Di samping keras dalam bersikap sang ibu juga keras dalam bidang pendidikan. Tahir harus sekolah. Dan dipilihkan sekolah yang baik. Salah satu sekolah swasta terbaik saat itu: Petra. Bahkan kemudian Tahir dipaksa sekolah di Singapura, di Nanyang University. Agar kelak bisa mengangkat derajat keluarga. Agar, menurut istilah ibunya, kalau bekerja nanti pakai dasi.
Menyadari ekonomi keluarga yang masih dalam perjuangan, Tahir tidak pernah ikut pesta atau hura-hura. Dia hanya belajar dan belajar. Permainan yang dia lakukan hanyalah ping-pong. Sejak SMA Tahir merasa menjadi anak yang minder. Tidak berani mendekati teman wanita. Demikian juga saat sudah kuliah di Singapura. Hanya belajar dan belajar.
Tapi sikapnya yang seperti itu yang rupanya menarik perhatian orang. Suatu saat Tahir dipanggil menghadap Mu’min Gunawan, pemilik bank Panin ke Jakarta. Untuk diperkenalkan dengan seorang konglomerat yang lagi mencari menantu: Dr. Mochtar Riyadi. Konglomerat ini punya anak wanita bernama Rosy yang juga sekolah di Singapura. Tahir yang dinilai tidak pernah foya-foya dinilai pilihan yang tepat.
Tahir pun mampir ke Surabaya. Konsultasi dengan orang tuanya. Ayah-ibunya langsung memberikan dukungan. Siapa tidak mau diambil menantu konglomerat pemilik bank. Tahir pun lantas kembali ke Jakarta dan menyatakan bersedia. Setelah itu barulah dipertemukan dengan Rosy. Tidak ada cinta, tapi Tahir mengaku sangat terkesan dengan Rosy. Cantik dan sederhana. Tidak mencerminkan anak seorang konglomerat.
Begitu lulus dari Nanyang University, pesta perkawinan dilakukan. Sesuai dengan adat Tionghoa, pesta dilakukan oleh keluarga pengantin laki-laki. Berarti di Surabaya. Saat itulah Surabaya heboh. Perkawinan Cinderella.
Seminggu setelah perkawinan itu, barulah Tahir dipanggil menghadap sang mertua. Di sinilah Tahir didoktrin bagaimana memasuki keluarga Dr Mochtar Riyadi sebagai menantu. Saya baru tahu dari buku ini bagaimana seorang menantu dalam keluarga Tionghoa harus diperlakukan. Saya pun lantas menghubungi beberapa teman Tionghoa untuk membandingkannya. Tidak semuanya seperti itu. Ada yang seperti itu, ada pula yang tidak.
Meski Tahir merasa tertekan, tersisih dan terabaikan, namun dari buku ini saya memperoleh kesan bahwa banyak juga jasa Mochtar Riyadi pada Tahir. Dalam istilah yang diakui Tahir, sang mertua memang tidak pernah memberi modal tapi telah memberi panggung, stempel dan kop surat. Maksudnya, dengan menjadi menantu Mochtar Riyadi, dia mengalami kemudahan menemui siapa saja.
Bahkan sebenarnya lebih dari itu. Saat Tahir mengalami kebangkrutan yang pertama, Mochtar Riyadi memberikan pinjaman. Memang harus dikembalikan, tapi pinjaman itu tetaplah besar maknanya. Bahkan ketika Tahir mengalami kebangkrutan yang kedua, yang lebih parah, sang mertua juga memberikan pinjaman. Memang jumlahnya tidak bisa melunasi seluruh hutangnya pada pihak Singapura, tapi tetaplah tidak ternilai maknanya.
Apalagi saat kebangkrutan yang kedua itu, Mochtar juga memintanya untuk menjadi top eksekutip perusahaan garmen milik sang mertua. Lantaran ditugasi mengurus garmen inilah Tahir memperoleh momentum luar biasa untuk kebangkitan berikutnya. Hingga menjadi konglomerat sampai sekarang. Yakni ketika Tahir bertemu dirjen perdagangan luar negeri yang memberinya kuota ekspor garmen ke Amerika dalam jumlah yang luar biasa.
Tahir mengakui itu. Menceritakan itu. Dan menganggapnya itulah bagian dari panggung yang diberikan oleh sang mertua. (*)