26.7 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Merasa Tertekan di Atas Panggung Mertua

New Hope-Dahlan Iskan

Bagaimana Tahir bisa menjadi menantu konglomerat sebesar Dr Mochtar Riyadi pada awalnya dinilai ibarat perkawinan Cinderella. Tahir yang jadi Cinderellanya. Dalam perjodohan itu Tahir memposisikan dirinya sebagai orang biasa yang bernasib seperti Cinderella.

Tahir selalu ingat betapa miskin keluarganya saat dia dilahirkan di rumah sakit Undaan Surabaya. Sampai bapaknya tidak punya uang untuk menebus sang bayi. Cari utangan pun tidak berhasil. Sampai, secara tidak disangka, seorang keluarga datang dari Jember dan ketika diceritakan soal penebusan bayi itu bersedia memberi pinjaman.

Sang ayah waktu itu bekerja membuat becak dan menyewakan becaknya. Sang ibu sebenarnya anak orang kaya dari Solo, namun harga diri tidak memungkinkan sang ayah meminjam uang kepada mertua. Begitulah adat di keluarga Tionghoa. Waktu itu keluarga ini tinggal di satu rumah kuno yang kusam peninggalan Belanda di Jalan Bunguran No 19 Surabaya.

Ketika Belanda terusir dari Indonesia di tahun 1946-an memang banyak bangunan yang ditinggalkan. Penduduk berebut menempatinya. Yang bagus-bagus sudah lebih dulu diisi orang. Tinggal bangunan tua di Bunguran yang memiliki banyak kamar itu yang tidak diminati. Bangunan ini cukup untuk ditempati tiga keluarga. Yang satu adalah ayah Tahir yang saat itu bekerja sebagai karyawan sebuah koran berbahasa Mandarin di Surabaya. Satunya lagi keluarga Tan Bun Tjoe, wartawan di koran tersebut yang kelak menjadi pemimpin redaksinya. Di tahun 1980-an, salah satu anak Tan Bun Tjoe, Ir Agus Mulyanto, lulusan fakultas tehnik elektro ITS, mendirikan SCTV.

Setelah Tahir menjadi konglomerat, rumah di Jalan Bunguran No 19 itu dibeli untuk dilestarikan sebagai rumah kelahiran Tahir. Bangunannya dibiarkan apa adanya seperti itu. Tetap seperti tidak terawat. Tahir mengijinkan beberapa tukang becak menempati rumah tersebut sebagai kenangan bahwa di rumah itulah bapaknya dulu berusaha membuat becak dan menyewakannya.

Dari karyawan koran dan menjadi juragan becak ayah Tahir kemudian membuka toko sederhana. Ibunya tidak mau hanya menunggu pembeli. Wanita ini memilih “menjemput” pembeli dengan jalan jualan keliling dari rumah ke rumah. Anak-anaknyalah yang menjaga toko.

Sang ibu digambarkan lebih dominan dalam memperjuangkan kehidupan ekonomi keluarga ini. Juga lebih keras dalam mendidik Tahir. Setiap membuat kesalahan Tahir pasti dipukuli. Sampai-sampai suatu hari Tahir memilih sikap ini: Mah, saya akan diam saja, pukulilah saya sampai saya gila.

Tahir merasa ibunyalah yang melatihnya dagang. Dengan cara menyuruhnya kulakan barang yang akan dijual di tokonya. Kulakannya ke Jakarta. Ke Pasar Baru dan ke Mangga Dua. Naik kereta api dan tidur di losmen murahan di Jakarta. Setelah usaha itu berkembang, Tahir bahkan disuruh kulakan ke Singapura. Ketika masih SMA pun Tahir sudah biasa pulang-pergi ke Singapura sebagai inang-inang.

New Hope-Dahlan Iskan

Bagaimana Tahir bisa menjadi menantu konglomerat sebesar Dr Mochtar Riyadi pada awalnya dinilai ibarat perkawinan Cinderella. Tahir yang jadi Cinderellanya. Dalam perjodohan itu Tahir memposisikan dirinya sebagai orang biasa yang bernasib seperti Cinderella.

Tahir selalu ingat betapa miskin keluarganya saat dia dilahirkan di rumah sakit Undaan Surabaya. Sampai bapaknya tidak punya uang untuk menebus sang bayi. Cari utangan pun tidak berhasil. Sampai, secara tidak disangka, seorang keluarga datang dari Jember dan ketika diceritakan soal penebusan bayi itu bersedia memberi pinjaman.

Sang ayah waktu itu bekerja membuat becak dan menyewakan becaknya. Sang ibu sebenarnya anak orang kaya dari Solo, namun harga diri tidak memungkinkan sang ayah meminjam uang kepada mertua. Begitulah adat di keluarga Tionghoa. Waktu itu keluarga ini tinggal di satu rumah kuno yang kusam peninggalan Belanda di Jalan Bunguran No 19 Surabaya.

Ketika Belanda terusir dari Indonesia di tahun 1946-an memang banyak bangunan yang ditinggalkan. Penduduk berebut menempatinya. Yang bagus-bagus sudah lebih dulu diisi orang. Tinggal bangunan tua di Bunguran yang memiliki banyak kamar itu yang tidak diminati. Bangunan ini cukup untuk ditempati tiga keluarga. Yang satu adalah ayah Tahir yang saat itu bekerja sebagai karyawan sebuah koran berbahasa Mandarin di Surabaya. Satunya lagi keluarga Tan Bun Tjoe, wartawan di koran tersebut yang kelak menjadi pemimpin redaksinya. Di tahun 1980-an, salah satu anak Tan Bun Tjoe, Ir Agus Mulyanto, lulusan fakultas tehnik elektro ITS, mendirikan SCTV.

Setelah Tahir menjadi konglomerat, rumah di Jalan Bunguran No 19 itu dibeli untuk dilestarikan sebagai rumah kelahiran Tahir. Bangunannya dibiarkan apa adanya seperti itu. Tetap seperti tidak terawat. Tahir mengijinkan beberapa tukang becak menempati rumah tersebut sebagai kenangan bahwa di rumah itulah bapaknya dulu berusaha membuat becak dan menyewakannya.

Dari karyawan koran dan menjadi juragan becak ayah Tahir kemudian membuka toko sederhana. Ibunya tidak mau hanya menunggu pembeli. Wanita ini memilih “menjemput” pembeli dengan jalan jualan keliling dari rumah ke rumah. Anak-anaknyalah yang menjaga toko.

Sang ibu digambarkan lebih dominan dalam memperjuangkan kehidupan ekonomi keluarga ini. Juga lebih keras dalam mendidik Tahir. Setiap membuat kesalahan Tahir pasti dipukuli. Sampai-sampai suatu hari Tahir memilih sikap ini: Mah, saya akan diam saja, pukulilah saya sampai saya gila.

Tahir merasa ibunyalah yang melatihnya dagang. Dengan cara menyuruhnya kulakan barang yang akan dijual di tokonya. Kulakannya ke Jakarta. Ke Pasar Baru dan ke Mangga Dua. Naik kereta api dan tidur di losmen murahan di Jakarta. Setelah usaha itu berkembang, Tahir bahkan disuruh kulakan ke Singapura. Ketika masih SMA pun Tahir sudah biasa pulang-pergi ke Singapura sebagai inang-inang.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/