26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Melihat Potensi Gaharu, Produk Ekspor Unik dan Mahal

Budidaya Pohon Gaharu

Pohon Alim merupakan tumbuhan yang menghasilkan gubalan Gaharu atau yang biasa disebut sebagai Damar Wangi, atau yang pada umunya kita menyebutnya sebagai Pohon Gaharu. Jenis tumbuhan ini cukup langka, karena hanya dapat tumbuh di hutan hujan tropis, yang akhirnya membuat harganya cukup mahal. Untuk mendapakan Gaharu ini juga cukup unik, dimana pohon alim terlebih dahulu diinfeksikan pada berbagai microba atau jamur.

Gaharu ini pada umumnya dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan berbagai produk wewanggian, sebut saja parfum, pewangi ruangan (aroma terapi), dan hio. Untuk parfum, Gaharu digunakan sebagai pengganti alkohol, dan dipercaya parfum akan tahan lebih lama bila menggunakan Gaharu. Karena itu, tidak heran bila harga kayu Gaharu ini dipasarkan Rp8 juta per kilo, dimana 1 pohon dapat menghasilkan 20 kg kayu Gaharu.

Produksi Gaharu ini di dalam negeri ini, lebih sering untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor, seperti China, Eropa dan Arab Saudi. Cina, menggunakan kayu Gaharu ini untuk perlengkapan sembahyang (Hio) dan karya seni, sedangkan Arab menggunakan Gaharu untuk pewangi ruangan dan aroma terapi. Sedangkan Eropa lebih menggunakannya untuk bahan baku parfum.

Untuk produksi, tanaman hutan bukan kayu ini bisa dikatakan cukup murah dan mudah, walau memakan waktu sekitar 7 hingga 8 tahun. Modal awal, cukup mengeluarkan dana sekitar Rp1700 perbatang untuk bibit tanaman, yang biasanya didapat disekitar hutan seperti Gunung Leuser dan lainnya. Saat usia bibit sudah mencapai 5 hingga 6 bulan, maka tanaman akan berkembang sendiri secara alami. “Tetapi, saat masih usai muda, usahakan agar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung, karena ini dapat membuat tumbuhan mati,” ujar Petani Penghasil Gaharu dari Desa Timbang Jaya, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut.

Saat usia tanaman sudah memasuki usia 6 tahun, maka pohon alim atau penghasil gaharu ini, akan mulai di suntikkan dengan berbagai  microba atau fusarium. Selama 2 minggu berturut-turut. Dimana minggu pertama, pohon akan diberi makan berupa mikroba, dan minggu kedua dapat memasukkan mikroba dengan suntikan fusirium. “Dan bila berhasil, maka pohon akan mengeluarkan wewangian, dan ini yang menandakan bahwa tanaman tersebut berhasil,” ungkap Sofyan. Saat melakukan suntikan, maka pohon akan dibolongi dengan diameter tergantung dari besar pohon. Lubangan yang diberikan juga sebanyak 32 atau sesuai dengan besar pohon. Dan bila mikroba yang disuntikkan tidak sesuai, maka secara alami, pohon akan menutup lubang tersebut. “Dan ini berarti pohon tidak menghasilkan gaharu,” tambah Sofyan. Setelah penyuntikkan, selang waktu 1 hingga 2 tahun, maka Gaharu dapat dipanen. Dan untuk memisahkan antara kayu dan gubalan gaharu dibutuhkan 12 jenis pisau dengan keterampilan yang ahli pula. Setelah itu, kayu dijemu dengan cara dianginkan agar kayu bagus dan wanginya tidak menguap. ‘jangan kena matahari, karena itu akan menghilangkan kadar wangi dari gaharu,” tambahnya.

Seperti diungkapkan dari awal, produksi gubalan gaharu ini sangat unik, karena terinfeksi penyakit yang ditimbulkan oleh jamur Phaeoacremonium parasitica. Dan infeksi ini yang membuat gubalan gaharu atau damar wangi sebagai respon masuknya mikroba pada jaringan pohon yang terluka akibat pelubangan (pengergajian), atau secara alami karena batang pohon yang patah dan kulit kayu yang terkelupas. Masuknya mikroba kedalam jaringan dapat berupa resin berwarna coklat serat berbau harum, serta menumpuk pada pembuluh untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain.

