dijadikan sebagai gudang bahan peledak oleh jaringan teroris. Banyak ditemukan bahan baku bom berdaya ledak tinggi. Selain itu, juga ditemukan senjata api dan granat.

Ledakan Beji terjadi tiga hari setelah terungkapnya aktifitas Muhammad Toriq yang meracik bom di rumahnya, Jalan Teratai 7, RT 02 RW 04, Tambora, Jakarta Barat, Rabu 5 September 2012. Dia kemudian kabur setelah muncul kepulan asap dari bahan yang dia ramu. Toriq kemudian menyerahkan diri pada Minggu 9 September 2012 malam.

Berdasar keterangan Toriq, Densus melakukan pengembangan penyelidikan. Densus membawa pria 30 tahun itu ke Desa Susukan RT3 RW8, Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Di tempat itu, Densus menemukan magasin dan menyiduk satu orang bernama Arif.

Polisi juga mengatakan Toriq berencana meledakkan diri pada Senin 10 September 2012. Ada empat target Toriq, yaitu Markas Brimob; Pos Polisi di Salemba, Jakarta Pusat; kantor Densus 88 Polri, dan komunitas masyarakat Buddha—untuk membela etnis Rohingya yang dinilai mengalami ketidakadilan di Myanmar.

Toriq juga diduga terkait dengan jaringan teroris Solo. Polisi mengatakan dia bertemu dengan Firman yang ditangkap di Perumahan Taman Anyelir 2, Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Cilodong, Kodya Depok, Rabu pagi 5 September 2012.

“Toriq sempat bertemu dulu dengan Firman di Sukmajaya, Depok,” kata Kapolsek Bojong Gede, Komisaris Polisi Bambang Irianto. “Setelah bertemu Firman di Sukmajaya, Toriq dari Depok bermalam di Bojong. Lalu dia ke Beji.”

Polisi menyatakan Firman terlibat rentetan aksi teror penembakan pos polisi di Solo selama Agustus yang menewaskan polisi. Dalam rangkaian aksi itu, Firman berperan membonceng terduga teroris Farhan yang tewas bersama Muchsin saat penyergapan pada 31 Agustus 2012 malam.
Tak hanya di Jawa, Densus 88 juga bergerak di Ambon, Maluku. Empat terduga teroris dibekuk. Barang yang disita pun tak kalah mengejutkan. Densus 88 berhasil menyita dua senjata api, granat, pelontar, dan 10.000 peluru siap pakai.

Di lain kesempatan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, mengaku tidak tahu apakah Anwar, korban ledakan di Beji, Depok, merupakan mantan anggota polisi. Status itu, kata dia, tidak penting.

“Yang saya tahu, sesuai KTP yang ditemukan atas nama Wahyu Ristanto,” kata Ansyaad di kantornya, Jakarta, Selasa 11 September 2012. “Kalau dia anggota polisi kita mau apa, toh dia teroris. Kita tunggu penyidikan saja.”

Menurut dia, beberapa waktu yang lalu telah ada anggota polisi yang dijebloskan ke penjara gara-gara terlibat aktivitas terorisme. Namanya Sofyan Sauri. Dia staf logistik yang kemudian dituduh menjual senjata milik Polri ke jaringan teroris.

“Sekali lagi, teroris ya teroris, meskipun anggota polisi. Kalau Anwar mantan polisi tidak ada urusannya. Dia kalau tidak seperti itu (luka parah), ketangkap, ditembak sama densus,” ujarnya.

Saat ditanya apakah Anwar atau Wahyu itu merupakan petugas intelijen yang menyamar, dia dengan tegas membantahnya.

“Bukan, hati-hati dengan itu. Jangan tergelincir. Intelijen kita memang masuk karena itu bekam, kami mau memastikan benar atau tidak,” ucap Ansyad. Polisi sendiri menyebut status Anwar sudah menjadi tersangka.

Sementara, dari Mabes Polri dilaporkan, kepolisian mengimbau kepada seluruh pedagang kimia untuk waspada dan teliti dalam melakukan transaksi penjualan. Hal itu untuk mempersempit ruang gerak para teroris.

“Setiap mereka-mereka yang membeli bahan kimia di toko kimia, catatlah pembeli itu,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Boy Rafli Amar di Jakarta, Selasa 11 September 2012.

Selain itu, pedagang juga dianjurkan untuk meminta KTP atau identitas pembeli baik yang perorangan, instansi, atau dari kalangan lembaga pendidikan yang biasanya untuk kebutuhan praktek di laboratorium agar ada kejelasan. “Kalau perlu dipertanyakan untuk keperluan apa membeli bahan seperti ini, apalagi kalau yang datang adalah orang perorangan yang identitasnya tidak ada, tidak jelas,” ujarnya.

Boy mengatakan sementara ini polisi meminta para pedagang itu untuk tidak melayani pembelian bahan-bahan kimia. Dia khawatir barang itu akan disalahgunakan. “Ini pupuk saja bisa jadi bahan campuran. Pupuk urea itu bisa jadi bahan campuran,” terangnya.

Selain imbauan dan larangan itu, Boy mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mereduksi paham-paham radikal yang berkeliaran. Tidak terkecuali, yang disebarkan melalu jejaring internet atau dunia maya.

