Lindsay June Sandiford ingin sendirian saja di selnya, di penjara Kerobokan, Denpasar, Bali. Perempuan Inggris itu tak enak badan. Dia gelisah hari itu. Upayanya mengelak dari vonis mati telah gagal. Gugatan bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Bali. Sejak divonis mati oleh Pengadilan Negeri Denpasar, Lindsay memang sudah patah semangat. Kini maut terasa dekat. Dia membayangkan hidupnya segera tamat, di depan regu tembak.
“Suasana kebatinan Lindsay sedang tidak enak. Dia sensitif dan galau,” kata Kepala Lapas Kelas II A Kerobokan Denpasar, Gusti Ngurah Wiratna.
Dia tak lagi muda. Usianya sudah 56 tahun. Di usia senja, Lindsay justru mendekam di penjara. Kesalahannya memang berat: dia membawa 4,7 kilogram kokain, yang diselipkan di dinding koper, saat mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali, 19 Mei 2012.
Vonis mati dijatuhkan pengadilan Denpasar pada 22 Januari 2013. Hukuman itu lebih berat. Sebelumnya, jaksa menuntut Lindsay 15 tahun penjara. Tapi hakim menilai lain. Dia dianggap merusak citra Bali, dan membuat narkotika kian marak.
Lindsay memang menyesal.
“Saya minta maaf kepada pemerintah, dan rakyat Indonesia,” kata Lindsay, setelah vonis mati itu jatuh. Wajahnya pasi, matanya berkaca-kaca. Ia tak kuasa mengangkat muka, dan lebih banyak diam duduk di samping pengacara.
Tapi Pemerintah Inggris tak tinggal diam. Lindsay adalah warga Inggris ke-12 divonis mati di luar Inggris karena kasus narkotika.
“Kami tegas menolak hukuman mati itu,” kata Menteri Negara Kementerian Luar Negeri Inggris, Hugo Swire, pada hari Lindsay dijatuhi hukuman mati.
Pemerintah Inggris bahkan mengecam vonis mati bagi Lindsay. Mereka akan mengerahkan segala upaya agar perempuan itu bebas dari jerat maut. Misalnya, Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, melobi Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa. Anggota parlemen Inggris pun berkali-kali menghubungi pemerintah Indonesia.
Inggris juga tak putus harapan. “Lindsay setidaknya punya dua kali kesempatan banding di pengadilan. Dia juga bisa mengajukan pengampunan kepada presiden (grasi) jika banding tidak berhasil,” kata Hugo Swire, pejabat di kementerian luar negeri Inggris.
Pengacara Lindsay, Fadillah Agus, mengatakan kliennya layak mendapat vonis lebih ringan. Lindsay, kata Agus, adalah justice collaborator. Artinya, dia pelaku tindak pidana – bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi. Lebih dari itu, dia mau bekerja sama membongkar perkara kejahatan.
Lindsay, kata Agus, memenuhi unsur sebagai justice collaborator. Ia mengaku bersalah. Ia membongkar tiga pelaku lain kepada polisi. Berkat informasi itu, Polda Bali mencokok satu warga India Nandagopal Akkineni, dan tiga warga Inggris lain: suami-istri Julian Ponder-dan Rachel Lisa Dougall, serta Paul Beales.
Adapun Julian, dia sudah divonis 6 tahun. Lalu Rachel 1 tahun, dan Paul kena 4 tahun penjara. Nandagopal harus meringkuk 5 tahun di bui. Itu semua, kata Agus, berkat jasa kliennya. Tapi sayangnya, hakim tak melihat “jasa” itu.
“Yang menjadi master mind justru dijatuhi hukuman ringan,” ujar Agus.
Kini tim pengacara Lindsay rajin bertemu dengan Kedutaan Inggris. Mereka mencoba menyelamatkannya dari jerat hukuman mati.
Barter tahana.
Bukan hanya Inggris aktif melobi Indonesia soal pengurangan hukuman bagi warganya yang tersandung perkara narkotika. Australia bahkan punya kisah sukses.
Adalah Schapelle Leigh Corby, warga Australia penyelundup 4,1 kilogram ganja divonis 20 tahun penjara pada 2005. Melalui proses berliku, akhirnya perempuan 36 tahun itu mendapat grasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hukumannya dikorting 5 tahun, pada Mei 2012.
