26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Provinsi Lumbung Padi Itu Harus Mengimpor Beras

Salah satu isu yang diangkat sidang SOM III APEC di Medan yang berlangsung 22 Juni hingga 6 Juli 2013 lalu adalah isu ketahanan pangan dunia. Peserta sepakat, saat ini ketahanan pangan menjadi masalah untuk global.

KETUA Delegasi Indonesia pada SOM III Apec dalam tema Policy Partnership on Food Security (PPFS) yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian, Ahmad Suryana menyatakan bahwa cuaca ekstrem yang saat ini menjadi pemicu pangan didunia. Karena itu, dalam pertemuan ini para delegasi menyampaikan bagaimana mengantisipasi agar tidak ada lagi kelangkaan pangan ini.

“Kalau dipikirkan, antara lahan dan jumlah masyarakat saat ini adalah seimbang.

Dengan kata lain, dengan jumlah lahan mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat di dunia.

Tetapi, karena cuaca ektrem dan distribusi yang kurang baik, berbagai pangan tersebut tidak sampai ke sebuah tempat,” lanjutnya.

Seperti diketahui, dari seluruh hasil tanaman di dunia, sebanyak 15 persen mengalami gagal panen yang diakibatkan berbagai alasan. Mulai dari cuaca ekstrem, bencana alam, hingga lainnya.

Dijelaskannya, dalam pertemuan ini, ada 2 cara yang dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pangan ini dengan menggunakan teknologi. “Pertama kita harus mampu menciptakan varietas yang mampu menghadapi cuaca ektrem.

Misalnya padi, harus tahan dengan cuaca yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Cara kedua, kita akan melakukan transfer teknologi. Dari satu negara ke negara lain. Misalnya, Singapura.

Mereka tidak memiliki lahan, jadi mereka akan mencoba untuk menciptakan varietas, dan lainnya,” lanjutnya.

Pertemuan ini juga akan menyinggung businesse plan ke depan. Seperti apa nantinya bisnis yang akan dijalankan, siapa yang akan melakukan, dan lainnya.

Dan roadmap yang telah dibentuk tersebut sepertinya akan disetujui oleh semua negara. “Karena itu dia, kepentingan kita akan makanan sangat tinggi.

Nah, keamanan makanan ini juga sangat tinggi. Jadi, saya bisa berani katakan bahwa isu yang kami bawa cukup tinggi peminatnya,” ungkapnya.

Dalam roadmap ini juga dinyatakan, dengan kerjasama yang baik antara swasta dan pemerintah, setidaknya ketahanan pangan akan berlangsung dengan baik pada 2020 mendatang. “Dan ini menjadi keuntungan bagi Indonesia sebagai tuan rumah, karena petani kecil yang hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektare akan diajak kerjasama. Maksudnya, tanaman mereka dapat dijadikan stok,” tambahnya.

Terkait ketahanan pangan, atau perpindahan pangan dari satu negara ke negara lain bukanlah hal yang mudah.

Karena ada berbagai peraturan yang berbeda. “Inilah yang saat ini sedang kita maksimalkan. Intinya, kita mencari solusi yang terbaik dalam pertemuan ini.

Kita tidak mau karena peraturan yang terlalu ketat. Akhirnya, pangan yang seharusnya sampai ke sebuah negara menjadi gagal,” tuturnya.

Isu ketahanan pangan yang dibahas di SOM APEC Medan ini seolah mengingatkan kembali kondisi pertanian padi sawah di Sumatera Utara. Tak banyak pihak yang peduli dengan kondisi sawah dan pertanian padi di Sumut dan membiarkan predikat lumbung padi tergerus fakta di lapangan. Kondisi sebenarnya tidak seindah laporan di atas kertas yang diterima para petinggi negeri ini, tidak pula semerdu suara paparan para humas yang kemudian diliput media dan tersaji di televisi dan media massa lainnya.

Seperti data yang dirilis pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menyebutkan, Sumatera Utara mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri.

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, HM Roem, seperti dilansir porta resmi pemerintahan Indonesia, http://www.indonesia.go.id, mengatakan beras yang dihasilkan Sumut cukup banyak dan melebihi dari kebutuhan yang diperlukan masyarakat.