“Keluarga kita untuk tidak mengkonsumsi pemberitaan, konten-konten cyber spesial yang mengarah kepada isu-isu radikal. Inilah hal-hal yang kita harapkan peran masyarakat secara aktif untuk kita bersama mengurangi dampak radikalisasi yang mengarah kepada aksi teror, anarkis, kekerasan  di tengah masyarakat kita. Ini tentu harus dimulai dari lingkungan,” ucapnya. (bbs/jpnn)

Densus Boyong Pria asal Bojong Siapa Arif?

TIM Densus 88 Mabes Polri menciduk Arif, warga Bojong, Bogor, Jawa Barat, dalam penggerebekan, kemarin. Pria ini diamankan setelah Densus membawa terduga teroris, Muhammad Toriq, ke daerah ini.

Siapa Arif, belum banyak terungkap. Namun, berdasar pengakuan mertuanya, Maryati, Arif merupakan sosok yang ramah dan tidak memiliki kegiatan yang mencurgakan.

“Dia orangnya biasa saja, tidak pernah aneh-aneh,” kata Maryati saat ditemui VIVAnews di kediamannya, RT 2 RW 8, Warung Jambu, Desa Susukan, Bojong Gede, Bogor, Selasa 11 September 2012.

Sehari-hari, Arif tinggal di rumah Maryati bersama istrinya yang bernama Jannah dan anak lelakinya, Muhammad Nazwid (6). “Dia sudah tidak punya keluarga,” tutur Maryati.

Setahu Maryati, menantunya itu bekerja di Jakarta. Di ibukota ini, Arif menjual aksesoris untuk motor di kawasan Sawah Besar. “Lokasi tepatnya saya tidak tahu,” katanya. Dan Arif pulang tiap dua minggu sekali.

Maryati mengakui, Arif adalah orang yang menyewa rumah bagi Anwar di Bojong. Rumah itu digeledah Densus kemarin. Anwar sendiri kondisinya kritis akibat ledakan di Beji, Bogor, pada Sabtu malam. Belakangan, polisi menyebut Anwar bestatus tersangka.

Namun, Maryati membantah jika Arif terlibat aksi teroris. Apalagi terlibat ledakan bom di Beji. Dia mengatakan, saat ledakan itu, Arif tengah berada di rumah. “Hari Sabtu itu, dia pulang magrib. Dia bilang sakit, habis itu makan dan tidur,” kata Maryati.

Maryati juga membantah tudingan bahwa Arif pulang dalam keadaan terluka. Menurutnya, sakit yang derita Arif hanya gejala typus. “Malam Minggu itu dia tidak ke luar, tidak ke mana-mana,” ujarnya.

Perempuan 63 tahun ini juga mengaku kaget dengan dicokoknya Arif pada Senin pagi kemarin. Dia bercerita, mulanya Arif didatangi oleh Ketua RW setempat, Deni, sebelum dibawa Densus. Kemudian, terjadilah penggeledahan itu, Arif dibawa pergi.

Namun, sebelum dibawa Densus, Arif sempat bertemu dengan Jannah. Dia memberi sejumlah uang kepada istrinya itu. Menurut Maryati, Jannah dan Nazwid syok dengan penangkapan Arif tersebut. “Mereka selalu bertanya di mana Arif,” ujar Maryati. (net/jpnn)

Kontroversi Sertifikasi Ustadz

KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai membantah pihaknya memprogramkan sertifikasi untuk para ulama dalam berdakwah.  Ansyaad meluruskan pernyataan Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris yang melempar wacana sertifikasi terhadap pondok pesantren dan ustaz.

Menurut Ansyaad, pernyataan Irfan adalah contoh kebijakan dari Arab Saudi dan Singapura yang berhasil menekan gerakan radikalisasi.
“Itu bukan program BNPT. Itu hanya jawaban dari Pak Irfan Idris (Direktur Deradikalisasi BNPT) atas pertanyaan dalam diskusi di Warung Daun kemarin,” kata Ansyaad saat ditemui di kantor BNPT, Jakarta, Selasa 11 September 2012.

Dia mengemukakan di Singapura ada sekitar 4000 ustad dan ulama. Di antara itu, 1400 sudah disertifikasi. “Itu setelah 8 tahun berjalan,” jelasnya.
Ditemui di tempat yang sama, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, jika memang wacana sertifikasi itu ingin dijalankan, maka perlu dilakukan survei terlebih dulu. Dan itu, katanya, bukan urusan BNPT melainkan kewenangan MUI atau Kemenag.

“Jangan dikatakan itu program BNPT. Ini kan wacana dan itu pun tergantung masyarakat. Lagipula, ngapain kita ngurusin sertifikasi, masih banyak program kita yang perlu diselesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi VIII yang membidangi Agama, Jazuli Juwani menolak usulan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulang Terorisme (BNPT), Irfan Idris, soal sertifikasi pondok pesantren dan ustaz.

Menurut Jazuli, usul pejabat BNPT itu tidak memiliki dasar yang jelas, ide yang tidak solutif dan terkesan panik.