Menandakan bahwa tumbuhan itu behasil, cukup mudah. dimana tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang pohon yang menjadi lunak, menguning, dan rontok. Selain itu, juga akan terjadi pembengkakan, pelekukan atau penebalan pada batang, dan cabang tanaman. Semakin hitam warna kayu, maka semakin bagus kualitas yang akan membuat harga jual juga semakin tinggi.

Sebelumnya, para petani penghasil gaharu menyatakan untuk mendapatkan gaharu dengan kualitas baik termasuk sulit, bahkan tidak jarang ada sebagian petani yang gagal panen, karena pohon alim tidak menghasilkan gaharu.

Masalah yang dihadapi oleh petani sama, suntik fusarium yang terdiri dari 50 mikroba didalamnya, tidak cocok, dan terkadang pelubangan pada pohon alim yang mengenai inti pohon, sehingga membuat pohon menjadi mati. “Pada intinya gagal gaharu ini dikarenakan suntik fusarium yang tidak sesuai, bahkan saat pelubangan mengenai inti pohon,” Ujar Direktur PT Gaharu Sejati, Dodi Arianto.

Dirinya menjelaskan, dulunya Gaharu ini didapat dengan cara yang sedikit rumit, karena harus mengambil dari hutan. Kalau dihutan, pembentukan gubalan gaharu dilakukan secara alami, melali serangga yang makan kulit kayu. Tetapi, karena permintaan terus meningkat dan penenbangan hutan yang terjadi, akhirnya, Gaharu di budidayakan. Tetapi karena belum faham dengan tekhnologi, petani Indonesia dan Sumut terutama mengambil suntikan ini dari Malaysia dan Singapura. “Padahal penghasil gaharu itu hanya Indonesia, Thailand, dan vietnam,” tambah Dodi.

Budidaya Gaharu

Untuk menjadi petani gaharu ini cukup mudah dengan modal yang cukup relatif murah juga, asalnya memiliki lahan untuk penanaman pohon alim. Untuk lahan seukuran 1 Ha, dapat menaman pohon sebanyak 2500 pohon, dengan jarak penanaman sekitar 2×2 m. Selain itu, disela jarak tersebut juga dapat ditanami jenis tumbuhan lain, Kakao misalnya.

Untuk biaya dalam budidaya ini, membutuhkan dana yang tidak terlalu besar, tetapi harus sabar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Modal awal yang dikeluarkan adalah pembelian bibit pohon alim, yang biasanya dijual dengan harga rp4 ribu perbatang untuk ukuran 20 hingga 30 cm, sedangkan untuk ukuran 40-60 cm, dijual dengan harga Rp6 ribu perbatang. Selanjutnya, pohon tumbuh secara alami, dan bila diperlukan dapat dapat mengunakan bubuk pestisida curater untuk pengendalian hama ulat, atau hanya menggunakan NPK Mutiara. Dan bila diperkirakan dana yang dibutuhkan perbulan, sekitar Rp1700 perbatang/bulan, selama 6 bulan. Sedangkan untuk penyuntikan fusarium pada usia pohon sekitar 5 tahun, dibutuhkan dana yang cukup besar, untuk 1 liter fusarium dijual dengan harga Rp3 juta. Dan ini dapat digunakan untuk 6 pohon yang berdiameter 30 cm.

Ada 2 jenis dalam pembudidayaan pohon penghasil Gaharu ini, yang pertama adalah penyulingan untuk mengambil minyaknya. Dan kedua, berupa kayu untuk dibakar.

