22.8 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Wajah Buram TBSU yang Malang

Masuk ke komplek TBSU, sekilas memang tak terlihat kondisi memprihatinkan. Tapi kalau Anda berkesempatan duduk berlama-lama di sejumlah ruangan di sana, maka Anda baru akan tahu betapa mirisnya kondisi TBSU.

Yang paling vital seperti toilet saja pun tidak ada lagi yang layak di sana. Hanya ada satu toilet umum yang bisa dipakai yang terletak di belakang kantin TBSU.

Sedangkan dua toilet di dekat musala kondisinya sudah sangat mengenaskan. Pun, ada satu lagi toilet di salah satu ruang Gedung Utama, tapi hanya terbuka untuk umum jika pegawai sedang masuk kantor. Lewat tengah hari, maka toilet itu pun ditutup.

Wajar jika setiap hari terlihat sejumlah pengunjung TBSU kerap buang air kecil sembarangan. Menghadap ke pagar sambil berdiri atau sesekali kencing di bawah pohon di komplek itu, merupakan pemandangan biasa.

Yang kasihan adalah kaum hawa yang kerap beraktivitas di sana. Jika datang hasrat ingin buang air kecil, maka mereka akan memilih mencari toilet di luar komplek.

Tak jarang berpura-pura ingin masuk kamar hotel bintang lima yang berdiri megah tepat di komplek gedung tersebut, hanya untuk numpang pipis.
Itu sarana umum yang berhak dinikmati para pembayar pajak di daerah ini bukan? Ehm, lalu bagaimana dengan kondisi gedungnya? Mari kita lihat bersama-sama. Yang utama disoroti adalah gedung utama, tempat berbagai pentas dipampang di sana. Mulai dari teater, musik hingga tari-tarian. Sayang, kondisi gedung sudah begitu ‘menyeramkan’. Sebagai gedung pertunjukan, Gedung Utama TBSU sangat tak layak direkomendasikan. Namun karena biaya sewa yang terbilang murah, maka mau tak mau seniman di kota ini memilih TBSU untuk naik panggung.

Pertama sistem tata suara yang tak lagi bisa diandalkan di gedung tersebut. Jadi, jika ada pertunjukkan teater misalnya, maka suara akan membahana tak jelas ke telinga. Belum lagi dipadu suara berisik dari arah penonton.

Suara berisik itu bahkan tak melulu keluar dari mulut penonton melainkan dari arah kursi plastik berpijakan besi, sehingga jika digeser-geser akan menimbulkan suara mengganggu.

Pendingin udara pun sudah tak dingin lagi. Jika penonton kebetulan membludak, maka dipastikan adegan berkipas akan terlihat di gedung tersebut.
Kondisi lampu panggung pun tak bisa dibanggakan. Kapasitas pencahayaan masih jauh dari kata elegan. Wajar jika pentas di TBSU tak pernah maksimal, kecuali kelompok yang menggelar pentas punya modal lebih untuk sewa lampu sendiri.

Pun, kalau akhirnya kita mampu menyewa lampu dengan kapasitas lebih, maka yang terjadi adalah arus listrik di gedung itu tak sanggup menahan daya. Sayangnya lagi, genset yang disediakan sudah ujur sehingga tak bisa lagi diandalkan. Sudah beberapa pentas tak sempurna di sana karena permasalahan listrik yang tiba-tiba padam.

Nah, di banyak gedung teater, selalu ada ruang rias dan toilet. Di gedung utama TBSU hal itu tidak ada. Memang ada dua toilet di samping panggung, tapi kondisinya mengerikan. Alhasil jika usai pentas para pelakon kesulitan membersihkan wajah dari debur make up di wajahnya.
Berpindah tempat ke ruang lain, tepatnya di bagian belakang TBSU, kita akan mendapati banyak hal mengerikan lainnya.

TBSU tampaknya tak lagi menarik disebut taman jika kita sudah mengarungi seluruh bagian di gedung itu. Lebih tepat jika kita menyebutnya gudang. Benda-benda lusuh, pakaian bekas, rumput liar, semak belukar, sampah dan genangan air masih mudah didapati di beberapa bagian.
Lalu, apakah itu alasan TBSU ditutup?