“Kalau kita mau selesaikan persoalan harus kita kaji dalam persoalannya, apa sih dasar persoalan. Itu satu dan yang kedua katakanlah orang yang mengatasnamakan pesantren berapa jumlahnya dibandingkan ratusan ribu dan jutaan ustaz dan ulama,” kata Jazuli di Gedung DPR, Selasa 11 September 2012.

Ulama, kata Jazuli, legalitasnya sudah dilakukan secara alami oleh masyarakat. “Orang tidak sembarangan disebut kyai atau ustaz. Ini bukan seperti produksi makanan, ini haram dan halal,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.

Dia juga menegaskan bahwa, Arab Saudi dan Singapura tak cocok dijadikan acuan untuk sertifikasi ulama. Pasalnya, kata dia, Arab Saudi adalah negara diktator kerajaan, sehingga pemuka agama yang tidak sesuai dengan keinginan kerajaan akan mendapat hukuman.

Selain itu, ulama di Arab Saudi digaji oleh negara. Sementara, Singapura pun, tidak dapat dijadikan acuan, pasalnya negara tersebut tidak sedemokratis di Indonesia.

“Jadi dua-duanya tidak bisa sama sekali, tidak layak (dijadikan contoh),” kata dia.
Kejahatan terorisme dengan sertifikasi ulama dan pesantren dinilai tidak ada korelasinya. “Karena terorisme bukan hanya di Islam agama lain juga ada,” kata dia.

Sebelumnya, Irfan Idris mengusulkan agar pemerintah melakukan sertifikasi pondok pesantren dan ustaz untuk menekan ajaran radikal.
Usulan itu dilontarkan pejabat BNPT tersebut setelah melakukan pengamatan langsung ke Singapura dan Arab Saudi. Kedua negara itu dinilai mampu menekan terorisme dan ajaran radikal lewat sistem sertifikasi pesantren.

“Dengan sertifikasi, pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi,” kata Irfan. (net/jpnn)

Mengungkap Identitas Teroris

Oleh: Ira Yuliana
Mahasiswa Pascasarjana Unimed  |  Aktifis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Siapa yang tak ‘kenal’ dengan terorisme saat ini? Sebuah istilah yang diciptakan AS sejak kejadian pengeboman WTC tahun 2001. Sosok teroris selalu digambarkan dengan orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang ‘dicap’ radikal dan terobsesi  mendirikan sebuah negara baru berlandaskan fundamentalime agama.

Itulah sosok teroris yang diperkenalkan dalam setiap “drama” bersambung yang ada dilayar kaca yang bisa muncul kapan saja yang anda tidak akan tau bagaimana awal dan akhir cerita, yang tahu hanyalah sang ‘sutradara’ yang mengerti kapan drama terorisme ini “dibutuhkan’ untuk dimunculkan lengkap dengan adegan dramatisasi layaknya di film “hero” dengan Densus 88 sebagai super heronya, membasmi kejahatan dimuka bumi. Memuakkan!!. Di bulan Syawal yang penuh berkah ini, dimana umat Islam harusnnya merayakan kemenangan setelah melalui bulan Ramadhan, kembali dihebohkan dengan kasus terorisme di Solo kemudian disusul Depok.

Sebenarnya istilah teroris hingga detik ini belum mempunyai kesepakatan defenisi secara akademis dan yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam beberapa konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme. Istilah terorisme kemudian menjadi istilah yang bermuatan politik yang sudah di “setting” untuk mengkriminalkan semua orang yang mengancam kedudukan AS sebagai negara adi daya di dunia. Sebagai negara yang berideologi  Kapitalis-sekuler dengan paham Demokrasi dalam pemerintahan, AS mengerti benar di dunia ini hanya ada tiga ideologi yaitu Kapitalis, Sosialis dan Islam. Sosialis telah lama menghilang dalam persaingan ideologi dunia sejak runtuhnya Uni Soviet, sedangkan Ideologi Islam masih membara didada kaum muslimin, karena ideologi Islam tidak akan pernah hilang selama aqidah Islam ada di muka bumi.  Istilah Terorisme kemudian menjadi istilah yang digunakan AS secara tendensius dan subjektif untuk memposisikan semua orang yang memperjuangkan ideologi Islam adalah orang yang berpaham Radikal yang berpotensi melakukan tindakan terorisme. Siapa saja yang memperjuangkan Islam maka harus siap “dicap” sebagai teroris.

Kalaupun kita ingin mendudukkan istilah terorisme secara umum maka terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang menganggu keamanan orang maupun  negara dengan tindakan tertentu seperti pengeboman dan penembakan. Maka kemudian semua tindakan yang bersifat mengganggu keamanan orang lain dapat dikatakan sebagai tindakan teror dan pelakunya disebut dengan teroris. Tapi pada faktanya tindakan penembakan dan pengeboman yang tidak terkait dengan Islam maka anda tidak akan pernah menjumpainya pelakunya disebut sebagai Teroris, seperti tindakan penembakan membabi buta yang dilakukan pria di Norwegia bernama Anders Behring Breivik setahun yang lalu yang menewaskan 80 orang disebut sebagai tindakan kriminal  biasa, kemudian penembakan yang beberapa kali terjadi di Papua juga tidak akan disebut dengan terorisme.