Untuk penyulingan, saat usia pohon sudah mencapai 5 tahun atau berdiameter minimal 20 cm, maka pohon disuntik, setelah 8 bulan hingga 1 tahun sesudah penyuntikan dapat dilakukan penyulingan. Dengan harga minyak gaharu berkisar Rp100 hingga Rp300 juta per 1 Liter. Sedangkan untuk pembakaran, dengan proses yang sama, hanya saja panennya sekitar 2 tahun setelah penyuntikkan. (Juli Ramadhani Rambe)

Lestarikan Jadi Pohon Eksklusif

INDONESIA merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil gubal (bagian terdalam dari batang pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam, coklat kemerahan dengan keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan kondisi produksi alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi.

Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau agarwood, aleawood, eaglewood dan jinkoh memiliki nilai jual tinggi. Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua spesies Aqularia dan Grynops di atur dalam CITES (Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan ekspornya dibatasi dalam kuota.

Saat ini, Indonesia diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam menyelamatkan produksi gaharu dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke gaharu buatan. Dengan demikian di masa yang akan datang, Indonesia akan memasuki era gaharu budidaya atau mengambil kata yang lebih popular gaharu “non-CITES quota”.

Dengan mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di Indonesia”, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani, International Timber Trade Organization, Asgarin dan Yayasan Kehati menggelar Seminar Nasional I Gaharu di IPB International Convention Center (12/11). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari keprihatinan masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan pentingnya produksi gaharu yang lestari di Indonesia.

Hadir dalam acara ini, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk membuka acara, didampingi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI, peneliti, dan pemerhati gaharu Indonesia.

Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Selama ini bagi hasil dari produksi gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil penjualan gaharu 40% untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin,  sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan rakyat,” tambahnya.

Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni sekitar hutan, maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang memberikan insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan.

“Pohon gaharu pasarnya sangat besar. Gaharu yang mengandung “damar wangi” dan bila dibakar mengeluarkan aroma yang khas dapat diolah menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan hio, parfum, obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand adalah pasar gaharu. Sehingga gaharu perlu dilestarikan dan yang mengembangkannya harus pakar-pakar dari IPB,” ujarnya saat diwawancara.

Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125 ton/tahun untuk tiap species. Dalam batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka.

Menhut menambahkan untuk menjaga kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi, gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu telah ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi modal dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.

Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis cendawan yakni fusarium dan acremonium). Mekanisme pembentukan oleo resin (damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan mikroorganisme tadi.

Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon gaharu saat umurnya menginjak lima tahun. Dari infeksi cendawan tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa oleo resin.

Satu kilogram gubal gaharu dengan kualitas terbaik dijual dengan harga 30 juta rupiah. Gaharu jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera (10 pohon/hektare) dan Kalimantan (9 pohon/hektare). Untuk jenis Aquilaria filarial daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/hektare), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/hektare). Dan untuk jenis Gyrinops sp daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/hektare) dan NTT atau 7 pohon per hektare. (net/jpnn)

Sejarah Gaharu

Dupa Sejak Zaman Sriwijaya

Di Indonesia, Gaharu dikenal sejak zaman Sriwijaya atau tepatnya pada tahun 671 M (kira-kira tahun 10 H. Pada masa itu juga, Gaharu sudah menjadi salah satu produk dagangan, antara Sriwijaya, Tiongkok, dan India Muka. Dimana yang menjadi penggerak dalam  perdagangan ini adalah musafir ziarah Budhis, yang datang langsung ke Sriwijaya.

Hal ini memungkinkan, mengingat kayu gaharu juga dijadikan perlengkapan untuk sembahyang umat Budha, sebut saja Dupa.  Bau gaharu cukup komplek dan menyenangkan, secara alamiah tidak ada padanan yang tepat . Gaharu dan minyaknya mendapat perhatian besar dalam budaya dan agama sejak peradaban kuno di seluruh dunia, seperti tertuang dalam catatan tertua – dalam Weda bahasa Sanskerta dari India.

Sementara itu, pada awal abad ke-3, dalam Nan Wu Yi Zhou Zhi (Hal-Hal aneh dri selatan) yang ditulis pada saat kepemimpinan Dinasti Wu, menyebutkan Gaharu diproduksi di wilayah Rinan, atau yang saat ini dikenal dengan sebutan Vietnam bagian tengah, dan untuk mendapatkan Gaharu dikumpulkan dari pengunungan.

