25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Berdayakan Taman Budaya, Apanya?

Apanya? Kata tanya ini langsung menyergap kepala saya ketika membaca berita soal niatan pasangan calon dalam Pilgubsu 2013. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu mengatakan akan memberdayakan Taman Budaya Sumatera Utara. Hm, apanya yang akan diberdayakan?

Tentu lantun ini tidak berusaha membahas trik mencari suara dalam Pilgubsu. Ini hanya soal lontaran pasangan itu, tentang memberdayakan taman budaya tadi. Bukan rahasia lagi kan kalau taman budaya bak wilayah otonom dari sebuah kehidupan di Medan. Mereka yang di dalam (penghuni taman budaya) cenderung kurang menyatu dalam denyut kota. Mereka punya kehidupan sendiri. Mereka memiliki sudut pandang sendiri. Mereka adalah orang-orang yang memikirkan sesuatu yang kadang tak dipikirkan orang kebanyakan. Mereka unik. Mereka khusus. Dan, semua orang paham, mereka adalah seniman.

Atas nama seniman, mereka pun kadang dibiarkan — seperti keinginan mereka yang tidak begitu ingin diributi. Bagi seniman, karya adalah utama. Namanya karya berarti milik pribadi, jadi bisa bayangkan ketika karya itu diurusi oleh orang lain? Maksud saya, ketika seniman terlalu diintervensi dalam berkarya, adakah itu bisa membuat seniman nyaman?

Lalu, ketika ada pasangan calon yang ingin memberdayakan taman budaya, apakah bisa diartikan memberdayakan seniman juga? Secara sederhana, mungkin saja bisa diartikan semacam itu. Setidaknya, taman budaya memang kental hubungannya dengan seniman. Namun, hal itu juga bisa dibantah. Toh, banyak juga seniman yang beraktivitas di luar taman budaya. Nah, jika begitu, memberdayakan taman budaya bisa diartikan sebagai apa?
Baiklah, coba kita lihat dari sudut fisik taman budaya. Artinya, memberdayakan taman budaya sebagai sebuah tempat, sebuah ruang, dan kumpulan bangunan. Maka, yang terjawab adalah taman budaya sebagai  sebuah tempat yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan. Lokasi yang strategis. Pusat kota.

Nah, sebagai tempat yang berada di lokasi strategis, taman budaya kan bisa diberdayakan lagi agar tampak lebih menonjol (saat ini fisiknya seakan tenggelam di lautan bangunan keren di Kota Medan). Dia akan dijadikan sebuah tempat yang dituju layaknya bangunan lain di Medan. Tapi untuk itu, harus ada yang diubah dari taman budaya bukan? Ini bukan soal bangunan taman budaya menjadi 25 tingkat dan serba wah. Taman budaya harus memiliki daya tarik tersendiri. Fisiknya khas dan menggoda perhatian. Selain itu, fasilitas yang ada di taman budaya juga ditingkatkan, tidak lagi seperti sekarang yang hanya mengandalkan sisa-sisa kejayaan zaman dulu. Taman budaya idealnya unik dan modern hingga bisa memanjakan siapapun. Contohnya ruang pementasan drama, bukankah tidak nyaman menonton di ruangan yang panas dengan kursi yang berbunyi dan tidak empuk seperti sekarang?

Sejatinya, untuk menjadi lokasi yang dituju, cukup banyak yang harus dibenahi dari komplek yang telah uzur itu. Dan, hal itu tentunya tidak gampang dan pastinya butuh biaya tidak sedikit. Jika begitu, adakah yang dimaksud pasangan calon tadi adalah pemberdayaan taman budaya secara fisik?
Baiklah, jika secara fisik selesai diberdayakan, lalu apakah itu cukup? Maksud saya begini, ketika fisik taman budaya sudah begitu nyaman dan membuat warga Sumatera Utara bangga, dibutuhkan pula daya tarik lainnya agar taman budaya tidak seperti kuburan: sepi dari kegiatan. Nah soal ini tentunya melibatkan seniman. Maka, agenda kesenian wajib ditata dengan baik. Ya, harus ada agenda rutin seperti festival teater remaja, festival tari, musik, atau apapun itu. Pentas-pentas pun diset sedemikian rupa hingga bisa dinikmati segala kalangan. Begitupun, agenda dikonsep tidak lagi kelas kota atau provinsi, lebih lebar lagi hingga nasional dan internasional. Untuk semua itu harus dilakukan secara berkesinambungan; bukan anget-anget taik ayam. Kontinyu adalah jawaban dari keberhasilan kegiatan di taman budaya di masa mendatang. Dan, semua itu membutuhkan kerja keras dan serius serta dana yang tak sedikit. Para seniman tentunya butuh kenyamanan berkarya tanpa harus berpikir besok makan apa. Hm, adakah hal semacam ini maksud dari niat pasangan calon tadi?