Bahkan AS sendiri yang menembak, mengebom, meluluhlantakkan Afganistan, Irak yang telah melakukan tindakan teror secara negara tidak akan pernah disebut dengan teroris. Begitu juga dengan Israel yang telah merampas tempat tinggal warga Pelestina, menembak, membunuh mustahil disebut teroris, karena memang istilah teroris spesial diperuntukkan untuk kelompok-kelompok  tertentu.

Hal yang tak kalah menyedihkan adalah negara Indonesia sendiri menjadi pengikut setia AS dalam penggunaan istilah terorisme. Peristiwa dalam negri yang terkait tindakan teror selalu dikait-kaitkan dengan kelompok Islam, seperti perampokan CIMB, penembakan baru-baru ini di Solo dan kemudian di Depok. Padahal tak jarang tidakan teror itu muncul sama sekali bukan dalam rangka tindakan terorisme yang terorganisir secara rapi dengan jaringan teroris tertentu untuk mencapai tujuan kelompok tertentu seperti yang sering digembar-gemborkan BNPT oleh Ansyaad mbai. Tindakan teror itu muncul terkadang karena ketidakadilan yang sering terjadi yang kemudian menimbulkan motif balas dendam, hal ini dapat kita analisa dari tindakan teror yang bersifat emosional, tidak teroraganisir dan dilakukan kalangan muda yang masih memiliki emosional yang tinggi ketika melihat ketidakadilan. memang miris akhirnya jika dilihat lebih dalam tindakan teror itu ternyata muncul karena ketidakadilan dalam penanganan kasus terorisme itu sendiri seperti penembakan keluarga terduga teroris yang bersifat arogan tanpa peradilan terlebih dahulu merupakan ketidakadilan yang bisa menimbulkan tindakan balas dendam. Hal ini harusnya menjadi otokritik bagi BNPT sendiri.

Oleh karena itu jika ingin melihat secara cerdas dan objektif maka identitas teroris harusnya tidak digunakan sebagai istilah yang tendensius dan subjektif yang sengaja dilekatkan pada umat Islam. Istilah teroris harusnya  dilekat pada orang atau individu yang  melakukan tindakan teror.
Secara empiris, kita tahu bersama,  AS dan Israel merupakan negara yang melakukan tindakan teror, bahkan tindakan terorisme itu dilakukan oleh institusi negara, maka AS dan Israel boleh dibilang sesungguhnya teroris itu sendiri. (*)

Basmi Terorisme

Aksi pemberantasan aksi terorisme di Indonesia terus dilakukan. Alih-alih surut, aksi teror justru merebak. Kelompok yang disebut polisi sebagai jaringan teroris terus berbiak. Bahkan, sokongan dana kepada mereka terus mengalir. Untuk meredamnya, pemerintah akan memutus suplai dana itu. Rancangan Undang-undang Anti Pendanaan Teroris pun diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

ANTISIPASI:  Aparat Kepolisian  memeriksa barang bawaan penumpang bus  melintas   Pulomerak, Cilegon, Rabu (12/9). //jpnn
ANTISIPASI: Aparat Kepolisian memeriksa barang bawaan penumpang bus yang melintas di Pulomerak, Cilegon, Rabu (12/9). //jpnn

“Kita membutuhkan UU Anti Pendanaan Terorisme atau Counter Financing Terrorism sebagai dasar hukum untuk menangani aksi teror,” kata Wakil Kepala PPATK Agus Santoso kepada wartawan, Senin (10/9) lalu.

Diharapkan, UU ini membuat pencegahan dan pemberantasan terorisme lebih komprehensif. Sebab, di dalamnya memuat upaya memutus aliran dana kepada individu atau kelompok teroris. “Salah satu terobosan hukum dalam UU itu adalah pengaturan kriminilisasi perbuatan yang bertujuan mendanai kegiatan yang patut diduga untuk kegiatan terorisme,” jelas Agus.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, mengatakan aliran dana kelompok teroris sulit dilacak dan dihentikan, sebab Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak cukup untuk mencegahnya. “Undang-undang itu (pencucian uang) belum memadai,” ujar Ansyaad.

DPR bergerak cepat. Panitia khusus yang diketuai oleh Adang Daradjatun dibentuk untuk meresponsnya. Kini, pembahasannya dalam tahap dengar pendapat dengan berbagai pihak terkait, termasuk Badan Intelijen Negara. “Saya harap dalam dua kali masa sidang RUU ini bisa selesai,” kata Adang.
DPR, kata Adang, berupaya mempercepat pembahasan, karena ada beban psikologis. “Selanjutnya kami akan dengarkan pendapat dari jajaran Kementerian Keuangan, Polri, dan korporasi yang mungkin merasa tertuduh,” tambah mantan Wakapolri ini.

Menurut Adang, tiga pendekatan mendasari penyusunan UU ini. Pertama, segi filosofis, pemerintah wajib menjaga keamanan. Kedua, segi sosial, dicari tahu segala peristiwa yang berhubungan dengan terorisme. Ketiga, segi yuridis, perlu batasan soal pendanaan terorisme yang dilakukan oleh per orangan atau korporasi.

Sependapat dengan Agus, dia mengatakan UU ini akan sangat efektif untuk membasmi aksi terorisme di Indonesia. “Teror kan perlu dana untuk membeli bahan-bahan kimia. Kalau pendanaan mudah masuk ke pelaku teror, bisa berakibat fatal,” tambah Adang.