Oleh karena itu, katanya, wajar Sumut bisa mencapai predikat lumbung beras secara nasional. Hal ini juga, tentunya didukung lima kabupaten yang selama ini dikenal sebagai sentra penghasil beras terbesar di provinsi tersebut. “Kelima kabupaten penghasil beras di Sumut, yakni Deliserdang, SerdangBedagai, Langkat, Labuhan Batu Utara dan Mandailing Natal (Madina),” ucap Roem seperti dilansir portal tersebut, 8 Oktober 2012.

Tetapi faktanya sudah tidak demikian.

Juni 2013 lalu, Badan Urusan Logistik (Bulog) mengumumkan, produksi padi Sumatera Utara tak cukup untuk memenuhi kebutuhan plus cadangan kebutuhan.

Kondisi itu ditambah dengan keengganan petani lokal menjual hasil panen ke pemerintah. Untuk itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumut menambah cadangan beras dari Bulog DKI Jakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan.

Juni 2013, Bulog Divre Sumatera Utara membeli 8 ribu ton beras dari DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Pasokan ini menambah cadangan beras Bulog untuk kebutuhan Sumut menjadi 63.800 ton.

“Bulan ini kami mendapat kiriman beras dari DKI Jakarta sekitar 5.000 ton dan dari Sulawesi Selatan sekitar 3.000 ton,” jelas Humas Bulog Sumut Rudy Adin Damanik, Kamis (20/6) lalu.

Dia mengemukakan 63.800 ton itu untuk memenuhi kebutuhan beras Sumut 6 bulan ke depan, hingga menjelang akhir tahun. Sedangkan konsumsi beras Sumut sekitar 10.000 ton per bulan.

Rudy Adin menjelaskan beras dari Bulog DKIJakartadipasokmelaluitigatahappengiriman, yaitu sebanyak 384 ton pada akhir Mei, awal Juni ini sebanyak 2.448 ton, dan terakhir 2.204 ton pada pekan depan melalui Pelabuhan Belawan.

Untuk beras dari Provinsi Sulawesi Selatan, sebanyak 3.000 ton, posisi terakhir masih di Pelabuhan Pare-Pare. Beras akan diangkuat dengan pesawat kecil dan dijadwalkan tiba di Pelabuhan Belawan pada pekan ini.

Sementara kebutuhan beras selama 5 bulan pertama tahun ini, Bulog Sumut telah menyalurkan 49.000 ton beras bagi rumah tangga miskin (raskin) yang tersebar di 33 kabupaten dan kota di Sumut.

Realisasi penyaluran raskin selama Januari hingga April 2013 telah mencapai 87% dari total target Sebelumya, petani di Sumatra Utara enggan menjual beras mereka kepada Badan Urusan Logistik karena harga yang ditawarkan Bulog dinilai terlalu rendah dibandingkan dengan biaya produksi.

Petani Sumut lebih memilih menjual beras ke pasar, sehingga pembelian beras lokal oleh Bulog terus menurun. Selama Januari sampai Mei 2013 ini Bulog Divisi Regional I Sumatra Utara hanya berkurang 210 ton dari angka pada periode yang sama tahun sebelumnya.

“Penurunan pembelian beras ke petani lokal di karenakan harga beli Bulog yang belum sesuai dengan harga jual petani di Sumut,” jelas Humas Bulog Sumut Rudy Adin, Rabu (8/5).

Dia menyebutkan selama Januari-Mei tahun ini, pihaknya hanya berhasil membeli 2.894 ton beras petani lokal Sumut, turun dari 3.104 ton dari pembelian selama 5 bulan pertama tahun lalu. Target pembelian beras petani lokal oleh Bulog Sumut pada 2013 sebesar 15.000 ton.

Untuk mengatasi hal itu, dia mengatakan pihaknya telah menghusulkan kenaikan harga pembelian beras dari petani menjadi Rp6.900 per kilogram dari harga saat ini yang mencapai Rp6.600 per kilogram.

“Harga pembelian beras kami (Bulog) Rp6.600 per kilogram, dan harga tersebut belum sesuai dengan harga jual beras di tingkat petani Sumut, makanya saat ini kami mengusulkan kepada Pemerintah untuk menaikan harga pemeblian beras tersebut,” paparnya.

Lahan Bertambah Produksi padi dari Sumatera Utara meningkat sebanyak 101.888 ton menjadi 3,7 ton pada tahun lalu dari 1,6 ton pada 2011 karena adanya penambahan luas lahan pertanian dan peningkatan produktivitas tanaman.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatra Utara mencatat angka Sementara (Asem) produksi padi Sumut pada 2012 naik sebesar 108.111 ton Gabah Kering Giling (GKG) dibandingkan dengan produksi Angka Tetap (ATAP) 2011.