Grasi itu diberikan setelah Presiden SBY mendengar pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan sejumlah menteri. “Banyak warga Indonesia di Australia yang juga mendapat hal sama,” kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
Dalam soal grasi bagi Corby, Indonesia berkaca pada pengalaman Malaysia dan Arab Saudi.
“Ketika Presiden memberikan grasi kepada enam warga negara Malaysia, kami memperoleh imbal balik di mana Malaysia melepaskan belasan warga negara Indonesia yang terancam hukuman berat hingga hukuman mati,” kata Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin tak lama setelah grasi Corby keluar.
Maka kini Indonesia berharap Australia melakukan hal serupa dengan Malaysia setelah Presiden SBY memberi grasi bagi Corby. “Corby sudah menjalani hukuman tujuh tahun lebih. Sekarang, kami harap ada perlakuan sama atas warga Indonesia yang ditahan di Australia Utara. Terutama tahanan anak-anak Indonesia yang jumlahnya cukup banyak,” ujar Menteri Amir.
Grasi Presiden SBY kepada Corby ini sempat diprotes banyak anggota parlemen Indonesia. Ada yang mengusulkan hak interpelasi kepada atas kasus grasi ini. Soalnya, problem narkotika di Indonesia sangat sensitif. Banyak pihak tak setuju hukuman terpidana narkoba dikurangi.
Tapi Australia bertindak cepat meredam usul interpelasi ini. Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia, David Engel pun mengunjungi DPR. Usai pertemuan, anggota Komisi Hukum DPR Nudirman Munir mengatakan Australia secara tersirat mencoba mengintervensi niat DPR menginterpelasi Presiden atas grasi Corby.
Australia mengatakan mereka tengah memproses pelepasan anak-anak Indonesia yang ditahan di negeri kanguru akibat kasus perdagangan manusia.
“Australia sudah melepaskan ratusan tahanan anak Indonesia,” kata Nudirman. Per 16 Mei 2012, Australia sudah melepaskan 142 anak Indonesia.
Grasi bukan upaya terakhir ditempuh Corby. Meskipun hukumannya telah dikurangi, perempuan itu ingin cepat menghirup udara bebas. Maka tim pengacaranya bersiap mengajukan pembebasan bersyarat. Indonesia pun menyodorkan sejumlah syarat.
Antara lain, Corby harus mengakui kesalahannya. Selama ini, dia bersikukuh hanya sebagai korban kesalahan penanganan bagasi Qantas di Bandara Sydney, Australia, yang menempatkan ganja ke tas miliknya. Kedua, Corby harus mau bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI sebagai justice collaborator. Ketiga, dia harus dijamin berkelakuan baik.
Untuk syarat ketiga ini, Australia setuju. Surat jaminan pun diteken “Bukan hal mudah bagi sebuah pemerintahan mengeluarkan surat semacam itu,” kata pengacara Corby, Iskandar Nawing. Bila berhasil bebas, Corby ingin tinggal di Bali bersama kakak perempuannya, Mercedes, dan iparnya, Wayan Widyartha.
Lobi negara asing atas warga mereka yang terlibat kasus narkoba di Indonesia, menurut Amir, sah-sah saja. “Selama tidak bertentangan dengan peraturan, tidak apa. Tapi kalau bertentangan, maka peraturan Indonesia yang harus dipegang,” kata dia.
Dalam kasus Corby, ujar Amir, pertimbangan lain mendasari dikeluarkannya grasi atas dia adalah karena narkotika yang dibawa Corby masuk ke Indonesia pada tahun 2004 berjenis ganja. Di sejumlah negara, sanksi terhadap terpidana ganja lebih ringan daripada narkotika lainnya. “Beberapa negara bahkan menghapuskan sanksi pidana terhadap kasus ganja,” kata Amir.
Ia mengatakan, grasi tak hanya diberikan eksklusif kepada Corby.
Ada pula warga Jerman terpidana narkotika mendapat grasi dari Presiden. Warga Jerman itu tertangkap memakai 4 gram sabu. Dia dihukum lima tahun penjara. Tapi dia kerap sakit-sakitan di penjara.
“Karena pertimbangan kemanusiaan, hukumannya dikurangi menjadi dua tahun,” ujar Amir. (net/jpnn)