Adang menyatakan, UU itu tidak akan sewenang-wenang jika diterapkan. UU ini justru melindungi individu atau korporasi yang dituduh memberikan dana kepada jaringan teroris. Rekening para tertuduh juga tak serta-merta langsung dapat ditutup. “Saya ingin garis bawahi bahwa UU itu nantinya menjadi payung hukum bagi yang merasa dituduh,” katanya.

“Karena nanti, polisi tidak bisa sembarangan menyebut sebuah organisasi menerima dana untuk kepentingan teroris. Keputusan itu berada di pengadilan,” Adang menambahkan. UU ini juga memberi ruang bagi individu atau korporasi yang dituduh mendanai terorisme untuk membela diri ke pengadilan.

RUU ini dipandang mendesak. Sebab, anggota jaringan teroris dengan mudah mendapat senjata dan bahan peledak. Itu artinya, jaringan ini memiliki kemampuan pendanaan yang besar. Bahkan, jaringan teroris diduga telah berhasil mengumpulkan dana mencapai miliaran rupiah untuk operasinya. “Nilai persisnya kami tidak tahu, tapi diperkirakan mencapai Rp7-8 miliar,” ujar Ansyaad.

Keterangan itu didapat dari anggota jaringan teroris yang ditangkap Densus pada Maret lalu. Ansyaad menyebut jaringan ini sebagai ‘Kelompok Sebelas’. Satu terduga teroris ditangkap di Gambir, Jakarta; 4 di Medan, Sumatera Utara; 2 di Bandung, Jawa Barat, 1 di Palembang, Sumatera Selatan; 2 di Solo, Jawa Tengah; dan 1 di Jawa Timur.

Menurut Ansyaad, dana itu dikumpulkan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan cara meretas situs-situs di internet. “Mereka hacker MLM (multi level marketing) online. Yang hackernya ditangkap di Bandung, dua orang,” katanya.

Berdasar pengakuan mereka yang ditangkap, kata Ansyaad, dana itu sebagian sudah digunakan untuk membiayai sejumlah operasi jaringan teroris di sejumlah wilayah Indonesia. Seperti di Poso Sulawesi Tengah dan Solo Jawa Tengah.

“Dana itu untuk membeli senjata dan bahan peledak, ternyata sebagian sudah digunakan untuk mendanai peledakan di Solo,” katanya. Dana itu juga digunakan untuk biaya pelatihan di Poso dan daerah Sulawesi lainnya.
***

SABTU 8 September 2012 malam, ledakan besar terjadi di sebuah rumah yang digunakan untuk Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara, Beji, Depok, Jawa Barat. Tiga orang terluka—satu di antaranya kritis. Dua orang lainya melarikan diri.

Polisi mengatakan, yayasan itu hanya sebagai kedok. Rumah itu ternyata dijadikan sebagai gudang bahan peledak oleh jaringan teroris. Banyak ditemukan bahan baku bom berdaya ledak tinggi. Selain itu, juga ditemukan senjata api dan granat.

Ledakan Beji terjadi tiga hari setelah terungkapnya aktifitas Muhammad Toriq yang meracik bom di rumahnya, Jalan Teratai 7, RT 02 RW 04, Tambora, Jakarta Barat, Rabu 5 September 2012. Dia kemudian kabur setelah muncul kepulan asap dari bahan yang dia ramu. Toriq kemudian menyerahkan diri pada Minggu 9 September 2012 malam.

Berdasar keterangan Toriq, Densus melakukan pengembangan penyelidikan. Densus membawa pria 30 tahun itu ke Desa Susukan RT3 RW8, Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Di tempat itu, Densus menemukan magasin dan menyiduk satu orang bernama Arif.

Polisi juga mengatakan Toriq berencana meledakkan diri pada Senin 10 September 2012. Ada empat target Toriq, yaitu Markas Brimob; Pos Polisi di Salemba, Jakarta Pusat; kantor Densus 88 Polri, dan komunitas masyarakat Buddha—untuk membela etnis Rohingya yang dinilai mengalami ketidakadilan di Myanmar.

Toriq juga diduga terkait dengan jaringan teroris Solo. Polisi mengatakan dia bertemu dengan Firman yang ditangkap di Perumahan Taman Anyelir 2, Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Cilodong, Kodya Depok, Rabu pagi 5 September 2012.

“Toriq sempat bertemu dulu dengan Firman di Sukmajaya, Depok,” kata Kapolsek Bojong Gede, Komisaris Polisi Bambang Irianto. “Setelah bertemu Firman di Sukmajaya, Toriq dari Depok bermalam di Bojong. Lalu dia ke Beji.”

Polisi menyatakan Firman terlibat rentetan aksi teror penembakan pos polisi di Solo selama Agustus yang menewaskan polisi. Dalam rangkaian aksi itu, Firman berperan membonceng terduga teroris Farhan yang tewas bersama Muchsin saat penyergapan pada 31 Agustus 2012 malam.
Tak hanya di Jawa, Densus 88 juga bergerak di Ambon, Maluku. Empat terduga teroris dibekuk. Barang yang disita pun tak kalah mengejutkan. Densus 88 berhasil menyita dua senjata api, granat, pelontar, dan 10.000 peluru siap pakai.