Sepertinya, dengan lantun ini, kok begitu berat memberdayakan taman budaya. Tapi memang begitulah, taman budaya memang butuh perhatian besar dari siapapun: tidak hanya pasangan calon. Keberadaannya saat ini kan semacam asal ada saja. Fasilitasnya minim, mulai ketinggalan zaman. Dengan kata lain, kurang terperhatikan. Seniman-senimannya pun terbiarkan, tumbuh bak semak belukar; mencari celah sendiri agar bisa besar. Jadi, jangan salahkan seniman ketika besar dia terkesan liar.

Perhatian adalah jawaban dari ‘keterpurukan’ taman budaya saat ini: baik secara fisik bangunan pun senimannya. Ya, selama ini mereka kurang tersentuh. Buktinya, adakah pernah pejabat yang nyaman berlama-lama di sana? Wali Kota Medan, misalnya, berapa kali dia datang untuk berdialog dengan seniman di taman budaya? Padahal, seniman yang berada di sana tentunya memiliki sekian pemikiran terhadap Kota Medan — yang mungkin tidak dipikirkan oleh orang lain — yang bisa saja membuat Medan tambah nyaman.

Hm, adakah dialog dengan seniman untuk mencari pemecahan masalah di Sumatera Utara menjadi maksud pasangan calon tadi? Ya, memberdayakan taman budaya untuk mencari ide kemajuan?

Entahlah, yang jelas, pasangan tadi sudah menggaungkan niatnya: lebih memberdayakan taman budaya. Masalah apa yang diberdayakan, sebaiknya kita tunggu saja; termasuk ketika akhirnya taman budaya dan senimannya kembali terbiarkan. Bukankah begitu? (*)
Keterangan: Tulisan ini pernah dipublikasikan di kolom ‘Lantun’ halaman Budaya Sumut Pos pada 25 November 2012

Apanya? Kata tanya ini langsung menyergap kepala saya ketika membaca berita soal niatan pasangan calon dalam Pilgubsu 2013. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu mengatakan akan memberdayakan Taman Budaya Sumatera Utara. Hm, apanya yang akan diberdayakan?

Tentu lantun ini tidak berusaha membahas trik mencari suara dalam Pilgubsu. Ini hanya soal lontaran pasangan itu, tentang memberdayakan taman budaya tadi. Bukan rahasia lagi kan kalau taman budaya bak wilayah otonom dari sebuah kehidupan di Medan. Mereka yang di dalam (penghuni taman budaya) cenderung kurang menyatu dalam denyut kota. Mereka punya kehidupan sendiri. Mereka memiliki sudut pandang sendiri. Mereka adalah orang-orang yang memikirkan sesuatu yang kadang tak dipikirkan orang kebanyakan. Mereka unik. Mereka khusus. Dan, semua orang paham, mereka adalah seniman.

Atas nama seniman, mereka pun kadang dibiarkan — seperti keinginan mereka yang tidak begitu ingin diributi. Bagi seniman, karya adalah utama. Namanya karya berarti milik pribadi, jadi bisa bayangkan ketika karya itu diurusi oleh orang lain? Maksud saya, ketika seniman terlalu diintervensi dalam berkarya, adakah itu bisa membuat seniman nyaman?

Lalu, ketika ada pasangan calon yang ingin memberdayakan taman budaya, apakah bisa diartikan memberdayakan seniman juga? Secara sederhana, mungkin saja bisa diartikan semacam itu. Setidaknya, taman budaya memang kental hubungannya dengan seniman. Namun, hal itu juga bisa dibantah. Toh, banyak juga seniman yang beraktivitas di luar taman budaya. Nah, jika begitu, memberdayakan taman budaya bisa diartikan sebagai apa?
Baiklah, coba kita lihat dari sudut fisik taman budaya. Artinya, memberdayakan taman budaya sebagai sebuah tempat, sebuah ruang, dan kumpulan bangunan. Maka, yang terjawab adalah taman budaya sebagai  sebuah tempat yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan. Lokasi yang strategis. Pusat kota.