Dia menyebutkan pada 2011, produksi padi Sumut mencapai 3, 6 juta ton GKG dan meningkat pada 2012 menjadi 3,715 juta ton GKG.

Kepala Dinas Pertanian Sumut M.

Roem mengemukakan peningkatan produksi disebabkan peningkatan luas panen sebesar 7.552 hektare atau 1,00% dan peningkatan produktivitas hasil per hekare sebesar 0,94 kwintal per hectare atau 1,97% dari harga penjualan.

“Untuk kontribusi produksi padi terbesar dari 32 kabupaten kota di Sumut adalah Simalunggun, yakni sebesar 12,80% dan terendah di Tanjung Balai sebesar 0,03%.,” ungkapnya, 8 Maret 2013 lalu.

Lebih lanjut, dia juga menambahkan untuk target persentase realisasi luas tanam dari 32 Kabupaten Kota di Sumut tertinggi adalah di Kabupaten Labura sebesar 242,98% dan terendah di Kota Tanjung Balai sebesar 33,35%.

“Sedangkan untuk persentase capaian absolut realisainya adalah tertinggi di Kabupaten Langkat yang luasnya mencapai 39.919 hektare dan terendah di Kota Tanjung Balai yang hanya seluas 125 hektare,” ujar Roem.

Pihaknya juga mengakui dukungan pemerintah untuk pengelolaan air (jaringan irigasi) guna meningkatkan produksi padi di 24 Kabupaten kota di Sumut pada 2012.

Sejak saat itu, seluas lahan di kawasan itu mencapai 35.800 hektare.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Sumut untuk pendanaan pengelolaan air yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada 23 kabupaten kota dengan luas jaringan irigasi yang mencapai 25.700 hektare.

Sementara itu, untuk pendanaan pengelolaanairyangbersumberdariAPBDSumut saat ini hanya dialokasiakn kepada 13 kabupatenkotadenganluasjaringanirigasi yang mencapai 10.100 hektare.

“Untuk bantuan irigasi dana dari APBN masih sangat dominan dan ke depan pasti ada kemungkinan untuk kita tingkatkan pendanaanya baik melalui dana APBN ataupun APBD Sumut,” tutupnya.(ram/mag-9)

Salah satu isu yang diangkat sidang SOM III APEC di Medan yang berlangsung 22 Juni hingga 6 Juli 2013 lalu adalah isu ketahanan pangan dunia. Peserta sepakat, saat ini ketahanan pangan menjadi masalah untuk global.

KETUA Delegasi Indonesia pada SOM III Apec dalam tema Policy Partnership on Food Security (PPFS) yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian, Ahmad Suryana menyatakan bahwa cuaca ekstrem yang saat ini menjadi pemicu pangan didunia. Karena itu, dalam pertemuan ini para delegasi menyampaikan bagaimana mengantisipasi agar tidak ada lagi kelangkaan pangan ini.

“Kalau dipikirkan, antara lahan dan jumlah masyarakat saat ini adalah seimbang.

Dengan kata lain, dengan jumlah lahan mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat di dunia.

Tetapi, karena cuaca ektrem dan distribusi yang kurang baik, berbagai pangan tersebut tidak sampai ke sebuah tempat,” lanjutnya.

Seperti diketahui, dari seluruh hasil tanaman di dunia, sebanyak 15 persen mengalami gagal panen yang diakibatkan berbagai alasan. Mulai dari cuaca ekstrem, bencana alam, hingga lainnya.

Dijelaskannya, dalam pertemuan ini, ada 2 cara yang dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pangan ini dengan menggunakan teknologi. “Pertama kita harus mampu menciptakan varietas yang mampu menghadapi cuaca ektrem.

Misalnya padi, harus tahan dengan cuaca yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Cara kedua, kita akan melakukan transfer teknologi. Dari satu negara ke negara lain. Misalnya, Singapura.

Mereka tidak memiliki lahan, jadi mereka akan mencoba untuk menciptakan varietas, dan lainnya,” lanjutnya.

Pertemuan ini juga akan menyinggung businesse plan ke depan. Seperti apa nantinya bisnis yang akan dijalankan, siapa yang akan melakukan, dan lainnya.

Dan roadmap yang telah dibentuk tersebut sepertinya akan disetujui oleh semua negara. “Karena itu dia, kepentingan kita akan makanan sangat tinggi.