Di lain kesempatan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, mengaku tidak tahu apakah Anwar, korban ledakan di Beji, Depok, merupakan mantan anggota polisi. Status itu, kata dia, tidak penting.

“Yang saya tahu, sesuai KTP yang ditemukan atas nama Wahyu Ristanto,” kata Ansyaad di kantornya, Jakarta, Selasa 11 September 2012. “Kalau dia anggota polisi kita mau apa, toh dia teroris. Kita tunggu penyidikan saja.”

Menurut dia, beberapa waktu yang lalu telah ada anggota polisi yang dijebloskan ke penjara gara-gara terlibat aktivitas terorisme. Namanya Sofyan Sauri. Dia staf logistik yang kemudian dituduh menjual senjata milik Polri ke jaringan teroris.

“Sekali lagi, teroris ya teroris, meskipun anggota polisi. Kalau Anwar mantan polisi tidak ada urusannya. Dia kalau tidak seperti itu (luka parah), ketangkap, ditembak sama densus,” ujarnya.

Saat ditanya apakah Anwar atau Wahyu itu merupakan petugas intelijen yang menyamar, dia dengan tegas membantahnya.

“Bukan, hati-hati dengan itu. Jangan tergelincir. Intelijen kita memang masuk karena itu bekam, kami mau memastikan benar atau tidak,” ucap Ansyad. Polisi sendiri menyebut status Anwar sudah menjadi tersangka.

Sementara, dari Mabes Polri dilaporkan, kepolisian mengimbau kepada seluruh pedagang kimia untuk waspada dan teliti dalam melakukan transaksi penjualan. Hal itu untuk mempersempit ruang gerak para teroris.

“Setiap mereka-mereka yang membeli bahan kimia di toko kimia, catatlah pembeli itu,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Boy Rafli Amar di Jakarta, Selasa 11 September 2012.

Selain itu, pedagang juga dianjurkan untuk meminta KTP atau identitas pembeli baik yang perorangan, instansi, atau dari kalangan lembaga pendidikan yang biasanya untuk kebutuhan praktek di laboratorium agar ada kejelasan. “Kalau perlu dipertanyakan untuk keperluan apa membeli bahan seperti ini, apalagi kalau yang datang adalah orang perorangan yang identitasnya tidak ada, tidak jelas,” ujarnya.

Boy mengatakan sementara ini polisi meminta para pedagang itu untuk tidak melayani pembelian bahan-bahan kimia. Dia khawatir barang itu akan disalahgunakan. “Ini pupuk saja bisa jadi bahan campuran. Pupuk urea itu bisa jadi bahan campuran,” terangnya.

Selain imbauan dan larangan itu, Boy mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mereduksi paham-paham radikal yang berkeliaran. Tidak terkecuali, yang disebarkan melalu jejaring internet atau dunia maya.

“Keluarga kita untuk tidak mengkonsumsi pemberitaan, konten-konten cyber spesial yang mengarah kepada isu-isu radikal. Inilah hal-hal yang kita harapkan peran masyarakat secara aktif untuk kita bersama mengurangi dampak radikalisasi yang mengarah kepada aksi teror, anarkis, kekerasan  di tengah masyarakat kita. Ini tentu harus dimulai dari lingkungan,” ucapnya. (bbs/jpnn)

Densus Boyong Pria asal Bojong Siapa Arif?

TIM Densus 88 Mabes Polri menciduk Arif, warga Bojong, Bogor, Jawa Barat, dalam penggerebekan, kemarin. Pria ini diamankan setelah Densus membawa terduga teroris, Muhammad Toriq, ke daerah ini.

Siapa Arif, belum banyak terungkap. Namun, berdasar pengakuan mertuanya, Maryati, Arif merupakan sosok yang ramah dan tidak memiliki kegiatan yang mencurgakan.

“Dia orangnya biasa saja, tidak pernah aneh-aneh,” kata Maryati saat ditemui VIVAnews di kediamannya, RT 2 RW 8, Warung Jambu, Desa Susukan, Bojong Gede, Bogor, Selasa 11 September 2012.

Sehari-hari, Arif tinggal di rumah Maryati bersama istrinya yang bernama Jannah dan anak lelakinya, Muhammad Nazwid (6). “Dia sudah tidak punya keluarga,” tutur Maryati.

Setahu Maryati, menantunya itu bekerja di Jakarta. Di ibukota ini, Arif menjual aksesoris untuk motor di kawasan Sawah Besar. “Lokasi tepatnya saya tidak tahu,” katanya. Dan Arif pulang tiap dua minggu sekali.

Maryati mengakui, Arif adalah orang yang menyewa rumah bagi Anwar di Bojong. Rumah itu digeledah Densus kemarin. Anwar sendiri kondisinya kritis akibat ledakan di Beji, Bogor, pada Sabtu malam. Belakangan, polisi menyebut Anwar bestatus tersangka.

Namun, Maryati membantah jika Arif terlibat aksi teroris. Apalagi terlibat ledakan bom di Beji. Dia mengatakan, saat ledakan itu, Arif tengah berada di rumah. “Hari Sabtu itu, dia pulang magrib. Dia bilang sakit, habis itu makan dan tidur,” kata Maryati.

