27.8 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Sulitnya (Punya) Anak Superpandai

Oleh: Dahlan Iskan

Umur Audrey baru empat tahun. Saat itu. Tapi pertanyaannya setinggi filosof: Ke mana perginya rasa bahagia? Atau: Apa arti kehidupan?

Pertanyaan seperti itu membuat orang tuanya kewalahan. Begitu sering dia tanyakan. Dan tidak ada jawaban. Gurunya belingsatan. Lingkungannya jengkel. Di mata mereka, Audrey-cilik tetap dianggap bocah ingusan. Tidak pantas bertanya seperti itu. Bahkan, ada yang menganggapnya mengidap kelainan jiwa.

Kalangan dewasa menganggapnya tidak normal. Teman sebaya menganggapnya aneh sendiri. Harus dijauhi. Tidak bisa diajak berteman. Harus dikucilkan.

Situasi lingkungan seperti itu membuat Audrey menderita. Padahal, dia merasa normal. Semua pelajaran bisa dia ikuti dengan baik. Sangat baik. Bahkan istimewa. Semua bisa dia jawab. Bahkan yang belum ditanyakan sekali pun. Tapi, dia merasa terasing. Di rumahnya, di sekolahnya, di pergaulannya, dan juga di gerejanya. Di rumah, dia selalu dimarahi. Di sekolah selalu di-bully. Di pergaulan ibunya selalu jadi bahan gunjingan.

Orangtuanya, terutama ibunya, kian jengkel. Yakni saat Audrey melanjutkan pertanyaan ’’arti kehidupan’’ itu. Dengan pertanyaan yang lebih sulit dijawab: Mengapa ada orang miskin dan miskin sekali? Sampai harus menjadi pemulung. Atau gelandangan. Anak kecil yang tambah menjengkelkan.

Ketika sudah di sekolah dasar dia ngotot ingin ke tempat sampah. Mencari pemulung. Ingin membantu. Ingin melakukan seperti yang disebut dalam Pancasila. Khususnya sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dia tidak hanya hafal Pancasila. Tapi merasuk sekali dalam jiwanya. Saking merasuknya, sampai dia selalu mempersoalkan ini: Mengapa yang tertulis dan diajarkan di Pancasila tidak sesuai dengan kenyataan? Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seperti yang dia lihat. Dan yang dia alami sendiri. Sebagai pribadi. Sebagai anak. Bahkan sebagai anak keluarga Tionghoa.

Dia ngotot ingin selalu ke tempat pemulung. Ingin tahu arti kehidupan. Ibunya, tentu, melarangnya. Bahkan memarahinya. Semua ibu mungkin akan seperti itu.

Lain waktu, Audrey bikin kejutan lagi. Cita-citanya ingin jadi tentara. Agar bisa jadi pejuang. Seperti pahlawan. Yang fotonya dipajang di dinding kelasnya. Heroik. Seperti kisah pahlawan dari guru-gurunya.

Ibunya, tentu, marah lagi.

Waktu ibunya menikah dulu, bukan anak seperti itu yang dia impikan. Begitu lama sang ibu mendambakan segera punya anak. Tidak kunjung hamil. Tiga tahun. Empat tahun. Lima tahun. Lama sekali menanti. Setelah itu barulah hamil.

Begitu besar harapan pada anak itu. Apalagi, Audrey tidak kunjung punya adik. Audrey menjadi satu-satunya anaknya. Terlalu banyak keinginan sang ibu pada masa depan Audrey kecilnya. Begitu mampu sang ibu untuk menyiapkan apa saja. Dia insinyur kimia. Suaminya insinyur mesin. Kedudukan suaminya sangat tinggi di sebuah perusahaan raksasa. Di luar itu masih punya usaha. Bahkan beberapa. Pokoknya, dia cukup kaya. Kurang apa.

Harapan pada anaknya tentu seperti umumnya harapan orang tua. Apalagi anak tunggal. Yang untuk menanti kehadirannya begitu lama. Anaknya harus pandai, cantik, dan kelak bisa menjadi orang sukses. Terkemuka. Kaya. Lebih sukses dari orang tuanya. Kemudian bisa mendapat suami yang setara.

Tapi, ternyata anaknya telah membuatnya repot. Malu. Marah. Teman-teman sang ibu menyarankan agar membawa Audrey ke dokter jiwa. Begitu banyak yang menyarankan langkah itu. Begitu sering diucapkan. Secara nyata maupun isyarat. Kadang Audrey mendengar sendiri saran ke dokter jiwa itu.

Ada yang mengucapkannya terang-terangan. Di depan si anak. Mungkin mengira toh anak ini tidak akan paham apa yang diucapkan orang dewasa. Ternyata Audrey lebih dari sekadar paham. Baru mendengar saran itu saja, Audrey sudah kian merasa disakiti hatinya. Apalagi setelah benar-benar dibawa ke dokter jiwa.