Nah, keamanan makanan ini juga sangat tinggi. Jadi, saya bisa berani katakan bahwa isu yang kami bawa cukup tinggi peminatnya,” ungkapnya.

Dalam roadmap ini juga dinyatakan, dengan kerjasama yang baik antara swasta dan pemerintah, setidaknya ketahanan pangan akan berlangsung dengan baik pada 2020 mendatang. “Dan ini menjadi keuntungan bagi Indonesia sebagai tuan rumah, karena petani kecil yang hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektare akan diajak kerjasama. Maksudnya, tanaman mereka dapat dijadikan stok,” tambahnya.

Terkait ketahanan pangan, atau perpindahan pangan dari satu negara ke negara lain bukanlah hal yang mudah.

Karena ada berbagai peraturan yang berbeda. “Inilah yang saat ini sedang kita maksimalkan. Intinya, kita mencari solusi yang terbaik dalam pertemuan ini.

Kita tidak mau karena peraturan yang terlalu ketat. Akhirnya, pangan yang seharusnya sampai ke sebuah negara menjadi gagal,” tuturnya.

Isu ketahanan pangan yang dibahas di SOM APEC Medan ini seolah mengingatkan kembali kondisi pertanian padi sawah di Sumatera Utara. Tak banyak pihak yang peduli dengan kondisi sawah dan pertanian padi di Sumut dan membiarkan predikat lumbung padi tergerus fakta di lapangan. Kondisi sebenarnya tidak seindah laporan di atas kertas yang diterima para petinggi negeri ini, tidak pula semerdu suara paparan para humas yang kemudian diliput media dan tersaji di televisi dan media massa lainnya.

Seperti data yang dirilis pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menyebutkan, Sumatera Utara mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri.

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, HM Roem, seperti dilansir porta resmi pemerintahan Indonesia, http://www.indonesia.go.id, mengatakan beras yang dihasilkan Sumut cukup banyak dan melebihi dari kebutuhan yang diperlukan masyarakat.

Oleh karena itu, katanya, wajar Sumut bisa mencapai predikat lumbung beras secara nasional. Hal ini juga, tentunya didukung lima kabupaten yang selama ini dikenal sebagai sentra penghasil beras terbesar di provinsi tersebut. “Kelima kabupaten penghasil beras di Sumut, yakni Deliserdang, SerdangBedagai, Langkat, Labuhan Batu Utara dan Mandailing Natal (Madina),” ucap Roem seperti dilansir portal tersebut, 8 Oktober 2012.

Tetapi faktanya sudah tidak demikian.

Juni 2013 lalu, Badan Urusan Logistik (Bulog) mengumumkan, produksi padi Sumatera Utara tak cukup untuk memenuhi kebutuhan plus cadangan kebutuhan.

Kondisi itu ditambah dengan keengganan petani lokal menjual hasil panen ke pemerintah. Untuk itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumut menambah cadangan beras dari Bulog DKI Jakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan.

Juni 2013, Bulog Divre Sumatera Utara membeli 8 ribu ton beras dari DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Pasokan ini menambah cadangan beras Bulog untuk kebutuhan Sumut menjadi 63.800 ton.

“Bulan ini kami mendapat kiriman beras dari DKI Jakarta sekitar 5.000 ton dan dari Sulawesi Selatan sekitar 3.000 ton,” jelas Humas Bulog Sumut Rudy Adin Damanik, Kamis (20/6) lalu.

Dia mengemukakan 63.800 ton itu untuk memenuhi kebutuhan beras Sumut 6 bulan ke depan, hingga menjelang akhir tahun. Sedangkan konsumsi beras Sumut sekitar 10.000 ton per bulan.

Rudy Adin menjelaskan beras dari Bulog DKIJakartadipasokmelaluitigatahappengiriman, yaitu sebanyak 384 ton pada akhir Mei, awal Juni ini sebanyak 2.448 ton, dan terakhir 2.204 ton pada pekan depan melalui Pelabuhan Belawan.

Untuk beras dari Provinsi Sulawesi Selatan, sebanyak 3.000 ton, posisi terakhir masih di Pelabuhan Pare-Pare. Beras akan diangkuat dengan pesawat kecil dan dijadwalkan tiba di Pelabuhan Belawan pada pekan ini.

Sementara kebutuhan beras selama 5 bulan pertama tahun ini, Bulog Sumut telah menyalurkan 49.000 ton beras bagi rumah tangga miskin (raskin) yang tersebar di 33 kabupaten dan kota di Sumut.

