Kalau berjudul “Wahyuni Melawan Prahara” bercerita seorang ibu melahirkan, kemudian mengalami pendarahan dan ditransfusi darah. Ternyata darah yang ditransfusikan, sudah mengandung virus HIV sehingga tertular. Sempat curiga ke suaminya, namun ternyata suami negatif mengidap HIV/AIDS.
“Itu sebabnya saya sampaikan bahwa penularan bukan hanya karena prilaku, namun juga bisa karena nasib. Akhirnya ibu itu tegar dan malah menjadi relawan dengan bergabung dengan Komunitas. Dia menjadi penyemangat bagi Pengidap HIV/AIDS dan keluarganya,” sambung Umar Zein.
Terakhir berjudul “Kasih Tahu Nggak Ya”, seorang pemuda mengidap HIV/AIDS, dirawat, kemudian sembuh. Selanjutnya pemuda itu ingin menikah. Namun minta calon isterinya tidak dikasih tahu. Untuk itu, diperbolehkan dengan catatan harus benar-benar berobat. Kemudian 1 tahun kemudian dia melapor isterinya hamil sehingga dipesankan agar isterinya jangan melahirkan biasa, melainkan harus dioperasi.
“Sekarang dia sudah punya anak 2 dan anaknya sehat. Itu menandakan bawah pengobatan juga mencegah penularan. Banyak orang pandai menjahit, sedikit saja bisa menyulam. Banyak otang yang tahu AIDS, sedikit saja yang paham, ” ujar Umar Zein lebih jauh.
Sebelum mengakhiri, Umar Zein menunjukkan foto pasangan suami-isteri di Adrika yang mengidap AIDS, sebelum diobati. Lalu Umar Zein menunjukkan foto Pasutri pengidap AIDS itu, setelah diobati. Terlihat di foto, pasutri pengidap AIDS itu jauh lebih gemuk. Dengan begitu, artinya AIDS itu sudah ada obatnya, sehingga sangat tidak benar kalau dikatakan AIDS belum ada obatnya.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, bahwasanya saat ini dari 89 juta anak di Indonesia, sekitar 18-20% telah terkontaminasi HIV/AIDS. Angka ini sebut Arist, berdasarkan data yang dimilikinya tahun 2016-2017.
“Anak-anak ini menjadi korban, dari kelakuan orang dewasa. Bahkan penyebarannya bukan saja hanya terjadi di kota, melainkan juga sampai di desa,” ungkapnya.
Untuk itu, lanjut Komnas Perlindungan Anak akan terus mensosialisasikan agar masyarakat jangan pernah merasa takut pada mereka yang menderita HIV/AIDS. Karenanya ia juga berharap, agar penyuluhan mengenai penyakit ini dapat sungguh-sungguh diperoleh masyarakat, supaya korbannya tidak sampai dijauhi (dikucilkan).“Jadi penderitanya, khususnya anak-anak yang terkena HIV/AIDS jangan disisihkan,” jelasnya.
Sebelumnya dalam seminar tersebut, Arist mengatakan saat ini patologi sosial sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat sehingga mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia yang bersikap permisif (terbuka). Misalnya sikap yang tidak lazim kini berkembang di masyarakat, yang mengakibatkan perilaku abnormal menjadi lazim terlihat.
Akibatnya, sambung Arist, banyak menimbulkan perilaku kejahatan, seperti pemerkosaan maupun kejahatan seksual lainnya. Tak terkecuali, korbannya adalah anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari orang dewasa.
Malah, tambah Arist, seks kini sudah menjadi hal biasa di masyarakat. Meski seks tersebut justru dibarengi dengan perilaku kekerasan ataupun tindakan sodomi yang tentu menjadi ancaman luar biasa.
“Nilai keagaman kita sudah hancur, begitu juga nilai-nilai keteladanan yang sudah tergerus. Masa depan anak-anak sudah di hancurkan oleh sikap-sikap yang tak lazim. Sehingga mata rantai ini harus diputus, yakni dimulai dari orang terdekat di rumah,” pungkasnya. (ain/ila)