Oleh: Dahlan Iskan

Umur Audrey baru empat tahun. Saat itu. Tapi pertanyaannya setinggi filosof: Ke mana perginya rasa bahagia? Atau: Apa arti kehidupan?

Pertanyaan seperti itu membuat orang tuanya kewalahan. Begitu sering dia tanyakan. Dan tidak ada jawaban. Gurunya belingsatan. Lingkungannya jengkel. Di mata mereka, Audrey-cilik tetap dianggap bocah ingusan. Tidak pantas bertanya seperti itu. Bahkan, ada yang menganggapnya mengidap kelainan jiwa.

Kalangan dewasa menganggapnya tidak normal. Teman sebaya menganggapnya aneh sendiri. Harus dijauhi. Tidak bisa diajak berteman. Harus dikucilkan.

Situasi lingkungan seperti itu membuat Audrey menderita. Padahal, dia merasa normal. Semua pelajaran bisa dia ikuti dengan baik. Sangat baik. Bahkan istimewa. Semua bisa dia jawab. Bahkan yang belum ditanyakan sekali pun. Tapi, dia merasa terasing. Di rumahnya, di sekolahnya, di pergaulannya, dan juga di gerejanya. Di rumah, dia selalu dimarahi. Di sekolah selalu di-bully. Di pergaulan ibunya selalu jadi bahan gunjingan.

Orangtuanya, terutama ibunya, kian jengkel. Yakni saat Audrey melanjutkan pertanyaan ’’arti kehidupan’’ itu. Dengan pertanyaan yang lebih sulit dijawab: Mengapa ada orang miskin dan miskin sekali? Sampai harus menjadi pemulung. Atau gelandangan. Anak kecil yang tambah menjengkelkan.

Ketika sudah di sekolah dasar dia ngotot ingin ke tempat sampah. Mencari pemulung. Ingin membantu. Ingin melakukan seperti yang disebut dalam Pancasila. Khususnya sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dia tidak hanya hafal Pancasila. Tapi merasuk sekali dalam jiwanya. Saking merasuknya, sampai dia selalu mempersoalkan ini: Mengapa yang tertulis dan diajarkan di Pancasila tidak sesuai dengan kenyataan? Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seperti yang dia lihat. Dan yang dia alami sendiri. Sebagai pribadi. Sebagai anak. Bahkan sebagai anak keluarga Tionghoa.

Dia ngotot ingin selalu ke tempat pemulung. Ingin tahu arti kehidupan. Ibunya, tentu, melarangnya. Bahkan memarahinya. Semua ibu mungkin akan seperti itu.

Lain waktu, Audrey bikin kejutan lagi. Cita-citanya ingin jadi tentara. Agar bisa jadi pejuang. Seperti pahlawan. Yang fotonya dipajang di dinding kelasnya. Heroik. Seperti kisah pahlawan dari guru-gurunya.

Ibunya, tentu, marah lagi.

Waktu ibunya menikah dulu, bukan anak seperti itu yang dia impikan. Begitu lama sang ibu mendambakan segera punya anak. Tidak kunjung hamil. Tiga tahun. Empat tahun. Lima tahun. Lama sekali menanti. Setelah itu barulah hamil.

Begitu besar harapan pada anak itu. Apalagi, Audrey tidak kunjung punya adik. Audrey menjadi satu-satunya anaknya. Terlalu banyak keinginan sang ibu pada masa depan Audrey kecilnya. Begitu mampu sang ibu untuk menyiapkan apa saja. Dia insinyur kimia. Suaminya insinyur mesin. Kedudukan suaminya sangat tinggi di sebuah perusahaan raksasa. Di luar itu masih punya usaha. Bahkan beberapa. Pokoknya, dia cukup kaya. Kurang apa.

Harapan pada anaknya tentu seperti umumnya harapan orang tua. Apalagi anak tunggal. Yang untuk menanti kehadirannya begitu lama. Anaknya harus pandai, cantik, dan kelak bisa menjadi orang sukses. Terkemuka. Kaya. Lebih sukses dari orang tuanya. Kemudian bisa mendapat suami yang setara.

Tapi, ternyata anaknya telah membuatnya repot. Malu. Marah. Teman-teman sang ibu menyarankan agar membawa Audrey ke dokter jiwa. Begitu banyak yang menyarankan langkah itu. Begitu sering diucapkan. Secara nyata maupun isyarat. Kadang Audrey mendengar sendiri saran ke dokter jiwa itu.

Ada yang mengucapkannya terang-terangan. Di depan si anak. Mungkin mengira toh anak ini tidak akan paham apa yang diucapkan orang dewasa. Ternyata Audrey lebih dari sekadar paham. Baru mendengar saran itu saja, Audrey sudah kian merasa disakiti hatinya. Apalagi setelah benar-benar dibawa ke dokter jiwa.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/