Realisasi penyaluran raskin selama Januari hingga April 2013 telah mencapai 87% dari total target Sebelumya, petani di Sumatra Utara enggan menjual beras mereka kepada Badan Urusan Logistik karena harga yang ditawarkan Bulog dinilai terlalu rendah dibandingkan dengan biaya produksi.

Petani Sumut lebih memilih menjual beras ke pasar, sehingga pembelian beras lokal oleh Bulog terus menurun. Selama Januari sampai Mei 2013 ini Bulog Divisi Regional I Sumatra Utara hanya berkurang 210 ton dari angka pada periode yang sama tahun sebelumnya.

“Penurunan pembelian beras ke petani lokal di karenakan harga beli Bulog yang belum sesuai dengan harga jual petani di Sumut,” jelas Humas Bulog Sumut Rudy Adin, Rabu (8/5).

Dia menyebutkan selama Januari-Mei tahun ini, pihaknya hanya berhasil membeli 2.894 ton beras petani lokal Sumut, turun dari 3.104 ton dari pembelian selama 5 bulan pertama tahun lalu. Target pembelian beras petani lokal oleh Bulog Sumut pada 2013 sebesar 15.000 ton.

Untuk mengatasi hal itu, dia mengatakan pihaknya telah menghusulkan kenaikan harga pembelian beras dari petani menjadi Rp6.900 per kilogram dari harga saat ini yang mencapai Rp6.600 per kilogram.

“Harga pembelian beras kami (Bulog) Rp6.600 per kilogram, dan harga tersebut belum sesuai dengan harga jual beras di tingkat petani Sumut, makanya saat ini kami mengusulkan kepada Pemerintah untuk menaikan harga pemeblian beras tersebut,” paparnya.

Lahan Bertambah Produksi padi dari Sumatera Utara meningkat sebanyak 101.888 ton menjadi 3,7 ton pada tahun lalu dari 1,6 ton pada 2011 karena adanya penambahan luas lahan pertanian dan peningkatan produktivitas tanaman.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatra Utara mencatat angka Sementara (Asem) produksi padi Sumut pada 2012 naik sebesar 108.111 ton Gabah Kering Giling (GKG) dibandingkan dengan produksi Angka Tetap (ATAP) 2011.

Dia menyebutkan pada 2011, produksi padi Sumut mencapai 3, 6 juta ton GKG dan meningkat pada 2012 menjadi 3,715 juta ton GKG.

Kepala Dinas Pertanian Sumut M.

Roem mengemukakan peningkatan produksi disebabkan peningkatan luas panen sebesar 7.552 hektare atau 1,00% dan peningkatan produktivitas hasil per hekare sebesar 0,94 kwintal per hectare atau 1,97% dari harga penjualan.

“Untuk kontribusi produksi padi terbesar dari 32 kabupaten kota di Sumut adalah Simalunggun, yakni sebesar 12,80% dan terendah di Tanjung Balai sebesar 0,03%.,” ungkapnya, 8 Maret 2013 lalu.

Lebih lanjut, dia juga menambahkan untuk target persentase realisasi luas tanam dari 32 Kabupaten Kota di Sumut tertinggi adalah di Kabupaten Labura sebesar 242,98% dan terendah di Kota Tanjung Balai sebesar 33,35%.

“Sedangkan untuk persentase capaian absolut realisainya adalah tertinggi di Kabupaten Langkat yang luasnya mencapai 39.919 hektare dan terendah di Kota Tanjung Balai yang hanya seluas 125 hektare,” ujar Roem.

Pihaknya juga mengakui dukungan pemerintah untuk pengelolaan air (jaringan irigasi) guna meningkatkan produksi padi di 24 Kabupaten kota di Sumut pada 2012.

Sejak saat itu, seluas lahan di kawasan itu mencapai 35.800 hektare.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Sumut untuk pendanaan pengelolaan air yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada 23 kabupaten kota dengan luas jaringan irigasi yang mencapai 25.700 hektare.

Sementara itu, untuk pendanaan pengelolaanairyangbersumberdariAPBDSumut saat ini hanya dialokasiakn kepada 13 kabupatenkotadenganluasjaringanirigasi yang mencapai 10.100 hektare.

“Untuk bantuan irigasi dana dari APBN masih sangat dominan dan ke depan pasti ada kemungkinan untuk kita tingkatkan pendanaanya baik melalui dana APBN ataupun APBD Sumut,” tutupnya.(ram/mag-9)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/