Jawabnya bisa iya bisa tidak. Tapi, idealnya, TBSU harus dipugar agar lebih layak dinikmati. “Tidak perlu dibangun gedung baru, cukup direnovasi saja,” jelas seorang pegiat seni, Jones Gultom. (mag-7/ful/rbb)

Masuk ke komplek TBSU, sekilas memang tak terlihat kondisi memprihatinkan. Tapi kalau Anda berkesempatan duduk berlama-lama di sejumlah ruangan di sana, maka Anda baru akan tahu betapa mirisnya kondisi TBSU.

Yang paling vital seperti toilet saja pun tidak ada lagi yang layak di sana. Hanya ada satu toilet umum yang bisa dipakai yang terletak di belakang kantin TBSU.

Sedangkan dua toilet di dekat musala kondisinya sudah sangat mengenaskan. Pun, ada satu lagi toilet di salah satu ruang Gedung Utama, tapi hanya terbuka untuk umum jika pegawai sedang masuk kantor. Lewat tengah hari, maka toilet itu pun ditutup.

Wajar jika setiap hari terlihat sejumlah pengunjung TBSU kerap buang air kecil sembarangan. Menghadap ke pagar sambil berdiri atau sesekali kencing di bawah pohon di komplek itu, merupakan pemandangan biasa.

Yang kasihan adalah kaum hawa yang kerap beraktivitas di sana. Jika datang hasrat ingin buang air kecil, maka mereka akan memilih mencari toilet di luar komplek.

Tak jarang berpura-pura ingin masuk kamar hotel bintang lima yang berdiri megah tepat di komplek gedung tersebut, hanya untuk numpang pipis.
Itu sarana umum yang berhak dinikmati para pembayar pajak di daerah ini bukan? Ehm, lalu bagaimana dengan kondisi gedungnya? Mari kita lihat bersama-sama. Yang utama disoroti adalah gedung utama, tempat berbagai pentas dipampang di sana. Mulai dari teater, musik hingga tari-tarian. Sayang, kondisi gedung sudah begitu ‘menyeramkan’. Sebagai gedung pertunjukan, Gedung Utama TBSU sangat tak layak direkomendasikan. Namun karena biaya sewa yang terbilang murah, maka mau tak mau seniman di kota ini memilih TBSU untuk naik panggung.

Pertama sistem tata suara yang tak lagi bisa diandalkan di gedung tersebut. Jadi, jika ada pertunjukkan teater misalnya, maka suara akan membahana tak jelas ke telinga. Belum lagi dipadu suara berisik dari arah penonton.

Suara berisik itu bahkan tak melulu keluar dari mulut penonton melainkan dari arah kursi plastik berpijakan besi, sehingga jika digeser-geser akan menimbulkan suara mengganggu.

Pendingin udara pun sudah tak dingin lagi. Jika penonton kebetulan membludak, maka dipastikan adegan berkipas akan terlihat di gedung tersebut.
Kondisi lampu panggung pun tak bisa dibanggakan. Kapasitas pencahayaan masih jauh dari kata elegan. Wajar jika pentas di TBSU tak pernah maksimal, kecuali kelompok yang menggelar pentas punya modal lebih untuk sewa lampu sendiri.

Pun, kalau akhirnya kita mampu menyewa lampu dengan kapasitas lebih, maka yang terjadi adalah arus listrik di gedung itu tak sanggup menahan daya. Sayangnya lagi, genset yang disediakan sudah ujur sehingga tak bisa lagi diandalkan. Sudah beberapa pentas tak sempurna di sana karena permasalahan listrik yang tiba-tiba padam.

Nah, di banyak gedung teater, selalu ada ruang rias dan toilet. Di gedung utama TBSU hal itu tidak ada. Memang ada dua toilet di samping panggung, tapi kondisinya mengerikan. Alhasil jika usai pentas para pelakon kesulitan membersihkan wajah dari debur make up di wajahnya.
Berpindah tempat ke ruang lain, tepatnya di bagian belakang TBSU, kita akan mendapati banyak hal mengerikan lainnya.

TBSU tampaknya tak lagi menarik disebut taman jika kita sudah mengarungi seluruh bagian di gedung itu. Lebih tepat jika kita menyebutnya gudang. Benda-benda lusuh, pakaian bekas, rumput liar, semak belukar, sampah dan genangan air masih mudah didapati di beberapa bagian.
Lalu, apakah itu alasan TBSU ditutup?

Jawabnya bisa iya bisa tidak. Tapi, idealnya, TBSU harus dipugar agar lebih layak dinikmati. “Tidak perlu dibangun gedung baru, cukup direnovasi saja,” jelas seorang pegiat seni, Jones Gultom. (mag-7/ful/rbb)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/