Maryati juga membantah tudingan bahwa Arif pulang dalam keadaan terluka. Menurutnya, sakit yang derita Arif hanya gejala typus. “Malam Minggu itu dia tidak ke luar, tidak ke mana-mana,” ujarnya.

Perempuan 63 tahun ini juga mengaku kaget dengan dicokoknya Arif pada Senin pagi kemarin. Dia bercerita, mulanya Arif didatangi oleh Ketua RW setempat, Deni, sebelum dibawa Densus. Kemudian, terjadilah penggeledahan itu, Arif dibawa pergi.

Namun, sebelum dibawa Densus, Arif sempat bertemu dengan Jannah. Dia memberi sejumlah uang kepada istrinya itu. Menurut Maryati, Jannah dan Nazwid syok dengan penangkapan Arif tersebut. “Mereka selalu bertanya di mana Arif,” ujar Maryati. (net/jpnn)

Kontroversi Sertifikasi Ustadz

KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai membantah pihaknya memprogramkan sertifikasi untuk para ulama dalam berdakwah.  Ansyaad meluruskan pernyataan Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris yang melempar wacana sertifikasi terhadap pondok pesantren dan ustaz.

Menurut Ansyaad, pernyataan Irfan adalah contoh kebijakan dari Arab Saudi dan Singapura yang berhasil menekan gerakan radikalisasi.
“Itu bukan program BNPT. Itu hanya jawaban dari Pak Irfan Idris (Direktur Deradikalisasi BNPT) atas pertanyaan dalam diskusi di Warung Daun kemarin,” kata Ansyaad saat ditemui di kantor BNPT, Jakarta, Selasa 11 September 2012.

Dia mengemukakan di Singapura ada sekitar 4000 ustad dan ulama. Di antara itu, 1400 sudah disertifikasi. “Itu setelah 8 tahun berjalan,” jelasnya.
Ditemui di tempat yang sama, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, jika memang wacana sertifikasi itu ingin dijalankan, maka perlu dilakukan survei terlebih dulu. Dan itu, katanya, bukan urusan BNPT melainkan kewenangan MUI atau Kemenag.

“Jangan dikatakan itu program BNPT. Ini kan wacana dan itu pun tergantung masyarakat. Lagipula, ngapain kita ngurusin sertifikasi, masih banyak program kita yang perlu diselesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi VIII yang membidangi Agama, Jazuli Juwani menolak usulan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulang Terorisme (BNPT), Irfan Idris, soal sertifikasi pondok pesantren dan ustaz.

Menurut Jazuli, usul pejabat BNPT itu tidak memiliki dasar yang jelas, ide yang tidak solutif dan terkesan panik.

“Kalau kita mau selesaikan persoalan harus kita kaji dalam persoalannya, apa sih dasar persoalan. Itu satu dan yang kedua katakanlah orang yang mengatasnamakan pesantren berapa jumlahnya dibandingkan ratusan ribu dan jutaan ustaz dan ulama,” kata Jazuli di Gedung DPR, Selasa 11 September 2012.

Ulama, kata Jazuli, legalitasnya sudah dilakukan secara alami oleh masyarakat. “Orang tidak sembarangan disebut kyai atau ustaz. Ini bukan seperti produksi makanan, ini haram dan halal,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.

Dia juga menegaskan bahwa, Arab Saudi dan Singapura tak cocok dijadikan acuan untuk sertifikasi ulama. Pasalnya, kata dia, Arab Saudi adalah negara diktator kerajaan, sehingga pemuka agama yang tidak sesuai dengan keinginan kerajaan akan mendapat hukuman.

Selain itu, ulama di Arab Saudi digaji oleh negara. Sementara, Singapura pun, tidak dapat dijadikan acuan, pasalnya negara tersebut tidak sedemokratis di Indonesia.

“Jadi dua-duanya tidak bisa sama sekali, tidak layak (dijadikan contoh),” kata dia.
Kejahatan terorisme dengan sertifikasi ulama dan pesantren dinilai tidak ada korelasinya. “Karena terorisme bukan hanya di Islam agama lain juga ada,” kata dia.

Sebelumnya, Irfan Idris mengusulkan agar pemerintah melakukan sertifikasi pondok pesantren dan ustaz untuk menekan ajaran radikal.
Usulan itu dilontarkan pejabat BNPT tersebut setelah melakukan pengamatan langsung ke Singapura dan Arab Saudi. Kedua negara itu dinilai mampu menekan terorisme dan ajaran radikal lewat sistem sertifikasi pesantren.

“Dengan sertifikasi, pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi,” kata Irfan. (net/jpnn)

Mengungkap Identitas Teroris

Oleh: Ira Yuliana
Mahasiswa Pascasarjana Unimed  |  Aktifis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Siapa yang tak ‘kenal’ dengan terorisme saat ini? Sebuah istilah yang diciptakan AS sejak kejadian pengeboman WTC tahun 2001. Sosok teroris selalu digambarkan dengan orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang ‘dicap’ radikal dan terobsesi  mendirikan sebuah negara baru berlandaskan fundamentalime agama.