Dimulai pada tahun 1580, setelah Nguyen Hoang mengambil kendali atas provinsi-provinsi tengah Vietnam modern, ia mendorong perdagangan dengan negara lain, khususnya Cina dan Jepang. Gaharu yang diekspor dalam 3 varitas yaitu Calambac (ky nam dalam bahasa Vietnam) trem hurong (sangat serupa tetapi sedikit lebih keras dan lebih banyak), dan gaharu itu sendiri. Satu pon Calambac dibeli di Hoi An selama 15 tael dapat dijual di Nagasaki untuk 600 tail. Penguasa Nguyen segera mendirikan kerajaan Monopoli atas penjualan Calambac. Monopoli ini membantu mendanai keuangan negara Nguyen selama tahun-tahun awal aturan Nguyen.

Xuanzang’s travelouges dan Harshacharita, yang ditulis pada abad ke-7 Masehi di India Utara menyebutkan penggunaan produk-produk gaharu seperti ‘Xasipat’ (bahan tulisan) dan ‘minyak aloe‘ di Assam kuno (Kamarupa). Dan hingga saat ini, tradisi membuat bahan-tulisan dari kulit gaharu masih ada di Assam.

Gaharu dikenal dengan banyak nama dalam kebudayaan yang berbeda, “Agar” di India (bahasa sansekerta), Chen-Xiang dalam bahasa Cina, “trem Huong” dalam bahasa Vietnam, dan Jin-koh dalam bahasa Jepang; semua bermakna “insence/dupa tenggelam”  yang mengacu kepada padatan/densitas tinggi. Di wilayah Arab gaharu dan distilasinya dikenal dengan nama Oud demikian juga di wilayah Negara-negara Islam. Di Negara barat penggunaan minyak gaharu esensial dalam minyak wangi dengan nama “oud” atau “oude”. Gaharu dalam Perjanjian Lama dan Kitab Suci Ibrani  diyakini bahwa gaharu dari Aquilaria malaccensis. Di Tibet dikenal sebagai a-ga-ru. Ada beberapa varietas digunakan dalam bahasa Tibet Kedokteran yaitu gaharu unik ar-ba-zhig; gaharu kuning a-ga-ru ser-po, gaharu putih ar-skya, dan gaharu hitam ar-omelan. Di dareah Asam (India) disebut sebagai ogoru, di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan gaharu, di Papua Nugini disebut ghara, dalam bahasa Thailand dikenal sebagai Mai Kritsana,  di Laos dikenal sebagai Mai Ketsana. (net)

[table caption=”Ranking Gaharu Dunia”]

1. ,AQUILARIA SUBINTEGRA ,Found at Thailand

2. ,AQUILARIA CRASSNA ,”Found at Thailand, Cambodia, Loas, Vietnam”

3. ,AQUILARIA MALACCENSIS ,”Found at Thailand, India, Indonesia”

4. ,AQUILARIA APICULATA ,Found at Philippines

5. ,AQUILARIA BAILLONIL ,”Found at Thailand, Combodia, Loas, Vietnam”

6. ,AQUILARIA BANEONSIS ,Found at Vietnam

7. ,AQUILARIA BECCARIAN ,Found at Indonesia

8. ,AQUILARIA BRACHYANTHA ,Found at Malaysia

9. ,AQUILARIA CUMINGIANA ,”Found at Indonesia, Philippines”

10.,AQUILARIA FILARIA ,”Found at Nuegini, China”

11.,AQUILARIA GRANDIFLORA ,Found at China

12.,AQUILARIA HILATA ,”Found at Indonesia, Malaysia”

13.,AQUILARIA KHASIANA ,Found at India

14.,AQUILARIA MICROCAPA ,”Found at Indonesia, Malaysia”

15.,AQUILARIA ROSTRATA ,Found at Malaysia

16.,AQUILARIA SINENSIS ,Found at China

[/table]

[table caption=”Istilah Produk Gaharu”]

Abu gaharu ,adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

Damar gaharu,”adalah sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan.

Gubal gaharu ,”adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat.