Nah, sebagai tempat yang berada di lokasi strategis, taman budaya kan bisa diberdayakan lagi agar tampak lebih menonjol (saat ini fisiknya seakan tenggelam di lautan bangunan keren di Kota Medan). Dia akan dijadikan sebuah tempat yang dituju layaknya bangunan lain di Medan. Tapi untuk itu, harus ada yang diubah dari taman budaya bukan? Ini bukan soal bangunan taman budaya menjadi 25 tingkat dan serba wah. Taman budaya harus memiliki daya tarik tersendiri. Fisiknya khas dan menggoda perhatian. Selain itu, fasilitas yang ada di taman budaya juga ditingkatkan, tidak lagi seperti sekarang yang hanya mengandalkan sisa-sisa kejayaan zaman dulu. Taman budaya idealnya unik dan modern hingga bisa memanjakan siapapun. Contohnya ruang pementasan drama, bukankah tidak nyaman menonton di ruangan yang panas dengan kursi yang berbunyi dan tidak empuk seperti sekarang?

Sejatinya, untuk menjadi lokasi yang dituju, cukup banyak yang harus dibenahi dari komplek yang telah uzur itu. Dan, hal itu tentunya tidak gampang dan pastinya butuh biaya tidak sedikit. Jika begitu, adakah yang dimaksud pasangan calon tadi adalah pemberdayaan taman budaya secara fisik?
Baiklah, jika secara fisik selesai diberdayakan, lalu apakah itu cukup? Maksud saya begini, ketika fisik taman budaya sudah begitu nyaman dan membuat warga Sumatera Utara bangga, dibutuhkan pula daya tarik lainnya agar taman budaya tidak seperti kuburan: sepi dari kegiatan. Nah soal ini tentunya melibatkan seniman. Maka, agenda kesenian wajib ditata dengan baik. Ya, harus ada agenda rutin seperti festival teater remaja, festival tari, musik, atau apapun itu. Pentas-pentas pun diset sedemikian rupa hingga bisa dinikmati segala kalangan. Begitupun, agenda dikonsep tidak lagi kelas kota atau provinsi, lebih lebar lagi hingga nasional dan internasional. Untuk semua itu harus dilakukan secara berkesinambungan; bukan anget-anget taik ayam. Kontinyu adalah jawaban dari keberhasilan kegiatan di taman budaya di masa mendatang. Dan, semua itu membutuhkan kerja keras dan serius serta dana yang tak sedikit. Para seniman tentunya butuh kenyamanan berkarya tanpa harus berpikir besok makan apa. Hm, adakah hal semacam ini maksud dari niat pasangan calon tadi?

Sepertinya, dengan lantun ini, kok begitu berat memberdayakan taman budaya. Tapi memang begitulah, taman budaya memang butuh perhatian besar dari siapapun: tidak hanya pasangan calon. Keberadaannya saat ini kan semacam asal ada saja. Fasilitasnya minim, mulai ketinggalan zaman. Dengan kata lain, kurang terperhatikan. Seniman-senimannya pun terbiarkan, tumbuh bak semak belukar; mencari celah sendiri agar bisa besar. Jadi, jangan salahkan seniman ketika besar dia terkesan liar.

Perhatian adalah jawaban dari ‘keterpurukan’ taman budaya saat ini: baik secara fisik bangunan pun senimannya. Ya, selama ini mereka kurang tersentuh. Buktinya, adakah pernah pejabat yang nyaman berlama-lama di sana? Wali Kota Medan, misalnya, berapa kali dia datang untuk berdialog dengan seniman di taman budaya? Padahal, seniman yang berada di sana tentunya memiliki sekian pemikiran terhadap Kota Medan — yang mungkin tidak dipikirkan oleh orang lain — yang bisa saja membuat Medan tambah nyaman.

Hm, adakah dialog dengan seniman untuk mencari pemecahan masalah di Sumatera Utara menjadi maksud pasangan calon tadi? Ya, memberdayakan taman budaya untuk mencari ide kemajuan?

Entahlah, yang jelas, pasangan tadi sudah menggaungkan niatnya: lebih memberdayakan taman budaya. Masalah apa yang diberdayakan, sebaiknya kita tunggu saja; termasuk ketika akhirnya taman budaya dan senimannya kembali terbiarkan. Bukankah begitu? (*)
Keterangan: Tulisan ini pernah dipublikasikan di kolom ‘Lantun’ halaman Budaya Sumut Pos pada 25 November 2012

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/