Munculnya keresahan seniman di Medan tentang keberadaan Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) bukan hanya tentang isu tukar guling lokasi tersebut pasca dikelola oleh Pemko Medan. Ada banyak faktor yang melingkupinya. Meski saat sekarang belum ada titik kejelasan tentang nasib TBSU, namum bagi seniman masalah tidak hanya itu. Keberadaaan TBSU tidak terletak pada soal gedung dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, akan tetapi lebih dari itu seniman merasa bahwa Pemprovsu dan Pemko Medan sama sekali tidak pernah mengajak seniman membicarakan
keberadaan TBSU.
Pemko Medan yang mengklaim sebagai pemilik sah TBSU saat sekarang, seharusnya mengajak seniman untuk memastikan kekuatiran tersebut tidak perlu ada. Makanya isu-isu soal bakal dialihfungsikan TBSU ke mal, hotel dll menjadi wacana yang mengemuka saat sekarang. Hal yang wajar kemudian seniman bersikap dan membuat gerakan perlawanan.
Saat walikota Medan sidak ke TBSU dan meminta agar komplek tersebut dikosongkan sebelum 1 Maret 2013 menjadi tanda tanya besar? Mengapa harus dikosongkan? Jika alasan untuk renovasi seharusnya tidak perlu pengosongan secara menyeluruh.
Seniman tidak mempersoalkan adanya pemindahan PNS Pemprovsu yang bertugas di TBSU, akan tetapi tidak serta kemudian melarang aktifitas kesenian yang berlangsung di TBSU. Saat sekarang status TBSU masih mengambang. Seniman yang akan menggelar kegiatan bedah novel Pincalang misalnya pada 2 Maret nanti, sampai sekarang tidak mendapat izin. Pengelola TBSU beralasan mereka tidak memiliki hak apapun untuk mengeluarkan izin.
Aspek Historis
Bagaimanapun keberadaan TBSU tidak terletak pada soal kepemilikan Pemprovsu dan Pemko Medan. Lokasi ini telah menjadi ikon daerah ini sebagai pusat kesenian Sumatera Utara. Jika ikon kebudayaan ini kemudian diotak-atik atas alasan apapun, tentu saja akan menghilangkan aspek kesejarahannya.
Boleh saja Pemko Medan beralasan bahwa TBSU akan direnovasi, namun itu harus ada kesepakatan yang kongkret dengan seniman. Bagaimanapun seniman juga punya hak berkreasi. TBSU adalah ruang publik yang semestinya bisa diakses oleh siapapun dan kapan pun.
Keberadaan TBSU yang sangat bernilai historis itu harusnya dilindungi dengan perangkat aturan, seperti Peraturan Daerah yang memungkinkan tidak akan terjadinya pemindahan lokasi TBSU ke tempat manapun di kota ini.
Pemprovsu Jangan Lepas Tangan
Kisruh soal TBSU bagaimanapun tidak hanya antara seniman dengan dengan Pemko Medan. Bagaimanapun Pemprovsu juga harus bertanggungjawab. Bukankah selama ini segala aktifitas kesenian di TBSU menjadi bagian yang tidak terlepas dari proyek kerja Pemprovsu cq Dinas Pariwisata Sumut?
Pemprovsu, Pemko Medan dan seniman harus duduk bersama untuk membuat komitmen penting agar TBSU tetap dipertahankan lokasinya di Jalan Perintis Kemerdekaan sebagai ikon kesenian Sumut. Kedatangan Walikota Medan ke TBSU dan meminta agar lokasi tersebut dikosongkan seharusnya juga disikapi oleh Pemprovsu. Jangan seolah-olah Pemprovsu kemudian lepas tangan dan membiarkan bola liar ini menjadi milik seniman dan Pemko Medan. Intinya seniman di Medan dan Sumatera Utara secara umum ingin agar lokasi TBSU ini tidak dialihfungsikan.
Semua Elemen Harus Bersama Berjuang
Perjuangan untuk mempertahankan TBSU bukan hanya milik Forum Peduli TBSU saja. Semua elemen yang merasa berkepentingan atas keberadaan TBSU harus turun bersama, bahu membahu, dan tidak lepas tangan. Siapapun pasti berkepentingan dengan TBSU. Jangan kemudian seolah-oleh nasib TBSU hanya dipikirkan oleh seniman.
Hari ini kita melihat bahwa perjuangan masih belum maksimal. Kita baru mampu berdelegasi ke DPRD Medan. Selanjutnya semua stakeholder harus terlibat dalam usaha mempertahankan keberadan TBSU.
Kita mengetahui bahwa saat sekarang telah berkembang wacana tentang proyek renovasi Taman Budaya se-Indonesia yang anggarannya mencapai triliunan rupiah. Jangan kemudian proyek ini menjadi alasan bagi Pemprovsu dan Pemko Medan untuk mencari celah pengadaaan lahan baru Taman Budaya Sumatera Utara.
Bahkan jika pun dana tersebut telah dikucurkan pemerintah pusat, seharusnya ada transparansi agar tidak muncul kecurigaan baru bahwa pemerintah kemudian menggunakan permintaan seniman untuk gedung kesenian yang representatif menjadi alasan dicarinya tempat yang baru.
Permintaan soal gedung kesenian yang representatif tersebut harus dimaknai bahwa bukan soal gedung baru, akan tetapi bagaimana membuat TBSU ini benar-benar menjadi tempat kesenian yang representatif seperti gedung-gedung kesenian lainnya di daerah.
Kita tahu bahwa kondisi gedung utama TBSU sebagai tempat pertunjukan teater dll kurang memadai. Akuistik yang seadanya, kursi yang tidak layak serta kondisi pentas yang tidak layak.
Semestinya ini yang harus segera dibenahi oleh pemerintah. Namun perlu dicatat, renovasi apapun di TBSU tidak serta merta melarang aktivitas kesenian berlangsung. (*)
Penulis adalah pegiat Forum Peduli Taman Budaya Sumatera Utara