Kemedangan ,”adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.”

[/table]

Budidaya Pohon Gaharu

Pohon Alim merupakan tumbuhan yang menghasilkan gubalan Gaharu atau yang biasa disebut sebagai Damar Wangi, atau yang pada umunya kita menyebutnya sebagai Pohon Gaharu. Jenis tumbuhan ini cukup langka, karena hanya dapat tumbuh di hutan hujan tropis, yang akhirnya membuat harganya cukup mahal. Untuk mendapakan Gaharu ini juga cukup unik, dimana pohon alim terlebih dahulu diinfeksikan pada berbagai microba atau jamur.

Gaharu ini pada umumnya dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan berbagai produk wewanggian, sebut saja parfum, pewangi ruangan (aroma terapi), dan hio. Untuk parfum, Gaharu digunakan sebagai pengganti alkohol, dan dipercaya parfum akan tahan lebih lama bila menggunakan Gaharu. Karena itu, tidak heran bila harga kayu Gaharu ini dipasarkan Rp8 juta per kilo, dimana 1 pohon dapat menghasilkan 20 kg kayu Gaharu.

Produksi Gaharu ini di dalam negeri ini, lebih sering untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor, seperti China, Eropa dan Arab Saudi. Cina, menggunakan kayu Gaharu ini untuk perlengkapan sembahyang (Hio) dan karya seni, sedangkan Arab menggunakan Gaharu untuk pewangi ruangan dan aroma terapi. Sedangkan Eropa lebih menggunakannya untuk bahan baku parfum.

Untuk produksi, tanaman hutan bukan kayu ini bisa dikatakan cukup murah dan mudah, walau memakan waktu sekitar 7 hingga 8 tahun. Modal awal, cukup mengeluarkan dana sekitar Rp1700 perbatang untuk bibit tanaman, yang biasanya didapat disekitar hutan seperti Gunung Leuser dan lainnya. Saat usia bibit sudah mencapai 5 hingga 6 bulan, maka tanaman akan berkembang sendiri secara alami. “Tetapi, saat masih usai muda, usahakan agar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung, karena ini dapat membuat tumbuhan mati,” ujar Petani Penghasil Gaharu dari Desa Timbang Jaya, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut.

Saat usia tanaman sudah memasuki usia 6 tahun, maka pohon alim atau penghasil gaharu ini, akan mulai di suntikkan dengan berbagai  microba atau fusarium. Selama 2 minggu berturut-turut. Dimana minggu pertama, pohon akan diberi makan berupa mikroba, dan minggu kedua dapat memasukkan mikroba dengan suntikan fusirium. “Dan bila berhasil, maka pohon akan mengeluarkan wewangian, dan ini yang menandakan bahwa tanaman tersebut berhasil,” ungkap Sofyan. Saat melakukan suntikan, maka pohon akan dibolongi dengan diameter tergantung dari besar pohon. Lubangan yang diberikan juga sebanyak 32 atau sesuai dengan besar pohon. Dan bila mikroba yang disuntikkan tidak sesuai, maka secara alami, pohon akan menutup lubang tersebut. “Dan ini berarti pohon tidak menghasilkan gaharu,” tambah Sofyan. Setelah penyuntikkan, selang waktu 1 hingga 2 tahun, maka Gaharu dapat dipanen. Dan untuk memisahkan antara kayu dan gubalan gaharu dibutuhkan 12 jenis pisau dengan keterampilan yang ahli pula. Setelah itu, kayu dijemu dengan cara dianginkan agar kayu bagus dan wanginya tidak menguap. ‘jangan kena matahari, karena itu akan menghilangkan kadar wangi dari gaharu,” tambahnya.

Seperti diungkapkan dari awal, produksi gubalan gaharu ini sangat unik, karena terinfeksi penyakit yang ditimbulkan oleh jamur Phaeoacremonium parasitica. Dan infeksi ini yang membuat gubalan gaharu atau damar wangi sebagai respon masuknya mikroba pada jaringan pohon yang terluka akibat pelubangan (pengergajian), atau secara alami karena batang pohon yang patah dan kulit kayu yang terkelupas. Masuknya mikroba kedalam jaringan dapat berupa resin berwarna coklat serat berbau harum, serta menumpuk pada pembuluh untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain.