Itulah sosok teroris yang diperkenalkan dalam setiap “drama” bersambung yang ada dilayar kaca yang bisa muncul kapan saja yang anda tidak akan tau bagaimana awal dan akhir cerita, yang tahu hanyalah sang ‘sutradara’ yang mengerti kapan drama terorisme ini “dibutuhkan’ untuk dimunculkan lengkap dengan adegan dramatisasi layaknya di film “hero” dengan Densus 88 sebagai super heronya, membasmi kejahatan dimuka bumi. Memuakkan!!. Di bulan Syawal yang penuh berkah ini, dimana umat Islam harusnnya merayakan kemenangan setelah melalui bulan Ramadhan, kembali dihebohkan dengan kasus terorisme di Solo kemudian disusul Depok.

Sebenarnya istilah teroris hingga detik ini belum mempunyai kesepakatan defenisi secara akademis dan yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam beberapa konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme. Istilah terorisme kemudian menjadi istilah yang bermuatan politik yang sudah di “setting” untuk mengkriminalkan semua orang yang mengancam kedudukan AS sebagai negara adi daya di dunia. Sebagai negara yang berideologi  Kapitalis-sekuler dengan paham Demokrasi dalam pemerintahan, AS mengerti benar di dunia ini hanya ada tiga ideologi yaitu Kapitalis, Sosialis dan Islam. Sosialis telah lama menghilang dalam persaingan ideologi dunia sejak runtuhnya Uni Soviet, sedangkan Ideologi Islam masih membara didada kaum muslimin, karena ideologi Islam tidak akan pernah hilang selama aqidah Islam ada di muka bumi.  Istilah Terorisme kemudian menjadi istilah yang digunakan AS secara tendensius dan subjektif untuk memposisikan semua orang yang memperjuangkan ideologi Islam adalah orang yang berpaham Radikal yang berpotensi melakukan tindakan terorisme. Siapa saja yang memperjuangkan Islam maka harus siap “dicap” sebagai teroris.

Kalaupun kita ingin mendudukkan istilah terorisme secara umum maka terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang menganggu keamanan orang maupun  negara dengan tindakan tertentu seperti pengeboman dan penembakan. Maka kemudian semua tindakan yang bersifat mengganggu keamanan orang lain dapat dikatakan sebagai tindakan teror dan pelakunya disebut dengan teroris. Tapi pada faktanya tindakan penembakan dan pengeboman yang tidak terkait dengan Islam maka anda tidak akan pernah menjumpainya pelakunya disebut sebagai Teroris, seperti tindakan penembakan membabi buta yang dilakukan pria di Norwegia bernama Anders Behring Breivik setahun yang lalu yang menewaskan 80 orang disebut sebagai tindakan kriminal  biasa, kemudian penembakan yang beberapa kali terjadi di Papua juga tidak akan disebut dengan terorisme.

Bahkan AS sendiri yang menembak, mengebom, meluluhlantakkan Afganistan, Irak yang telah melakukan tindakan teror secara negara tidak akan pernah disebut dengan teroris. Begitu juga dengan Israel yang telah merampas tempat tinggal warga Pelestina, menembak, membunuh mustahil disebut teroris, karena memang istilah teroris spesial diperuntukkan untuk kelompok-kelompok  tertentu.

Hal yang tak kalah menyedihkan adalah negara Indonesia sendiri menjadi pengikut setia AS dalam penggunaan istilah terorisme. Peristiwa dalam negri yang terkait tindakan teror selalu dikait-kaitkan dengan kelompok Islam, seperti perampokan CIMB, penembakan baru-baru ini di Solo dan kemudian di Depok. Padahal tak jarang tidakan teror itu muncul sama sekali bukan dalam rangka tindakan terorisme yang terorganisir secara rapi dengan jaringan teroris tertentu untuk mencapai tujuan kelompok tertentu seperti yang sering digembar-gemborkan BNPT oleh Ansyaad mbai. Tindakan teror itu muncul terkadang karena ketidakadilan yang sering terjadi yang kemudian menimbulkan motif balas dendam, hal ini dapat kita analisa dari tindakan teror yang bersifat emosional, tidak teroraganisir dan dilakukan kalangan muda yang masih memiliki emosional yang tinggi ketika melihat ketidakadilan. memang miris akhirnya jika dilihat lebih dalam tindakan teror itu ternyata muncul karena ketidakadilan dalam penanganan kasus terorisme itu sendiri seperti penembakan keluarga terduga teroris yang bersifat arogan tanpa peradilan terlebih dahulu merupakan ketidakadilan yang bisa menimbulkan tindakan balas dendam. Hal ini harusnya menjadi otokritik bagi BNPT sendiri.

Oleh karena itu jika ingin melihat secara cerdas dan objektif maka identitas teroris harusnya tidak digunakan sebagai istilah yang tendensius dan subjektif yang sengaja dilekatkan pada umat Islam. Istilah teroris harusnya  dilekat pada orang atau individu yang  melakukan tindakan teror.
Secara empiris, kita tahu bersama,  AS dan Israel merupakan negara yang melakukan tindakan teror, bahkan tindakan terorisme itu dilakukan oleh institusi negara, maka AS dan Israel boleh dibilang sesungguhnya teroris itu sendiri. (*)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/