Menandakan bahwa tumbuhan itu behasil, cukup mudah. dimana tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang pohon yang menjadi lunak, menguning, dan rontok. Selain itu, juga akan terjadi pembengkakan, pelekukan atau penebalan pada batang, dan cabang tanaman. Semakin hitam warna kayu, maka semakin bagus kualitas yang akan membuat harga jual juga semakin tinggi.

Sebelumnya, para petani penghasil gaharu menyatakan untuk mendapatkan gaharu dengan kualitas baik termasuk sulit, bahkan tidak jarang ada sebagian petani yang gagal panen, karena pohon alim tidak menghasilkan gaharu.

Masalah yang dihadapi oleh petani sama, suntik fusarium yang terdiri dari 50 mikroba didalamnya, tidak cocok, dan terkadang pelubangan pada pohon alim yang mengenai inti pohon, sehingga membuat pohon menjadi mati. “Pada intinya gagal gaharu ini dikarenakan suntik fusarium yang tidak sesuai, bahkan saat pelubangan mengenai inti pohon,” Ujar Direktur PT Gaharu Sejati, Dodi Arianto.

Dirinya menjelaskan, dulunya Gaharu ini didapat dengan cara yang sedikit rumit, karena harus mengambil dari hutan. Kalau dihutan, pembentukan gubalan gaharu dilakukan secara alami, melali serangga yang makan kulit kayu. Tetapi, karena permintaan terus meningkat dan penenbangan hutan yang terjadi, akhirnya, Gaharu di budidayakan. Tetapi karena belum faham dengan tekhnologi, petani Indonesia dan Sumut terutama mengambil suntikan ini dari Malaysia dan Singapura. “Padahal penghasil gaharu itu hanya Indonesia, Thailand, dan vietnam,” tambah Dodi.

Budidaya Gaharu

Untuk menjadi petani gaharu ini cukup mudah dengan modal yang cukup relatif murah juga, asalnya memiliki lahan untuk penanaman pohon alim. Untuk lahan seukuran 1 Ha, dapat menaman pohon sebanyak 2500 pohon, dengan jarak penanaman sekitar 2×2 m. Selain itu, disela jarak tersebut juga dapat ditanami jenis tumbuhan lain, Kakao misalnya.

Untuk biaya dalam budidaya ini, membutuhkan dana yang tidak terlalu besar, tetapi harus sabar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Modal awal yang dikeluarkan adalah pembelian bibit pohon alim, yang biasanya dijual dengan harga rp4 ribu perbatang untuk ukuran 20 hingga 30 cm, sedangkan untuk ukuran 40-60 cm, dijual dengan harga Rp6 ribu perbatang. Selanjutnya, pohon tumbuh secara alami, dan bila diperlukan dapat dapat mengunakan bubuk pestisida curater untuk pengendalian hama ulat, atau hanya menggunakan NPK Mutiara. Dan bila diperkirakan dana yang dibutuhkan perbulan, sekitar Rp1700 perbatang/bulan, selama 6 bulan. Sedangkan untuk penyuntikan fusarium pada usia pohon sekitar 5 tahun, dibutuhkan dana yang cukup besar, untuk 1 liter fusarium dijual dengan harga Rp3 juta. Dan ini dapat digunakan untuk 6 pohon yang berdiameter 30 cm.

Ada 2 jenis dalam pembudidayaan pohon penghasil Gaharu ini, yang pertama adalah penyulingan untuk mengambil minyaknya. Dan kedua, berupa kayu untuk dibakar.

Untuk penyulingan, saat usia pohon sudah mencapai 5 tahun atau berdiameter minimal 20 cm, maka pohon disuntik, setelah 8 bulan hingga 1 tahun sesudah penyuntikan dapat dilakukan penyulingan. Dengan harga minyak gaharu berkisar Rp100 hingga Rp300 juta per 1 Liter. Sedangkan untuk pembakaran, dengan proses yang sama, hanya saja panennya sekitar 2 tahun setelah penyuntikkan. (Juli Ramadhani Rambe)

Lestarikan Jadi Pohon Eksklusif

INDONESIA merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil gubal (bagian terdalam dari batang pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam, coklat kemerahan dengan keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan kondisi produksi alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi.

Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau agarwood, aleawood, eaglewood dan jinkoh memiliki nilai jual tinggi. Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua spesies Aqularia dan Grynops di atur dalam CITES (Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan ekspornya dibatasi dalam kuota.

Saat ini, Indonesia diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam menyelamatkan produksi gaharu dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke gaharu buatan. Dengan demikian di masa yang akan datang, Indonesia akan memasuki era gaharu budidaya atau mengambil kata yang lebih popular gaharu “non-CITES quota”.

Dengan mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di Indonesia”, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani, International Timber Trade Organization, Asgarin dan Yayasan Kehati menggelar Seminar Nasional I Gaharu di IPB International Convention Center (12/11). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari keprihatinan masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan pentingnya produksi gaharu yang lestari di Indonesia.

Hadir dalam acara ini, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk membuka acara, didampingi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI, peneliti, dan pemerhati gaharu Indonesia.

Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Selama ini bagi hasil dari produksi gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil penjualan gaharu 40% untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin,  sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan rakyat,” tambahnya.

Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni sekitar hutan, maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang memberikan insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan.

“Pohon gaharu pasarnya sangat besar. Gaharu yang mengandung “damar wangi” dan bila dibakar mengeluarkan aroma yang khas dapat diolah menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan hio, parfum, obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand adalah pasar gaharu. Sehingga gaharu perlu dilestarikan dan yang mengembangkannya harus pakar-pakar dari IPB,” ujarnya saat diwawancara.

Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125 ton/tahun untuk tiap species. Dalam batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka.

Menhut menambahkan untuk menjaga kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi, gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu telah ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi modal dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.

Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis cendawan yakni fusarium dan acremonium). Mekanisme pembentukan oleo resin (damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan mikroorganisme tadi.

Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon gaharu saat umurnya menginjak lima tahun. Dari infeksi cendawan tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa oleo resin.

Satu kilogram gubal gaharu dengan kualitas terbaik dijual dengan harga 30 juta rupiah. Gaharu jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera (10 pohon/hektare) dan Kalimantan (9 pohon/hektare). Untuk jenis Aquilaria filarial daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/hektare), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/hektare). Dan untuk jenis Gyrinops sp daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/hektare) dan NTT atau 7 pohon per hektare. (net/jpnn)

Sejarah Gaharu

Dupa Sejak Zaman Sriwijaya

Di Indonesia, Gaharu dikenal sejak zaman Sriwijaya atau tepatnya pada tahun 671 M (kira-kira tahun 10 H. Pada masa itu juga, Gaharu sudah menjadi salah satu produk dagangan, antara Sriwijaya, Tiongkok, dan India Muka. Dimana yang menjadi penggerak dalam  perdagangan ini adalah musafir ziarah Budhis, yang datang langsung ke Sriwijaya.

Hal ini memungkinkan, mengingat kayu gaharu juga dijadikan perlengkapan untuk sembahyang umat Budha, sebut saja Dupa.  Bau gaharu cukup komplek dan menyenangkan, secara alamiah tidak ada padanan yang tepat . Gaharu dan minyaknya mendapat perhatian besar dalam budaya dan agama sejak peradaban kuno di seluruh dunia, seperti tertuang dalam catatan tertua – dalam Weda bahasa Sanskerta dari India.

Sementara itu, pada awal abad ke-3, dalam Nan Wu Yi Zhou Zhi (Hal-Hal aneh dri selatan) yang ditulis pada saat kepemimpinan Dinasti Wu, menyebutkan Gaharu diproduksi di wilayah Rinan, atau yang saat ini dikenal dengan sebutan Vietnam bagian tengah, dan untuk mendapatkan Gaharu dikumpulkan dari pengunungan.

Dimulai pada tahun 1580, setelah Nguyen Hoang mengambil kendali atas provinsi-provinsi tengah Vietnam modern, ia mendorong perdagangan dengan negara lain, khususnya Cina dan Jepang. Gaharu yang diekspor dalam 3 varitas yaitu Calambac (ky nam dalam bahasa Vietnam) trem hurong (sangat serupa tetapi sedikit lebih keras dan lebih banyak), dan gaharu itu sendiri. Satu pon Calambac dibeli di Hoi An selama 15 tael dapat dijual di Nagasaki untuk 600 tail. Penguasa Nguyen segera mendirikan kerajaan Monopoli atas penjualan Calambac. Monopoli ini membantu mendanai keuangan negara Nguyen selama tahun-tahun awal aturan Nguyen.

Xuanzang’s travelouges dan Harshacharita, yang ditulis pada abad ke-7 Masehi di India Utara menyebutkan penggunaan produk-produk gaharu seperti ‘Xasipat’ (bahan tulisan) dan ‘minyak aloe‘ di Assam kuno (Kamarupa). Dan hingga saat ini, tradisi membuat bahan-tulisan dari kulit gaharu masih ada di Assam.

Gaharu dikenal dengan banyak nama dalam kebudayaan yang berbeda, “Agar” di India (bahasa sansekerta), Chen-Xiang dalam bahasa Cina, “trem Huong” dalam bahasa Vietnam, dan Jin-koh dalam bahasa Jepang; semua bermakna “insence/dupa tenggelam”  yang mengacu kepada padatan/densitas tinggi. Di wilayah Arab gaharu dan distilasinya dikenal dengan nama Oud demikian juga di wilayah Negara-negara Islam. Di Negara barat penggunaan minyak gaharu esensial dalam minyak wangi dengan nama “oud” atau “oude”. Gaharu dalam Perjanjian Lama dan Kitab Suci Ibrani  diyakini bahwa gaharu dari Aquilaria malaccensis. Di Tibet dikenal sebagai a-ga-ru. Ada beberapa varietas digunakan dalam bahasa Tibet Kedokteran yaitu gaharu unik ar-ba-zhig; gaharu kuning a-ga-ru ser-po, gaharu putih ar-skya, dan gaharu hitam ar-omelan. Di dareah Asam (India) disebut sebagai ogoru, di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan gaharu, di Papua Nugini disebut ghara, dalam bahasa Thailand dikenal sebagai Mai Kritsana,  di Laos dikenal sebagai Mai Ketsana. (net)

[table caption=”Ranking Gaharu Dunia”]

1. ,AQUILARIA SUBINTEGRA ,Found at Thailand

2. ,AQUILARIA CRASSNA ,”Found at Thailand, Cambodia, Loas, Vietnam”

3. ,AQUILARIA MALACCENSIS ,”Found at Thailand, India, Indonesia”

4. ,AQUILARIA APICULATA ,Found at Philippines

5. ,AQUILARIA BAILLONIL ,”Found at Thailand, Combodia, Loas, Vietnam”

6. ,AQUILARIA BANEONSIS ,Found at Vietnam

7. ,AQUILARIA BECCARIAN ,Found at Indonesia

8. ,AQUILARIA BRACHYANTHA ,Found at Malaysia

9. ,AQUILARIA CUMINGIANA ,”Found at Indonesia, Philippines”

10.,AQUILARIA FILARIA ,”Found at Nuegini, China”

11.,AQUILARIA GRANDIFLORA ,Found at China

12.,AQUILARIA HILATA ,”Found at Indonesia, Malaysia”

13.,AQUILARIA KHASIANA ,Found at India

14.,AQUILARIA MICROCAPA ,”Found at Indonesia, Malaysia”

15.,AQUILARIA ROSTRATA ,Found at Malaysia

16.,AQUILARIA SINENSIS ,Found at China

[/table]

[table caption=”Istilah Produk Gaharu”]

Abu gaharu ,adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

Damar gaharu,”adalah sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan.

Gubal gaharu ,”adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat.

Kemedangan ,”adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.”

[/table]

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/